"Love Knot"

Chapter 13

.

.

.

Khusus hari ini dan besok, dapur menjadi wilayah kekuasaan Rook menjelang makan malam. Akibat tidak mendapat jatah pekerjaan (tidak seperti Leona), menjadikan Rook harus memutar otak tentang kegiatan yang harus dilakukannya setiap hari. Biasanya ia akan pergi ke perpustakaan istana untuk membaca, terkadang juga bermain dengan Cheka. Kerap kali Rook juga meminjam perlengkapan memanah. Atau kalau ia sedang tidak berniat ke istana, maka ia akan menghabiskan waktu di kebun mansion. Namun ternyata semua itu tetap bisa membuatnya bosan. Itulah kenapa, untuk sekarang, dapur menjadi sasaran berikutnya.

Para pelayan sempat mencegahnya untuk menggunakan dapur. Mereka bilang kalau Rook tidak perlu memasak karena itu sudah pekerjaan koki-kokinya. Hanya saja itu tidak akan cukup untuk menghentikan sang pemburu muda. Ia tetap bersikeras ingin memasak untuk semua orang, setidaknya selama dua hari.

"Fyuuh, cukup memakan waktu juga ternyata mengupas wortel. Sudah lama aku tidak memasak, mungkin karena itu?" Saat masih di rumah, Rook cukup sering membantu ibu dan kakaknya di dapur. Selain itu, kegiatan berburu di alam liar mengharuskan ia untuk terbiasa dengan kegiatan dapur juga. "Sekarang pun aku sudah tidak berburu lagi. Aku rasa masuk akal kalau keahlianku sedikit terkikis."

Rook mencuci tangannya setelah selesai dengan semua sayur yang harus dikupas dan dipotong. "Ugh … rambutku benar-benar sudah semakin panjang." Jari-jarinya menyisir beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. "Sepertinya aku harus ambil ikat rambut dulu." Baru saja ia selesai mengucapkan itu, sebuah ikat rambut berwarna hitam muncul di samping kanannya.

"…" Sebenarnya Rook agak terkejut, tapi dia berhasil mengendalikan diri karena langsung tahu siapa orang yang memberinya ikat rambut tersebut. "… Terima kasih, Roi du Leon. Kupikir kau ada di istana."

"Aku kabur."

Tidak perlu ditanya harusnya. Rook menerima ikat rambut itu dengan senang hati. Sekali lagi ia menyisir rambut pirangnya yang memanjang dengan jari, kemudian mengikatnya cukup tinggi.

Leona yang berdiri di belakangnya memperhatikan itu dengan sebuah senyum tertahan. "Kuharap kau tidak berpikiran untuk mengguntingnya."

"Kenapa?" Rook melanjutkan kegiatannya tanpa berusaha memberi Leona sapaan hangat. "Bertahun-tahun aku hidup dengan rambut pendek dan itu memudahkanku. Entah kenapa, semenjak pindah ke sini, aku jadi agak malas untuk gunting rambut."

"Bagus kalau begitu."

Rook memasukkan potongan sayur ke dalam panci dengan air yang sudah mendidih. "Aku kira kau tidak suka rambutku."

Kuping Leona berdiri. "… Kapan aku bilang begitu?"

"Nebak aja." Rook tersenyum tipis. "Kau selalu bilang aku aneh dan apa-apa yang ada di diriku itu mengganggu. Jadi aku rasa kau juga tidak suka dengan rambutku, mau dalam model apa pun."

"…"

Rook ikut diam saat Leona tidak membalas apa pun. Ada sedikit rasa sakit yang datang setiap kali Rook mengingat perasaan Leona terhadapnya.

"… Apa iya begitu?"

"Huh?"

Kaki kirinya tiba-tiba terlilit sesuatu, dan Rook langsung tahu kalau itu ekor Leona. Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di sisinya, memberi tatapan yang mungkin saja tajam, tapi Rook tidak mau memastikan karena ia sudah tidak ingin melihat mata itu lagi—sekalipun hatinya meronta meminta.

Rook mencoba melepaskan lilitan ekor Leona dengan kakinya yang lain. "… Berbahaya kalau kau terus menempel denganku begini, Leona-kun. Ada banyak benda tajam di sini."

"Kau mengatakan itu di saat kau sendiri bermain dengan bahaya di kebun."

"Harus banget diungkit lagi?"

"Karena kau juga perlu diingkatkan."

Rook mengusap wajahnya gusar. "… Kau bertingkah aneh lagi hari ini, Leona-kun."

"Begitu, kah?"

Apa dia tidak sadar, atau pura-pura tidak sadar? Akhirnya Rook memberanikan diri untuk melihat wajah lelaki itu. Bekas biru masih menghiasi pipi kirinya. Dia bahkan tidak cerita soal kenapa dia memukul wajahnya sendiri.

"Aku coba kesampingkan masalah pemukulan ini." Rook mengusap pipi membiru Leona dengan punggung tangannya. "Kemarin, saat aku mampir untuk memanah lagi, kau diam-diam memperhatikanku, ya?"

Leona membuang tatapannya sekilas. "… Kebetulan lewat."

"Kantormu di lantai tiga bagian utara gedung, tapi aku merasakan kehadiranmu di pinggir lapangan. Kau melihatku dengan intens dari tempat yang menjadi titik buta orang-orang." Lilitan di kakinya mengendur. "Mungkin kau lupa, tapi aku punya unique magic yang setiap hari selalu kuperbarui pemasangannya padamu dan pada orang-orang lain di sekitarku. Jangan kira aku tidak akan tahu."

"…"

"Lalu sehari sebelum itu, setelah kejadian pemukulan, kau masuk kamarku—lagi—dan tiba-tiba memelukku dari belakang. Untung aku langsung tahu itu kau, jadi kau tidak harus menerima pukulan kedua."

"…"

Leona melepaskan lilitannya. Rook segera mengecek sup di panci begitu ia terbebas. "Sebenarnya, sejak kau mengizinkanku untuk menyentuh telinga dan ekormu dengan leluasa itu sudah mencurigakan, sih," Rook melanjutkan pembicaraan mereka sambil memasukkan potongan ayam ke dalam sup. "Kau membuat kita berteman dan memberiku akses seperti itu, di saat sebelumnya kau sangat tidak menyukainya. Dulu kau sudah marah saat kubuntuti setiap hari, boro-boro aku punya kesempatan untuk memotret atau bahkan menyentuhmu."

Itu benar. Leona sudah banyak berubah semenjak mereka menikah. Perubahannya memang mengarah ke hal-hal baik, dan Rook mengira kalau itu dilakukan Leona karena pria itu menghargainya sebagai pendamping sementara. Awalnya masih terasa seperti itu, tapi lama-lama, terutama belakangan ini, Leona jadi semakin … agresif.

Setelah mereka "berteman" dan Rook mendapat izin untuk menyentuh telinga serta ekornya, batasan mereka untuk saling menyentuh seakan menipis. Kemudian, setelah Leona sadar soal kondisi pupilnya—yang mana itu di luar kendali Rook, sang pangeran juga seringkali menjahilinya.

Ia masih ingat, beberapa hari setelah itu, Leona tiba-tiba meminta untuk tidur di kamar Rook. Ditolak berapa kali pun, pangeran kedua Sunset Savanna itu masih bersikeras. Pada akhirnya Rook mengizinkan dengan syarat Leona harus tidur di sofa, yang mana sofa itu sendiri sudah Rook pindahkan ke dekat jendela, jauh dari tempatnya semula di depan tempat tidur. Sofa itu tetap di sana hingga sekarang.

Leona pun jadi sering masuk ke kamar Rook setelahnya, mulai dari tidur-tiduran menikmati hari libur, sampai kabur dari pekerjaan. Ia juga jadi sering membelikannya berbagai hal tanpa diminta. Lemarinya pun sekarang mulai dipenuhi pakaian-pakaian yang Rook sendiri tidak tahu kapan bisa mencoba semuanya. Rook sedikit bersyukur karena ia tidak membawa banyak saat pindah ke mari.

Tidak hanya pakaian, Leona juga sering membelikannya makanan. Mulai dari camilan, sampai makanan berat. Rook rasa semua restoran dan toko makanan yang ada di kota sudah disinggahi Leona hanya supaya istrinya semakin gemuk.

Semua terus berlanjut, sampai Rook merasa harus makin banyak bergerak. Ia pun jadi lebih sering meminjam tempat latihan memanah di istana. Sayangnya ia lupa membawa alat-alat memanahnya, termasuk busur dan baju. Jadi ia harus bertahan sampai ia punya kesempatan pulang (rencananya saat malam tahun baru) untuk mengambil busur dan bajunya sendiri. Hingga hari di mana Leona yang memukul wajahnya sendiri tiba, yang juga menjadi kali pertama Rook melihatnya ada di arena saat ia sedang memanah. Satu minggu telah berlalu dan Leona menjadi semakin aneh setelah itu; semakin lengket, seperti yang terjadi sekarang.

Kalau boleh jujur, Rook hampir saja lengah. Ia sempat berpikir, apakah mungkin Leona sudah mulai tertarik padanya? Mungkin cintanya akan benar-benar berbalas suatu saat nanti? Namun sepertinya itu masih belum bisa dipastikan, mengingat hingga detik ini, Leona belum mengatakan apa-apa.

"Apa … aku mengganggumu?"

"Mau coba?" Rook menyodorkan mangkuk kecil yang sudah diisi dengan kuah sup. "Menurutku sudah pas, tapi tidak ada salahnya minta pendapat, mumpung kau di sini."

Kelihatan jelas kalau Rook berniat mengalihkan pembicaraan. Meski begitu, Leona tetap menurut dan menyeruput sedikit kuahnya. "… Pas, tapi bau sayurnya terasa."

"Terlalu banyak kaldu nanti tidak sehat." Rook menghabiskan sisa kuahnya. "Hm, sepertinya sudah bisa diangkat."

"Makan malam masih tiga jam lagi, bukannya nanti jadi dingin?"

"Tinggal dipanasin lagi." Rook mundur ketika Leona tiba-tiba menawarkan diri untuk mengangkat pancinya. Ia mengarahkan pria itu untuk menaruhnya di meja di belakang mereka, tepat di atas kain yang sudah Rook siapkan sebagai alas. "Merci. Nanti rasanya akan jadi semakin gurih setelah dipanaskan."

"Hmm …."

"Kau pernah coba sup ayam begini, Leona-kun? Aku tebak, sih, belum."

Leona menggelengkan kepalanya dengan polos. "Aku belum pernah lihat ada orang yang buat sup seperti ini."

"Onee-san—kakakku yang memberi resepnya."

"Kakakmu yang tertua itu?"

"Yep." Rook meminta Leona untuk duduk di kursi bersamanya. "Dia suka sekali keliling dunia, ditambah akses keluarga kami memudahkannya. Katakanlah masakan ini didapat dari pengalamannya itu."

Leona menatap panci yang atasnya masih mengepulkan asap. "… Tapi kalau dilihat dari bahan-bahannya, sepertinya ini hanya masakan biasa. Bukan sesuatu dari kelas atas, maksudku."

"Memang bukan." Rook menaruh tangannya di atas meja, menopang dagu. Ia tersenyum, dan pupilnya kembali membesar saat mata mereka bertemu. "Masakan sederhana, tapi rasanya enak, bukan begitu?"

"…" Leona ikut menopang dagunya. "… Kau melihatku lagi, tepat di mata."

Sebuah tendangan kecil mendarat di kaki Leona. "Lebih baik kau kembali ke pekerjaanmu, Leona-kun. Aku masih harus buat makanan pendampingnya." Rook bangun dan mulai menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan.

"Ada lagi?"

"Kroket kentang."

"… Tidak ada daging?"

"Di supnya sudah ada ayam."

Leona melipat tangannya di atas meja, menenggelamkan wajahnya di sana. "Orang-orang selalu saja berusaha menjauhkanku dari daging, padahal aku ini karnivora."

"Jangan bercanda. Kau bukan singa seutuhnya." Rook kembali bergelut dengan aksi kupas mengupas. "Jadwal daging besok. Rencananya aku ingin buat yakiniku rice bowl."

Seketika Leona menegakkan tubuhnya. Telinga dan ekornya berdiri bahagia. "Punyaku tidak pakai nasi."

"Namanya jadi bukan yakiniku rice bowl kalau tidak ada nasi, dong?" Rook menahan tawa ketika mendengar geraman kecewa yang terdengar dari belakangnya. Perasaannya jadi sedikit lebih enteng karena ia sempat melupakan apa yang mereka bicarakan sebelum ini.

.

.

.

Klik

Tubuhnya melemas ketika ia yakin telah sendiri. Cukup bodoh memang membiarkan pintu kamar tidak terkunci hanya karena ia yakin kalau tidak ada orang yang akan masuk tanpa izin. Biasanya yang masuk memang hanya pelayan yang berniat membersihkan kamarnya, dan mereka hanya melakukan pekerjaan mereka. Namun Rook tidak menyangka kalau itu ternyata juga mengundang seorang Leona Kingscholar untuk keluar masuk seenaknya.

"Kalau kubiarkan terus, yang ada aku bisa meledak di depannya." Rook menarik kursi meja belajarnya dan menyalakan laptop. Terakhir kali ia menggunakannya saat masih di NRC. Semenjak lulus dan menikah, terlebih sejak ia dapat tablet, benda itu hanya jadi pajangan di lemari. "Menonton stage play pun bisa lewat smartphone atau tablet, sih," lanjut Rook.

Alasannya membuka laptop kali ini, selain untuk mengecek apakah masih berfungsi atau tidak, juga karena ia kepikiran untuk membeli tiket musikal. Siang tadi sebelum masak, Rook sempat melihat ada announcement dari akun resmi musikal kesukaannya yang hendak dilanjutkan. Penayangannya dua minggu lagi di City of Flowers dan pembelian tiketnya sudah bisa dilakukan mulai hari ini.

"Oh? Untunglah masih ada." Rook mengecek kalender di ponselnya terlebih dahulu. "Hmm … perform-nya dimulai tanggal 28 November dan tiket untuk tanggal 28 sampai 30 sudah habis rupanya. Cepat sekali." Jarinya kembali menggerakkan kursor, mencari-cari tanggal yang masih kosong.

Gerakannya pun terhenti di tanggal dua.

"…"

Hadiah ulang tahun. Tiba-tiba hal itu terlintas di kepalanya. Kalau dirinya yang dulu mungkin akan merasa bahagia. Bisa menonton pertunjukan kesukaan di hari ulang tahun adalah suatu berkah tak terhingga. Ia bisa menceritakannya tanpa bosan kepada saudara-saudaranya setiap kali ada pertemuan. Namun untuk tahun ini …

"… aku ingin merayakannya bersama Leona-kun."

Meskipun aku tidak yakin apakah dia ingat ulang tahunku atau tidak.

"…"

Rook memberi dirinya sendiri sebuah senyum pahit. Perasaannya masih terlampau kuat rupanya. Tidak peduli sudah seberapa "akrab" mereka berdua sekarang, Rook masih belum bisa memastikan perkembangan hubungan mereka. Mau berharap pun … masih terlalu sulit rasanya. Rook masih takut untuk menganggap sikap Leona beberapa hari ini adalah karena ia sudah ada perasaan—walau sedikit—padanya.

.

.

.

"Apa salah kalau sekarang kita berteman? Toh kau dan aku akan sering bertemu sampai kontrak habis."

"Lagi-lagi demi kontrak, ya."

"Memangnya ada alasan lain?"

.

.

.

"Heh … aku jadi agak takut dengan kata 'kontrak' sekarang."

Sedari awal, hubungan ini memang bukan sesuatu yang bisa diharapkan banyak-banyak. Tidak seharusnya Rook terlalu memikirkan ini. Kalau ia ingin menonton musikal yang sudah ditunggu-tunggu dan menjadikannya sebagai hadiah ulang tahun, kenapa tidak? Ini hidupnya dan dirinya lah yang menentukan.

Rook menarik nafas dalam. Ia telah memutuskan. Jarinya mengarahkan kursor ke bagian pembelian tiket tanggal dua Desember …

Klak, klak

… ketika tiba-tiba pintunya hendak dibuka oleh seseorang.

"Hm? Tumben dikunci."

Seseorang yang sedang ia hindari, setidaknya untuk malam ini. Namun sepertinya ia tidak diizinkan untuk bernafas barang sebentar.

"… Ada perlu, Leona-kun?"

"Oh, kukira kau sudah tidur."

Rook bangun dan berjalan. Ia membuka pintu, tapi tidak sepenuhnya. "Kenapa?"

"…" Muka bengap Leona masih menyakitkan untuk dilihat. Rook selalu berharap setiap malam kalau ketika ia bangun esok harinya, wajah Leona sudah kembali seperti biasa. Namun sepertinya memang butuh waktu yang lebih lama dari yang ia duga.

Sadar kalau Leona tidak kunjung bicara, Rook memulai pembicaraan lebih dulu, "Mau tidur di sini lagi?"

Pangeran itu menunduk. "… Niatnya, tapi sepertinya kau sedang tidak ingin diganggu." Sepertinya ia sadar karena Rook tidak membuka lebar pintunya.

"Ya, benar sekali."

Sepasang telinga berbulunya jatuh. Suatu gerakan cheat yang teramat tidak Rook sukai, terutama di saat-saat seperti ini.

"Oh, lala …." Rook melebarkan pintunya dan menangkup sepasang benda lucu itu dengan kedua tangan. Ia menyerah. "Baiklah, baik. Tapi kau harus janji untuk tidak macam-macam. Aku sedang mengerjakan sesuatu."

Geraman tanda nyaman Leona keluarkan. "Mm … aku janji."

"Duduk saja dulu kalau belum mau tidur." Rook kembali ke mejanya. Halaman pembelian tiket masih terpampang, dan saat melihatnya, mendadak keraguan menghampiri. Ia ingin langsung memesan yang tanggal dua, tapi ia seperti tidak ingin berangkat di tanggal segitu. Bagaimanapun ia sudah bagian dari Kingscholar. Misal Leona tidak merayakannya pun, ia merasa kalau, setidaknya, Cheka akan memberinya sesuatu. Kalau begitu, sepertinya aku—

"Kau … mau pergi?" Rook menoleh. Rupanya Leona melihat ke layar laptopnya. "Tanggal dua … kau mau pergi di hari ulang tahunmu?"

"…!" Keterkejutan yang tak tertahankan menghiasi wajahnya. Rook hanya bisa diam, sampai akhirnya ia bersuara, "Leona-kun … kau ingat hari ulang tahunku?"

"Tentu saja aku ingat." Dua telinga yang sudah sempat berdiri, kembali jatuh. Ketika Leona bersuara kembali, volumenya sangat kecil sampai Rook harus memasang pendengaran sebaik mungkin, "… Makanya aku mengosongkan jadwalku di tanggal segitu."

Gawat. Rasanya ujung mata Rook basah. Apa boleh ia menangis?

.

.

.

Next: Chapter 14