: : :

"Mau tembak di dalam atau di luar, harga kontrasepsi jauh lebih terjangkau daripada biaya anak sampai kuliah dan beban moral lainnya"

Itulah petuah Chouji disela-sela keripik kentangnya. Paling tidak dialah orang terwaras di antara teman-temanku yang menyarankan klinik aborsi legal terdekat.

Meski Jepang bukanlah satu-satunya yang terbuka soal kehamilan di luar nikah, tapi itu bukanlah hal lumrah. Aborsi? Terdengar mengerikan.

"Kita kan belum tahu apa dia benaran hamil anakku!"

Kalimat itulah yang membawaku pada tamparan Hanabi setelah 3 bulan lenyap dari hadapan Hinata. Dengan sentuhan dahsyatnya bermacam emosi milik sang kakak terwakilkan.

Hubunganku dengan Hinata penuh konflik setelah mengetahui hasil tesnya. Mengasingkan diri adalah jalan pintasku.

Aku dan Hinata telah berpisah lumayan lama. Jujur aku merasa bersalah dan bingung. Aku takut dia menyerah pada diriku, aku takut dia membenciku, aku takut kehilangannya. Tapi, justru aku yang meninggalkannya.

Aku tidak akan menyangkal dikatai banci dengan segala perbuatanku yang tidak jantan. Aku tidak lebih dari cowok berengsek yang mengharap drama romantis dan seks paling nikmat dengan cewek modelan Hinata.

Tak pernah terlintas sebelumnya aku akan melakukan hal rendahan seperti itu. Kalau bukan nurani dan pikiran sehat, tidak bakal ada niatan balik ke Konoha dan mengantar nyawa ke sana.

Namun, nyatanya aku tidak mendapatkan ganjaran apapun sampai di sana.

"Tidak, kau tidak bisa memutuskan itu. Menikah bukan satu-satunya solusi"

Ini bukan soal bagaimana pentingnya pekerjaanku di Tokyo, tetapi mengikat kami dalam hubungan sakral adalah praktis sekaligus menyelamatkan Hinata dari stigma buruk masyarakat.

Aku tidak bisa menunda bentuk pertanggung jawabanku, tapi entah kenapa ibu bersi keras menentang. Bukankah bagus jika Hinata menjadi menantu kesayangannya?

"Aku bilang begini karena aku juga wanita. Aku paham bagaimana perasaan Hinata. Menghadapi situasi ini memanglah sulit tapi jangan membuat dirinya hidup tanpa pilihan"

Ibuku jarang bicara santai. Teriak dan mengancam baginya adalah kasih sayang atau cara mendisiplinkan dua pemalas di rumah.

Tapi ketika intonasi rendah dan serius itu keluar dari mulut ibu, justru kau harus waspada.

"...kau juga punya pilihan Shikamaru dan aku yakin kau akan melakukan hal yang baik. Semoga"

Yang kutahu itu adalah kesempatan terakhirku bernafas di bumi.

: : :

"Maaf. Tapi yang aku lihat pernikahan ini hanya didasari asal tanggung jawab saja. Aku tidak mau melihat putriku tersakiti lebih jauh lagi. Kau harus berpikir panjang, Nak"

Jika berharap ada adegan baku hantam antara keluargaku dan Hyuuga, simpan itu baik-baik di kepala kalian.

Wajar bila dia mengutuk, memukuli atau mengarakku keliling desa tanpa busana, tetapi Hiashi bukanlah pria yang hilang akal. Dia tetap menjaga nama baiknya meski martabatnya telah tercoreng.

Alih-alih murka, ayah Hinata tetap berkepala dingin meladeni sosok yang menghamili anaknya. Tapi satu yang paling kelihatan; garis wajah yang keras ditunjukkannya kepada kami. Menandakan ketegasan, tanpa kompromi di balik ucapannya yang merespon pinanganku.

Jelas sikapnya membuatku makin hina. Siapa sangka aku menyalahgunakan kepercayaannya dalam melindungi Hinata.

Masa depan putri sulungnya hancur dan dia sebagai ayah mesti menanggung malu. Impian pentas di Rusia batal begitu saja, karir baletnya sirna. Belum lagi pelecehan yang sempat menimpa Hinata yang tidak kuketahui bagaimana kelanjutannya.

Dan naasnya ada fakta bahwa aku termasuk bagian dari bencana itu.

Aku telah melempar kotoran ke wajah orang tuaku sendiri. Sebagai anak tunggal yang tak banyak tingkah hal ini tentu mengejutkan mereka. Tindakan menyimpang tak pernah tersemat di keluarga Nara sebelumnya.

"Akan lebih baik jika dia menghajarmu atau menyumpahi kita daripada harus sok bijak seperti itu," ayahku merasa tak adil karena niat baik kami dimentahkan begitu saja.

Ayahku tidak menerima keputusan sepihak yang terlontar dari Hiashi untuk merawat Hinata dan membesarkan calon cucunya mandiri. Tindakan yang diambil dinilai mengecilkan upaya damai kami.

Hiashi yang terdidik itu jelas ingin memisahkanku dari putrinya. Dia tak mau berurusan lagi dengan keluargaku. Mungkin baginya kami adalah noda membandel.

Tapi apa boleh buat, aku berada di posisi yang salah. Tidak memiliki hak bersuara ataupun membela diri. Salah satu yang bisa kulakukan adalah menyetujui kehendak mutlak Hiashi.

Kadang aku hanya ingin tahu apakah Hinata menginginkan semua ini? Atau inikah yang terbaik untuk semua orang?

: : :

Bukan berarti Hinata adalah pihak yang paling dirugikan lantas kami mendapatkan keuntungan. Sanksi sosial yang aku dan orang tuaku dapatkan cukup menyulitkan hidup kami.

Minimarket kami kena getahnya. Omsetnya menurun karena citra jelek yang ku torehkan. Meski tak sampai gulung tikar, gunjingan halus dari pelanggan bikin ibuku malu melayani mereka.

Begitu pula di lingkungan kerja, aku dijauhi banyak karyawan dan sempat dipanggil atasan imbas dari kekhilafanku.

Dikenal sebagai pria yang tak bertanggung jawab, menambah catatan hitam di riwayat hidupku kelak. Padahal itu fitnah karena sebaliknya aku rela memikul segalanya.

Aku hanya menuai malu tanpa bisa melakukan satu hal pun. Sama halnya dengan orang tuaku mereka hanya mampu berpangku tangan setelah berulang kali mencoba berbaikan dengan keluarga Hinata.

"Jangan bilang Hinata hamil karena kau cuman malas "mengeluarkannya" benar kan?"

Semenjak tahu kalau Hinata berbadan dua, Ino dan Sai menyindirku tanpa ampun. Ah, ulahku juga sih yang meremehkan pasangan muda itu yang kadung 'jebol' duluan tahun lalu.

Jadi kami berempat senasib. Tampaknya sebelum diciptakan, roh kami mungkin sebaris.

Reaksi yang mereka tampilkan juga tidak heboh kayak orang-orang sekitar. Malah, mereka sudah memperkirakannya dari jauh hari.

Memang semesum apa sih tampangku ini!?

Lain hal dengan Sasuke. Berita ku terkesan membosankan sampai dia tak bisa berkomentar setelah menyikat habis 20 kaleng bir dengan frustasi layaknya kalah judi di ultahnya Sai.

Berhubung tidak ada rencana bakalan punya anak, aku juga tak punya persiapan apa pun ke arah situ. Yang kutahu cuman pacaran dan enak-enaknya saja.

Tidak cocok kalau disebut kenakalan remaja karena secara sadar kami melakukannya. Sehat jasmani dan rohani. Umurku dan Hinata dirasa cukup untuk memahami kosekuensi setiap apa yang kami diperbuat.

"Yah, kalau kau perlu bantuan soal wanita hamil kau bisa percayakan padaku. Tapi gak gratis lho"

Kupikir sudah saatnya mengandalkan Ino (jangan lupa plus komisinya). Bantuannya bisa saja menambah pengetahuanku yang nol persen tentang prenatal dan sebagainya. Tentunya dukungan ibu bakalan mengurangi kebutaanku mengenai kebutuhan ibu hamil.

Entah kenapa, aku jadi berdebar tidak jelas. Seperti menanti sesuatu yang lama kudambakan.

Jangan-jangan justru aku yang ngidam.

: : :

Aku pernah bermimpi. Sebuah impian yang sangat biasa.

Menjalani kehidupan normal dan menikah dengan wanita yang tidak begitu cantik tapi tidak buruk rupa. Memiliki dua anak; satu perempuan dan satu laki-laki. Menghabiskan masa tua dengan tenang dan mati sebelum istriku.

Sementara kini yang kuperoleh sudah sama bonusnya.

Mengencani perempuan cantik sekelas idol dengan perawakan idaman kaum adam. Manis, lembut, penyayang, dan keibuan. Terakhir, aku akan punya anak darinya.

Apakah aku bahagia? Untuk sekarang aku rasa gak ada jawaban yang pas.

Terlebih Hiashi menggagalkan peluangku karena menutup semua akses komunikasi ke Hinata. Alhasil, aku jadi stalker dadakan.

Dalam keterbatasan waktu, aku meminta Ino mengawasi kondisi Hinata. Orang tuaku juga siaga pasang telinga kalau ada kabar terkini tentang perkembangan kehamilan, atau mengintai rumah Hinata.

Bagaimana rupa, suara, dan keadaan kandungannya membuatku mati-matian melawan rasa rindu. Aku mau banget bertatap muka dengannya. Melihat ekspresinya dari kejauhan sama sekali tidak mengobati dadaku yang sesak.

Bersyukur dia tinggal di lingkungan yang baik bersama keluarga yang perhatian. Dilihat dari segi mana pun wujud Hinata sangat terawat.

Semuanya adalah bukti kalau kasih sayang Hiashi tak terhingga. Dia tak memandang Hinata sebagai aib, atau kecacatan melainkan fokus kepada perkembangannya. Tipe ayah macam Hiashi langka ditemukan.

Hinata yang belum lama ini terpantau, sangat jelita dengan balutan long dress sebagai outfit utamanya. Rambutnya sering digulung atau dikuncir kuda sepertiku. Postur badannya subur, wajahnya berseri, terlebih perut buncitnya sudah bulat sepenuhnya. Hinata kayaknya gak pernah kedapatan capek dengan bobot tambahan di tubuhnya.

Menurut informan ku (Si mami muda Ino) Hinata tidak memiliki gejala ibu hamil biasanya; morning sickness ataupun ngidam. Setidaknya aku gak perlu tertekan karena dia tersiksa. Tapi pegal-pegal, susah tidur dan perut kencang adalah hal yang tak bisa ditoleransi rasa sakitnya.

Sepertinya ditantang semilyar pun aku gak sanggup untuk jadi ibu hamil walaupun cuman sehari.

Sepertinya juga kami-sama bosan mendengar doaku, makanya aku bisa berjumpa dengan Hinata tanpa batas, tanpa jarak.

"A-apa ini?"

"Yubari meron. Katanya bagus untuk ibu hamil"

Atas nasihat ibu, aku disuruh mengencangkan ikat pinggang untuk biaya persalinan Hinata dan keperluan ibu hamil yang kutitipkan secara anonim. Buah atau makanan memang baru ini kubelikan setelah browsing di internet. Soal harga bukan masalah.

"Yu-yubari meron!? Kau banyak duit ternyata!" Ino menyahut begitu buah yang mahalnya tersohor ke seluruh Jepang ada di pangkuan Hinata. Kemudian, buru-buru kupindahkan, menyadari anak ku di dalam sana pasti terhimpit objek asing.

Hinata menatapku ragu, matanya bergiliran mengarah padaku dan buah melon di sampingnya.

"Ah, kupikir ini terlalu berlebihan. M-mungkin Yoshino-san juga ma-"

"Tidak, tidak! Ini spesial untukmu. Pokoknya jangan bagi ke yang lain apalagi cewek di sebelahmu ini!"

"Kedengaran tauk!" Ino langsung gak terima.

Mendengar tawa Hinata sepagi ini di depan minimarket keluargaku memang melodi paling indah.

"Arigatou," ucap Hinata sambil mengusap perutnya.

Keberadaan Ino pun jadi nomor dua ketika kami saling menanyakan kabar masing-masing. Hinata bersemangat tinggi menceritakan masa kehamilannya. Aku mendengarkannya sangat hati-hati agar tak terlewat.

"...minggu lalu dokter Tsunade menyarankan agar aku banyak bergerak. T-tapi bangun tidur saja rasanya seperti sudah menumbuk mochi 3 jam. Lalu, eh-Ino-chan, gomen..."

"Sudah gak apa-apa. Anggap saja aku patung Hachiko"

Karena tidak ada lagi kecanggungan di antara kami, kupikir bicara serius tidak ada salahnya. Lagipula Ino sudah kabur untuk mengurus setan kecilnya.

"Hinata"

"Ah, i-iya?"

"Aku sudah menyiapkan semuanya. Kamu jangan terlalu terbebani akan hal ini, orang-orang di sekitar akan membantumu. Aku mungkin tidak 100 persen di sisimu tapi jika butuh apa pun jangan sungkan bilang padaku, oke?"

"Um, baiklah"

"Ah, satu lagi"

Aku menelan ludah. Sebenarnya banyak yang mau disampaikan tapi yang satu ini paling menghantuiku.

"A-apa itu... dia... d-dia-A-apa bayinya suka menendang? Katanya itu m-menyakitkan ya?"

"Aa, k-kurasa itu tanda bayinya aktif. Memang agak nyeri sedikit tapi aku baik-baik saja"

"H-hontou ni?"

Dibalas anggukan mantap olehnya.

"Shikamaru-kun, sudah berusaha keras"

Astaga, senyumannya ingin kulestarikan kalau perlu ku bikin cagar alam.

Sialan! Rasanya gatal sekali! Kalau sudah begini tidak bisa ditahan lagi. Daripada langsung peluk, tangan tercelaku mendarat di atas surainya yang lebat. Mengusapnya berirama seperti anak anjing.

"Aku tahu Hinata lelah tapi aku yakin kamu akan menghadapinya dengan lancar. Aku selalu mendoakan keselamatan kalian"

Menunggu bak seabad untuk bisa bersanding dengannya lagi. Tergolong singkat untuk laki-laki serakah sepertiku, tapi aku tahu tak boleh melewati batas.

Terima kasih, Dewa. Ini yang terakhir tapi aku punya satu doa lagi tidak apa kan? Aku adalah hambamu yang baik, rajin menabung dan tidak sombong.

: : :

"Kamu bilang mencintaiku 'kan? Berarti kamu harus yakin padaku saat kita melakukannya"

"T-tapi bukannya aku-"

"Aku mencintaimu. Jangan khawatir kau bisa pegang kata-kataku"

"Tapi i-ini sudah dua kali kita melakukannya tanpa a-apapun. Aku benaran takut, Shikamaru-kun"

"Tidak apa-apa"

Tak akan pernah lupa momen dimana terlepas dari detik-detik yang menegangkan dan semua berubah jadi kebahagiaan sejati.

Aku bisa membayangkan tubuhnya yang kecil pas dalam gedonganku melalui kaca ruang observasi.

Putra pertamaku lahir dalam keadaan sehat dan diberi nama Akihiko Hyuuga. Pilihan Hiashi memang tak perlu diragukan lagi. Sungguh sebuah nama yang mengesankan.

Rasa lelah dan cemas hilang berganti senang tiada tara. Perjalanan ke Konoha terbayarkan dengan kehadiran buah hatiku dan Hinata.

Kelahiran Akihiko menebar haru ke semua orang. Cucu pertama dari keluarga Hyuuga dan Nara, anak pertamaku dengan Hinata.

Aneh kalau dipikir-pikir tahun lalu aku jadi pemuda yang baru lulus kuliah, merintis karir, dan sekejap itu pula aku telah resmi jadi ayah.

Aku sangat berterima kasih pada Hinata. Dia telah berjuang antara hidup dan mati serta 9 bulan penuh pengorbanan. Dia telah berhasil melalui masa-masa tergenting di hidupnya.

Kini sebagian dari diriku dan Hinata menyatu dalam bentuk manusia dengan panjang 20 inci dan berat 3 kilogram. Merah, rapuh dan suci. Tentunya dia akan mulai bertransisi dengan kehidupan di luar rahim ibunya.

Semoga dia bisa menerima orang tuanya yang tidak utuh ini.

: : :

Bukanlah hal yang mustahil atau terlarang untuk menginjakkan kaki di rumah Hinata.

Semua berkat putra kecilku Akihiko yang mempersatukan dua keluarga yang sempat perang dingin.

Sejak keluargaku dan Hyuuga akur, aku sering mampir untuk bertemu Hinata dan melepas kangen dengan Akihiko. Minimal kalau seminggu tidak ketemuan, video call adalah solusinya.

Ya, semua kembali lagi pada ego masing-masing. Kedekatanku dengan Hinata dan Akihiko bukan diberikan cuma-cuma, ada perjanjian yang harus ditepati.

"Shikamaru-nii, toilet belakang mampet"

Sehabis mencuci mobil kesayangan Hiashi, orderan kerjaan tambah lagi dari Hanabi.

"Hah? Hah... baiklah"

"Maaf ya merepotkanmu"

Kebaikanku mungkin telah diperalat oleh keluarga Hinata, tapi tak apalah hitung-hitung pahala.

Mulai dari pengantar makanan, tukang kebun, asisten rumah tangga, koki gadungan, supir, hingga suami bohongan pun sudah kulakoni. Bahkan, Ibuku tak percaya putranya yang gemar rebahan berubah jadi super rajin. Semua demi restu Hiashi agar senantiasa membuka lebar pintu rumahnya padaku. Apalagi kalau bukan Hinata dan Akihiko alasannya.

Pangeran cilikku berusia 6 bulan dan sedang gencar-gencarnya menyusui. Pipinya bulat dan merona bak kesemek matang, rambutnya sudah memenuhi ubun-ubun, giginya masih berupa gusi, kulitnya halus dan wangi. Aroma tubuhnya kental dengan asi. Bagaimana aku tahu? Haha, tak usah dibahas bro, rahasia dapur.

Bagaimana dengan wajah dan matanya? Aku belum bisa memverifikasi, tapi kayaknya anakku lebih mirip ayahnya. Hanya saja matanya mengambil gen Hyuuga.

Akihiko yang menggemaskan sukses menjaring fans-fans teranyarnya. Terlebih ibuku, dia senang sekali membawa cucunya kemana pun, membelikannya baju dan sepatu. Para tetangga pun bergantian ingin menggendong, mencium atau mencubit Akihiko. Oh, habislah pipi anakku.

Bukannya sombong ya. Memang anakku ganteng dari DNA nya. Shikamaru Nara dan Hinata Hyuuga sebuah kombinasi yang membahana. Meski, harus diakui kebeningan Hyuuga berkontribusi banyak, belum lagi asi yang dikonsumsi premium. Aku bisa bilang begitu karena Hinata menjaga gizi makanan tapi sayang tidak dengan kuantitasnya.

Efek menyusui telah mengubah bentuk badannya secara alami. Nafsu makan Hinata meningkat karena kebutuhan kalori yang bertambah untuk memberikan Akihiko asi.

Hanabi bilang ukuran Hinata membengkak dari 4 ke 8. Tubuh jam pasirnya minggat entah ke mana. Tapi di situlah letak ketulusan dari sang ibu. Setelah melahirkan terbitlah periode menyusui. Bagaimana pun kondisi si ibu, anaknya tetap diutamakan

Tentu bukan tempatnya untuk mengolok, atau menilai sosok Hinata. Ia telah merelakan terlalu banyak hal di hidupnya. Dari wajah hingga timbangan melesat 20 kilogram. Mungkin orang lain akan pangling dengan penampilan Hinata yang baru, tapi tidak denganku.

Hinata akan tetap sama di mataku. Setahun, dua tahun. Tidak, tidak. Berapa lama pun, dia tidak berbeda dimana aku mengenalnya.

Dia perempuan yang mencuri hatiku sejak SMA, dia yang usil menganggu sifat malasku, dia yang lancang mengusik ketenangan batinku dengan pesonanya, dia yang mendorongku keluar dari zona nyaman, dia yang memotivasiku, dia yang pantang menyerah menggapai cinta pertamanya (cih, si kampret itu!), dia yang peduli dengan omong kosongku, dia yang tahan dengan keluh kesahku, dia yang hobi eksperimen di dapur dan aku sukarela jadi kelinci percobaannya, dia yang selalu bilang "ada yang terlupa" cuman ingin membubuhkan kecupan yang membuatku girang, dia yang tabah menjalani semua ini, dia yang menghadirkan Akihiko di antara kami.

Hinata adalah juru selamat, sekalipun aku harus berpaling dari Tuhan.

Memori kebersamaan kami begitu membekas. Aku tidak bisa melupakannya dan tidak pernah berpikir menghapus semua kenangan indah itu.

"Sudah kenyang?"

"A-ah, sepertinya Akihiko kehausan. Tadi aku tinggal sebentar"

Melihat Hinata aku jadi teringat ibu. Barangkali, aku sama rakusnya dengan Akihiko. Semestinya sudah dilahirkan pun harus berterima kasih ya?

Bukankah ini potret yang sempurna? Pasangan muda harmonis dengan satu anak. Si ayah mengamati dengan penuh cinta anak dan istrinya, sedangkan si istri telaten menyusui anaknya sampai kenyang. Sungguh halusinasi paling gila.

Baik salah satu dari kami belum ada yang meluruskan status hubungan. Putus tidak, pacaran tidak mungkin.

Seperti lagu lama, penyesalan selalu belakangan. Akibat kelakuan buruk yang menyangsikan anakku sendiri, belum lagi aku yang menghindar dari masalah, boleh jadi dasar diriku dan Hinata patah arang. Sekalipun kita bersama, tapi kita tidak lagi satu hati. Kita cuman berakhir jadi sebuah kewajiban yang berlandaskan adanya seorang anak.

Pada akhirnya aku mengerti bahwa waktu adalah suatu yang tidak bisa dibeli ataupun diatur ulang. Andai saja time traveller bukanlah konspirasi, aku akan berbuat apa saja untuk mengembalikan saat-saat itu. Aku akan menyerahkan setiap keringat dan darah jika perlu.

Aku masih punya alasan untuk lebih dari sekadar peran ayah. Ada satu yang tertinggal dan masih bersarang di dasar entah sampai kapan.

Akan tetapi jauh lebih penting untuk menghargai pertimbangan Hinata yang konsentrasi pada tumbuh kembang anak kami. Menjaga sikap adalah cara terbaik yang bisa kulakukan.

Sampai saat itu tiba, kesetiaanku tak lekang oleh waktu.

.

.

Flashback End

Shikamaru POV End


: : :

False Memories

TAMAT

: : :

Pojok A/N :

Hai N di sini,

Tengkyuu bagi yang udah support ff ini. Untuk SEQUEL hanya tersedia di WATTPAD akun @nafasnagah.

Q: Sequel nya beda ceritanya gak wak?

A: No spoiler, yang jelas beda syekalii

Q: Males baca di wattpad wak

A: hiks hikss berati hubungan kita berakhir sampai di sini wak (lebay wkwkwk)