CHAPTER XVIII : HARUS MEMILIH

Beberapa minggu telah lewat sejak insiden di Hogsmeade. Kehidupan di Hogwarts berjalan seperti biasanya, walaupun sisa-sisa horor yang diakibatkan oleh kematian dua murid Hogwarts masih cukup terasa. Atas desakan para anggotanya, kini pertemuan D.A berlangsung dua kali dalam seminggu. Belum lagi Harry masih harus berlatih Quidditch. Tahun ini memang menjadi tahun tersibuk bagi Harry dan kawan-kawannya.

"STUBEFY." Kilatan cahaya merah keluar dari tongkat Harry meluncur menuju Dobby. Si peri rumah itu langsung terlempar kebelakang dan tidak sadarkan diri.

"HARRY! APA YANG KAU LAKUKAN?" Hermione berteriak dari belakang Harry. Mereka kini sedang berada di 'room of requirements' untuk pertemuan D.A mereka yang kedua untuk minggu ini. Harry sendiri sudah satu jam berada di ruangan ini. Dan kini Ron, Hermione, Neville, Dean, Seamus dan Ginny sudah datang untuk belajar PTIH kepada Harry. Tapi pemandangan pertama yang mereka lihat ketika mereka masuk adalah Harry yang menyerang Dobby dengan mantra pembius.

Hermione langsung menghampiri Dobby yang tergeletak di lantai. "Harry, kenapa kau menyerang Dobby?" Hermione mengeluarkan tongkatnya untuk menyadarkan Dobby.

"Enervate." Tapi tidak memberi efek apapun. "Enervate." Tetap tidak ada reaksi.

"Harry. Apa yang kau lakukan pada Dobby? Kenapa aku tidak bisa menyadarkannya?" Tetapi Harry tidak menjawab. Dia hanya memandang Dobby tanpa ekspresi.

"Kau mungkin kurang benar melakukannya, Hermione. Biar kucoba." Ron kini menghampiri Dobby dan Hermione. "Enervate." Dobby tidak juga bereaksi. "Enervate."

"Harry. Kau tadi menggunakan mantra pembius kan? Kenapa tidak bisa disadarkan?" Harry tetap diam. "Hei, jawab dong. Kenapa kau diam saja?"

Akhirnya Ginny, Neville, Dean , dan Seamus juga ikut mencoba menyadarkan dengan mantra penyadar, tapi tidak ada yang berhasil. Kini semua memandang Harry dengan khawatir dan rasa penasaran.

"Harry. Bagaimana ini. Kita tidak bisa menyadarkan Dobby. Kenapa kau diam saja?" Hermione kini tambah marah.

"Iya, dan kenapa juga kau menyerang Dobby? Kukira kalian itu teman baik." Ginny berkata.

Akhirnya Harry melangkah dan jongkok di atas Dobby. Ekspresi mukanya tetap biasa-biasa saja. "Enervate." Dobby membuka matanya dan tampak senang. "Harry Potter sir! Apakah Berhasil?"

Harry tersenyum dan mengangguk. "Sukses Dobby. Mereka tidak bisa menyadarkanmu."

"Benarkah? Wah itu bagus sekali." Suara Dobby melengking dan kini dia loncat-loncat.

"Harry! Apa maksudnya ini?" Hermione bertanya. Tidak hanya dia, semua orang yang ada di ruangan itu kebingungan dengan apa yang terjadi.

Harry tidak langsung menjawabnya. Dia men-toss tangan Dobby. "Thanks buat bantuannya Dobby. Mungkin lebih baik kau kembali ke dapur. Pertemuan D.A akan segera dimulai."

"Kapan saja Harry Potter sir butuh bantuan Dobby, Dobby akan dengan senang hati membantunya." Dobby lalu menghilang.

Harry kini berpaling dari teman-temannya dan mulai mengatur ruangan untuk latihan D.A.

"Harry" Hermione dan Ron mulai kesal karena Harry mengacuhkan mereka.

"Apa? Oh kalian sudah di sini." Dia berkata seolah-olah baru menyadari kehadiran mereka, tapi dia lalu tersenyum. "Sorry, bercanda."

"Apa-apaan tadi, Harry. Kenapa cuma kau yang bisa menyadarkan Dobby?" Tanya Ron.

"Ya iya dong. Hanya tongkatku yang bisa menyadarkannya." Jawab Harry simpel.

"Kenapa begitu? Bukannya kau hanya pakai mantra pembius biasa?" Tanya Hermione.

"Mantra pembius biasa? Apa kalian mendengar apa yang kurapalkan?"

"Tentu saja, kau mengucapkan Stupefy seperti biasanya." Ucap Dean.

"Tunggu dulu, dia tidak mengucapkan Stupefy, tapi Stubefy." Neville mengoreksi.

"Benar sekali Nev, aku mendapat ide itu darimu ketika hidungmu patah di Departemen misteri. Kau mengucapkan Stubefy untuk mantra pembius kan?"

"Maksudmu, kau menciptakan mantra yang baru? Mustahil." Ucap Hermione.

Harry tersenyum. "Kenapa mustahil, Mione?"

"Di era modern ini hampir tidak pernah ada lagi mantra baru yang tercipta. Petunjuk pembuatan mantra sudah hilang ditelan jaman. Tidak mungkin kau bisa menciptakan mantra baru." Hermy beralasan.

"Yah, katakan saja aku sudah menemukan petunjuk itu. Hanya itu yang bisa kukatakan untuk saat ini." Jawab Harry tegas.

"Baiklah, Harry. Mantra apa yang kau ciptakan?" Ginny bertanya.

"Aku menciptakan versi baru dari mantra pembius dimana si korban hanya bisa disadarkan oleh tongkat yang sama dengan yang menyerangnya."

"Wow, itu hebat sekali. Kini kita tidak perlu khawatir apabila ada yang menyadarkan musuh kita setelah kita membuat mereka pingsan." Ucap Ron.

"Itu memang rencananya."

"Cool, apa kau bisa mengajari kami?" Untuk pertama kali Seamus berbicara.

"Wah, aku sendiri baru pertama kali ini berhasil memakai mantra itu. Mungkin nanti kalau aku sudah menguasai mantra itu dengan lancar, aku akan mengajari kalian."

Tak lama seluruh anggota D.A hadir semua dan mereka memulai latihan mereka.

"Oke, tiga hari yang lalu kita berlatih mantra kilat. Masih ada beberapa yang belum menguasainya dengan lancar. Karena itu setengah dari waktu kita akan digunakan untuk berlatih kembali mantra itu. Dan setengahnya lagi kita akan berlatih kembali mantra patronus." Harry menginstruksikan.

Latihan berjalan dengan lancar, Harry terutama terkesan ketika mereka mulai berlatih mantra patronus lagi. Banyak yang sudah bisa mengeluarkan patronus yang badaniah.

"Bagus sekali, Susan." Komentar Harry ketika melihat patronus berbentuk beruang keluar dari tongkatnya Susan Bones.

"Thanks, Harry. Ini pertama kalinya aku berhasil. Kau memang guru yang hebat." Susan tampak senang sekali.

"Ini bukan karenaku, kau memang cukup berbakat dalam PTIH." Puji Harry dan membuat pipi Susan menjadi merah. "Oh, iya. Sampaikan selamat pada bibimu karena telah terpilih menjadi Menteri yang baru."

"Aku akan menyampaikannya. Dari yang kudengar, kau berperan cukup besar sehingga bibiku terpilih. Terima kasih ya."

"Itu hal yang kecil, memang sudah waktunya Kementrian dipimpin oleh orang kompeten." Harry meneruskan memeriksa perkembangan anggota-anggota lainnya.

"Merayu keponakan dari Menteri sihir, pintar juga kau Potter." Komentar ini keluar dari mulut Daphne ketika Harry hendak memeriksa keahlian Daphne dalam mantra Patronus.

"Siapa yang merayu?"

Daphne mendengus. "Ya, benar. Dan kurasa pipi Bones menjadi merah hanya karena kau memuji patronus dia?"

"Memang hanya itu yang kukatakan. Dan bukankah kau harusnya memusatkan perhatianmu pada tongkatmu, bukannya melihat perbincangan orang lain?"

Daphne tersenyum. "Siap, Bos."

Latihan akhirnya berakhir. Dan kini para anggota satu persatu meninggalkan ruangan ini. Harry masih membaca buku Merlin-nya ketika Ron berbicara. "Harry, kau ikut?"

"Tidak. Aku akan berlatih dulu. Kau duluan saja." Harry tidak mengangkat kepalanya karena terlalu konsentrasi membaca bagian di bukunya tentang membuat mantra.

"Oke deh. Tapi jangan terlalu malam. Besok kan latihan terakhir kita sebelum melawan Hufflepuff."

"Oke, Ron." Masih tidak mengangkat kepalanya.

Harry membaca dengan tenang selama beberapa saat sampai ada yang memanggilnya.

"Harry?" Suara perempuan.

"Hermione, kau duluan saja. Aku masih agak lama di sini." Ucap Harry kesal.

"Seharusnya aku tahu duniamu hanya diliputi oleh si Granger itu." Suara itu bicara lagi.

"Apa?" Harry mengangkat kepalanya dan yang dia lihat bukanlah Hermione, melainkan Cho dan Daphne.

"Kalian? Ada apa?" Dia merasa heran kenapa mereka berdua masih ada di sini.

"Begini, Harry." Cho dan Daphne duduk di sebuah sofa yang sebelumnya tidak ada di situ.

"Ya?" Harry bertanya.

"Kau saja yang ngomong!" Pinta Cho kepada Daphne.

"Bukankah kau lebih tua dariku, Chang?"

"Umur tidak ada sangkut pautnya." Cho berkata.

"Tapi ini kan usulmu." Ucap Daphne.

"Ini bukan usulku, kau sendiri yang berkata..."

"Oke, sudah. Sebenarnya kalian mau bicara apa?" Harry sedang tidak ingin melihat 'girl fight.'

Daphne menghela napas. "Baiklah. Begini Potter. Chang dan aku kemarin telah bersepakat."

"Bersepakat apa?" Tanya Harry.

"Aku belum selesai." Bentak Daphne. "Kami bersepakat untuk menanyakan padamu tentang...tentang..."

Cho yang menyelesaikannya, "...tentang perasaanmu kepada kami." Setelah mengatakan ini Cho dan Daphne langsung menunduk malu.

"Huh?" Inilah saat-saat yang paling ingin dihindari Harry setiap kali dia bertemu mereka.Harry belum tahu siapa yang paling dia suka.

"A-aku..." Keadaan sunyi senyap selama beberapa menit dan bagi Harry rasanya berjam-jam. Harry hanya memandangi mereka berdua. Betapa cantiknya mereka di bawah cahaya terang ruangan ini.

"Well? Apa jawabanmu, Potter?" Daphne menuntut.

"A-aku...aku tidak tahu. Kenapa kalian menanyakan hal itu?" Kali ini giliran Harry yang menunduk malu.

"Kau seperti tidak tahu saja. Sudah lama kau membuat kami berdua bingung. Siapa sebenarnya yang kau suka?" Daphne bicara lagi. Dengan keberanian seperti ini, mungkin Daphne sebaiknya berada di Gryffindor.

"Aku tak tahu." Belum pernah Harry semalu ini dalam 16 tahun hidupnya.

Keadaan sunyi lagi sampai akhirnya Cho berbicara.

"Tak apa-apa, Harry. Kami punya rencana cadangan." Ujarnya.

"Apa itu?" Harry memandang mereka lagi.

Cho mulai menjelaskan. "Akhir pekan ini. Hari sabtu setelah pertandingan Quidditch-mu, kau akan ... berkencan dengan Daphne. Dan besoknya giliranku. Setelah itu, kami beri kau waktu satu minggu untuk menetapkan pikiranmu. Kau harus memilih salah satu dari kami."

Harry terkejut ketika mendengar perkataan Cho. "Kau serius? Tapi minggu ini tidak ada kunjungan ke Hogsmeade, well...memang sih tidak akan ada kunjungan Hogsmeade lagi setelah insiden itu."

"Kurasa itu hanya halangan kecil saja bagimu, Potter." Daphne berkata.

"Baiklah, kurasa itu sudah cukup. Kami akan meninggalakanmu sekarang." Cho berkata sambil berdiri. Kedua gadis di hadapan Harry siap-siap untuk pergi.

"Tunggu dulu. Apakah tidak ada cara lain? Aku tidak bisa punya pendapat dalam hal ini?" Protes Harry.

"Tidak ada, Potter." Ucap Daphne.


"Kau harus memilih salah satu dari kami, titik." Kini Cho yang berkata dengan tegas.

Perasaan Harry campur aduk. Bagaimana bisa dia memilih salah satu dari mereka berdua? Cho dan Daphne masing-masing bisa memberi Harry sesuatu hal yang berbeda. Dan mereka tampaknya benar-benar sayang kepada Harry. Kalau dia memilih satu satu dari mereka, maka yang lainnya akan benar-benar sakit hati. Bagaimana ini?

"Biar kuperjelas, kau dapat kesempatan berkencan dengan dua gadis tercantik di Hogwarts selama dua hari berturut-turut?" Ucap Ron dengan iri. Kini mereka berdua sedang menuju lapangan Quidditch untuk latihan bersama dengan tim mereka.

"Iya, benar. Ini benar-benar mimpi buruk. Bagaimana mungkin aku bisa memilih salah satu dari mereka?" Harry berkata dengan frustasi.

Ron mendengus. "Harry, itu sama saja dengan apabila kau mengeluhkan kantong uangmu terlalu kecil untuk uang sickels, dan sepatu berlianmu terlalu sempit. Kau punya apa yang diinginkan oleh setiap cowok dan kau bisanya cuma mengeluh?"

"Kau tidak mengerti, Ron. Aku benar-benar suka mereka berdua. Aku tidak tahu harus memilih siapa?"

"Well, karena itu kau diberi kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan mereka berdua, kan? Nanti juga kau tahu harus memilih siapa."

"Aku meragukannya." Ucap Harry.

"Sudahlah, kita sudah sampai. Tampaknya kita terlalu cepat seperti biasanya."

Lapangan Quidditch masih sepi kecuali oleh mereka berdua.

"Bagaimana menurutmu peluang kita besok, Ron?" Tanya Harry tentang pertandingan.

"Kita pasti menang. Kita harus menang. Kau pastikan saja jangan terlalu cepat menangkap snitchnya supaya kita bisa memperoleh angka sebesar mungkin." Ujar Ron.

"Hei, memangnya siapa kaptennya?"

"Maaf, Kapten. Kusarankan kepada anda untuk menunda menangkap snitch selama mungkin." Ron memberi hormat kepada Harry.

"Ha-ha, kau benar, anak buahku."

"Coba saja kau tidak membelikan para Hufflepuff itu Firebolt juga. Kemenangan telak kita sudah bisa dipastikan." Keluh Ron. Harry memang telah memberitahunya mengenai siapa sebenarnya yang telah mengirim Firebolt ke tiga asrama Hogwarts. Waktu itu suasananya cukup heboh. Dan Hermione dengan kepintarannya terus mendesak Harry untuk mengakui perbuatannya sehingga Harry mengaku kepada Ron dan Hermione.

Lima belas menit kemudian, semua tim telah berkumpul.

"Baiklah, ini latihan terakhir kita sebelum pertandingan resmi pertama kita tahun ini. Kali ini kita tidak akan berlatih terlalu keras untuk menjaga kondisi badan kita. Sempurnakan saja beberapa trik andalan kita. Ayo kita mulai."


Author's notes : Short chapter, I know. But There's nothing I can do. Next chappie title : Gryffindor vs Hufflepuff.