18

.

HERMIONE menatap penyihir dihadapannya dengan tatapan kosong.

Dia sudah membuka mulutnya untuk bicara, Astoria Greengrass. Sebelum menghela napas dan bibirnya membentuk garis tipis, dia menatap lantai. Setelah pembantaian yang terjadi, pembinasaan yang dilakukan oleh hampir seluruh keluarganya, Hermione terkesima melihat perempuan itu berdiri di ruangan yang sama dengannya. Terakhir dia ingat, Malfoy Manor tersedia hanya untuk para pengikut Pangeran Kegelapan di bawah perintah Jenderal Draco Malfoy.

Hermione tidak pernah peduli apa yang terjadi dengan satu-persatu dari mereka, bahkan nasib bayi yang baru lahir dari salah satu pengikut pun.

Nyatanya, perempuan yang tampak rapuh—deskripsi seorang perempuan berdarah murni, tak pernah menerima rintangan dihidupnya—berdiri di hadapannya. Disela-sela mata biru yang sendu, Hermione seolah melihat adegan hari itu, berputar. Menghantuinya. Rambut hitamnya masih tertata sempurna. Ia berdiri anggun dengan entah berapa ratus galleon yang ia habiskan untuk gaunnya, namun tak bisa menutupi bahu yang hampir membungkuk, seolah terlalu berat beban yang ia tanggung.

"Nyonya Malfoy,"

Hermione ingin tertawa, namun sudah cukup perhatian yang ia dapat dari seisi ruangan.

"Izinkan aku memperkenalkan diriku dengan lebih layak—"

"Hermione," potong Hermione. Mata lawan bicaranya melebar sesaat. "panggil aku Hermione. Apapun, bahkan kau boleh untuk tak menatapku dan bercengkrama denganku."

"Apakah kau sangat membenciku?" tanya Astoria, ada kegetiran dalam suaranya.

"Tidak," siapa yang peduli? "kulihat Draco memberikanmu kesempatan."

"Berkat kemurahan hatinya."

"Harga seperti apa yang harus kaubayar, Astoria?"

"Kesetiaan pada Pangerang Kegelapan, yang seumur hidup tak pernah meninggalkanku."

Hermione hanya menatapnya, keinginannya besar untuk meninggalkan perempuan ini tanpa kata-kata. Alih-alih dia tersenyum, menyentuh lengannya, dan melenggang pergi.

Hermione merasakan dadanya bergejolak. Pembicaraan tadi membuatnya mual. Bagaimana bisa seseorang yang seluruh keluarganya dibantai, masih memberikan sumpah setia pada si pembantai. Satu persatu, mereka semua disaring. Yang lolos diberi ruang dan kesempatan, apakah akan lolos dalam seleksi para anggota-anggota bagian dalam yang setia. Hermione sempat bertanya-tanya apa yang dijanjikan oleh Draco pada kroninya, mengingat kemurnian tidak lagi menjadi soal.

"Kau akan tahu dunia yang kuciptakan untukmu, Hermione." Ucap Draco beberapa kali.

Dengan berbagai jenis orasi dan manipulasi. Seperti sebuah mantra. Hermione selalu mampu melihat kilatan mata yang bersinar, penuh dengan ambisi yang dapat membutakan. Terkadang kata-katanya mampu membuat rambut di tengkuknya berdiri atau gemetar.

"Apakah kau telah melihat perbedaanku dengan Potter Sang Terpilih?" tanyanya pada suatu malam, tangannya mengusap perutnya yang bengkak, saat itu kandungannya sudah menyentuh angka keempat. Napasnya hangat di puncak kepala Hermione. "aku mempunyai tujuan. Kekuatan untuk melindungi orang yang kucintai dan kekuasaan untuk memberikan ruang dalam bergerak."

Tapi semua orang-orang yang ia cintai berkahir mati.

Hermione mengabaikan setiap mata yang berusaha mencari-cari tatapannya. Dia tak ingin memberikan celah pada mereka, melihat kebocoran akan kegetiran hati yang bimbang, gelisah, dan putus asa. Draco melingkarkan tangan kirinya pada pinggulnya, dan tangan yang lain memegang segelas sampanye. Acara perkumpulan pada malam itu telah menguras banyak energinya. Namun ia harus bertahan, dalam beberapa menit ke depan Draco akan memberikannya kemurahan hati untuk kembali ke Sayap Barat.

Draco memberikan sambutan yang penuh dengan kata-kata persuasif. Mengingatkan bahwa di luar sana masih banyak pembelot yang harus diluruskan dengan cara-cara diplomatis dan gerilya. Kini ia membungkus semua kata-kata pembantaian dengan hal yang lebih manusiawi. Ukuran manusiawi bagi seorang Draco Malfoy, Hermione mendengus getir.

Ketika waktunya tiba, Tiny menjemputnya. Masih dengan seluruh tatapan mata yang mengikuti, Hermione membelah kerumunan untuk kembali ke ruangan. Tak ada yang mampu ia lakukan selain mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya.

"Apakah kau menyadari kesempatan yang selalu kuberikan padamu, Hermione?" suara Draco menyadarkan lamunannya. Ia terpekur duduk di atas tempat tidur, membelakangi pintu sehingga ia tak menyadari sosoknya yang memasuki kamar.

Apakah ia harus menjawab setiap pertanyaan semacam itu?

"Jawab aku."

"Apa?"

"Dan aku selalu bertanya-tanya kapan kau bisa bersikap di depan umum sebagai seorang Nyonya Malfoy seutuhnya."

"Apakah dengan keberadaanku saja belum cukup bagimu, Draco?"

Ia sudah tahu semua jawaban di setiap pertanyaannya. Namun hatinya tak mampu berhenti tetap tunduk tanpa perlawanan.

"Tatap mereka Hermione, mereka mengharapkanmu untuk lebih mendominasi. Mereka mengagumimu, menginginkan tempatmu saat ini."

"Kalau begitu mereka bisa mengambil posisiku, jika mau."

"Kau tahu aku tak akan pernah menggantikanmu dengan siapapun." Ucapan Draco tegas dan tak terbantahkan. Hermione bangkit, berbalik untuk mengahadapnya. Ia mengangkat dagu, menyipitkan matanya, namun tak lagi membuka mulut. Beberapa tahun yang ia lewati bersama Draco cukup memahami nada itu.

Mereka saling berseberangan, menatap dalam ruang temaram. Seolah ingin lebih menyudutkannya, Draco mengulurkan tangannya. Salah satu kebencian yang bersarang adalah bahwa dengan semua keadaan dan tanpa keinginannya, dirinya belajar untuk memahami arti-arti setiap isyarat, nada, dan bahasa yang diberikan oleh suaminya. Hermione mengerti arti tatapannya, untuk terus melanjutkan bicara atau menutup mulutnya. Dan saat ini, ketika Draco mengulurkan tangan, ia tahu bahwa dia tak menoleransi penolakan.

Hermione melangkah maju, menyambut tangan itu dengan jemu. Dia dapat memaksa tubuhnya untuk bertindak di luar kemauannya, namun raut wajahnya tak bisa dibohongi. Ketika tubuh mereka hampir besentuhan, Draco membuai wajahnya, menangkup pipinya dan tangan yang lain berada di punggungnya.

"Aku akan selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga ini, Hermione." Ujar Draco berat di telinganya. Hermione memejamkan matanya, merasakan napas Draco panas di wajahnya.

Hermione tak berani untuk mengeluarkan tanda-tanda penolakan, jadi dia hanya membatu di dalam dekapannya. Draco membalik tubuhnya, membuatnya membelakanginya. Posisi itu adalah salah satu bagian favorit sang suami, keintiman yang tak terbantahkan. Telapak tangannya mengeluas perutnya. Beberapa menit mereka dalam posisi itu dan Hermione mulai jengah.

Kau hanya mementingkan apa yang kauinginkan, pikir Hermione—tak berani menyuarakan apa yang ada di kepalanya.

Draco menciumnya, bukan jenis ciuman lembut yang mengesankan. Hermione merasakan tubuhnya menegang di bawah sentuhannya. Pertemuan malam ini dengan pengikut setia Pangeran Kegelapan telah menguras banyak energi dan batinnya. Hermione berharap Draco meninggalkannya sendiri untuk tidur dengan tenang.

Ciumannya semakin mendalam, berhasrat dan menuntut. Hermione kesulitan untuk mengimbanginya namun tetap tunduk. Ketika tangan Draco menyelinap untuk melepaskan salah satu tali gaun di bahunya, pintu ruangan diketuk. Mereka mematung beberapa saat. Draco menatapnya dengan gairah yang membara—menghela napas berat dan bosan—namun melepaskannya dengan penuh keenganan.

"Jenderal? Pangeran Kegelapan telah hadir."

Acara yang sesungguhnya dimulai. Hermione sudah cukup mendapat pelajaran bagaimana harus bersikap ketika Sang Tuan hadir di kediaman mereka, menjadikan tempat mereka tinggal sebagai tempat pertemuan berkala, beberapa kali tanpa memperhatikan kelayakan waktu yang pantas.

Terkadang, saat-saat genting dulu, Hermione harus terbiasa dan siap jika Draco terbangun dengan sigap di sisinya pada malam-malam buta. Dua kemungkinan; Sang Tuan memanggilnya untuk melintasi benua atau makhluk ganas itu menyinggahi rumah mereka. Suaminya selalu tertidur dengan tongkat di bawah bantalnya—walaupun dia ahli dalam sihir tanpa tongkat—dalam satu lambaian tangan telah berpakaian lengkap. Dengan tergesa-gesa, mencium Hermione yang masih setengah sadar sebagai ucapan selamat tinggal.

Hermione tak bisa bilang dia mencintai lelaki itu dengan semua yang ia lakukan padanya, namun ia tak pernah ingin Draco gugur di medan perang.

Melepasnya setiap malam, merelakannya pada setiap misi; kau harus siap jika saat itu adalah saat terakhir kau melihatnya, Hermione. Pansy pernah berkata padanya, dan dia bersungguh-sungguh dalam mengingat hal itu.

Hermione mulai terbiasa dengan hal-hal di luar akal sehatnya, yang tidak akan mungkin ia lakukan di tiga tahun lalu. Terkadang ia mempersiapkan pesta-pesta yang diadakan di Malfoy Manor. Terkadang ia harus memainkan peran pada kegiatan-kegiatan amal di Dunia Sihir London seperti Ratu Elizabeth Inggris yang murah hati. Dia adalah salah satu istri dari petinggi di negeri ini, mengingat Voldemort tidak mempunyai istri untuk dirinya sendiri.

Usaha Draco dalam memberikan kembali suara pada Kelahiran Muggle membuahkan hasil yang signifikan. Kaumnya mulai kembali mendapatkan posisi dalam pemerintahan, sektor usaha dan kalangan masyarakat. Jika dulu Draco sering memukulnya lebam membiru, maka dia menjadi seorang Santa Claus bagi masyarakat Sihir di London. Menyebarkan kebaikan dan selalu memberikan keputusan yang tepat dalam setiap permasalahan.

Tapi, seorang Draco Malfoy tetaplah seorang Malfoy. Kelicikan dan kearoganan mengalir dalam setiap saluran pembulu darahnya. Ia selalu mempunyai tujuan yang berhubungan dengan kepentingannya sendiri dalam setiap perbuatan. Mereka tak sebanding dengan kejeniusannya untuk melihat hal itu.

Hermione menyadari bahwa Draco tak benar-benar menghilangkan fanatiknya pada Darah Murni adalah yang terbaik. Namun demi kepentingannya—dia tak bisa membiarkan istri dan anak-anaknya nanti menderita, menjadi sebuah momok dan bahan lelucon betapa kotornya mereka pada dunia yang mereka ciptakan.

Draco tak pernah main-main dalam setiap kata-katanya, "Lihat bagaimana aku memberikanmu dunia dan seluruh kemegahannya, mereka akan tunduk di bawah telapak kakimu, Hermione."

Dan mereka benar-benar tunduk padanya. Para Darah Murni itu mengecup punggung tangannya dalam setiap pesta, orang-orang berbaris untuk sekedar menatapnya—mengakui betapa beruntung dan indah dirinya—di jalanan Diagon Alley jika dirinya mengunjungi tempat itu. Mereka selalu mempunyai pelayan setia dan Peri Rumah untuk diperintah jika membutuhkan sesuatu untuk dibeli, namun Draco selalu memaksa bahwa terkadang sebuah pertunjukan adalah hal yang layak untuk ditampilkan.

Semakin tinggi posisinya pada Anggota Inti, Draco semakin sering meninggalkan Manor. Voldemort sendiri mengutusnya untuk melakukan perjanjian diplomatis dengan Bangsa Sihir di luar London. Membangun jejaring dengan lebih gerilya, istilah yang sering Draco sebutkan dalam setiap usulannya. Kekuatan pengikut kesayangannya amat dahsyat, karena Sang Tuan selalu mendengarkannya.

Hermione terkadang kesepian melewati hari-hari, beberapa waktu ia menyibukan diri untuk menyulam beberapa pakian untuk Peri Rumah—Hermione menuntut agar mereka semua dibebaskan, bekerja di Manor dengan upah yang layak—Draco tak kuasa selain mengabulkan keinginan istrinya. Frekuensi perdebatan mereka jauh berkurang. Hermione lebih sering membiarkan Draco menang dalam setiap argumen, meninggalkannya tanpa perlawanan atau terkadang mematuhi perintahnya dengan mulut terkatup rapat, dan tentu saja dengan gigi gemertak.

Ia ingin mencoba untuk berjalan-jalan di sekitar Manor. Namun ketika berada sendirian di luar, melihat sekeliling kastil dan hutan belantara, entah mengapa selalu mengingatkannya akan Hogwarts. Hal itu membuat hatinya sedih merana, suatu waktu karenanya ia menghabiskan waktu di kamarnya untuk menangis. Draco yang menyadari setiap kebiasaan istrinya, berusaha mengehela napas dengan sabar dan membawanya pada pelukan. Semasih Hermione tidak membantah kata-katanya, ia tampak seperti sosok suami pada umumnya.

"Hermione?"

Hermione terlonjak, seperti dibangunkan paksa dari tidurnya. Ketika membuka mata, ia meringis merasakan sinar matahari menerjang penglihatannya tanpa ampun. Ia kebingungan beberapa saat. Perut bengkaknya membuatnya sulit untuk duduk. Ketika ia menyadari seseorang di balik pintu kamarnya, Hermione tergeragap, mencari-cari jubahnya untuk merangkap gaun malamnya. "Siapa?"

"Blaise."

Hermione mengernyit, mencerna baik-baik apakah ini bagian dari fatamorgana karena belum sepenuhnya ia sadar dari tidurnya. Namun menyadari lelaki itu memanggilnya lagi dengan nada yang tak sabar, ia yakin bahwa sosok di balik pintu adalah Blaise Zabini.

Hermione bangkit dan berjalan menuju pintu, ketika dibuka—seperti disiram oleh air yang dingin—kenyataan menyadarkannya. Sudah berapa lama ia terkahir kali melihat kawan berkulit gelapnya? Tak diragukan lagi bahwa ia benar-benar merindukannya.

"Hermione kau—"

Kata-kata Blaise tersekat saat Hermione menghambur dan memeluknya. Beberapa saat lelaki itu ragu, bagaimana harus bereaksi. Namun Hermione meyakinkannya, memeluknya semakin erat, menenggelamkan wajahnya pada lekukan lehernya.

"Blaise… teganya kau meninggalkanku sendirian dengan waktu selama ini."

"Apakah kau benar-benar kehilangan sosoku? Oh, dasar kau perempuan yang gemar bersandiawara, jangan kau pikir aku tak melihatmu melenggak-lenggok di Diagon Alley, tanpa beban—"

Hermione melepaskan pelukannya, matanya berbinar-binar. Ia menunjuk perut besarnya. "Tanpa beban, katamu?"

Blaise memutar bola matanya, namun pada akhirnya ia tersenyum. Senyum yang tulus dan lembut, ekspresi yang hanya dimiliki oleh Blaise seorang. "Kehamilan benar-benar cocok denganmu, Malfoy."

Hermione tersenyum, kilatan kebahagiaan terpancar di wajahnya. Pagi itu adalah pagi paling cerah selama ia kembali ke Manor, ia menyimpulkan. Dengan memasuki usia kandungan bulan ke delapan, Hermione menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar bahagia selama masa kehamilannya. Terkadang ia mengkhawatirkan kondisi bayinya, apakah ia bisa merasakan penderitaan dan kesedihannya.

Ketika Hermione meminta waktu untuk mandi dan berpakaian lebih layak pada pagi hari itu, Blaise sudah menunggunya di tempat makan yang terletak di taman belakang Manor, dimana tempat Draco mengajak tamu-tamunya menghabiskan santapannya jika mereka berkunjung. Dari gerak-geriknya, Blaise sudah mengetahui absennya Draco pada saat itu dan kemana ia pergi sehingga ia tak menanyakannya pada Hermione. Alih-alih, ada banyak pertanyaan yang siap Hermione layangkan padanya.

"Pangeran Kegelapan mengirimku untuk menetap di Rumania, berdiplomasi dengan komplotan vampir dan makhluk sihir lainnya." Jelas Blaise ketika Hermione menanyakan keberadaannya.

"Apakah Marietta dan anakmu ikut?"

Blaise mengangkat bahu, Hermione terkejut dengan sikap acuhnya. "Mereka punya kehidupan yang lebih baik jika di sini, kan?"

"Pangeran Kegelapan tidak mengirimu untuk menetap di hutan dan melakukan misi berbahaya. Kau adalah tamu kehormatan di Bangsa Sihir Rumania, kita berdamai dengan mereka." Hermione mengernyit.

Blaise tidak menjawab, Dia mulai mengeluarkan rokok dari sakunya, memberi isyarat izin pada Hermione. Dengan anggukan singkat Hermione memperbolehkannya.

"Kau masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kau sudah memiliki seorang istri bahkan anak, Blaise."

"Kau sudah bisa menerima posisimu dengan sukarela, kusimpulkan?"

"Kita berada dalam sudut pandang yang berbeda."

"Aku tak melihat perbedaan, ketika kau dipaksa untuk terikat dalam suatu ikatan yang tidak kauinginkan. Kecuali kau sudah berangsur-angsur memaafkan semua yang ia lakukan padamu, Hermione."

Yang mana dalam kasusnya, agak mustahil. "Aku berusaha untuk terus melanjutkan hidup."

"Begitu juga denganku."

Dia lupa bahwa lelaki di hadapannya adalah salah satu dari beberapa lelaki yang pandai dalam bersilat lidah. Jadi Hermione berusaha untuk tak melanjutkan topik itu lebih jauh. Blaise adalah orang yang berwawasan terbuka, namun ia cukup tertutup dalam hal kejadian-kejadian pribadi yang menimpa dirinya. Ketika ia mencoba membuka diri, Hermione tidak ingin bersikap menghakimi tindakannya.

"Apakah kau tahu bahwa Pangeran Kegelapan telah menyingkirkan Thicknesse?"

"Tidak, apakah ini rahasia tingkat tinggi?"

"Oh, tidak. Kau akan segera melihat beritanya." Ujar Blaise, meringis ketika menghembuskan asap rokok. "untuk orang kepercayaan baru."

"Bukan karena ketidakcakapannya? Kau bercanda?" Hermione mengernyit, otaknya berpikir keras. Lalu terbelalak ketika sebuah asumsi terlintas di benaknya. "kaukah itu? Sang Menteri Sihir Baru?"

Blaise mendengus, menghembuskan asap rokoknya, dan menggeleng samar. Seringai mengejek terhias di wajahnya. "Kau lupa bahwa keahlianku hanya sebagai sosok di balik layar?"

Hermione tidak menjawabnya, terjerembab dalam kebingungan. Tentu saja kepulangan Blaise mempunyai tujuan. Hermione menyimpulkan bahwa ia berhasil membangun jejaring dengan para vampir dan komplotan makhluk sihir, sehingga menjadi Menteri Sihir merupakan penghargaan yang sepadan. Belum lagi memperhitungkan betapa luwes dan terbukanya wawasan lelaki di hadapannya ini dalam setiap problematika.

"Theodore Nott, Hermione."

Hermione pasti salah dengar.

"Dia adalah Menteri Sihir pengganti Pius Thicknesse." Lanjut Blaise.

Theo? Setelah sekian lama dan absennya dalam segala kejadian? Apa yang ia lakukan sehingga mencuri hati Tuannya, memberikannya kepercayaan untuk mengemban tugas yang tak main-main tanggung jawabnya? Bahkan Draco adalah sosok yang beberapa kali lebih meyakinkan, jika dibandingkan dengannya, dengan nilai tambahan ahli dalam duel dan kemampuan teknis lainnya.

Bukankah Draco telah membuangnya pergi, menikahi perempuan entah berantah dan pasti melarangnya untuk kembali?

"Cukup mencengangkan apa yang pernah terjadi antara kau dan dia, tapi semakin jelas terlihat motif dari segala hal yang ia lakukan kepada Pangeran Kegelapan."

"Dia masih terlalu muda, terlalu riskan untuk mengemban tanggung jawab itu." Kata Hermione, mencoba sebisa mungkin menghindari topik dirinya dengan Theo di masa yang lalu.

"Terlalu muda untuk menyusun strategi pemberontakan pada Negara-Negara Eropa Timur?"

Hermione membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Seperti orang yang kalah telak dalam sebuah pertengkaran. Jadi, dia adalah salah satu orang kepercayaan Voldemort di luar sana. Daerah Eropa Timur merupakan tanggung jawab Barnaby Greengrass, namun Hermione yakin semenjak hari pembantaiannya, wilayah-wilayah itu membutuhkan pendekar baru sebagai penakhluk. Dan pertanyaan baru muncul, bagaimana cara ia melakukannya?

"Aku telah bersamanya hampir seluruh hidupnya, Hermione. Jika kau pikir Draco adalah binatang buas dan licik, maka Theo tidak jauh berbeda. Namun dengan cara yang lebih sistematis dan terkontrol. Dia tak menggunakan kekerasan dalam mewujudkan keinginannya, namun ia memanipulasi, memberikan kata-kata persuasi, sehingga orang akan lebih mudah terhipnotis denganya."

"Sedangkan Draco lebih memilih cara yang brutal dan barbar dalam setiap tindakannya."

"Hal yang membuatnya tampak lebih buruk, ya."

"Aku yakin Draco telah mengetahui berita ini."

"Tentu saja, bagaimana pun Draco adalah tangan yang lain dari Pangeran Kegelapan."

Hermione memejamkan matanya, mencerna setiap detail berita yang baru saja ia terima. Itulah sebabnya Draco tidak kembali pada malam ini—hingga saat ini. Mungkin ia sedang melakukan konfrontasi, bertaktik agar Pangeran Kegelapan mempertimbangkan keputusannya. Apa lebih jelasnya yang ia lakukan? Mengekori setiap pergerakan Tuannya, memohon untuk mencabut keputusannya? Atau kembali membantai habis keluarga mantan sahabatnya?

Bisa jadi Draco telah membuka kembali jalur pertemanan dengannya, jauh sebelum ini, tanpa diketahui oleh Hermione. Apakah ini salah satu skemanya?

Apa pun yang terjadi, Hermione tidak ingin salah langkah. Dia kembali memutar pikirannya, perlahan-lahan mencerna setiap kemungkinan yang terjadi. Theodore Nott, Menteri Sihir, masih terlalu muda dan terlalu riskan.

Dua hari setelah kedatangan Blaise, Hermione mulai mendapatkan surat-surat tanpa nama yang dikirimkan langsung untuknya. Hanya beberapa bait kata—namun otaknya sudah mampu memprediksi dengan jitu—darimana surat ini dikirim.

'Yang amat merindukanmu. Satu-satunya cahaya hidupku, Hermione. —T"

Tentu saja surat itu dengan mulus mendarat di perapian, terbakar habis tak tersisa bangkainya. Tidak puas, Hermione masih menatapi api yang menjalar. Berpikir apakah trik selanjutnya wajah Theodore Nott yang muncul di perapian kamarnya. Dia benar-benar telah mengobarkan bendera perang jika hal itu sampai terjadi.

Draco tidak banyak menghabiskan waktu dengannya akhir-akhir ini. Hermione bisa merasakan kegelisahan dari perangainya. Tapi Hermione tidak sampai hati bertanya apa yang merisaukannya—walaupun ia tahu betul apa dalang dari kepergiannya dan kegundahan hatinya. Hermione menyimpulkan bahwa keputusan Pangeran Kegelapan merupakaan keputusan yang diambilnya tanpa kesepakatan semua Anggota Inti. Karena selama ini, suara Draco selalu diperhitungkan dalam setiap pilihan.

Hermione menatap tubuhnya di cermin ketika tangan Draco menyusup mengelus perut bengkaknya malam itu. Dia masih lengkap memakai baju Pelahap Mautnya. Sang Jenderal kali ini tak mampu menyembunyikan wajah jemu dari sang istri.

"Apakah sesuatu telah terjadi, Draco?"

Draco tidak langsung menjawab, melainkan membungkuk untuk mencium tengkuknya. Hermione memejamkan mata, rasanya sudah lama dia tak merasakan buaiannya. Dia sudah belajar banyak dari semua keadaan, bagaimana menghambat rasa panas pada kulitnya akan sentuhan itu. Dia telah belajar bagaimana mengendalikan amarah ketika Draco membelai punggungnya—seperti kuda jinak, ia selalu berkata. Tak segan untuk mengulangnya pada kroninya.

"Apakah kau berkeinginan untuk tinggal di negara lain?"

Hermione mengerutkan dahinya, ada firasat bahwa dia tak akan menyukai arah pembicaraan ini. "Tidak, di sini lebih baik dari tempat mana pun."

"Kau selalu bilang kalau kau mencintai Paris."

"Tapi tidak untuk menetap di sana, Draco."

"Kau selalu mencintai desain kuno—walaupun tak sebesar Manor di Wiltshire, tapi kurasa cukup untuk anak-anak kita nanti."

Hermione berbalik, dia menatap Draco dengan pandangan teguh dan mantap. "Melahirkan dan mendidik anakku sendirian, maksutmu?"

"Hermione, aku tidak akan—"

"Bahkan saat ini kau sulit untuk membagi waktumu untuk bermalam di Manor, Draco." Potong Hermione. "sudah cukup sulit bertahan dan kau juga menjauhkanku dari orang-orang yang saat ini bisa berhubungan denganku?"

Dia ingin menyebut Order sebagai tambahan, bahwa kehidupan di Era Baru seperti Neraka baginya dan bagaimana ia bangkit dari segala keterpurukan. Namun bibirnya tak sampai hati berucap, ia tak akan kuasa menahan reaksi yang Draco timbulkan. Jadi dia hanya menyangkutkan pada Pansy, Blaise dan orang-orang yang masih bisa bertegur sapa dengannya ketika mereka bertemu.

"Aku tidak ingin membangun kehidupan sosial baru lagi, Draco. Terlalu menjemukan bagiku. Aku juga tidak ingin merusak kehidupan orang lain—pikirmu kau bisa memanggil mereka datang dan pergi ke Paris untuk menemaniku—aku tidak mau."

Bisakah dia mempunyai kehidupan normal? Hermione ingin bertanya, namun diurungkan.

"Aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu, Hermione." Kata Draco, menyentuh kedua lengannya. Sentuhan itu seolah membakarnya, seperti ledakan yang berusaha sekuat tenaga ia redam di kepalanya.

"Apa yang terjadi?" tanya Hermione. "kenapa aku harus kembali bersembunyi?"

"Aku tidak menyembunyikanmu dari apa pun. Aku hanya ingin kau mempunyai lingkungan yang lebih baik."

"Kau sudah menciptakan tempat dimana aku bisa menjadi seorang bangsawan, dimana mereka bertekuk lutut melupakan status darahku." Ujar Hermione, kata-kata itu jelas bukan merupakan bentuk pujian.

"Dan kehidupan yang baik untuk anak-anak kita nanti."

"Bisakah—tolong—kau berhenti untuk menyebutkan bahwa kita akan mempunyai lebih dari satu anak!" Hermione tak mampu lagi menahan amarahnya. Dia menepis tangan Draco, berbalik untuk memunggunginya.

Tentu saja Draco Malfoy adalah seorang penuntut, dia mengekorinya. "Aku sudah mengatakan padamu, aku selalu ingin mempunyai banyak keturunan denganmu."

"Apa yang terjadi saat ini—kau tahu betapa sulitnya aku melalui ini—tapi kau selalu menuntut, tidak peduli seberapa aku membencinya."

"Jangan membahas ini lagi, Hermione."

"Biarkan aku bangkit sepenuhnya, Draco." Ujar Hermione lirih. "Aku tak ingin tahu apa yang sedang terjadi, aku bersumpah tak akan mencari tahu, tapi aku ingin tetap berada di sini. Inggris adalah sisa-sisa terakhir kenanganku."

Karena dia sudah mengahancurkan segalanya—Hogwarts, sihirnya dan Harry.

Draco terdiam beberapa saat, menilainya dengan seksama seolah membongkar ketulusan dari kata-katanya. Dia pikir Draco akan melancarkan ancamannya, memanipulasinya. Namun jemari lelaki itu merengkuh pipinya, membelainya dengan perlahan. Emosi yang membara seolah teredam, Hermione memejamkan matanya. Entah berapa nyawa yang telah merenggang di tangan itu, Hermione tidak ingin membayangkannya.

Logika seperti apa, orang yang sama bisa menciptakan kemarahan sebegitu besarnya, dapat juga memendam kemarahannya sebegitu hebatnya?

Draco menciumnya, Hermione menghirup aroma nikotin dan mint dari bibirnya. Aroma yang selalu sama. Apakah seperti ini rasanya mencium seseorang? Karena dia sudah melupakan bagaimana mencium orang lain di hidupnya. Rasanya Draco telah merenggut semua rasa dan kenangan itu.

"Baiklah, aku akan memberikanmu waktu." Ujar Draco pada akhirnya, setelah mereka berpelukan dalam waktu yang lama. Sayangnya pernyataan itu tak mengangkat beban di pundaknya. Draco hanya akan mengulur waktu, bukan membebaskannya dari tuntutan.

"Draco, bolehkah aku meminta satu hal?"

Draco tidak langsung menjawab dan menatapnya lekat. "Apa itu?"

"Aku ingin kau melepaskan Order dari bentuk perburuan apa pun."

Draco mendengus, seolah-olah kata-katanya adalah sebuah lelucon. "Kita sudah pernah membahas ini."

"Aku tidak pernah meminta apa pun semenjak kembali ke Manor, Draco, dan aku tahu kau cukup bijak untuk menilai bahwa aku sudah mampu menguasai diri."

"Hermione,"

"Kau tidak harus memutuskannya sekarang, karena aku tahu kau selalu membutuhkan perhitungan yang matang pada setiap langkahmu." Hermione menyentuh pipinya dengan kedua telapak tangannya. "aku telah melakukan apa pun—aku akan melakukan apa pun—"

"Ini rencanamu, kan? Menjebaku dalam permintaan yang sama, ingin kau menjadi istri seorang Malfoy seutuhnya, mengandung anak-anaku, semua itu tak bisa kaulakukan secara cuma-cuma."

"Mereka adalah keluargaku, Draco."

"Kau sudah mempunyai keluarga yang baru,"

"Tak bisa mengenyampingkan kenangan yang ada. Mereka masih hidup di luar sana, bertahan dan aku tidak pernah berjuang bersama mereka."

"Aku seorang Jenderal, Hermione. Tugasku adalah memberantas pemberontak."

"Apakah artinya kau tidak bisa menyanggupi permintaanku?"

"Pangeran Kegelapan bisa berdamai dengan negara-negara lain, tapi tidak dengan Harry Potter, kau tahu itu."

"Baiklah, jika hanya itu yang bisa kaulakukan," Kata Hermione penuh penekanan dalam setiap kata-katanya. "mungkin Theodore Nott bisa membantuku."

Tepat setelah ia selesai berbicara, Hermione merasakan punggungnya sakit bukan main karena Draco telah mendorongnya ke dinding. Dia merasakan lengannya kebas akibat begitu kuatnya lelaki itu mencengkramnya. Hermione hanya bisa meringis seraya memeluk perutnya sebagai bentuk perlindungan.

"Jangan pernah kau berani menyebut namanya," kata Draco dengan nada berbahaya, seolah-olah emosi telah membakar deru napasnya yang panas di pipinya.

Hermione merasakan air mata merebak, sudah lama Draco tidak melayangkan tangan padanya, atau mungkin hormon lah yang saat ini menguasainya. Tubuhnya bergetar, namun tekadnya bulat untuk tak menunjukan kelemahan padanya.

"Aku tidak akan memburu teman-teman kecilmu, Hermione, namun jika mereka membuat keributan, menyentuhmu seujung rambut, kepala Potter akan lebih dulu jatuh ke tanah sebelum dia bisa berkata 'kemenangan'."

Draco melepaskan cengkramannya dengan sentakan. Hermione menarik napas dalam, memejamkan matanya ketika merasakan paru-parunya diisi oleh oksigen yang lama ia tahan. Dia sudah berani menyulut api dan sekarang ia harus menanggung resiko kobarannya.

Hermione menghindari tatapannya, terpaku menatap lantai. Air mata telah membasahi pipinya. Draco berjalan menjauh meninggalkannya. Namun sebelum dia menghilang di balik pintu, dia berbalik.

"Dan dengan itu, kau selalu akan mempunyai janji yang harus kau jaga, Hermione."