Chapter 2 : Keberuntungan atau karma?
.
Aku sering memikirkan hal-hal yang menyedihkan. Hidupku tidak berguna. Hanya menghabiskan uang saja, padahal bisa digunakan untuk keperluan yang lain, tapi jadinya digunakan untuk aku yang.. yah, tidak berguna.
Runtutan pemikiran membawa kepada sebuah kesimpulan : aku ingin menghilang saja. Poof. Hilang.
Orang lain tidak akan kerepotan lagi. Berkurang satu beban di kehidupan mereka. Usaha-usaha yang diberikan padaku dulu, bisa diberikan kepada orang lain yang dapat lebih memanfaatkan hal tersebut dan memberikan hasil.
Aku.. aku bisa menghilang.
Tidak perlu memikirkan apapun. Hilang.
Terdengar damai sekali.
Heh.
Terima kasih kepada dosenku yang membahas tentang cara menangani orang yang bilang ingin commit unalive. Kata bu dosen, tanya dulu ke doi, mau bunuh dirinya gimana caranya? Nanti sakit loh. Katanya biasanya orang-orang akan mengurungkan niat. Ingin terbebas dari rasa sakit, tapi dengan melalui cara yang lebih sakit? Masuk akal sih kalau jainya mengurungkan diri.
Tentunya kalau si dia masih berniat untuk bundir, kita harus membantunya dengan cara menghubungi tempat konseling, dan mengingatkannya juga kalau di dunia ini dia masih disayang, akan ada orang-orang yang sedih kalau dia pergi. Kita juga bisa mendengarkan orang tersebut bercerita tentang masalahnya tanpa berkomentar. Intinya menjadi teman yang baik.
Mendengar kuliah dosenku tersebut, kurasa aku memang benar-benar hanya ingin menghilang. Tidak benar-benar ingin pergi dari dunia ini. Hanya ingin beban terlepas saja dari pundak (halah beban apa, aku termasuk orang yang sangat beruntung jika dibandingkan dengan banyak anak-anak di jalanan yang bahkan tidak mempunyai tempat tinggal untuk berteduh atau uang untuk membeli makan).
Aku sangat penakut dan tidak suka rasa sakit. Aku tidak suka pertengkaran. Aku..
Aku mengambil napas.
Dan mengembuskannya.
Aku tidak tahu aku ingin apa.
Kosong.
Kosong.
Kosong.
Akan lebih baik bagi keluargaku kalau aku tidak ada. Aku hanya mengganggu, hanya bisa membuat masalah.
Membayangkan aku menghilang dan keluarga menjadi lebih makmur membuatku tersenyum dan bahagia sedikit, kalau boleh jujur. Mereka sudah memberiku banyak hal, tetapi aku hanya bisa membalasnya dengan memberi mereka sakit kepala (dan tagihan biaya hidup).
Namun ketika dihadapkan pada kejadian yang bisa membuatku 'tidak hidup', aku jadi memikirkannya kembali. Keinginanku untuk commit unalive, maksudku.
Kurasa aku lelah berusaha tetapi tidak mendapatkan hasil. Seluruh hidupku dipenuhi keberuntungan, tetapi selalu kuambil dengan percuma. Sehingga ketika aku harus berusaha, kesulitan sedikit saja membuatku merasa putus asa.
Entah sejak kapan, segala keberuntungan yang kualami selalu kucatat di dalam kepalaku.
Beruntung sekali dosen belum datang ke kelas, ketika aku datang terlambat. Beruntung sekali tiket kereta pulang masih ada, ketika aku lupa memesan tiket dari jauh-jauh hari. Beruntung sekali apa yang kupelajari keluar di soal ulangan, ketika aku belajar di pagi hari untuk ulangan di siang hari.
Sampai kapan aku akan mendapatkan keberuntungan-keberuntungan ini? Pikirku, cemas. Cemas akan semua hal.
Aku merasa tidak pantas menerima semuanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Usaha yang kulakukan selalu minimal jika dibandingkan dengan semua yang sudah kudapatkan.
Aku bisa merasakan air mataku menetes.
Sakit.
Sakit sekali.
Aku merasa sangat bodoh. Tidak menghargai apa yang sudah kudapatkan.
Aku hanya bisa memandang langit malam yang penuh awan. Terbaring di aspal yang dingin.
Sakit sekali.
Ah setidaknya akan lebih baik kalau langit hari ini cerah. Pemandangan bintang pasti akan sangat cantik. Aku tertawa kecil. Berani sekali meminta sesuatu di saat seperti ini. Lagi-lagi mengeluh.
Sakit.
Sakit sekali.
Bodohnya aku tidak memastikan jalanan aman sebelum menyeberang.
Menyetel lagu di earphone dengan suara keras di jalan raya.
Hah.
Kurasa aku terlalu mencobai keberuntunganku hari ini.
Sakit.
Sakit sekali.
Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku.
Aku memejamkan mataku.
Apakah ini benar-benar akhirnya?
Serangkaian memori masa lalu berputar di kepalaku. Seperti sedang menonton film.
Dulu aku anak yang pintar, ranking di sekolah. Banyak teman. Apa yang terjadi ya, sampai aku seperti ini?
Aku menyesali banyak hal tentunya. Tetapi mungkin yang paling aku sesali adalah..
Seharusnya aku bisa berjuang lebih keras.
Studi, hubungan pertemanan, percintaan, keluarga.
Seharusnya aku berusaha lebih keras.
/
Aku pernah membayangkan, kira-kira bagaimana ya kehidupan kita setelah mati? Apakah hanya ada kekosongan? Atau surga dan neraka seperti yang pernah dikatakan orang-orang?
Salah satu alasanku takut untuk commit unalive adalah, karena aku juga tidak yakin kalau setelah aku mati, aku akan masuk surga. Apalagi kalau penyebab matinya adalah karena commit unalive.
Karena itu, ini adalah pengalaman yang sangat baru bagiku.
Aku merasakan sempit. Gelap. Sulit untuk bernafas.
Tubuhku terasa seperti dibebat kuat dengan kain. Kain yang basah dan dingin. Sesak.
Belum sempat aku mencoba melepaskan diri, aku melihat cahaya.
Sinar terang sekali di ujung lorong.
Ah sebuah klise dunia akhirat yang lain.
Semua kain, tali, atau apalah itu, terbebas dari tubuhku. Sebagai gantinya aku mendengar mantra-mantra berdengung di telingaku. Suara berat, suara nyaring, suara feminin, suara anak kecil. Rasanya seperti mendengar beribu suara dalam satu waktu. Semuanya mengatakan gumaman, teriakan, nyanyian, tangisan, semua yang tak bisa kupahami. Seperti rapalan mantra. Berulang-ulang.
Aku menutup telingaku. Tolong buat ini berhenti!
Aku berlari ke arah sumber cahaya. Aku berlari, terus berlari. Tak peduli seberapa jauh, aku ingin berhenti. Aku hanya ingin semuanya berhenti!
Ketika aku kembali membuka mataku, semua dengungan tadi berhenti. Semuanya sunyi.
Cahaya dan terang memenuhi indera penglihatan.
Semua berubah putih.
/
Ah, kepalaku sakit.
Hal berikutnya yang kulihat setelah kilau cahaya yang membutakan mata adalah seorang nenek-nenek. Ia duduk di sebelahku yang sedang berbaring. Aku mendengarnya menggumamkan sesuatu yang tidak bisa kutangkap.
"Sudah bangun, nak?", nenek tadi bertanya dengan suara lembut. Ia menyisir pelan sejumput rambut yang menghalangi wajahku. Aku tidak merasakan intensi jahat dari nenek tersebut.
Aku hendak menjawab, tetapi tenggorokanku tercekat. Tidak ada suara yang keluar. Tenggorokanku terasa kering sekali. Sudah berapa lama aku terbaring?
Aku mendorong, membawa badanku ke samping, membiarkan tanganku menopang beban tubuhku. Pusing.
"Ini... dimana?", suaraku terdengar parau.
"Tidak perlu bangun cepat-cepat," nenek tersebut menggenggam kedua pundakku, mengarahkanku kembali untuk tidur. Aku menurut. "Istirahat dulu saja. Nenek pergi ambilkan teh hangat."
Sembari nenek tersebut pergi keluar ruangan, aku kembali menyamankan diriku di kasur, ah bukan, ini lebih seperti kasur lipat daripada kasur springbed yang biasanya. Aku memejamkan mata, memproses apa yang sudah terjadi.
Bukankah aku sudah.. mati?
Aku memaksa diriku untuk duduk dan memperhatikan sekitarku. Aku berada di kamar yang cukup sempit bergaya oriental. Tidak ada terlalu banyak barang. Selain kasur yang sedang aku duduki, ada lemari baju pendek, meja rias pendek dan beberapa bantal duduk. Sepertinya perabotan di kamar ini memang didesain untuk digunakan sambil duduk di lantai, atau bantal duduk, kurasa. Lantainya juga bukan seperti lantai ubin biasa, ini seperti lantai kayu dan tatami yang aku lihat di anime-anime? Tunggu sebentar- kamar ini juga gaya anime sekali. Lengkap dengan pintu geser, dan tembok kayunya. Kamar gaya rumah jepang zaman dulu.
Haha.
Seriusan, ini aku berada di mana.
Aku mencoba melihat keluar melalui jendela. Namun aku merasa ada yang aneh ketika aku berdiri. Aku merasa sudut pandangku agak terlalu.. pendek..? Apa.. Apa yang terjadi?
Aku berjalan secepat yang aku bisa menuju cermin di seberang ruangan. Langkahku terasa berat. Kepalaku masih terasa seperti berputar. Aku menatap cermin itu dan seorang anak kecil berbalik menatapku. Aku jatuh terduduk dan menutup mulutku terkejut.
Aku meraba kepala, pipi, rambut, tangan. Badanku mengecil. Tidak, bahkan ini bukan tubuhku.
Semua yang kulihat di cermin itu seharusnya nyata, tetapi anak kecil yang kulihat tadi bukanlah aku. Mata biru safir, kulit bersih seputih susu, dipadu dengan rambut merah terang panjang yang bergelombang. Tidak mungkin seorang asia bisa mendapatkan warna mata dan rambut ini secara normal, dan aku tidak yakin anak ini memakai pewarna rambut.
Tidak. Ini tidak mungkin nyata. Aku menyentuh cermin tersebut. Dingin. Telunjuk anak kecil ini menyentuh bayangan cermin. Tidak ada yang berubah. Ini benar-benar tubuh yang kugerakkan.
Ada apa ini?
Aku melihat seorang anak kecil dengan raut wajah terkejut berbalik menatapku. Ada perban dengan sedikit bercak darah melilit dahinya. Baju tidur sederhana yang sedikit kebesaran hanya membuat figurnya tampak semakin kecil.
Aku merasakan detak jantungku semakin cepat. Aku- aku tidak tahu bagaimana ini mungkin terjadi.
Ah. Jendela. Aku mengingat kembali tujuan awalku mencari tahu dimana aku sedang berada sekarang. Aku.. panik. Semua ini terasa sangat asing.
Aku melihat orang-orang berlalu lalang mengenakan pakaian tradisional jepang dan ada juga beberapa yang mengenakan pakaian biasa seperti kemeja dan celana panjang, tetapi entah kenapa gayanya terlihat agak kuno. Ada beberapa anak-anak yang sedang bermain kelereng, dan ada banyak orang berjualan. Ada penjual makanan, payung, pakaian, setidaknya itu yang bisa kulihat. Dari banyaknya orang yang berlalu lalang, sepertinya aku sedang berada di tengah-tengah jalan besar yang banyak tokonya, bukan perumahan biasa.
Siapa yang sedang kubohongi. Melihat perwujudanku yang berubah menjadi anak kecil dengan warna palet yang mencolok, aku tidak yakin aku masih berada di Indonesia tahun 2022. Tidak mungkin aku masih berada di sekitar perumahan tempat kakakku berada.
Aku kembali mengintip keluar jendela, rasanya seperti sedang melihat live action anime zaman dulu. Serius ini aku di mana..
"Ku-chan..? Tidak apa-apa kamu bangun dari kasur?" Aku tersentak dari lamunanku, aku berbalik dan melihat nenek tadi sedang menaruh dua gelas teh panas di meja kecil dekat kasur. "Badanmu masih sakit?" nenek tersebut duduk di sebelah kasur tadi. Aku menghampiri nenek tersebut dan duduk di atas kasur tempatku tidur sebelumnya.
Persetan rasa pusing akibat kecelakaan. Ada hal lain yang lebih penting, bagaimana caraku bisa mencerna semua informasi ini?
"Minum dulu." Seolah bisa membaca pikiranku, nenek tersebut berkata dengan suara yang sedikit bergetar karena usia. Ia tersenyum sambil mengambilkan salah satu gelas teh panas.
Aku menerima teh tersebut perlahan.
"Aku... di mana?" aku tidak berani menatap nenek tersebut. Mengetahui bahwa aku sedang berada di tempat yang benar-benar asing, aku mulai merasa.. takut.
"T-terimakasih tehnya," lanjutku terbata.
"Ini di rumah," Nenek terdengar sedikit kebingungan, "Ku-chan hampir tenggelam di sungai, lalu dibawa kembali ke rumah. Kau ingat?"
Tenggelam? Tidak. Bukan itu. Aku terkena kecelakaan mobil bukan tenggelam.
Aku menaruh gelasku dengan cepat di lantai ketika aku merasakan serangan di kepalaku. Rasanya seperti dipukul dari dalam. Sakit.
Aku menggenggam kepalaku dengan kedua tangan. Sakit. Berhenti. Kumohon.
Sekelebat, aku melihat warna biru. Gelembung. Langit yang gelap. Awan hitam. Suara gemuruh. Hujan?
"Kureha! Aku segera ke sana! Kau dengar aku? Ku-chan!"
Aku mendengar seseorang memanggilku. Tetapi seberapa keras aku mencoba berenang ke atas, rasanya gerakan tangan dan kakiku semakin berat.
Entah sudah keberapa kalinya aku menelan air. Dadaku sakit. Aku lelah. Aku takut.
Aku masih berusaha sekeras yang aku bisa untuk tetap mengambang, berenang ke tepian. Tetapi arus sungai malam itu deras sekali.
"Kou-nii!"
Aku kembali menelan air. Berat sekali. Seberapa keras aku mencoba berenang ke tepian, arusnya terlalu berat. Aku tidak bisa bernapas. Aku.. tidak kuat.
Tolong aku!
"Ku-chan! Kureha!"
"Kureha!"
Aku tersentak. Aku merasakan nenek tadi mengguncang tubuhku keras.
"A-apa yang..." aku merasakan air mataku menetes. Aku.. benar Kureha? Lalu siapa yang tertabrak mobil? Aku yakin aku bukan Kureha, lalu ingatan siapa yang barusan datang padaku?
Nenek beralih memijat pelan bahuku, kemudian mengusap kepalaku dan menyeka air mataku.
Merasakan usapan nenek tersebut di kepala, emosiku tidak bisa kubendung lagi. Aku menangis sekeras yang aku bisa. Nenek tersebut memelukku. Aku mencium bau minyak wangi khas seorang nenek di badannya. Rasanya hangat. Rasanya nyaman. Di pelukan nenek yang tidak kukenal ini, aku merasa semuanya akan aman. Aku mencurahkan semua perasaan tertekan yang aku rasakan dalam tangisan. Aku tidak tahu aku berada di mana. Kehidupanku kacau sebelum aku pergi. Aku takut. Aku bingung. Aku.. aku tidak tahu lagi. Rasanya aku hanya ingin menangis sekeras yang aku bisa.
Yang tidak aku sangka adalah suara beberapa langkah kaki orang yang berjalan dengan cepat, dilanjutkan dengan pintu geser yang terbuka dengan keras.
"KUREHA?"
Dari balik bahu nenek, aku yang masih terisak melihat seorang pria dan wanita dewasa masuk ke dalam kamar, diikuti oleh seorang anak laki-laki yang segera berlari ke sebelahku. Tanpa peringatan, bocah tadi langsung memelukku dari belakang. Mengikuti bocah tersebut, dua orang dewasa barusan, ikut berkumpul dan memelukku.
Aku masih belum bisa memproses apa yang terjadi. Aku yakin kita terlihat seperti sekumpulan aneh yang saling berpelukan. Pikiran absurdku membuat ku tertawa sedikit.
"Kalian turun sana! Siapa yang jaga toko kalau kalian semua naik ke kamar?!" sepertinya nenek salah mengartikan tawaku sebagai lanjutan tangis sesenggukan.
"T-tapi.." si lelaki dewasa mengelak.
"Ku-chan sudah tidak apa-apa? Maaf Mama baru datang ya. Bagian mana yang masih sakit?" wanita yang memanggil dirinya 'Mama' menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Kemudian membawa wajahku ke kanan, kiri, atas, bawah. Aku yang masih terkejut berusaha menangkap kedua tangannya.
"Aku sudah tidak apa-apa. Haha." Aku mencoba tersenyum. Kalau ada bagian yang sakit, itu adalah pusing karena dirimu memutar-mutar kepalaku.
"Cukup. Sudah. Kalian bisa naik lagi nanti sore ketika toko tutup. Ayo, turun. Pelanggan tidak bisa melayani diri mereka sendiri." Nenek tadi menjewer kedua orang dewasa tersebut dan membawa mereka keluar kamar. Aku masih bisa mendengar suara penolakan dari mereka berdua. Keluarga ini lucu sekali, batinku. Mama dan Papa ya?
Sementara itu, bocah laki-laki yang barusan aku lupakan masih memelukku dari belakang. Aku merasakan kepalanya mendusel punggungku dari belakang bersamaan dengan sesuatu yang basah di punggungku.
Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan, jadi aku diam saja.
Ia masih terisak. Ia menggumamkan sesuatu yang kurang bisa kutangkap karena bercampur dengan suara tangisan. Aku bisa mendengar sama-samar kata 'maaf', 'gara-gara Kouki', dan banyak kata maaf.
Aku mencoba untuk berbalik dan mengusap punggungnya perlahan. Walaupun Ia bocah, tetapi Ia lebih besar dariku. Ah, aku juga bocah sekarang.
Ia menutupi wajahnya dengan salah satu lengan sambil masih terisak. Rambutnya berwarna hitam legam lurus pendek yang dipotong rapih. Aku tidak bisa melihat wajahnya.
Aku tidak yakin apa yang harus kukatakan, aku tidak bisa mengingat kecelakaan yang dialami tubuh ini dengan jelas, jadi aku takut salah bicara.
Sepertinya Kouki adalah nama anak ini?
"Aku sudah tidak apa-apa, Kouki." Aku menarik tubuhku dan menggenggam kedua pundaknya, memaksanya untuk melihat wajahku. "Lihat, aku sudah bisa bangun dan ngobrol lagi denganmu."
Aku tidak mengerti apa yang terjadi di kecelakaan tersebut. Kalaupun memang Kouki ini yang menyebabkan kecelakaan tersebut terjadi, kini Ia juga sudah minta maaf dengan tulus. Setidaknya aku harus bisa meringankan bebannya sedikit. Ini membuatku sedikit bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, tetapi sepertinya sudah cukup bahwa anak kecil ini menyesali perbuatannya.
Aku melihat kembali wajah Kouki untuk melihat reaksinya, dan Ia terlihat heran dan terkejut.
Eh?
"Kau benar-benar tidak apa-apa?" Kouki terlihat menginspeksi tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia mengusap air mata di wajahnya, "Nenek menghalangiku, kita semua, untuk melihat kondisimu. Katanya, supaya ritual yang dilakukan berjalan dengan lancar. Yah, nyatanya sekarang kamu sudah bangun. Tetapi apa kau benar baik-baik saja?"
Tunggu.
"Ritual apa?"
Jadi terbangunnya gadis ini adalah berkat sebuah ritual? Apa yang sedang terjadi. Keluarga ini bukan keluarga biasa. Aku harus mencari tahu lebih lanjut.
Tidak lama, terdengar suara pintu yang digeser. Nenek sudah kembali masuk ke kamar.
"Kou-chan.. sana bantu papa mama. Ku-chan masih perlu istirahat."
"Aku," Kouki terlihat ingin membantah dan ingin tetap tinggal. Namun pada akhirnya Ia menyerah setelah melihat tatapan nenek yang tidak bisa diganggu gugat. "Baiklah."
Kouki berjalan pelan keluar kamar dan menutup pintu dengan perlahan. Aku bisa melihatnya menoleh ke dalam kamar tepat sebelum pintu tertutup.
Nenek mendekat menghampiriku. Sambil duduk, Ia meletakkan mangkuk berisi bubur yang masih mengepul panas.
"Ku-chan, kau sudah baik-baik saja?"
"Ah.." selain kebingungan mengenai tempat keberadaanku sekarang dan tubuh baru ini, ya! Aku baik-baik saja! "Iya."
Nenek mengambil mangkuk bubur tersebut, kemudian menyendoknya. "Makan dulu sedikit, lalu istirahat. Kalau sudah sehat, nanti kau bisa bermain dengan Kou-chan lagi."
Aku melihat nenek mengaduk bubur tersebut dan meniupnya pelan. Suara dentingan antara sendok dan mangkuk membuat pikiranku mengawang. Kata ritual, ditambah dengan gumaman nenek ketika aku baru saja terbangun. Semua ini tidak terasa benar di benakku. Ini mengganggu pikiranku.
"Nenek, boleh aku di kamar dulu sendiri?"
Nenek yang sedang meniup bubur, berhenti dan menengok ke arahku.
"Maaf. Buburnya akan aku makan. Sepertinya aku masih agak pusing. Aku ingin langsung tidur setelah makan." Aku tersenyum.
"Hm.. baiklah." Nenek mengangkat sebelah alisnya, namun tetap menaruh kembali mangkuk berisi bubur di meja dekat ranjang. Ia mengusap pelan kepalaku. "Kalau ada yang ingin kau bicarakan, jangan sungkan. Ya?"
"Iya. Terimakasih."
Nenek bangun dan beranjak pergi.
Ketika akhirnya sendirian, aku menghempaskan diri ke atas futon dan menatap langit-langit kamar. Aku menghembuskan nafas.
Aku bahkan tidak tahu harus memulai dari mana. Fakta bahwa seharusnya aku sudah mati atau fakta bahwa aku sedang berada di dalam tubuh orang lain di waktu dan tempat yang jauh berbeda dari kehidupanku sebelumnya. Jika harus mengambil positifnya, kurasa aku seharusnya bersyukur karena diberi kesempatan untuk hidup kembali. Tetapi berada di dalam tubuh orang lain membuatku merasa seperti merampas kehidupan orang lain. Ku-chan yang asli berada di mana sekarang? Apakah Ia masih di tubuh ini, tetapi tertidur? Atau mungkin sudah benar-benar mati karena kecelakaan?
Aku tidak tahu apakah ini keberuntungan atau karma. Aku yang sudah tidak bergairah untuk hidup malah diberi kesempatan lagi setelah mati. Lucu sekali. Keluargaku apa kabar ya? Mereka pasti kerepotan melaksanakan pemakaman. Kematian yang sia-sia. Ah, merepotkan orang-orang lagi. Bahkan sampai mati, aku tetap merepotkan orang lain.
Aku memukul sisi wajahku, mengenai bagian yang sedang diperban.
"Ahk!" teriakku spontan.
Oke, memukul diri sendiri bukanlah sebuah keputusan yang bijak.
Sudah saatnya aku berhenti berpikir seperti itu, ya? Memarahi diri sendiri.
Kalau aku masih sempat mengasihani diri sendiri, lebih baik aku berusaha memperbaiki hal-hal yang bisa kuperbaiki.
Lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan.
Sebaiknya mulai dari mana, ya? Pertama, cepat atau lambat, orang-orang di rumah pasti akan menyadari kalau "Ku-chan" mereka tidak berperilaku seperti biasanya. Namun bagaimana reaksi mereka kalau aku memberitahukan yang sebenarnya?
'Iya, sebenarnya aku bukan Ku-chan. Anak kalian yang asli sudah mati. Sekarang aku sedang merasuki anak kalian. Ahahahaha.'
Tidak mungkin. Aku akan segera diusir.
Tetapi aku akan merasa sangat bersalah kalau menipu mereka. Berpura-pura menjadi anak mereka.
Ah. Pusing.
Aku menatap bubur yang masih mengepul di sebelahku. Tampilannya sangat menggoda dan wanginya bisa membuat orang yang kenyang menjadi lapar kembali.
Tidak ada gunanya berpikir dengan perut kosong.
Aku menyendok mangkuk berisi bubur yang mulai mendingin dan melahapnya. Dari satu suapan menjadi dua suapan. Mangkuk yang penuh bubur perlahan mulai berkurang isinya. Aku terus melahap bubur tersebut. Tanpa sadar, air mataku menetes.
Bubur tersebut habis.
Dan aku kangen rumah.
