Chapter : Riza Hawkeye

Kolonel Roy mustang memandang salju yang turun di luar jendela. Tertangkap dalam pandangannya sebuah keluarga sedang bermain timpuk-timpukan salju. Si gadis kecil menimpuk ayahnya, ayahnya membalas melemparkan bola dingin itu ke ibunya, dan ibunya membalasnya pada sang ayah, dan seterusnya. Mereka tertawa dalam bahagianya.

"Sir.. tolong selesaikan pekerjaan anda… tidak ada waktu untuk melamun." Tegur Hawkeye padanya.

"strict sekali, lieutenant ? di luar sana, semua orang sedang bersantai-santai.. tapi aku, terkurung di sini ? Ironis sekali.."

CKLIK ! "Tolong selesaikan tugas anda, sir… hari ini ada kunjungan dari Central, dan saya berharap anda dapat menyelesaikan tugas anda sebelum tugas berikutnya lagi datang."

"ya..ya…ya…."

Yep ! Itulah Riza Hawkeye yang sekarang ia kenal. Tetap tegas, berwibawa, disiplin. Dan, sekarang hubungan mereka sudah tidak lagi seperti dulu. Rencanyanya untuk mendaftarkan mereka sebagai keluarga sudah hancur total. Kandas tenggelam di dasar laut.

Ia masih ingat betul hari dimana Riza Mustang, menjadi Riza Hawkeye, sepenuhnya. Waktu itu, mereka sedang dalam perang Ishbar…. Suara bising meriam, ledakan… semuanya terputar ulang dalam memori Roy.

"Major ! Sergeant ! Kemari sebentar ! Kita disuruh berkumpul untuk menyaksikan sesuatu !"

Kedua orang itu segera memenuhi perintah dan pergi ke tempat dimana mereka dipanggil. Pemandangan yang mereka lihat, tidak asing dari biasanya. Hanyalah tentara penembak berjejer, bersiap menembaki korban yang dianggap memboikot.

"Kalian tahu, kalau ada peraturan bahwa hubungan persahabatan di military tidak diperbolehkan ?" tanya Brigjen Basque Gran dengan keras. Kedua orang tersebut hanya mengangguk pelan, pasrah.

"Lalu kenapa dilanggar ?"

Tidak ada jawaban.

"Semua yang ada di sini… perhatikan ! Peraturan yang ada di Military bukanlah hanya kata-kata semata yang dibuat untuk memenuh-menuhkan hukum di Amestris, tapi UNTUK DIPATUHI!" teriaknya, lalu ia memerintahkan pada seluruh unit di sana. "TEMBAK MATI !"

Kira-kira ada 20 tembakan, lalu keduanya jatuh rebah bersama. "inilah hukumannya bagi yang mau melanggar hukum di military. Bukan hanya peraturan persahabatan.. tapi juga untuk peraturan yang lain. Semua mengerti ?"

"SIAP !"

Malam itu, Riza tidak dapat tidur nyenak. Bayangan sekumpulan orang berderet siap menembakinya, dan roy juga, selalu menghantuinya.

"Tidak bisa tidur ?" tanya Roy dari luar sambil menghobah masuk ke dalam tendanya. "besok kita akan melakukan penyerangan lagi. Istirahat yang cukup."

"Roy…" Riza menarik Roy masuk. "aku ….takut…"

"Riza… sebenarnya… ada yang perlu kukatakan padamu... mengenai hubungan kita…"

Kata itu kembali menghantuinya. Ia juga takut..

"Dengar, riza… bukannya apa… tapi.. aku…kurasa ini yang terbaik.. kita harus menjaga hubungan kita hanya sebatas atasan dan bawahan saja.. tidak lebih dari itu." DEG ! Kalimat tersebut menusuk dalam ke hati riza. "… bukannya aku tidak sayang.. tapi..tapi justru aku tidak ingin menyia-nyiakan nyawa kita. Sudah cukup ed & al dikorbankan… kalau kita lewat.. apa gunanya…?"

"hahaha… tidak apa-apa kok, roy… toh memang kita sudah berkorban banyak…hahaha…" Riza berusaha tegar untuk tidak menangis.

"Riza…."

"hahaha… tidak apa- apa..kok…"

Roy tidak tahan akan sikap riza yang selalu bersembunyi dibalik topeng itu. Ia tidak suka. Ia tahu, Rizanya sedang kesakitan, menahan penderitaan harus berpisah. Secepat kilat ia menarik riza, dan mereka menyatukan bibir mereka bersama. Merasakan kehangatan yang diberikan Roy, Riza tak kuasa menahan tangisnya. Baru ia sadari, kalau ia akan kehilangan segala kehangatan dan kelembutan ini… hilang semuanya dari jangkauannya.

"sama seperti dulu… selalu harus aku yang membuat kau menangis…"

riza ingat, saat pertama kali first kissnya direbut orang-orang brengsek… roylah yang membuatnya menangis, di saat ia tidak mau- tidak bisa menangis. Hanya Roy.. roy satu-satunya…

"ssh… begini…. Kupikir ini adalah ide yang baik." Ia masuk ke dalam selimut riza, setelah gadis itu cukup tenang, lalu ikut tiduran bersamanya. "begini, aku… akan berusaha sebaik mungkin, hingga suatu hari aku menjadi fuhrer… dan hingga saat itu, kita akan terus menjadi bawahan dan atasan. Tapi saat aku menjadi fuhrer.." ia mengambil tangan riza dan mengecupnya. "Maukah kau menjadi istriku ?"

"Kalau sudah tahu jawabannya mengapa perlu bertanya ? selama itu, aku akan terus menunggu, sambil terus berada di sisimu, mendukungmu hingga kau menjadi fuhrer."

"Baik… akan kutungu janjimu…"

Malam itu, mereka menghabiskannya bersama, untuk terakhir kalinya, sebab dipagi harinya, mereka sudah bukan diri mereka yang lama lagi. Mereka punya tujuan yang baru, impian yang baru, yang harus di capai bersama.

"Pagi, Major !" Sapa Riza keesokan paginya pada Roy yang masih baru bangun tidur itu.

"ya.. serge..ant ! RIZa ! Kau apakan rambutmu !" Roy terperanjat melihat rambut panjang idamannya yang sering ia belai itu, telah hilang. Riza yang dihapannya berambut emas pendek, hingga ia hampir tidak percaya kalau itu Riza.

"Ku potong… sebagai nazar dari janji kita."

"Ide yang buruk… putus cinta…potong rambut..putus hubungan juga potong rambut… Kupikir botak bukanlah gaya yang ideal untukku !"

"sudah cukup, sir untuk humor & kejutan paginya. Hari ini kita akan menyerang ke daerah B1,5 diharapkan anda segera bersiap-siap." Rizanya berubah total. "Saya, Sergeant Elizabeth Riza Hawkeye melaporkan."

"bagus. Terima kasih. Dismissed !"