Chapter 2 : Famous ?
Riza, pulang sekolah nanti, pulang bareng yo..
Riza, please dong…kamu maniiisss bangeeet….deh… btw, nanti malam dinner di tempatku ?
Riza…(bla..bla..bla..)
"ARGH !" Teriak Riza kesal sambil men-delete message-message yang masuk ke Hp-nya. Hari ini, lebih dari 30 message dari nomor yang sama yang menyampaikan pesan yang bermaksud serupa. Kesal, selama pelajaran tadi, hpnya terus bergetar, dan ketika ia matikan, lalu nyalakan kembali, 30 message muncul dari nomor yang sama.
"Udaah.. gak usah diambil hati deh…" Ujar Roy menghibur.
"Iyaa.. paling juga cuma ngefans doang.. wajar lah… " timpal Hughes. "Yaah… yang pasti sih, Gracia-ku lebih banyak fansnya sih…. "
Riza terdiam sambil mendelete pesan yang terus berdatangan. Oke, menurutnya, ini tidak dapat dikatakan sebagai ngefans, tapi lebih tepatnya sebagai ancaman, atau terror. Yah.. bisa dibilang, pesan asli di dalamnya menurutnya seperti ini "pergi denganku pulang sekolah ini, atau kau akan terus kuganggu". Tepatnya lagi, -- PEMAKSAAN.
"Hoaah…" Roy menguap. "biarkan saja… kalo enggak ganti nomor aja.."
Riza menatapnya dengan sinis. "enggak semudah membalikkan telapak tangan, ya… atau buat kamu, enggak semudah menjentikkan jari, lalu mengeluarkan api.."
Roy dan Hughes tertawa. "ya…ya… biarkan adik kelas kecil kita ini ber-streess ria dengan penggemarnya…" lalu, Roy terdiam sebentar, dan tiba-tiba ide licik terpintas di otaknya, menambahkan sesuatu lagi dalam kalimatnya. "oh iya.. kalo entar malem enggak mau pulang ke rumah.. bilang-bilang dulu, nama dan alamatnya, sekalian biar aku bisa habisin makan malamnya…"
Kedua cowok itu kembali tertawa.
"Bagus, pistolku tidak kubawa… kalau tidak, OSIS perlu biaya tambahan untuk reparasi kantor mereka yang bolong-bolong…" katanya kesal, seraya berdiri meninggalkan kantor OSIS. "Keluar dulu, cari angin… udah stress nih…"
"Yoo…" teriak mereka berdua. "Jangan lupa kasih tahu alamatnya ya, kalo mo tidur di sana !" teriak Roy menambahkan.
Sialan… Riza mengutuk dalam hatinya. Hampir hpnya ia lempar ke arah kantor osis ketika mendengar perkataan itu. Ya.. itulah sifat Roy. Nakal dan usil. Namun, ia juga terkadang dapat menjadi seorang kakak yang penuh perhatian. Itu salah satu sisi baik yang Riza senangi darinya…walau.. ya itulah.. keusilannya dan ke-perv-nya itu.. yang membuatnya kadang tidak tahan lagi untuk menarik pelatuknya dan membuat lubang tembakan peringatan (termasuk kemalasannya..)
Riza berjalan menyusuri koridor sekolah yang cukup panjang. Ia merasa ada seseorang yang membuntutinya dari belakang.
"Ahem.. tolong deh.. jangan neror kayak gini lagi, ya !" teriak riza dingin tanpa menoleh kebelakang. Ia tahu, orang yang mengiriminya SMS ini pasti sedang mengikutinya.
"ahaha…. Memang, riza ku memang pandai… Soo ! Bagaimana ? mau ?" tanyanya sambil menaruh tangannya di pundak Riza.
Secepat mungkin Riza menghentak tangan dipundaknya itu. "Tolong ya.. jangan kira orang seneng diteror kayak gini.."
"wuah..wuah..wuah…rupanya tuan putri marah ? soori… ga maksud kayak gitu… then.. dinner di tempatku, malam ini, huh ?" katanya masih dengan nada menggoda. "ayolah… sayang.."
SLAP ! Riza yang sudah tidak tahan mendengar semua itu secepat kilat berbalik dan menamparnya. Jujur, ia memang tidak terlalu tertarik pada cowok, dan ia paling kesal dihadapkan dalam keadaan seperti ini. Apa lagi, ia diingatkan pada kejadian malam itu, semakin membuat perutnya berputar dan kepalanya meledak-ledak.
"Tolong, ya… tinggalkan aku sendirian…" ujarnya dingin sambil lalu berbalik, berjalan meninggalkan orang itu.
---XXxxxXXX----
"Kamu riza Hawkeye !" tanya segerombolan anak cewek berseragam sekolah lain. Entah ada apa hari itu, sepulang sekolah, beberapa cewek itu ingin menemuinya.
"Ya.. ! Kenapa, ada masalah ?" tanyanya heran. Sepertinya aku tidak mengenal mereka.. dan aku tidak mungkin ada masalah dengan mereka…
Cewek-cewek itu saling berbisik-bisik. Sebenarnya, mereka cukup manis-manis… maksudnya, tidak ada tampang anak-anak nge-gang, dll, dan satu lagi, Riza menyadari, bahwa dari seragam yang mereka pakai, sepertinya mereka berasal dari sekolah elit yang ada di kota itu. seragam itu… rasanya aku pernah melihatnya…
"Ada waktu ke sini sebentar.. ?" tanya salah seorang dari mereka. Riza menangguk. "Hanya sebentar. Aku ada urusan setelah ini."
Mereka berjalan hingga ke dekat gudang penyimpanan barang olah raga yang berada agak jauh dan terpencil. Tiba-tiba salah seorang dari mereka mendorong Riza hingga terjatuh.
"Heh, cewek, beraninya lu nampar pangeran dari sekolah kita !" hardiknya sambil menendang Riza. Baru saat itu, Riza sadar, bahwa cewek-cewek itu ternyata satu sekolah dengan cowok kemarin itu. Sepertinya mereka marah, karena ia telah menamparnya.
"Lu kira lu siapa, sih ? Sok jago… heh.. gak usah nyolot, ye…" balas lainnya ikut menendangnya yang sudah jatuh terkapar di atas tanah. Riza mencoba berdiri, namun selalu sudah ditendang dan didorong duluan. Bagaimana bisa ? Mereka berjumlah 8-10 orang, sedangkan ia sendiri. Pistol kesayangannya pun ditinggal di tasnya. Riza benar-benar tidak mempunyai perlindungan.
"Eh… gak usah sok kuat deh.. nangis, nangis aja… berani-beraninya dia…"
Walau terasa sakit, Riza tidak mau menangis. Untuk apa? Jika ia menangis, justru mereka pasti akan puas dan merasa bahwa mereka telah berhasil menaklukkannya, dan itu akan mengesalkan dirinya sendiri. Riza kembali mencoba untuk berdiri.
BRRAK ! Kembali ia di dorong oleh mereka. Malah, mereka melemparinya dengan batu-batu kecil yang ada di sekitar situ.
"Berani gitu lagi !" teriak cewek yang sepertinya ialah pemimpin mereka.
Riza tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan tatapan yang penuh rasa kekesalan. "sudah puas ?" tanyanya menantang.
Amarah orang-orang itu, makin membara. Kemudian, Riza melihat beberapa cewek datang ke tempatnya. Sialnya, mereka juga berasal dari sekolah yang sama. Dan Riza mulai merasa bad feeling ketika ia melihat mereka datang membawa ember.
"AAAAaaa ! PAANAASSS !" teriak Riza sambil meringgis kesakitan. Belum sempat ia menghindar, cewek-cewek itu telah mengguyurnya dengan seember air panas. Riza menggeliat-geliat di tanah, merasakan panasnya air yang diguyur padanya. Masih belum puas melihat penderitaan yang dialaminya, datang lagi seember air mengguyurnya kembali.
"DINGGIINN !" teriak Riza. Setelah disiram air panas, langsung ia disiram air dingin. Perubahan suhu yang begitu drastis itu sulit diimbangi oleh tubuhnya.
Gerombolan cewek itu segera pergi setelah puas, tanpa memperdulikan orang yang sudah mereka siksa itu. Riza, yang sekarang basah kuyup, penuh tanah, dan berdarah setelah dilempari batu, hanya bisa tersungkur di tanah, seiring perlahan, butiran air matanya jatuh menyusuri pipinya. Siapa yang akan menemukannya ditempat ini ? Sudah selesai sekolah, dan tidak akan ada lagi yang akan pergi ke dekat gudang olahraga. Bisa-bisa ia mati duluan hingga besok pagi…
Riza terdiam dalam isak tangisnya perlahan. Angin yang bertiup itu, semakin membuat tubuhnya terasa panas dingin. Nafasnya sedikit sesak. Ia harap secepatnya ada orang yang dapat menemukannya…
---XXxxxXXX---
"Riza…" bisik Roy perlahan sambil mondar-mandir di depan kantor Osis, bersama dengan sahabat tersayangnya, Maes Hughes.
"DUAR R!" teriak Hughes mengagetkannya. "Gak usah strees gitu dong… dia juga bisa jaga diri.."
Roy berhenti sejenak, dan menatap sahabatnya itu yang dengan santainya sedang menyeruput secangkir kopi. "ya… aku tahu… tapi tetap saja, dia itu adik perempuanku. Luarnya saja dia kelihatan kuat… tapi, sebenarnya ia juga lemah !"
"aa…benar juga.." katanya sambil berdiri, lalu menepuk pundak Roy. "hanya padamu dia menunjukkan kelemahannya kan ! Pantas saja kau yang paling stress… tapi beri dia waktu untuk punya kehidupan pribadi, lah Roy…. Jangan memonopoli dia sendiri.."
Blushed ! Muka Roy sedikit memerah. "A…apa yang kau maksud tadi ! Aku juga memberinya waktu untuk punya kehidupan pribadi sendiri… a..aku tidak akan melarangnya pergi jika memang ia menemukan cowok yang tepat untuknya.."
"Ha ! Tepat. J-e-a-l-o-u-s-y. rupanya si playboy ini jatuh pada adiknya sendiri… !" ejek Hughes padanya, lalu mulai menyanyikan lagu-lagu tidak jelas.
"Hughes… aku sedang tidak mood main-main…."
"Ya….aku tahu kok…." Lalu ia bangkit berdiri dan berjalan keluar kantor. "Tunggu apa lagi ! ayo, kita cari bersama.."
Roy tak tahan mengembangkan senyumannya. "Tak kusangka kau dapat dipercaya juga, Hughes…"
"ooups.. jangan salah sangka dulu…" Ia tersenyum, sedangkan Roy mulai berpikiran tidak enak, kalau-kalau ia memintanya melihat foto dan cerita Gracia, sebagai pertukaran yang seimbang. "… aku tidak ikut. Gracia sudah menungguku di depan pintu sekolah….jadi…selamat berjuang, ya !"
Anak berkacamata itu lalu lari secepat kilat, dan meninggalkan Roy yang geram ditipu olehnya. Sudahlah…pikirnya. Ia mulai berkeliling dan mencari informasi dari siswa-siswi yang ada.
