Disclaimer : If you've seen it before. Then it's not mine.
CHAPTER VII: ANDA KAN…?
Sebuah sakit kepala yang hebat membangunkan sang Gryffindor muda di suatu pagi..
"Ouch…"
Sekujur tubuhnya terasa sakit ketika Harry Potter mendapatkan dirinya terbaring di lantai ruangan latihan, tempat yang terakhir kali dia ingat dari semalam.
'Apa yang terjadi padaku? Aww' Harry berpikir keras sambil memegangi kepalanya.
Dia melihat sekelilingnya dan melihat keadaan ruangan masih sama seperti yang terakhir kali dia ingat. Di sisi kirinya tergeletak buku Parseltongue yang dia baca sebelumnya, sedangkan di sisi kanan adalah tongkat sihirnya yang terbuat dari mythril. Boneka latihan juga masih dalam kondisi yang sama, yaitu salah satu dari mereka hancur lebur karena mantra pembius yang dirapalkannya.
"Tunggu dulu" Harry berkata pada dirinya sendiri.
'Hal yang terakhir kali yang kuingat yaitu aku merapalkan mantra pembius dalam parseltongue, lalu aku melihat boneka latihan hancur lebur, dan setelah itu……"
"Apa yang terjadi padaku?" Harry berteriak kesal karena tidak tahu apa yang telah menimpanya dan kenapa sekarang tubuhnya terasa sakit dan dia juga begitu kelelahan.
Dengan susah payah dia bangkit dari posisinya yang terbaring. Dia melihat waktu di jam tangannya dan melihat waktu menunjukkan pukul sepuluh.
Begitu dia keluar dari kopernya, dia melihat Bibi Petunia sedang duduk tertidur di tempat tidur Harry yang kecil dan kepalanya bersandar ke dinding. Harry merasa heran kenapa Petunia berada di situ, dia jarang sekali masuk ke kamar Harry, dan Harry yakin bibinya itu tidak pernah menyentuh tempat tidurnya sedikit pun.
"Ehmm". Harry berusaha membangunkan bibinya dengan pura-pura batuk tetapi usahanya gagal.
Lalu dia menggoyang-goyang tubuh bibinya.
"Bibi Petunia… Bibi Petunia…"
Petunia lalu membuka matanya, dia terlihat seperti habis menangis. Matanya tampak sembab dan kemerahan.
Hal yang tidak disangka-sangka oleh Harry kemudian terjadi, Petunia memeluk Harry! Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan sangat aneh. Harry pikir hal ini akan sama anehnya dengan apabila Voldemort memutuskan untuk pensiun dari membunuh orang dan membagi-bagikan permen kepada anak-anak.
"Oh Harry…aku sangat khawatir… kukira kau sudah mati…."
Harry tidak berkata apa-apa saking terkejutnya dia karena orang yang seumur hidupnya selalu menekankan kepada dirinya bahwa dia orang yang hanya beban saja bagi keluarganya dan memperlakukannya bagaikan seorang budak, kini benar-benar khawatir terhadap keselamatannya dan memperlakukannya sebagaimana mestinya seorang bibi terhadap keponakannya.
Belum sempat Harry membalas pelukan bibinya, Petunia langsung menarik pelukannya dan kembali ke sifatnya yang semula.
"KEMANA SAJA KAU! ORANG-ORANG ANEH ITU DATANG MENCARIMU KARENA KAU TIDAK DATANG KE LATIHANMU!"
Teriakan Bibi Petunia tampaknya dapat menyaingi teriakan dari howler.
"MEREKA DATANG BERGEROMBOLAN KE RUMAH INI DENGAN PAKAIAN MEREKA YANG ANEH-ANEH! APA KATA PARA TETANGGA NANTINYA!"
Petunia pasti akan terus berteriak seperti itu apabila tidak ada yang menghentikannya. Dan untung saja bantuan datang tepat pada waktunya.
"Permisi Mrs.Dursley." Di ambang pintu berdiri seorang penyihir tua dengan jenggot putih yang amat panjang.
"Professor Dumbledore". Harry belum pernah merasa selega ini melihat kepala sekolahnya. Dia bahkan tidak selega ini pada waktu pengadilan di hadapan Wizengamot ketika Professornya datang untuk membantunya. Atau bahkan ketika Dumbledore menyelamatkannya ketika di Departemen Misteri.
Petunia langsung mengalihkan pandangannya ke Dumbledore, dan tanpa sepatah kata lagi dia meninggalkan kamar Harry dan menutup pintu kamar dengan keras.
"Professor…" Dumbledore mengangkat tangannya untuk memotongnya.
"Tenang Harry, sekarang duduklah dulu dan ceritakan segalanya."
Harry duduk di sisi tempat tidurnya sedangkan Dumbledore 'menggambar' sebuah kursi dengan tongkatnya dan duduk di kursi itu.
Kemudian Harry menceritakan segalanya mulai dari dia pulang ke rumah sampai dia pingsan.
Harry bercerita selama beberapa menit dan Professor Dumbledore hanya diam saja setelah mendengarkan ceritanya dan kemudian di tersenyum ramah.
"Well Harry, tampaknya kau mengalami apa yang istilah medisnya disebut dengan Magical Exhaustion."
"Apa itu?" Harry bertanya.
"Sebenarnya semua ini salahku Harry." Dumbledore mendengus.
"Huh?"
"Seharusnya aku tidak memintamu untuk segera membuka buku tersebut. Tadinya aku mengira kau tidak akan langsung mempraktekkan apa yang ada di buku itu. Seharusnya aku tahu kalau buku itu berisi mantra-mantra." Dumbledore menundukkan kepalanya.
"Apa maksud anda? Dan apa hubungannya dengan aku hilang kesadaran?"
Dumbledore melanjutkan, "Kau kehilangan kesadaranmu Harry karena kekuatan sihirmu telah habis terpakai ketika latihan Occlumency-mu, dan ketika kau merapalkan mantra dalam Parseltongue tersebut, tubuhmu memaksa untuk menggunakan tenaga sihir cadangan. Dan pemaksaan inilah yang menyebabkan kau kehilangan kesadaranmu."
"Tenaga sihirku habis karena latihan Occlumency? Apakah aku memang selemah itu?" Harry bertanya dengan muram.
"Tidak Harry, kau sama sekali tidak lemah. Dibutuhkan banyak sekali sihir untuk mengorganisir pikiranmu dan membaginya menjadi beberapa lapisan. Bahkan banyak sekali penyihir-penyihir dewasa yang pingsan setelah mereka menemukan pintu pikirannya."
Harry tampak sedang berpikir keras, dan Dumbledore melanjutkan penjelasannya.
"Kau menggunakan tongkat sihirmu yang baru juga merupakan salah satu alasan kau pingsan. Tongkatmu yang temperamental itu mengambil tenaga lebih dari yang dibutuhkan dari sihir cadanganmu sehingga tubuhmu yang sudah lemah lagi-lagi mengalami cobaan yang hebat."
Harry merasa malu mendengar ini dan dia berjanji untuk tidak akan menggunakan tongkatnya yang baru kecuali Dumbledore telah mengijinkannya.
"Baiklah Harry, sekarang kau harus istirahat. Tubuhmu harus me-recharge kekuatan sihirmu. Akan kuberitahu Kingsley kalau kau tidak akan berlatih untuk hari ini." Dumbledore berdiri dan siap-siap untuk pergi.
"Kingsley?... Tunggu dulu. Hari apa ini?" Harry bingung.
"Sekarang hari sabtu Harry, Kau tidak sadarkan diri selama tiga hari." Dumbledore berkata.
"Tiga hari?"
"Iya Harry, Minerva memberitahuku dua hari yang lalu kau tidak menghadiri latihanmu. Aku kemudian datang ke sini bersama beberapa anggota order dan hanya mendapatkan kamarmu yang kosong. Tidak terlihat tanda-tanda perlawanan dan aku melihat koper dengan lambang keluarga Potter. Aku berkesimpulan bahwa kau sedang berada di koper tersebut dan tidak ada yang bisa kulakukan karena tidak ada yang bisa memasuki koper tersebut kecuali memiliki darah keluarga Potter. Jadi aku hanya meminta kepada Mrs.Dursley untuk menginformasikan kita apabila kau sudah keluar."
"Oh ya" Harry teringat sesuatu.
"Ketika saya keluar dari koper, Bibi Petunia tampak sangat khawatir dengan keadaanku, dia bahkan memelukku! Tetapi kemudian dia kembali seperti biasa dan mulai meneriakiku, untung anda cepat datang. Aku tidak mengerti dengan perilakunya."
Dumbledore tampak senang sekali mendengar ini, terlihat dari senyumnya dan matanya yang berkedip-kedip.
"Itu menandakan bahwa dia benar-benar menyayangimu Harry, hanya saja dia tetap harus menunjukkan kepada suaminya kalau dia membenci segala hal yang berhubungan dengan sihir."
"Tetapi dia tidak pernah menunjukkan bahwa dia sayang kepadaku, dia juga tidak pernah memelukku sebelumnya." Harry masih merasa bingung.
"Tetap saja Harry, mengetahui bahwa kau mungkin berada dalam bahaya membuatnya sadar bahwa dia mungkin akan kehilangan satu-satunya yang mengingatkan dia kepada adiknya Lily. Saya ingat mereka berdua merupakan dua saudari yang sangat dekat."
Dumbledore meninggalkan Harry yang tampak kebingungan dan sedang larut dalam bepikir.
Keesokannya, Harry tiba di rumah Mrs.Figg sepuluh menit lebih lambat. Ketika dia sampai , Mrs.Figg mengatakan bahwa Aberforth sudah menunggu di ruang latihan/ruang keluarga.
Ketika Harry memasuki ruang latihan, dia melihat ada seorang penyihir tua yang sepertinya pernah Harry lihat, bukan karena dia mirip dengan Professor Dumbledore, tetapi Harry merasa yakin bahwa dia pernah bertemu dengannya.
"Ah…datang juga kau." Aberforth Dumbledore tetap di tempat duduknya dan memandang Harry dengan tampangnya yang galak.
"Kau telat Harriet."
"Maaf sir, dan namaku Harry sir." Harry merasa tersinggung karena dipanggil dengan nama perempuan.
"Baiklah Harvey, mari kita mulai, duduk di sana, dan panggil saja aku Abe, tidak perlu pakai sir segala." Aberforth menunjuk ke sebuah kursi di hadapannya.
Harry mendengus karena Aberforth tetap salah memanggilnya.
"Baiklah Abe." Harry duduk di kursi yang ditunjuk oleh Aberforth.
"Dari mana kau tahu nama panggilanku Harrison?" Aberforth bertanya serius.
"Kau baru saja memberitahuku." Harry menjawab dengan frustasi. 'Pantas saja Mad-eye pernah bilang bahwa kakaknya Dumbledore ini agak aneh' pikirnya.
"Oh, Benarkah? Baiklah kita mulai saja, adikku Brian bilang kau ingin belajar sihir tanpa tongkat, nah pertama-tama yang kau harus ketahui tentang sihir tanpa tongkat adalah kau … ."
Harry sama sekali tidak mendengarkan penjelasan Abe, karena dia masih mencoba untuk mengingat-ingat tentang dimana terakhir kali dia pernah melihat Abe.
Lalu dia ingat. Wajah galak itu pernah dia lihat ketika dia dan teman-temannya pertama kali menggelar pertemuan tentang D.A di Hogs Head!
"Tunggu dulu"
Abe tampak kaget karena omongannya dipotong, dan wajahnya tampak lebih galak dari sebelumnya.
"Anda kan bartender di Hogs Head!" Harry berkata sambil menunjukkan jarinya ke arah Abeforth.
"Apa tidak ada yang pernah memberitahumu Harrold bahwa tidak sopan untuk menunjuk-nunjuk orang?" Abe tampak tersinggung.
Harry yang merasa malu langsung menurunkan lengannya dan menggumamkan maaf.
"Iya, aku memang bartender di Hogs Head, danaku tidak akan membahasnya lagi." Nada bicara Aberforth menandakan bahwa itu keputusan final.
"Seperti yang kubilang, untuk menguasai sihir tanpa tongkat, pertama-tama kau harus bisa melakukan mantra-mantra sederhana tanpa bersuara karena dasar dari sihir tanpa tongkat dengan sihir tanpa suara adalah sama, yaitu kontrol pikiran dan emosi. Kalau kau berhasil melakukan ini, nantinya kau bisa melakukan mantra tanpa menggunakan tongkat dan juga tanpa bersuara, tetapi hanya sedikit yang bisa melakukan itu. Dan aku tidak akan terkejut apabila nantinya kau mentok di sihir tanpa suara, tetapi Brian menaruh harapan besar kepadamu, jadi mari kita coba saja."
Harry mengangguk dan wajahnya tampak penuh determinasi.
Sepanjang latihan, Harry belajar tentang bagaimana caranya untuk melakukan mantra tanpa bersuara. Mantra pertama yang dia coba adalah mantra reduksi REDUCTO.
Harry mengacungkan tongkatnya ke sebuah meja tua yang sudah disiapkan Aberforth. Dia berkosentrasi, dalam pikirannya dia membayangkan meja yang dihadapannya hancur dan mulai mengerahkan tenaga sihirnya.
Harry baru berhasil dalam mantra reduksi setelah satu jam latihan, tetapi setelah itu, segalanya menjadi agak lebih mudah. Setelah mantra reduksi, kemudian mantra pelucut expelliarmus, mantra pembius, dan mantra-mantra sederhana lainnya.
Mereka baru mulai latihan sihir tanpa tongkat beberapa jam sebelum latihan usai.
Tidak seperti sihir tanpa suara yang lebih membutuhkan kontrol pikiran, Sihir tanpa tongkat membutuhkan kontrol emosi yang sangat kuat. Hampir sama seperti merapalkan mantra patronus yang membutuhkan pikiran gembira atau untuk kutukan cruciatus yang membutuhkan rasa benci yang luar biasa.
Dalam sihir tanpa tongkat, seorang penyihir harus memfokuskan emosinya ke dalam sihirnya. Emosi yang berbeda memiliki kekuatan yang berbeda pula.
"Bagaimana caranya?" Harry bertanya.
"Kudengar kau bisa melakukan mantra patronus." Harry mengangguk.
"Nah, yang ini sama saja, kau harus berkosentrasi dalam merasakan sesuatu dan memusatkan pikiranmu untuk melakukan mantra."
"Emosi apa yang harus kurasakan."
"Terserah kau Harris, semua emosi memiliki kekuatan tergantung caranya kau menggunakannya."
Harry sama sekali tidak berhasil hari itu dalam melakukan sihir tanpa tongkat, dia sudah mencoba berbagai macam emosi mulai dari rasa senang, benci, marah, sampai rasa sedih pun pernah dia coba tetapi dia tetap gagal.
Aberforth memberitahunya bahwa mungkin alasan dia gagal adalah karena Harry berusaha terlalu keras dalam melakukannya dan dia harus lebih rileks dalam latihannya karena ini baru latihannya yang pertama.
Perkataan Abe sedikit melegakannya, tetapi dia akan lebih lega apabila Aberforth memanggilnya dengan nama dia yang sebenarnya.
