CHAPTER VI : BAD TIME, GOOD TIME

Hogwarts, first day of school, 1996

Albus Dumbledore sedang duduk di kursi kebesarannya menyantap sarapan bersama-sama dengan para staff pengajar dan murid-murid.

Dari puluhan tahun menjadi kepala sekolah, dia tidak ingat kapan Hogwarts pernah berada dalam kondisi suram seperti sekarang. Tidak ada lagi tawa dari para murid yang telah lama tidak bertemu, yang ada hanyalah kesunyian dan para murid hanya berbisik-bisik ketika berbicara satu sama lain.

Hal ini bisa dimaklumi mengingat mereka baru saja mendapat kabar dari Daily Prophet mengenai serangan Voldemort dan para Death Eaternya ke sejumlah kota di Inggris yang menyebabkan puluhan muggle menjadi korban. Ada beberapa murid Hogwarts yang sanak family-nya menjadi korban dari serangan itu.

Mereka juga sama sekali belum pulih dari berita beberapa hari sebelumnya yang mengatakan Harry Potter telah tewas.

Dumbledore lalu melihat kepada orang-orang terdekat Harry Potter. Dumbledore dapat membaca aura seseorang dan mengetahui kondisi emosional mereka. Aura seseorang dapat diketahui dari warna yang terpancar dari orang tersebut. Apabila cerah maka orang tersebut sedang gembira, sedangkan apabila gelap maka orang tersebut sedang bersedih.

Yang dia lihat dari kedua sahabat Harry Potter, yaitu Hermione Granger dan Ron Weasley membuatnya ciut hati. Aura yang terpancar dari mereka merupakan yang tergelap dari yang pernah dia lihat selama beberapa tahun. Kedua orang itu tampaknya benar-benar menerima kematian sahabatnya dengan buruk.

Tapi Dumbledore kemudian sadar, aura gelap dari kedua sahabat Harry Potter tidak hanya terpancar dari mereka, dia lalu mengalihkan pandangannya ke meja Ravenclaw dan melihat aura yang sama gelapnya terlihat dari miss Cho Chang. Di sampingnya duduk adik perempuannya yang memandang kakaknya dengan khawatir. Gadis kecil yang bernama Sun Chang itu baru saja diseleksi kemarin malam dan ditempatkan di asrama yang sama dengan kakaknya.

Albus Dumbledore tidak tahu banyak tentang hubungan murid kesayangannya Harry Potter dengan murid tahun ketujuh Ravenclaw itu, dia hanya tahu mereka berdua sempat dekat sepanjang tahun lalu walaupun tidak bertahan lama.

Kemudian Dumbledore terganggu dari lamunannya dengan datangnya seberkas api merah tepat di hadapannya. Dia belum pernah melihat api yang bisa muncul secara tiba-tiba seperti ini. Dengan segera dia mengeluarkan tongkatnya begitu juga dengan para staff.

Setelah sinar api itu hilang, jatuhlah sebuah amplop di meja Dumbledore. Dia melakukan berbagai macam deteksi dengan tongkatnya untuk memeriksa apakah amplop tersebut dilengkapi dengan guna-guna.

Setelah memeriksa dan ternyata aman, dia mengangkat amplop itu dan melihat amplop tersebut bersegelkan Hogwarts. Mengabaikan semua tanda tanya di pikirannya dia membuka amplop tersbut dan membaca surat yang terletak di dalamnya.

Dear old Phoenix,

Janganlah khawatir, harapan belum hilang sepenuhnya. Penyelamat kalian hanyalah salah tempat.

Segeralah hubungi temanmu sang alchemist untuk membantumu dalam merekayasa waktu.

Lakukan segera old phoenix, semakin lama penyelamatmu berada di sini, semakin parah konsekuensinya ke duniamu.

Sincerely,

Young Phoenix

Setelah selesai membacanya, surat itu langsung terbakar dan musnah.

'Young Phoenix? Old Phoenix? Aku tidak pernah mendengar istilah itu selama lebih dari... Tunggu dulu. Sang Alchemist?' Setelah mengerti sepenuhnya isi dari surat itu, senyum di wajah Dumbledore kembali lagi dan dia menyantap sarapannya dengan semangat.

Minerva McGonagall melihat atasannya dan tidak mengerti dengan perilakunya. Senyum di wajahnya telah kembali? Senyum Dumbledore tidak pernah terlihat lagi sebelumnya, tidak semenjak Mr.Potter meninggal dunia.


Lake of Hogwarts, 1976

"Harry, trik apa lagi yang akan kau pakai nanti?" Alice prewett bertanya kepada teman barunya Harry Parker.

"Lihat saja nanti, Alice." Harry, Alice, dan Lily sedang berjalan-jalan bertiga di sekitar danau Hogwarts.

"Trik terakhirmu pintar sekali ketika kau mengubah rambut keempat marauder menjadi pink, bagaimana kau melakukannya?" Alice bertanya lagi.

"Seorang pesulap tidak pernah membeberkan rahasianya dear Alice." Jawab Harry tenang.

"Tapi kenapa kau tidak pernah berinisiatif melakukan serangan terlebih dahulu? Sepertinya kau hanya membalas apabila mereka menjahilimu. Seharusnya sekali-kali kau duluanlah yang menyerang mereka, Harry." Lily berkata.

"Merekalah yang menyatakan perang kepadaku, aku hanya berusaha membela diriku."

"Tapi sebaiknya kau benar-benar membuat mereka kapok Harry. Trik terakhir yang mereka lakukan membuat seragam kita semua menjadi bolong di bagian punggung!" Lily berkata.

"Ha-ha-ha, bukankah itu bagus? Semua laki-laki Ravenclaw semuanya senang dengan hal itu. Bahkan mereka kini membenciku karena telah mengembalikan seragam kalian seperti biasa." Jawab Harry.

"Oh, kau senang juga, Harry?" Tanya Lily.

"Aku sendiri lebih senang apabila hal itu terjadi pada gadis-gadis Slytherin." Harry menyesal telah mengatakan itu.

"Slytherin? Kenapa harus gadis-gadis Slytherin?" Alice dan Lily bertanya berbarengan.

"Oh, tidak. Aku pasti salah ngomong. Jangan hiraukan itu. Aku masih agak mengantuk. Hei di sini enak juga ya?" Dia langsung mengalihkan pembicaraan dan duduk di bawah pohon di pinggir danau.

Untungnya Lily dan Alice tidak menekan persoalan ini. 'Aneh juga.' Pikir Harry.

"Alice, bukankah kau harus mengembalikan buku ke perpustakaan?" Ucap Lily.

"Benarkah?" Alice tampak bingung.

"Iya, kemarin kau memberitahuku kau sudah mendapatkan peringatan dari Madame Pince untuk segera mengembalikan buku itu?" Lily memandang tajam Alice.

"Kapan aku pernah...?" Melihat ekspresi muka Lily, Alice akhirnya mengerti. "Oh, iya. Kau benar. Betapa bodohnya aku. Aku harus segera pergi mengembalikan buku itu. Aku akan bertemu kalian nanti." Dengan cepat Alice segera pergi meninggalkan Harry dan Lily.

"Wow, Alice tampaknya takut sekali pada Madame Pince." Ucap Harry melihat Alice pergi.

"Yah, itulah Alice si taat peraturan. Aku saja yang Prefect kadang-kadang pernah telat mengembalikan buku." Lily kemudian duduk di dekat Harry. Terlalu dekat malahan.


"Demi Merlin, apa yang dilakukan Lily-ku? Kenapa dia duduk dekat sekali dengan si Parker?" James melihat Harry dan Lily dari kejauhan.

"Ayolah, Prongs. Sepertinya mereka hanya mengobrol." Remus berkata.

Sirius menepuk pundak sang Werewolf. "Moony, Moony. Kau seperti tidak tahu saja. Parker dan Evans sekarang sedang duduk di tempat paling romantis di Hogwarts. Percayalah padaku, dengan pengalamanku dengan para gadis. Aku tahu apa yang bisa terjadi di bawah pohon itu."

"Rupanya si Parker masih belum kapok juga. Masih berani dia mendekati Lily." James berkata lagi.

"Bagaimana dia bisa kapok, James. Setiap kali kita menjahili dia, Parker selalu bisa membalasnya." Cicit Wormtail.

James memandang tajam Peter dan membuat laki-laki bertubuh pendek itu ketakutan. "Mak...maksudku. Sebaiknya kita lebih keras kepada Parker."

"Kau benar Peter. Tak pernah ada yang lolos dari cengkeraman the Marauder. Dan hal itu tidak akan pernah berubah." Ucap James.

Moony menghela napas. "Sampai kapan kalian mau meneruskan ini? Sudahlah, biarkan saja si Parker."

"Kenapa kau selalu membela dia Moony? Aku tidak akan membiarkan si Parker itu mencuri Lily dariku. Aku juga..." Sirius memotongnya.

"Hei, James. Lihat siapa yang lewat. Sudah lama kita tidak memberi 'salam' kita kepada dia."

James tersenyum licik. "Kau benar, padfoot. Ayo!" James mengajak teman-temannya.

"Hallo, Snivellus."


Harry dapat merasakan napas calon ibunya di lehernya. Hal ini membuat dia merasa tidak nyaman.

"Harry?" Suara lembut Lily terdengar jelas

Tanpa menoleh, Harry menjawab, "ya?"

"Lihat aku Harry!" Pinta Lily.

Harry memandang ke arah Lily. Dia menyadari Lily memandanginya dengan aneh. Dia pernah melihat pandangan ini sebelumnya. Yaitu ketika Cho menghampirinya di bawah Mistletoe. 'Uh-oh. Apakah ini artinya? Tidak, tidak mungkin. Dia ibuku. Walau dia tidak tahu itu. Tapi tidak mungkin.'

"Harry?" Lily menyebutkan namanya lagi karena Harry tampak memikirkan sesuatu.

"Ya?"

"A-apakah di sekolahmu yang dulu kau mempunyai...pacar?" Lily bertanya dengan rona merah di pipinya.

'Jenggot Merlin, dugaanku benar. Bagaimana ini? Hal ini tidak mungkin terjadi. Ibuku sendiri naksir aku?' Harry bergidik memikirkan itu dan disalah artikan oleh Lily.

"Kau kedinginan?" Tanya Lily.

"Apa? Oh, nggak."

Lily tersenyum. "Jadi,"

"Jadi?" Tanya Harry dengan ekspresi kebingungan.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau punya pacar di Amerika sana?" Lily menundukkan kepalanya.

"Well, aku..." Harry tidak tahu harus berkata apa. Apa dia harus mengatakan, 'ya aku punya pacar 20 tahun mendatang. Itu gila.' Bukan hanya itu. Membicarakan hal ini dengan ibunya sendiri benar-benar membuatnya tidak nyaman, apalagi ibunya sendiri juga tertarik kepada Harry.

Harry selamat dari keharusan menjawab pertanyaan itu karena berikutnya terdengar kericuhan tidak jauh dari tempat mereka duduk.

"Astaga. Mereka lagi. Kukira mereka sudah lebih dewasa sekarang." Lily langsung bangun dan berjalan tempat ke tempat kejadian.

"Fiuhhh." Harry menyusul Lily.

Pusat kericuhan itu tidak lain dan tidak bukan adalah para marauders. Mereka memainkan adegan yang sama dengan yang Harry lihat di pensieve milik Snape.

"Hentikan! Apa yang kalian lakukan? Cepat turunkan dia?" Lily berteriak marah kepada James dan Sirius.

"Oh, come on Lily. Kami hanya memberikan salam persahabatan kepada si Snivelus." Ucap James sambil menganyun-ayunkan tongkatnya untuk menggoyang-goyangkan Snape di udara.

Banyak yang bersorak-sorak atas apa yang dilakukan James, terutama Peter yang loncat-loncat karena kegirangan.

"Hei! Kalian mau melihat celana dalamnya si snivelly?" Sirius bertanya kepada mereka yang menonton atraksi ini dan banyak yang menyetujuinya. "Lakukan, Prongs!"

"Baiklah, kalian lihat ini." Tapi hal itu tidak pernah terjadi untungnya karena ada seseorang yang memutuskan untuk ikut campur.

"Finite Incatatem." Snape turun dengan perlahan dan mendarat dengan empuk karena ada yang menggagalkan mantra melayang James.

"Apa? Siapa yang berani?" James menggerakkan kepalanya ke arah datangnya mantra untuk melihat siapa yang telah menganggunya.

"PARKER! KAU LAGI!" James dan Sirius berkata bersamaan.

Harry memegang lengan Snape dan membantunya untuk berdiri. "Kau tidak apa-apa?"

Snape merasa tidak senang telah dibantu. "Aku tidak butuh bantuanmu!" Dia langsung lari meninggalkan tempat kejadian.

"Beraninya kau ikut campur Parker!" James mengacungkan tongkatnya ke arah Harry.

"Kenapa kau lakukan itu, Parker?" Sirius juga mengacungkan tongkatnya ke arah Harry. Suasana menjadi tegang.

"Aku baru saja mau menanyakan hal yang sama kepada kalian. Kenapa kalian lakukan hal itu kepada Snape?" Harry menjawab tenang.

"Apa pedulimu? Snape hanyalah calon Death Eater yang pantas mendapatkan ganjarannya." James berkata.

"Bagaimana kau tahu kalau dia itu calon Death Eater?"

"Dia di Slytherin. Dan itu sudah cukup." Jawab Sirius.

"Benarkah? Kalau begitu aku bisa mengatakan hal yang sama kepadamu, Sirius. Kau dari keluarga Black kan? Menurut reputasi keluarga Black, kurasa aku juga bisa mengasumsikan kalau kau juga pendukung Voldemort." Banyak yang terkejut ketika Harry mengatakan nama Voldemort.

"Aku...dia tahu banyak tentang sihir hitam, bukan hanya karena dia Slytherin." Ucap Sirius.

"Memang kenapa kalau dia tahu tentang sihir hitam? Salah satu pengajarku pernah mengatakan kepadaku 'kalau penyihir terhormat tidak menggunakan sihir hitam, bukan berarti dia tidak bisa.' Apa kalian pikir Dumbledore tidak bisa menggunakan sihir hitam? Kalian sangat naif."

Suasana semakin memanas, James dan Sirius tampak siap untuk meledak. Remus berusaha untuk melerai ketiga penyihir di hadapannya.

"James, Sirius! Sudah cukup. Ayo kita pergi."

Harry memandang Remus. Sebagai Prefect, sebaiknya kau mengawasi teman-temanmu dengan lebih baik Remus." Harry membalikkan badannya dan mulai pergi.

"AWAS!" Lilly berteriak kepada Harry.

Harry berbalik dengan cepat, dia tidak sempat memblok kutukan yang datang dan dia terlambat untuk menghindar sehingga pipinya menjadi korban kutukan pemotong. Pipi Harry mulai mengeluarkan darah.

"BLACK! sepuluh angka dari Gryffindor." Lily melakukan tugasnya sebagai Prefect.

Harry marah. Sudah lama dia tidak marah seperti ini. Sirius baru saja menyerangnya dari belakang! "Aku tak percaya kau baru saja melakukan itu Sirus. Kau tak tahu kau berhadapan dengan siapa."

"Uuuhhhh, apakah aku harus takut akan ancamanmu?" Sirius berkata masih dengan tongkat teracung.

Harry baru saja akan membalas, tetapi Professor McGonagall datang. "Ada apa ini? Parker. Apa yang terjadi pada pipimu?"

"Black baru saja menyerangnya, Professor." Lily berkata.

"Apa! Apa ini benar Mr.Black?"

Sirius tidak berkata apa-apa dan itu sudah cukup untuk McGonagall. "Detensi, Black. Menyerang murid lain sungguh tidak bisa ditoleransi. Detensi selama sebulan untukmu."

Sirius langsung meninggalkan tempat itu dan disusul oleh ketiga temannya.

"Sebaiknya kau segera menemui Madame Pomfrey, Parker. Luka itu tampak parah." Ucap McGonagall.

"Aku tidak apa-apa Professor." Harry menyeka darah dari pipinya dan melihat kepergian para marauder. Dia tidak habis pikir kenapa mereka bisa berperilaku seperti itu. Dan kenapa Lupin tidak berusaha mencegah mereka.

'Mungkin karena dia takut teman-temannya akan meninggalkannya, dia sendiri sudah kesulitan mendapatkan teman karena kondisinya sebagai Werewolf.' Suara hati Harry berkata.

'Mungkin benar. Sebagai Werewolf memang sulit mencari teman. Werewolf...malam ini malam purnama. Pasti mereka akan menyelinap keluar kastil dengan menggunakan peta marauder. Tunggu dulu...Peta itu. Mereka bisa melihat nama asliku di situ!' Harry langsung panik. Dia harus melakukan sesuatu. Harry berjalan cepat. Dan Lily tidak menghentikannya karena dia berpikir Harry akan pergi ke rumah sakit.

Dengan secepat kilat Harry sudah berada di hadapan kepala sekolahnya.

"Ada perlu denganku Mr.Parker?" Tanya Dumbledore.

"Professor. Anda harus melakukan sesuatu! Kalau tidak mereka akan tahu nama asliku." Harry berkata dengan terengah-engah.

"Tenang dulu Harry. Mereka itu siapa. Jelaskan perlahan-lahan."

Harry lalu menjelaskan kepada Dumbledore mengenai peta marauder dan segala kegunaannya. Dumbledore tampak terkesan dengan kemampuan para marauder untuk bisa membuat alat sihir yang luar biasa seperti itu.

"Dan kau yakin mereka akan menggunakannya malam ini? Apa yang membuatmu yakin. Apa istimewanya malam ini? Apa kau tahu tentang kondisi Mr.Lupin?" Tanya Dumbledore curiga.

"Aku yakin. Dan iya, aku tahu tentang Remus. Dan aku tidak bisa mengatakan lebih banyak. Karena itu artinya aku akan membocorkan banyak hal tentang masa depan." Jawab Harry.

"Baiklah, bagaimana bentuk dari peta itu?"

"Peta itu berbentuk sebuah perkamen biasa dengan ukuran yang cukup besar."

Dumbledore berpikir sejenak sebelum menjawab. "Baiklah kalau begitu. Aku akan segera menyuruh Mr.Filch untuk memeriksa isi kantong mereka."


"Parker sialan. Beraninya dia menyamakan aku dengan anggota keluargaku yang lainnya!" Sirius jalan sambil marah-marah ketika mereka berempat akan kembali ruang rekreasi Gryffindor.

"Dia tidak menyamakanmu dengan anggota keluargamu, Padfoot. Kau akan tahu kalau mendengarkan dia dengan jelas."

"Kenapa sih kau selalu membelanya, Moony?" Sirius memandang tajam Remus.

"Iya benar. Kau selalu membela si Parker itu." Peter berkata.

"Bukan begitu. Aku hanya berpikir kalian tidak berlaku adil pada dia. Kulihat Harry orangnya baik dan menyenangkan."

"Omong kosong. Dia hanya orang sok tahu yang senang mengganggu kesenangan kita. Benar tidak James?"

James tidak berkata apa-apa.

"James?"

"Prongs?"

"James?"

"Apa?" Dia baru sadar namanya disebut.

"Kenapa kau. Apa kau setuju dengan pendapatku?"

"Apa? Oh,iya. Aku setuju. Malam ini sebaiknya kita lebih dalam lagi menelusuri hutan terlarang." Jawab James dengan bodoh.

"Agghhh, pikiranmu sedang kemana sih? Apa yang kau pikirkan? Apakah si Evans lagi?" Sirius kesal.

"Bukan. Bukan Evans. Aku sedang memikirkan si Parker." Jawab James.

"Bagus sekali. Nah, bagaimana menurutmu, apa menurutmu dia juga orang sok tahu yang hanya senang menganggu kesenangan kita?"

"Oh, aku tidak memikirkan itu. Aku hanya memikirkan sikap Parker tadi mengingatkanku pada seseorang." Jawab James.

"Siapa?" Lupin bertanya.

James ragu-ragu sebelum menjawab. "Ayahku."

"Hah? Bagaimana mungkin?" Peter keheranan.

"Aku juga tidak tahu jelas. Tapi tidak tahu kenapa sikap dia memang membuatku teringat kepada ayahku."

Mereka berjalan terus tanpa berbicara apapun sampai mereka sampai di depan lukisan wanita gemuk di mana Filch telah menunggu mereka.

"Nah, kalian datang juga."

"Ada apa Filch? Kami tidak mengotori koridor lagi asal kau tahu. Tidak hari ini." Sirius berkata.

"Aku mendapat informasi kalian membawa-bawa barang berbahaya. Sekarang, keluarkan isi kantong kalian." Perintah Filch.

"Barang bahaya apa? Informasi itu tidak benar." James protes.

"Sudah, keluarkan saja atau aku harus melaporkan ini pada kepala sekolah."

Dengan berat hati mereka semua mengeluarkan isi kantong mereka. Dengan segera Filch menyita segala macam barang-barang yang bisa digunakan untuk berbuat usil misalnya granat lumpur, boomerang penampar, frisbee bertaring, dan lain-lain.

"Tunggu dulu, untuk apa kau mengambil perkamen itu? Itu hanya perkamen biasa." James protes.

"Kalau ini hanya perkamen biasa, tentunya kalian tidak keberatan kalau aku mengambilnya kan?" Filch menyeringai lalu pergi.

Mereka berempat saling berpandangan. "Bagaimana ini? Dia mengambil petanya!"

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Review responses :

-VeritaGal : Aku tidak tahu pastinya, tapi pastinya akan berakhir ketika Harry pulang kembali ke masanya dan itu akan terjadi pada sesaat sebelum murid Hogwarts liburan natal.

-Lipstick Gal : Bab ke-4 tetep aku yang nulis. Tapi ngeliat versi yang ditulis Imanda membuatku pengen negelanjutin cerita ini.

-Animagus 1412 : Ide Bellatrix yg mana? Apa bagian di mana mereka rambutnya sama? Mungkin juga. Atau bagian di mana Harry pertama melihat Bellatrix di aula besar? Mungkin juga.

Author's notes : Next chapter there will be some fluff with the lovely B.B.