: : :
Ada yang bilang bahwa teman jadi cinta adalah sekian dari malapetaka.
'Hubungan' yang berawal dari pertemanan memiliki resiko tinggi. Kalau ketemu apesnya, kau akan kehilangan pacar sekaligus teman.
Contohnya Ino dan Sai. Mereka terlalu akrab sehingga gadis Yamanaka itu berpikir dua kali untuk membalas perasaan Sai.
Alasannya klasik. Canggung dan takut terancam kandas. Kosekuensi itu yang membuatku bimbang.
Sayangnya, aku mengikuti jejak mereka juga.
Kami pacaran sudah jalan 2 tahun. Iya, aku dan Hinata. Kalian bisa bayangkan betapa hebatnya itu!?
Berarti Ino sukses? Lipstik canmake adalah jawabannya.
Banyak yang sudah kami lewati dan memutuskan setahun ini tinggal seatap. Soal paman Hiashi dia mempercayakan diriku untuk menjaga anak sulungnya.
Itu bukanlah tugas sulit. Yang paling sulit adalah ketika kau sadar akan menghabiskan 24/7 bersama cewek yang kau cintai. Kurasa Kami-sama memberikanku cobaan sekaligus berkah.
Aku si laki-laki beruntung itu. Aku sempat kasihan karena Hinata terikat dengan manusia monoton sepertiku. Mungkin di kehidupan sebelumnya aku banyak berjasa. Pendekar atau ninja?
Belum lagi aku yang terkenal demotivasi dan pemalas masih numpang hidup di tempat pacarnya. Walau sebatas pekerja lepas aku mati-matian menghasilkan 3 kali lipat daripada Hinata.
Aku masih menjunjung tinggi yang namanya harga diri lelaki. Hinata pun tidak segan untuk meminta ini-itu menyangkut kebutuhan pokok. Sebenarnya jika dia mau dengan sukarela aku menjadi atm berjalan yang memodalinya skincare.
Selama berpacaran aku merasa tingkat kualitas hidupku naik 1000%. Bukan hanya sejahtera secara sandang, afeksi, pangan pun tidak perlu ditanya lagi. Aku seolah punya chef pribadi bintang 5!
Hinata adalah vitaminku. Aku merasa lebih sehat daripada atlit dan vegetarian lainnya. Aku yakin bisa push up 1000 kali, marathon 30 kilometer, mendaki gunung fuji bolak-balik.
Ia adalah dopaminku.
: : :
Jika aku diberi 1000 bidadari, aku akan pilih satu di antaranya. Tidak muluk-muluk cukup Hinata Hyuuga.
Aku mencintainya tanpa kurang. Setiap waktu yang kami jalani perasaan itu kian berlipat ganda.
Aku tak pernah bosan melihatnya berkeliaran di depan mataku.
Di dapur, di ruang tengah, kamar mandi, di ranjang.
Dan meskipun bukan perjaka, tetap saja urusan ranjang itu sungguh mendebarkan. Kira-kira saat semester perdana kuliah adalah pertama kali aku melakukannya.
Rasanya sangat membanggakan walaupun konsep virginitas itu goblok. Masa muda yang menggebu sangat merepotkan!
Di Jepang sendiri kebutuhan biologis sedang populer tanpa ada lawan main. Itulah mengapa ada tisu di dekat pc teman-temanku.
Untuk masalah diriku, aku tinggal berbagi dengan Hinata.
Kami sudah aktif secara seksual. Walaupun di awal-awal aku dan Hinata bertentangan. Itu adalah akibat pornografi yang merusakku.
Fantasiku tentang hubungan badan cuman sebatas jav yang 'berlendir', kasar dan kental akan misoginis. Aku merasa buruk karena pernah mencekik Hinata di tengah pergumulan kami yang kukira dia akan menyukainya. Nyatanya tindakanku tidak lebih dari kekerasan seksual.
Tapi belakangan aku tidak bisa mengontrol diri dan memonopoli dirinya. Bisa dibilang aku yang mengambil keuntungan atas sifat kooperatif Hinata. Dia selalu mengutamakan diriku.
Karena aku orang yang kreatif dan penasaran, kami pun sering improvisasi berbagai gaya, kecuali gaya batu dan kupu-kupu.
Kadang kala aku menyakinkan Hinata tidak ada kontrasepsi di antara kami.
Aku menemukan sesuatu yang adiktif setelah lepas dari rokok. Aku haus oleh kasih sayang Hinata, buatku tiap hari bersama rasanya tidak cukup.
Hinata mengurusku dengan baik. Aku seperti memiliki ibu kedua. Apakah artinya aku mengkhianati ibu kandungku?
Aku jamin Hinata menjadi istri idaman di masa depan. Dilihat dari caranya tekun di dapur, menyambutku dan menyuguhkan hidangan enak plus berprotein tinggi. Menjerat diriku dengan tingkah menggemaskannya.
Rasanya kurang pantas menikmati momen indah itu secara gratis.
Atau aku yang hobi bermanja padanya minta perhatian. Shikamaru Nara yang bebas dari karakter terkontrol dan acuh tak acuh bisa sepuasnya menggesek ujung hidung ke tengkuk atau ceruk leher Hinata nya. Menciumnya sebagai bahasa cinta. Di saat yang paling jahil menggoda kekasihnya cuman mau menyaksikan bagaimana pipi itu berubah warna, mawar yang merekah.
Seperti ini
"Apa masih lama matangnya? Kurasa aku akan mengambilmu sebagai menu pembuka"
Atau ini
"Ah, kupikir itu ide yang buruk. Kau terlalu manis, dan aku nanti diabetes"
Aku pikir tak ada lagi yang ku inginkan di dunia ini.
: : :
Sepanjang hubungan kami berlangsung, aku sudah hapal bagaimana setiap inchi milik Hinata dan kebiasaannya.
Aku tahu di mana letak tiap tahi lalatnya atau pola makannya yang agak mengerikan.
Aku tidak memusingkan soal perubahan berat badannya yang drastis. Tapi balet telah membuat pacarku gila soal porsi makan. Dia akan memotong setiap kalori yang disantapnya dan menyulapnya jadi kepingan mikrospik. Bahkan jatah makan gembel lebih banyak darinya.
Aku sampai heran, apa ini yang dilalui semua penari balet di luar sana?
Meski begitu Hinata sudah di tahap ekstrim. Dia sempat mengidap bulimia beberapa bulan lalu sebelum akhirnya rehab.
Kalau ada yang harus disalahkan adalah tur Rusia sialan itu.
Dari segi mental Hinata tidak stabil apalagi fisiknya. Hal itu pula membuatku kesusahan saat menjamahnya. Nyeri di area tubuh Hinata membuatnya sensitif.
Aku lumayan protektif mengenai kondisi Hinata. Cedera dan tanda kebiruan yang bukan hanya hasil karyaku tak pernah luput dari perhatian.
Sekalinya ku sampaikan kepedulianku, Hinata malah menganggap aku menghambat cita-citanya. Dia cukup vokal berkaitan dengan ambisinya.
Malam selalu dihabiskan dengan tubuhku yang membentenginya dari hawa musim dingin. Hinata yang memberikan punggungnya yang sudah termasuk garigari (ceking) padaku. Mengutarakan ketakutanku melalui bisikkan.
"Seandainya transfer bukan cuma uang, aku ingin semua lukamu pindah ke tubuhku"
Menyuarakan keputuasanku memahami dirinya yang bersikap seolah semuanya normal.
"Tolong jangan sakit. Aku membutuhkanmu..."
: : :
Memilikinya seperti mengundang hal baik. Aku dapat mengisi kekosongan IT service di sebuah perusahaan, kami bisa pindah ke apartemen 3 LDK, dan Hinata bersiap pentas di Rusia.
Ibuku pernah bilang Hinata adalah jimat manusia. Orang tuaku sangat menyayanginya layaknya anak sendiri. Kadang mengirim semangka hasil kebun atau sekotak cinnamon roll kreasi sendiri kesukaan Hinata.
Khusus ibu suri Yoshino, dia memberi ultimatum jika berani menyakiti Hinata, buaya muara yang kelaparan menungguku.
Aku selalu diingatkan ibu untuk meringankan pekerjaan rumah si putri Hyuuga entah itu mencuci piring, menggosok baju atau membuat sarapan.
Lain hal dengan Hinata, dia tidak menginzinkanku menyentuh perabotan. Dia pikir laki-laki kurang cocok dengan bersih-bersih.
Jadi biasanya aku akan menyisakan waktu di depan tv dan menelantarkan hp ku yang penuh notifikasi ditemani cemilan, sekaleng asahi, serta sosok familiar yang menghiasi layar kaca.
Keparat.
Sasuke tidak hanya ganteng tapi atraktif. Dia bukan tipikal ikemen yang muncul di manga shoujo, melainkan si side character shounen kuat dengan bejibun penggemar.
Tampangnya rupawan kayak aktor film gangster Hongkong. Rahangnya terpahat sempurna seolah tanganmu bisa tergores jika meluncur di atasnya. Tatapan teduhnya membuat sebal para cowok yang punya pacar.
Jujur aku agak sombong karena jadi temannya tapi acara tv sekarang kekurangan berita.
Jika nama Sasuke terucap tentunya wajib membahas Hinata juga. Dua orang itu adalah sebuah alasan mengapa terkadang Tuhan tidak adil.
Di Konoha memang banyak populasi perempuan cantiknya, tapi hanya Hinata yang mampu menghipnotismu dengan pesonanya.
Hinata notabene pacarku mewarisi kecantikan alami mendiang ibunya. Tidak hanya itu, dia berbakat dan personalitinya baik. Semua tampak pas seolah Tuhan menciptakannya sambil tersenyum.
Seandainya Hinata diciptakan juga sebagai pribadi yang penurut alangkah bagusnya itu.
Aku sempat cemburu dan merasa diduakan oleh jadwal latihan intensifnya. Tidak pagi, tidak siang atau malam, kalau panggilan 'negara' itu datang Hinata langsung melesat secepat shinkansen.
Tidak terbayang berjam-jam harus mensinkronisasi tarian dengan melodi. Aku sudah cukup stres kala Hinata menyesuaikan sepatu pointe nya berkala hingga broke-able.
Dia menganggap sepele segala efek samping yang dialami. Padahal sudah 2 kali masuk UGD dalam sebulan karena memforsir diri untuk persiapan pentas.
"Mau 10 menit pun, kesehatanmu terlalu berharga!"
Aku tidak tahan untuk melihatnya menderita sekali lagi.
"Aku memang pemalas tapi untuk sekarang kau adalah prioritasku. Jadi bisakah kau tidak membantahku?"
Tapi dasarnya ada jenis wanita yang maunya hanya dimengerti tapi tak mau mengerti laki-laki.
"Shikamaru-kun, a-aku baik-baik saja..."
Tak ada aura baik-baik saja' di riasannya yang tebal.
"Ucapanmu itu membosankan. Apa tidak ada alternatif lain untuk tidak membuatku mati khawatir?"
Tak ada yang bisa menghentikannya bahkan -10 derajat sekalipun.
: : :
Kalau bertanya bagaimana caranya mengukir masa depan, jangan tunjuk aku. Impianku hanya berbentuk awan lepas.
Namun semenjak ada Hinata impianku bertambah satu. Ada di sampingnya selamanya.
Aku hanyalah laki-laki mujur, tidak keren, bertampang rata-rata, tidak punya keunikan dengan satu digit saldo. Aku sekadar pria yang memamerkan pacarnya di berbagai kesempatan.
Bahkan di saat seperti ini aku tak berguna. Aku gagal melindungi Hinata dari tangan predator yang memanfaatkan kelemahannya.
Seharusnya akulah orang yang peka terhadap sinyal permintaan tolongnya. Seharusnya aku yang siap sedia memastikan agar dia aman dari pergi sampai pulang.
Dugaan itu keluar dari salah satu teman balerinanya. Hinata dalam masalah serius dan orang-orang tutup mata soal itu. Aku tidak tahu apa saja yang si laknat itu lakukan meskipun berdalih 'mempermulus' peran utama Hinata. Para kandidatnya dulu pun mendapat pengalaman buruk yang sama.
Semasa hidup aku tidak pernah berhasrat ingin menguliti orang.
Namun, kami tidak punya bukti kuat untuk menjebloskan instruktur cabul itu ke penjara. Mereka hanya akan dimanipulasi dengan video pelecehan yang sengaja direkam untuk menyudutkan korbannya.
Hinata ku yang malang melewati itu sendirian. Pasti dia merasa sangat kotor dan aku hanya memperkeruh semuanya.
Aku disibukkan bagaimana cara untuk menuntaskan dendamku. Aku lupa soal menyembuhkan Hinata dan membantunya bangkit.
Tuhan pun sepertinya belum puas menjatuhkan kami.
Dan seketika hari itu tiba.
Hal yang tidak pernah terbesit di benakku, menunggu Hinata melakukan tes kehamilan.
Berulang kali aku menenangkannya kalau absen menstruasi 2 bulan itu mungkin wajar pada wanita. Lagipula kami sudah 'rehat' atau Hinata paranoid jika orang itu bisa saja menyentuhnya dalam keadaan tidak sadar.
"Kamu tidak perlu melakukannya dan menambah kecemasanmu. Kau berhak hidup damai, Hinata"
Hinata penuh keteguhan di tubuhnya yang gemetar tegang. Dia memintaku menunggunya di luar toilet. Jarak kami hanya setebal pintu.
Entah mengapa, aku berharap pintu itu milik Doraemon yang membawa Hinata kemana saja tanpa perlu kembali padaku.
: : :
False Memories
- Bersambung -
: : :
