"Love Knot"

Chapter 14

.

.

.

Demi menjaga air matanya yang sungguhan akan menetes, Rook berpura-pura menjadi dirinya yang biasa. Kedua tangan menutup mulut, matanya dibuat berbinar. "Oooh! Aku tidak pernah menyangka Leona-kun akan ingat hari ulang tahunku!"

"Kau yang selalu mengundangku setiap ulang tahun, kan? Mana mungkin aku lupa."

Rook tertawa. "Ya, kau benar. Aku selalu mengundangmu dan mengharapkan ucapan darimu. Terima kasih untuk tetap ingat."

Leona merebahkan diri di kasur. Wajahnya sudah memanas dan ia ingin menyembunyikannya dari Rook. "… Jadi kau tetap ingin pergi?"

"Well …." Rook kembali menatap layar laptopnya. "Kalau Leona-kun memang sudah menyiapkan sesuatu untukku, aku bisa beli tiket untuk tanggal tiga. Musikalnya hanya berlangsung sampai tanggal empat dan ini tidak ada versi digital, jadi aku ingin tetap datang."

"Kalau begitu beli yang tanggal dua."

"Eh?"

"Belinya dua tiket."

"…" Rook kembali bangun, kemudian duduk di pinggir kasur. Leona tampak memejamkan mata, membuat Rook harus mengelus paha sang pangeran supaya ia tidak kebablasan tidur. "Kenapa belinya dua?"

"Aku ikut," jawab Leona cepat. Ekornya bergerak, meminta tangan Rook untuk berhenti mengelus pahanya. "Nanti aku yang izin ke Aniki. Bilang saja berapa biayanya, biar aku yang bayar."

"Wow, aku ditraktir." Rook tertawa seraya meraih ekor Leona sebagai ganti pahanya. "Tapi kau yakin, Leona-kun? Bukannya kau tidak suka pertunjukan panggung?"

Leona membuka mata, melihat Rook yang sedang asik menciumi ujung ekornya. "… Apa pun untuk menyenangkan istri. Bukankah itu tugas seorang suami?"

Rook, dengan sebagian wajahnya yang tertutup bulu ekor, menjawab agak berbisik, "Bawa-bawa alasan itu lagi. Bagaimana kalau aku berakhir menganggap hubungan ini sungguhan?" Yang dikatakannya mengandung sedikit kode, berharap Leona menanggapinya dengan serius.

"Hmm … pertanda baik karena berarti akting kita bagus."

Langsung Rook menggigit ekor sang raja hutan, berakibat ke adu mulut yang tidak berhenti sampai pagi.

.

.

.

"Hoaaamm …."

"Sudah yang kedelapan kali. Sepertinya kau tidak tidur semalaman."

Leona menjatuhkan kepalanya ke lipatan tangan di atas meja kerjanya. "Salahkan adik ipar sialanmu itu."

BAM!

Sontak tubuh Leona menegak akibat suara gebrakan itu. Ia melihat ekspresi terkejut sang kakak, ditambah dengan warna merah yang memenuhi hampir seluruh wajahnya. "K-kau … kalian … apa aku akhirnya akan dapat keponakan?!"

"BUKAN ITU, BODOH!" Kali ini giliran Leona yang memenuhi wajahnya dengan rona merah. Oh, sebagiannya masih berwarna biru, jadi tidak sepenuhnya merah.

"Hahaha! Agak kecewa, tapi as expected, sih."

"Kenapa kecewa?!"

"Omong-omong, untuk izinmu yang tanggal dua." Falena mendaratkan selembar kertas izin di atas meja Leona dengan sihir. "Jangan lupa oleh-olehnya, ya! Cheka akan senang kalau bisa dapat sepupu baru untuk diajak main." Setelahnya, ia langsung keluar ruangan Leona sebelum dirinya berubah jadi pasir.

"Tsk, sialan." Hampir Leona menendang jatuh mejanya ke depan. Untung saja kendali emosinya sudah lebih baik ketimbang dulu. Meski begitu, kata-kata kakaknya tadi masih saja menggelayuti pikiran.

Anak. Karena pernikahan mereka hanya untuk membayar utang pada mendiang ibunya, Leona tidak pernah memikirkan soal yang satu ini. Lagipula mereka akan berpisah pada akhirnya. Keberadaan anak justru akan jadi halangan. Untuk penerus tahta pun sudah ada Cheka, jadi apabila Leona tidak punya keturunan, tidak akan jadi masalah.

"… Ini semua hanya kontrak, tapi kenapa aku jadi kepikiran?" Leona memijat pelipisnya. Entah apa yang merasukinya, tapi ia membayangkan ada anak yang mirip dengannya atau Rook … atau mereka berdua. Lincah dan cerewet seperti Rook, atau diam dan sering belajar sepertinya.

Leona tersenyum. "… Lucu juga."

.

.

.

"Untung saja bekasnya tidak terlalu kelihatan."

Leona mengelus bekas lebam di pipi. "Tidak terlalu kelihatan? Memangnya masih ada tipis-tipis?"

"Iya." Rook ikut mengelusnya, kemudian menyiapkan foundation dengan tone Leona, tapi sang pangeran kedua langsung menghentikannya. "Kenapa? Ini biar makin tidak kelihatan."

"Biarkan saja." Foundation itu beralih ke tangan Leona, sebelum akhirnya kembali ke tas makeup Rook. "Aku lebih baik begini daripada pakai makeup tebal-tebal. Tidak enak di muka."

"Kalau begitu, setidaknya pakai masker."

"Tidak mau."

"Kenapa?" Rook tetap menyiapkan masker dan memaksa Leona untuk menerimanya. "Kau ini termasuk tokoh terkenal. Kalau sampai ada yang sadar kau punya luka, itu akan mempengaruhi namamu—dan itu mengingatkanku. Saat kau sering membelikanku makanan, bukan kau yang langsung beli ke restorannya, kan?"

"…"

"Tolong jawab tidak."

"…" Sayangnya Leona masih tidak menjawab dan sekarang ia malah membuang muka. Itu sudah menjadi jawaban paling jelas dan Rook tidak tahu harus bereaksi apa lagi.

"Mon Dieu … kuharap tidak ada yang sadar …."

"Memangnya kenapa kalau laki-laki punya luka? Aku saja sudah punya di mata."

"Tapi itu didapat sejak lama dan semua orang tahu kau punya luka itu."

"Berarti ada bekas tonjokan juga tidak masalah, dong?"

Rook tidak kuat membalas. Ia hanya bisa mengalah, lalu mengecek barang bawaannya sekali lagi. "Ya sudah, kita berangkat. Tapi maskernya tetap kau pegang, untuk jaga-jaga."

"Iya, iya." Mereka keluar mansion ditemani beberapa pengawal yang juga akan ikut ke City of Flowers. Sambil berjalan ke istana untuk memakai magic mirror, Leona tiba-tiba menggandeng Rook dan mendekatkan gadis itu padanya. "Selamat ulang tahun," ujarnya rendah. "Jangan banyak cerewet seharian ini kalau tidak mau cepat tua."

Nyaris Rook memberinya cubitan yang bisa meninggalkan bekas lagi. "Aku cerewet demi kebaikanmu. … Tapi terima kasih ucapannya." Suaranya mengecil di akhir, berbarengan dengan matanya yang enggan menatap Leona.

Sebuah senyum miring andalan dipamerkan. "Sama-sama, sayangku."

"Berhenti bercanda."

"Oooh, sungguh pagi yang dipenuhi rasa cinta!" Leona langsung mengerutkan kening, tidak senang. "Waduh, apa aku mengganggu? Wajahmu seram, Leona."

"Kalau sudah tahu jawabannya, masih perlu ditanya?" Leona mengeratkan gandengannya, benar-benar tidak berkenan memberi kakaknya akses untuk merebut Rook darinya. "Apa pun yang ingin kau katakan, harap disimpan sampai kami kembali satu minggu lagi."

"Satu minggu?!"

"Izinmu hanya sampai besok?!" Falena ikut syok. Namun, tak lama kemudian, ia menunjukkan senyum penuh arti. "Oh, aku tahu. Kalian benar-benar akan memberiku oleh-oleh yang kuinginkan, kan?"

"… Eh?"

"Jangan dengarkan dia, Rook. Dia gila."

"Menyebut kakakmu sendiri gila itu agaknya kelewatan, adikku …."

"Tapi aku setuju dengan Leona." Suara lainnya bergabung dengan mereka. Itu Ratu Sunset Savanna, istri Falena. Ia tersenyum ramah, lalu memberi Rook elusan lembut di kepala tanpa Leona halangi—tentu saja. "Have a safe trip. Kalau kalian sungguhan ingin lebih lama di sana, aku tidak masalah. Yang penting kalian senang."

Kepala Rook menggeleng pelan, merasa agak malu mendapat elusan itu. "T-tidak, Yang Mulia. Kami akan pulang malam ini dan Pangeran Leona akan tetap berangkat kerja besok."

"Begitu?" Ratu melirik Leona. "Tapi sepertinya suamimu tidak senang."

Leona membuang nafasnya yang sempat tertahan akibat kedatangan kakak iparnya yang tiba-tiba. "Aku akan tetap kerja besok. Yang tadi kubilang itu bercanda."

"Dia benar tidak senang." Ratu tertawa melihat ekspresi ngambek Leona yang tidak biasa muncul. "Yah, kalau di tengah jalan ingin berubah rencana, berkabar saja."

Rook mengangguk. "Baik, Yang Mulia."

"Umm, kenapa jadi kau yang beri keputusan, sayang?"

"Keputusanku itu keputusanmu juga, kan?" Benar. Bagaimanapun, Falena akan mengatakan yang barusan Ratunya katakan. "Sudah, jangan halangi adik-adik kita lagi. Mereka sudah harus berangkat." Ratu menarik suaminya minggir, membiarkan pasangan Leona dan Rook berdiri di depan magic mirror yang siap mengantar mereka ke tempat tujuan. "Cheka titip salam, katanya jangan lupa oleh-olehnya."

"Oleh-oleh yang sama dengan yang diminta ayahnya atau beda lagi?"

"Kau sungguhan akan memberikannya?!" Telinga dan ekor sang Raja berdiri, mengharapkan jawaban positif dari adiknya.

"Tentu saja tidak." Leona menjulurkan lidahnya, lalu melompat masuk ke cermin, disusul Rook setelah gadis itu membungkuk berpamitan. Beberapa pengawal juga ikut masuk setelah memberi hormat yang sama.

Sepasang benda berbulunya yang sempat berdiri, kembali lunglai. Ratu mencoba menghibur Rajanya dengan memberi elusan di punggung. "Apa pun yang kau rencanakan, kuharap tidak membuat mereka terlalu terburu-buru. Beri mereka waktu lebih untuk berkembang."

"… Apa yang kukatakan hanya bercanda, sih, tapi sekarang aku jadi berharap. Dan kau benar, mereka tidak boleh buru-buru."

"Baguslah kalau kau sudah mengerti." Terinspirasi dengan gandengan adik iparnya, Ratu melakukan yang sama dengan suaminya. "Ayo kembali ke kantormu, sayang. Pekerjaan Leona hari ini akan kuganti."

Air muka Raja Sunset Savanna mendadak cerah kembali. "Apa akan ada bonus?"

"Hentikan pemikiran nyelenehmu. Ini masih pagi."

.

.

.

Tepat setelah mereka sampai, Leona menoleh ke belakang. Tiga pengawal dengan tubuh besar berdiri di sana, menarik semakin banyak perhatian ke arah mereka.

"… Aku jadi kepikiran untuk pakai masker sekarang."

"Pakailah." Rook memakai maskernya sendiri, juga sebuah topi yang entah sejak kapan sudah ada di tangannya. "Kalau mau pakai topi juga, aku masih punya satu di tas."

"Berapa banyak topi yang kau punya sebenarnya?" Meski begitu, Leona menerima sodoran topi dari Rook, kemudian memakainya setelah selesai dengan masker. "Head-loop, bukan yang ear-loop. Kau benar-benar sudah memikirkannya."

Rook hanya membalas dengan senyuman. Rombongan mereka bergerak menuju gedung pertunjukan. "Tidak masalah kalau kita jalan, kan, Leona-kun? Jaraknya tidak terlalu jauh dan aku ingin menunjukkan City of Flowers padamu."

"Huh. Kau pernah ke sini, kan?"

"Ya, dan itu adalah pengalaman yang tak terlupakan." Kedua tangannya membentang. Ia tampak bersemangat untuk bercerita. "Aku senang bisa bertemu teman-teman baru di Noble Bell College, terutama Rollo Flamm-kun. Itu mengingatkanku, bagaimana keadaannya sekarang, ya? Sudah lama aku tidak mendengar kabarnya."

Leona kembali menggandeng tangan si gadis pemburu. "Fokus ke jalanan di depanmu. Banyak orang yang memperhatikan, jangan sampai tersandung."

Rook tersenyum jahil. "Fufu, kau tidak perlu cemburu begitu, Leona-kun."

Yang dijahili tidak mengindahkan. Leona mempererat gandengan mereka. "Musikal yang akan kita tonton … temanya tentang apa?"

Mengalihkan pembicaraan. Rook mengangkat bahu, kemudian menjawab pertanyaan Leona dengan santai, "Kisah cinta yang tak berbalas. Ini lanjutan dari versi pertamanya yang ditayangkan tiga tahun lalu. Yang pertama berfokus pada tokoh utama wanitanya yang mengejar cinta pertamanya. Semua berjalan lancar dan kupikir akan berakhir bahagia. Tapi setelah lihat sinopsis yang kedua, jalan tragis lah yang dipilih penulis."

Mendadak Leona merasakan merinding di leher. Ia tidak tahu kenapa. "… Tragis bagaimana?"

"Itu yang sedang kita cari tahu. Oh, kita sudah sampai." Sebuah gedung tinggi dan besar yang terlihat klasik, berdiri tepat di hadapan mereka. Detik Leona melihat gedung itu, ia langsung tahu kalau ini memang lah kesukaan Rook. "Mimpi yang akhirnya tercapai. Fufu, selamat ulang tahun, diriku."

"Oya, ternyata ini ulang tahun Hunt." Bisa Rook rasakan tubuhnya menegang sesaat setelah ia mendengar suara itu. Ketika ia berbalik, sosok tinggi bertanduk sudah berdiri di antara pengawal mereka.

"… Malleus-kun—"

"Haah? Kenapa bisa ada kadal menyebalkan ini di sini?" Sama seperti saat itu, Leona menyembunyikan Rook di balik tubuhnya. Beberapa pasang mata sudah melihat ke arah mereka bertiga. Keberadaan pasangan Kingscholar saja sudah menarik perhatian, dan kini ditambah Malleus Draconia. Kalau sampai tidak ada yang melihat justru perlu dipertanyakan.

Santai, Malleus berjalan mendekat ke pasangan di depannya. "Kebetulan saja sepertinya. Aku juga ingin menonton musikal hari ini, tapi terpisah dengan Silver dan Sebek. Mereka sudah lebih dulu di dalam karena mengira aku sudah di sana."

"Oh ya? Terus kenapa nggak langsung masuk?"

Mata tajam sang penyihir terkuat jatuh ke sosok manusia kecil yang bersembunyi—atau disembunyikan—di belakang tubuh seekor singa. "Aku melihat kalian, tepatnya Hunt, jadi menyapa dulu. Oh, bodohnya aku. Seharusnya kupanggil dia Rook. Maaf, aku selalu lupa."

Leona menggeram tidak senang. Taring-taringnya hampir saja keluar, sebelum akhirnya ia menarik Rook masuk ke gedung, berniat meninggalkan Malleus di luar walau itu tidak berguna. Keberadaan mereka terlanjur diketahui "musuh," sudah pasti tidak akan dilepaskan begitu saja.

"Berhenti mengikuti kami, bodoh!"

"Kan, aku juga ingin menonton."

"Ya langsung masuk sana! Dan temui pengawalmu!"

"Aku sudah kirim pesan kalau aku akan menyusul. Mereka tidak akan mencariku."

Leona dan Rook masuk antrean di depan loket untuk menunjukkan bukti pemesanan tiket mereka secara online. Sambil melirik Malleus yang malah seperti menunggu mereka di depan pintu masuk teater, Leona berbisik, "Selama dia masih berada dalam radar, tetap di dekatku."

"Apa maksudnya radar …?" Rook menggeleng heran. "Tenang saja, Leona-kun. Kalau kau terlihat tegang begitu justru menarik lebih banyak perhatian. Anggap saja kita bertemu 'teman' saat hendak menonton musikal. Media akan percaya itu."

Lagi-lagi gandengannya mengerat. "… Masalahnya bukan itu."

"Lalu apa?" Rook memperlihatkan bukti pembeliannya ketika sudah giliran mereka. "Malleus-kun datang dengan Silver-kun dan Sebek-kun, kan? Tandanya dia tidak sendiri, jadi tidak ada yang terlihat mencurigakan. Yang penting kita tetap bersikap biasa saja."

Setelah selesai, mereka menghampiri ketiga pengawal yang berdiri tidak terlalu jauh dengan Malleus dan mengatakan kalau mereka akan masuk berdua saja. Tepat saat itu, Malleus tiba-tiba ikut dalam pembicaraan, "Kalian tidak perlu khawatir. Ada aku juga di ruang teater yang sama, jadi aku bisa sekalian menjaga mereka."

"Kami tidak perlu dijaga kau." Leona menarik Rook untuk langsung masuk. "Kau sendiri kenapa tidak ikut antre di loket? Bukannya kau belum bawa—"

Malleus melambaikan selembar tiket di depan wajah Leona. "Beli dari kemarin. Aku sudah ada di sini sejak seminggu yang lalu." Sang penyihir terkuat kemudian menunjukkan tiketnya ke penjaga yang ada.

Leona membuang muka. "Kenapa kita harus bareng sama dia, sih." Tak lama, ia mengumpat. Langkahnya berhenti ketika mereka hendak turun ke kursi masing-masing.

"Ada apa, Leona-kun?"

Kepalanya merunduk. Nafasnya sedikit menggelitik kulit leher Rook ketika suara rendahnya terdengar, "… Aku tiba-tiba kebelet. Kamu mau ikut aku ke toilet—aw!"

"Jangan bercanda." Leona berani jamin wajah Rook memerah di balik masker hitamnya. Cubitan kecil yang diterima di lengan terlupakan begitu saja. "Ke toilet saja dulu. Aku tunggu di kursi kita."

Masih sambil menahan apa pun yang ingin keluar darinya, Leona melirik Malleus yang juga sedang melihat dirinya dengan tersenyum. "Menggelikan. Dia tidak akan meninggalkanmu sendiri."

"Kursi kita tidak sebelahan."

"Kau bercanda? Apa kau tidak lihat saat dia melambaikan tiketnya tadi? Kursinya tepat di sebelah kita!" Ekspresi Leona semakin mengenaskan dengan semua pembicaraan ini. "Ya Tuhan! Kenapa kau tidak bisa bertahan sedikit lebih lama?!"

Tanpa berpanjang lebar lagi, Rook mendorong Leona menjauh. "Sepuluh menit sebelum pertunjukan dimulai. Itu waktu yang kuberikan padamu." Leona, masih dengan enggan, berjalan cepat ke toilet yang sialnya berada jauh dari tempat mereka berada.

"Ada apa dengan Kingscholar? Tingkahnya lucu sekali dari tadi."

"Biarkan. Dia butuh ke toilet." Rook langsung turun menuju kursinya, lalu duduk di sana. Benar kata Leona, kursi Malleus tepat berada di sampingnya. Sementara di sisi lain darinya, ada Silver juga Sebek yang langsung menyapa dengan ramah.

"Lilia-kun tidak bersama kalian?" tanya Rook basa-basi.

"Ayah—Lilia-san sedang ada keperluan, jadi tidak bisa hadir."

"Kami tetap diperintah untuk menjaga Waka-sama! Bukankah itu bagus?"

Rook tersenyum. "Ah, bagus sekali. Kalian tetap akrab satu sama lain."

"Omong-omong, aku butuh bicara dengan Rook sebentar." Sebek tampak menolak di awal, tapi setelah Silver bantu membujuk, ia pun mundur. Malleus membuang nafas, sebelum akhirnya buka suara, "Kau tidak menggunakan cermin dariku, ya?"

Refleks, Rook menggaruk pegangan kursi di sisi kanannya. Sudah kuduga dia akan mengungkitnya.

.

.

.

Next: Chapter 15