Chapter 7: Edward Mustang
Dua tahun telah berlalu. Hari ini genap Roy dan Riza kembali berulang tahun di umur mereka yang ke 19 dan 20. Mereka masih tetap tinggal bersama, di apartemen mereka itu, namun bukan lagi dengan status sebagai kakak beradik seperti dulu. Roy sekarang sudah bekerja di Military negara itu, dan langsung menempati pangkat major, karena ia diangkat sebagai state alchemist. Berbeda dengan Riza, gadis itu sekarang juga tidak lagi bersekolah. Setiap hari ia mengurus suaminya- tidak, tepatnya mungkin calon suaminya, juga anak mereka yang baru berumur 1 tahun.
Mereka berdua hingga sekarang belum mendaftarkan diri ke catatan sipil, berhubung karena lagi pula umur mereka juga masih belum memenuhi. Tapi, nanti setelah kelahiran si kecil ini, Roy berjanji akan segera mendaftarkan nama mereka sehingga mereka bisa menjadi sebuah keluarga yang sah.
"Roy… bangun…. Nanti kau telat lagi ke HQ…" bujuknya membangunkan kakaknya(masih juga memanggil kakak !) yang masih tetap pemalas itu.
"aah… hari ini aku ambil day off…."
"iya…tahu..tahu… tapi tetap saja…."
"5 menit lagi, Riza…" cowok itu menawar dalam tidurnya yang lelap.
"Kau sudah bilang itu sejak 1 jam yang lalu, sebanyak 12 kali 5 menit lagi, Riza !" teriaknya akhirnya tidak sabar. "OKE ! kalau begitu…."
"IYAAAaaa….."
Gaya bangun Roy dari hari ke hari tetap saja tidak berubah. Walau sekarang dia sudah bisa dibilang menjadi seorang ayah, tapi yah… dia tidak bisa menjadi seorang contoh yang baik untuk anak mereka yang masih kecil.
"Pagi Riza…" Sapanya lalu segera memberi sebuah quick kiss padanya. Setelah itu, ia langsung mengelus perutnya itu, dan mendengarkan suara dari dalamnya. "hey…. Kalau dia lahir, nanti mau kita beri nama siapa ?"
"kalau cewek….?"
"Riza saja…" usul Roy. "kalau cowok….?"
Keduanya berpikir sesaat. "bagaimana dengan….."
"HWWWAAAAaa !" sebuah tangisan keras menyentak percakapan singkat mereka. Riza segera berlari keluar melihat anak 1 tahun mereka yang sepertinya ada yang tidak beres.
"Edward ! Kenapa !" Dilihatnya anak mereka itu telah menaruh tangannya di perapian, dan sepertinya ia terbakar sedikit.
"mama…. Hiks… .hiks…hiks…" anak lelaki berambut emas itu menangis terisak-isak dalam dekapan ibunya.
Roy yang baru bangun segera menyusul kedua anggota keluarganya ke ruang keluarga mereka. "kenapa ?"
"tangannya terbakar sedikit di perapian.."
Roy tersenyum kecil. Ia menunduk ke arah Riza dan mengambil Edward dari dekapnnya. Diangkatnya tinggi-tingi si kecil, dan lalu mulai ditimang-timang.
"sshh… jangan nangis….masak jagoan nangis… gimana nanti mau seperti papa kalau sudah besar ?"
"ta..tapi..sakit….papa..hiks…sakit…." bocah kecil itu kembali merenggek.
"shh….anak papa enggak boleh cenggeng begitu… senyum dong…" lalu ia menggelitiiki Edward hingga bocah itu kembali tertawa. Riza yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tergeleng sambil menahan senyumannya.
-- breakfast time—
"Roy… hari ini kau ambil day off, kan ?" tanya Riza sambil menyuapi Edward makan. Roy mengangguk. "2 minggu malah…. Habisnya Amestris juga tenang-tenang aja kok…."
"mau ke Liesenburgh ?" tanyanya tiba-tiba.
Seketika juga, raut muka roy berubah. "kenapa ?"
"Aku mau ketemu Trisha… temanku dulu….Kudengar dia baru menikah dengan seseorang bernama Hohenheim Elric, dan…." Belum Selesai perkataannya, dipotong oleh roy.
"Hohenheim… salah satu alchemist yang cukup tenar, bukan !" katanya lalu meminumkan anak mereka susu lagi. "menarik…. Teruskan, sergeant…"
"hey…." Kali ini Riza yang mulai cemberut. Cukup kesal juga ia dipanggil pangkatnya dalam military. Ya… beberapa bulan setelah Edward Mustang lahir, ia ikut masuk dalam military bersama Roy, dan baru-baru saja ia kembali mengambil cuti, karena kedatangan si kecil mereka yang sekarang sudah berumur 8 bulan lebih. "Lihat aja… nanti malam, kau tidur di sofa, Roy…"
"iya..iya…. oke, kalau begitu, kita ke Liesenburgh deh…hitung-hitung refreshing sebentar…. Cepetan, ngepak barang !"
XXxxXXXxxXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxXxXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
"RIZA ! Roy !" teriak Trisha Elric tidak percaya. "Masuk… ayo !"
Riza tersenyum. "perkenalkan.. ini anak pertama kami, Edward Mustang…Ed, coba panggil tante…" ujarnya sambil mengambil Edward kecil dari dekapan roy.
"tan..te !"
"Waa…. Lucunya…Oh, ya… sebelum waktu makan malam, masih ada waktu kalau kalian mau lihat-lihat keadaan di Liesenburgh… taruh barang-barang kalian di sini dulu saja…"
"Thanks…"
Sore itu, Roy dan Riza memutuskan untuk membawa Edward jalan-jalan melihat kampung Liesenburgh itu. Edward dengan manjanya digendong oleh roy di pundaknya.
"k.u..pu…kupu ! Mama ! Papa ! Kupu-kupu !" Edward kecil berteriak riang melihat seekor kupu-kupu. "papa ! kejar ! Mau turun !"
Roy menoleh ke arah riza sebentar, dan gadis itu mengangguk. "hati-hati, ya !"
Edward mengangguk, lalu kemudian berlari mengejar kupu-kupu itu di padang rumput yang luas tersebut. Riza tersenyum kecil memandang anak itu. Lalu mereka berdua mencari tempat yang rindang- dibawah pohon.
"capek !"
Roy mengangguk kecil. "tapi gak banget lah…"
"sini !" ajaknya sambil menyuruh Roy meletakan kepalanya di atas pala-palanya. Riza membelai rambut hitam lembutnya itu sambil mengamati anak mereka yang berlarian di padang rumput. "heran… Edward sama sekali enggak mirip kamu, roy…"
"yaah.. jangan lihat dari perawakannya doang dong ! Dia akan kulatih jadi flame alchemist selanjutnya…" cowok itu lalu meletakkan tangannya di atas perut riza. "tapi kuharap yang selanjutnya akan lebih mirip aku…"
"iya…iya… biar adil…."
Keduanya lalu terdiam dalam sebuah kesunyian.
"Roy…"
"hm !"
"th..thankyou banget…. Kamu selalu ada di sisiku…. Aku enggak tahu, bagaimana kehidupanku kalau enggak bersama-sama dengan kamu… dan…"
"psst !" roy menghentikannya sambil menaruh dua buah jarinya di bibir lembutnya. "kenapa bicara seperti itu sih ?"
"enggak… aku cuma berpikir…" kembali gadis itu menatap Edward. "…aku tidak sanggup hidup tanpa orang yang selalu mendorongku… yang selalu disisiku.. dan rasanya aku belom pernah bilang terima kasih…"
Tidak ada tanggapan lain, selain tawa menggelegar dari roy. Sampai sekarang, ia masih heran, kalau rizanya itu masih juga polos dalam berbicara.
"aduh.. riza…riza… !" ia terengah-engah sebentar. Sekilas tawa masih tersisa dalam perkataannya. "aduh ! jangan ngelawak dong ! aduh ! perutku sakit, deh…kebanyakan ketawa !"
Geregetan, bercampur kesal, urat nadi di kepalanya pun keluar. "Hey…coba katakan itu sekali lagi !" Riza sinis sambil menarik kedua pipinya ke samping. "ayo !"
"aaww…awww. ! gila ! sakit ! eeey ! Riza !"
gantian, kali ini pihak cewek yang tertawa terbahak-bahak. "sukurin ! Kalo berani ngomong kayak gitu lagi… entar malem, tidur aja di sofa sana !"
Roy getar-getir kaget, dan beranjak dari posisi tidurnya, dan duduk dihadapan riza. Ia mendorong gadis itu sedikit kebelakang, sehingga tinggi mereka kini sama. Kedua mata mereka bertemu. Mata hitam ebony, dengan cokelat hazzle… sebuah tatapan yang cukup untuk menggambarkan perasaan mereka sekarang. Tidak tanggung-tanggung lagi, keduanya menyatukan bibir mereka dan tidak melepaskan pelukan satu sama lain, hingga salah satu dari mereka hampir kehabisan nafas.
"bagaimana ? berani bilang tidur di sofa lagi ?" reputasinya sebagai womanizer tidaklah hilang hingga sekarang. Ia tersenyum, dengan sebuah senyuman nakal menghiasi wajah tampannya, yang menunjukan wajah oh-sungguh sempurna-bagaikan-wajah-bayi-yang masih polos itu.
Riza tidak menjawab. Hanya blushed sebentar. "ahh…sudahlah ! Ayo, Edward ! kembali ! sudah mau petang !" teriaknya mengganti subyek sebelumnya. "kalau tidak nanti kami tinggal !"
"iyaa !"
Trisha Elric memandang sambil tersenyum ke arah jendela, melihat keluarga yang bahagia itu sedang berjalan menuju rumahnya. Melihat anak mereka, Edward Mustang kecil, membuatnya senyumnya itu tiba-tiba sirna. Hatinya sedikit pedih, dan ia tahu, itu adalah sebuah kenyataan…
