: : :
Satu hal bisa ku simpulkan bahwa cemburu tapi bukan siapa-siapa mengenaskan sekali rasanya.
Setelah bersimpati atas kematian orang tua Sasuke, malam itu juga aku auto cabut ke Tokyo dengan mobil senpai ku yang perhitungan.
Terhitung sampai saat ini, aku belum bisa menemukan antivirus dari rasa sakit hatiku selain mengasingkan diri dari dua makhluk; Sasuke dan Hinata.
Sialnya, Ino dan Sai memperparah luka yang kronik ini. Mereka mengunjungi ku dan menggelar sesi tanya jawab dengan teman sekosanku Chouji yang haus tentang Sasuke, idolanya.
Tidak sampai situ, bahkan siangnya sentimen meter ku mencapai angka maksimal.
"Aku tidak tau kalau dia akan menyusul kita kemari"
Aku cuman mau bersantap dengan tenang sambil melepas penat, bukan membuat darah tinggiku kumat!
Sasuke yang tidak diundang duduk di depanku dengan pesanannya; 3 burger jumbo, 3 ayam goreng, reguler french fries, dan large size cola.
Laki-laki ini terbiasa makan porsi dobel untuk mengimbangi latihannya yang berat. Biar pun seorang atlit yang dituntut tetap bugar, nyatanya Sasuke bukan picky eater atau berkiblat pada menu sehat.
Sesederhana selera makannya, penampilan laki-laki ini pun tergolong biasa. Bermodal kaos polo, celana jeans dan sneakers tapi itu mampu mengundang para pelanggan untuk segera mengabadikannya lewat ponsel.
Bak tupai makan biji ek, Sasuke buru-buru menyumpal makanannya seperti sedang diospek.
"Kenapa makanmu sedikit?"
Dia meneliti pesanan ku yang berupa es krim dan french fries.
"Di Konoha belum ada yang seperti ini"
Tangannya tanpa ragu menyerahkan satu burger jumbo miliknya.
"Kau mau cola juga?"
"Berhenti mencemaskan orang lain"
Warna pigmen Ino dan Sai seketika mirip cat tembok.Tapi tak berlangsung lama, Ino otomatis mengembalikan arah pembicaraan.
"Yare yare, Shikamaru ada benarnya. Kau terlalu mengurusi orang lain. Lihatlah dirimu" Ino memberi nasihat pada Sasuke.
Sementara Sai cekatan membersihkan baju Sasuke yang bernoda, tidak ketinggalan mulut yang berlumur saus itu.
"... Kau tau ini lacoste dan untungnya bukan warna putih".
: : :
"Kalian agak aneh hari ini"
Begitu tuturan pertama Sasuke setelah kami berkompetisi 'diam' dalam mobil.
Untuk juara teraneh hanya aku pemenangnya. Aku yang paling tidak stabil di antara mereka bahkan setelah kami makan siang dan melihat kandidat apartemen untuk Sai.
Akhirnya Sai yang pintar bacot itu bisa kuliah juga, meski melewati belasan tes masuk perguruan tinggi.
Dan sekarang akan lebih baik menggunakan transportasi umum, walaupun diantar pulang oleh atlet nasional adalah impian fans fanatik Sasuke.
Akibat tidak ada bahan obrolan, aku cuman mendengarkan Sasuke berbicara tentang bisbol, bisbol dan bisbol. Bersyukur dia tidak membahas mood ku yang jungkir balik tadi.
Dia kelihatan bersemangat. Berbanding terbalik dengan dua minggu yang lalu. Sudah pasti karena karir nya, dia harus bersikap profesional dan bangkit kembali sehabis dirundung duka.
"Sasuke, apa kau tidak kepikiran untuk ubah gaya rambut? Paling tidak potong pendek, kurasa cocok"
Sebenarnya aku gatal mau meledek rambut konyolnya yang mirip pantat ayam dan sedikit mengkhawatirkan bahunya yang dibalut kinesio tape. Ingat, hanya sedikit.
"Kau pernah lihat rambutku pendek?"
Aku menggeleng.
"Itu karena rambutku cepat tumbuh, boku wa hentai da/ aku mesum"
Aku terkejut mendapati sosok Sasuke se frontal ini. Curiga, Sai dan Ino telah meracuni otak sucinya.
"Mereka memang berjodoh. Mendengkur saja ada harmonisasi nya," Sasuke asal ceplos mengomentari dua sejoli yang tampak damai dalam mimpi di jok tengah.
: : :
Kami bukan tipe orang yang betah di tengah keramaian. Aku dan Sai sepakat melipir ke tempat yang lebih sepi sambil menunggu duo cewek selesai berkeliling stand yang ada di Festival Hanabi.
"Jangan bilang koleksi berdosa mu itu punya Sasuke?"
Sebuah fakta tak terduga terungkap. Kukira Sasuke yang dikenal tidak tersentuh dan fokus pada bisbol adalah laki-laki yang alim. Bah, ternyata ero-sensei.
"Tempat teraman cuman ada di kamarku, Sasuke mengevakuasi barang kesayangannya sebelum kena sidak orang tuanya pas SMA. Dia bahkan punya seri berlangganan lho, kacau sekali anak itu..."
"...Sasuke itu tukang ngibul. Buktinya kau tertipu oleh kepolosannya"
Aku tidak habis pikir, "Otaknya harus disapu tuh! Ngeres!"
Sai mendengus maklum.
"Ya, dia pandai sekali mengelabui orang termasuk perasaannya—oh, itu mereka. Gila! sudah dua jam"
Hah? Apa maksudnya itu?
Mereka berdua kembali dengan tangan kosong. Aku heran cewek-cewek kok bisa tahan untuk sekedar melihat tanpa membeli. Tadinya aku berharap ada yang membawa takoyaki, atau dango.
"Shikamaru, Hinata sepertinya ingin menyampaikan sesuatu padamu"
Ino mengapit lengan Sai dan mendesak Hinata untuk berdampingan denganku. Situasi macam apa ini?
Gadis yang disebut Ino berjalan ke arahku.
"Apa itu?"
"Duh, peka sedikit dong! Hinata, seret cowok bebal itu kemana pun kau mau!"
Mataku berkedut menanggapi gerakan bibir Ino dan ekspresi mengancamnya.
'Jangan mengacau'
: : :
Aku adalah laki-laki penyendiri, bukan berarti ansos. Aku lebih menyukai punya teman sedikit tapi saling rispek. Banyak tapi brengsek tak ada gunanya.
Entah kenapa aku masih beranggapan temanku hanyalah Sai, Ino dan Sasuke. Hinata? Aku belum tahu status apa yang cocok untuknya.
Tapi hubungan kami bisa dibilang dekat sebagai teman. Aku, Hinata, tidak ada ikatan dan itu menyebalkan.
Logika ku masih jalan untuk memahami bahwa seharusnya aku tidak berhak cemburu. Hinata bukan milik siapa pun bahkan sekelas Sasuke. Tapi, aku sebal jika diingatkan kalau perempuan itu pernah mendambanya.
"Hinata, ada yang mau kau bicarakan?"
Malam ini Hinata memimpin jalan. Kakinya terayun santai. Dia belum menjawab dan mengakhiri langkahnya di pohon besar. Hinata menyandarkan tubuhnya menghadapku yang berjarak sekian meter.
Aku tidak menyangkal jika Hinata cantik mampus dengan yukata bermotif kembang kecil. Apalagi surainya diselipkan ke belakang telinga, menampilkan fitur wajahnya secara sempurna.
Tch, mendoukusai! Cobaan lelaki.
"U-um ya, Ino-chan bilang aku harus cepat menanyakannya kepadamu. Tapi a-aku tidak yakin—
"Apa itu?"
"Ino-chan memberitahuku ada s-seorang yang memperhatikanku sejak SMA dan sepertinya Ino ingin aku melihatnya juga—"
"Itu keinginan mu atau Ino?", "E-eh apa?"
"Kamu bicara hal ini atas kemauan mu?"
"Tentu saja! Aku sudah memikirkan ini sebelumnya. Tapi... S-shikamaru-kun terus menghindariku, aku tidak tau harus berbuat apa"
Barangkali gadis ini terbentur sesuatu sampai otaknya eror dan berbicara omong kos—
"Apa Shikamaru-kun... Masih menyukaiku?"
Apa ini? Ah, ilusi belaka.
Seorang Hinata memberi pertanyaan pamungkas seperti itu? Khayalan ku tinggi juga. Palingan aku tersesat di alam gaib karena buang air kecil sembarangan tadi.
"Kalau pun benar, tidak akan merubah apapun kan"
Tidak. Ino pasti di balik semuanya. Hebat juga rencananya sampai aku tidak bisa membedakan yang mana detak jantung atau kembang api. Bunyinya nyaris mirip. Menggelegar.
"...Hinata, perasaanku jauh lebih luas dari yang kau kira. Selama itu aku sadar jauh lebih penting untuk memahami dirimu dan membuatmu tersenyum"
"A-aku... Aku tidak mengerti. Yang aku tahu orang itu kamu, Shikamaru-kun. Aku tahu sejak awal, tapi waktu itu aku belum bisa menghargai perasaan seseorang dengan benar. Makanya, aku banyak melakukan hal bodoh..."
Lihatlah bahkan 'Hinata palsu' ini berani untuk meremas ujung jaket denim ku. Aksinya terlalu menantang untuk potongan gadis pemalu sepertinya.
"... Bahkan pertanyaanku ini terkesan dungu. Ino sampai harus turun tangan untuk mengomeliku. Setelah menyadarinya, a-aku malah membuatnya makin runyam"
Demi Dewa. Sungguh tidak perlu menyiksaku seperti ini.
Aku sudah mengubur persepsi buruk tentang Sasuke pada Hinata. Laki-laki itu orang yang bijaksana, dia punya masa depan dan sebentar lagi memulai lembaran baru dengan gadis pilihannya.
Ampuni aku.
"... Jika Shikamaru-kun ingin tahu, a-aku dan Sasuke—
"Hinata, kamu bikin bingung orang tau gak? Situasi ini di luar ekspetasi ku dan itu membuatku...
Tidak siap.
"...bingung"
Ini tidak mudah.
"... Jika kamu belum berdamai dengan hatimu, tolong jangan bawa aku masuk. Aku tidak mau perasaan ini menguasaiku dan membuat semua hancur. Itu akan sulit dibangun lagi, kau tau apa yang kumaksud kan?"
Semoga aku tidak dikutuk karena berlaku bodoh kepada manusia setengah Dewi ini.
: : :
Akulah manusia tidak tahu diuntung itu. Andai waktu bisa terulang kembali. Festival Hanabi serta sautan kembang api akan menjadi saksi ciuman pertama kami.
Aku dan Hinata.
"Dasar bodoh. Kau tidak mengatakan yang macam-macam kepadanya kan?"
Katanya hal merepotkan berawalan C itu bisa mengubah cara kerja otak. Lebih valid kalau dibilang bersifat desktruktif, buktinya segalanya rusak dalam semalam.
"Aku hanya memperjelas semuanya, Ino," koreksi ku.
"Tapi kau malah menyakitinya. Padahal gak begitu susah loh untuk jujur pada dirimu sendiri. Kau jangan sok sudah move on!"
Di tengah-tengah ladang kubis aku habis dihakimi oleh Ino.
Apakah ini tanda gawat darurat?
Berani jamin. Hinata telah mengenyahkanku dari pikirannya jauh-jauh. Dia pasti membenciku. Kupikir itu opsi yang bagus.
"Shikamaru, saat aku bilang Hinata membalikkan badan. Berarti kau orangnya"
"Ino, kau tidak membantu sama sekali"
"Nah, nah Shikamaru. Apa kau serius dengan ucapanmu? Tidak membantu? Yang benar saja! Lagipula omonganmu ngawur. Kenapa sekarang tidak ke rumahnya dan perbaiki apa yang kau rusak?"
Ino belum berhenti sebelum aku jera. Sebelum aku menyudahi pekerjaanku memanen kubis.
Cewek ini...
"Sekarang aku tanya, apa kau masih mencintai Hinata?"
Ah, sialan!
: : :
Mengutip film V for Vendeta "Tidak ada kepastian, yang ada hanya kesempatan". Jadi untuk kesekian kalinya aku mengejar Hinata.
Sebenarnya kami akan berjumpa lagi selama Desa Konoha tidak digusur, tapi semuanya akan asing jika aku tak bergerak cepat.
Bayangan ibuku dengan sapu saktinya makin jelas kalau tahu aku kabur dari jaga minimarket.
Apa boleh buat. Ucapan Ino paling ampuh mengontrolku jika nama Hinata di dalamnya.
Lagipula aku agak rindu dengan sapaan maut ibuku.
"Kamu gak mengantar Hinata ke stasiun? Dia ingin balik ke Tokyo tuh"
Kayak deja vu. Aku melakukan hal yang persis ketika mencari Hinata di sekolah untuk 'menembak' nya.
Betisku mulai kebas sehabis mengayuh sepeda lalu menyusuri stasiun demi menemukan setidaknya salah satu dari mereka.
Tidak satu pun sosok Ino atau Sai yang melintas di mataku kecuali namaku yang tiba-tiba diserukan.
Penyesalan itu muncul.
Aku sudah keterlaluan sempat menganggap remeh keberaniannya di Festival Hanabi dan aku tidak protes kalau pun Hinata mencap ku sebagai pemuda yang labil.
Gadis pujaanku itu mendekat lengkap dengan tas jinjingnya. Ekspresinya bukan sebuah bentuk kebencian. Tidak untukku atau siapa pun.
"Ino bilang kamu masih sibuk di ladang, jadi..."
Kadang punya kejeniusan di atas rata-rata bukanlah sebuah kebanggaan. Justru aku lemah dalam hal non-sistematis layaknya perasaan.
Mungkin aku terlalu banyak pertimbangan.
"Hinata, tolong dengarkan aku"
Bulir keringatku berguguran menambah kerjaan seorang janitor. Bahkan di saat penting sekarang penampilanku urakan. Aku baru sadar memakai kaos terbalik.
Tak kusangka perasaan kecil dari sekotak susu stroberi berubah jadi sebesar ini.
Dan aku tidak akan melawannya lagi.
"Aku benar-benar minta maaf atas kesalahanku. Aku menyesal tidak meresponmu dengan baik dan berkata tolol—"
"Ah, soal itu... T-tidak usah dipikirkan lagi Shi—"
Tanganku meluncur ke bahunya yang kecil. Mencengkramnya, takut-takut Hinata cuman mimpi siang bolongku. Reaksinya berbaur kaget campur malu karena 'opera sabun' ini berlangsung di depan umum.
"Aku panik begitu kau tau isi hatiku! Dan menyedihkan nya lagi aku ke sini tanpa persiapan apa pun!," tukasku bersamaan dengan suhu tubuh yang naik berkumpul di wajahku.
"Shikamaru-kun..." Hinata menawanku dengan tatapan teduhnya. Begitu lembut seakan diriku lumer dibuatnya.
Seolah dia memahami seluruh isi kepalaku. Tapi, sayangnya aku tidak boleh kalah. Simpan saja pesonamu nanti di foto wisuda kita berdua!
Maaf, aku akan egois tanpa persetujuanmu Hinata! Seperti kata Ino "jangan mengacau".
"Maaf membuatmu ragu dengan sikapku yang tak becus waktu itu. Kali ini aku janji akan mengatakannya dengan benar. Kalau begitu...ayo"
Jantungku menggedor tanpa henti, bila saja aku tewas mendadak detik ini juga, aku bersyukur wajah Hinata lah memori terakhir ku.
"N-nani?"
"Ayo, jadian denganku!"
: : :
False memories
- Bersambung -
: : :
