Chapter 3 : Riza !

Riza ! sepertinya tadi ia berjalan ke arah gudang olahraga bersama beberapa cewek dari sekolah lain….kenapa ?

Roy segera berlari ke lokasi yang diberitahu oleh salah seorang siswa tadi. Entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk yang telah terjadi. Ia, tidak tahu, apa dan mengapa, namun sepertinya ini pasti ada hubungannya dengan terror yang Riza terima beberapa hari yang lalu, dan itu sudah cukup untuk membuatnya semakin stress lagi.

"RIZA !" teriaknya ketika ia melihat adiknya terkulai lemas. "RIZA ! RIZA ! RIZA !"

Perlahan cewek itu membalikkan wajahnya dari tanah ke arah si pemanggil. Ia tak dapat menyembunyikan air mata yang mengalir cepat dari wajahnya, atau pun mimic mukannya yang terlihat kesakitan.

"r..roy….." bisiknya perlahan, lalu matanya itu kembali terpejam. "a..aku senang…. Kau datang.."

"RIZA ! bertahan ! AKu akan segera membawamu ke ruang kesehatan…"

Perlahan, roy mengangkat Riza dengan bridal style. Riza sempat berbisik sebentar semacam makasih, kak… dan ia tersenyum, walau air mata tetap mengalir dari matanya.

-- Ruang kesehatan --

"Ah ! Ada apa, mengapa Riza bisa jadi seperti itu ?" guru pembimbing kesehatan di ruangan itu tersentak kaget. Ia kenal dekat dengan Riza, yang biasa suka membantunya ketika banyak siswa yang terluka, dan ia tahu, Riza bukanlah tipe anak yang suka main keroyok atau gebuk-gebukan, walau dalam keadaan seperti apa pun. Roy tertunduk. "Mohon…tolong dia, bu… dia sudah cukup tersiksa…"Guru pembina itu tersenyum, dan segera menyuruh roy menaruh riza di atas ranjang UKS.

-- beberapa hari kemudian --

"riza… aku ingin jawaban yang jujur… " ia menatap adiknya dengan serius. Mata hitamnya menatap miliknya yang berwarna cokelat hazzle. "aku harus tahu siapa yang berbuat ini padamu…"

"Sudahlah…" riza membalikan kepalanya, menghindari bertatapan mata dengan roy. "jangan bicarakan hal ini lagi. Aku yakin mereka tidak akan berbuat seperti ini lagi….lagi pula..aku juga tidak keberatan kok…"

"TIDAK KEberatan ! kau sudah hampir sekarat tergeletak di sana, gemetar, panas dingin, dan semua itu kau bilang TIDAK APA-APA !" Roy geram, setengah berteriak, lalu kemudian ia menaikan rambutnya ke atas. Tatapannya menjadi lebih lembut dari semula. "…aku tidak akan memaksamu…."

Riza menggigiti bibir bawahnya. Hatinya galau, melihat kakaknya yang menyerah seperti itu, dan ia tidak mengerti, namun sebuah perasaan dilindungi masuk menyelubutinya. Sebuah hal yang dulu ia ingini…

"anak-anak cewek dari sekolah X… mereka yang melakukannya…"

Roy tersenyum. Cowok itu membalikan badannya dan keluar dari kantor OSIS. "thank you, riza… kau pulang saja…. Aku ada urusan…"

"Roy !" Riza berteriak, sambil mencoba menyusulnya. Tapi dengan kondisi fisik yang masih lemah seperti itu, ia tidak kuat, dan berhenti, ketika roy telah menghilang dari pandangannya.

"RIZA !" dari kejauhan Gracia berteriak. Gadis itu sekelas dengan Riza, dan merupakan seorang gadis yang terkenal oleh karena ulah Maes yang biasa memperlihatkan pada semua orang foto-fotonya.

"gracia…." Panggilnya lemah.

"kenapa ? Hey.. kau belum sembuh betul…. Jangan lari-lari dulu. Aku antarkan kau pulang, ya ?" Gadis itu menangguk lemah.

------------

Langkah kaki yang berat terdengar. Seorang berwajah tampan, berapi-api mendatangi tempat yang saat itu sedang penuh dengan kerumunan anak pulang sekolah. Cowok itu berjalan hingga ke tengah altar sekolah, lalu berteriak dengan keras. "SIAPA PUN, YANG KEMARIN MELUKAI ADIKKU, AKU MAU DIA KELUAR ! HADAPI AKU !"

Kerumunan orang disekitarnya mulai berbisik-bisik. Mungkin ada yang mengatakan bahwa dirinya gila atau apa. Mungkin ada yang berencanan memanggil satpam, atau guru pembimbing, tapi roy tidak ambil pusing. Amarahnya sudah sampai di ubun-ubun, ditambah lagi berbahayanya orang ini – sarung tangan igniternya ia gunakan, berarti ia sudah siap tempur habis-habisan.

"Kau kakaknya ?" tanya seorang gadis bersama gangnya tiba-tiba maju keluar dari kerumunan orang tersebut. Ia maju hingga jaraknya tinggal beberapa centi dengannya, lalu dengan satu tangannya, ia menarik dagu roy, dan tangan lainnya membelai wajahnya. "….not bad… manis juga…."

BRAK !

Secepat kilat cewek yang enggak punya harga diri itu (menurut Roy) ditamparnya, dan ia pun terhempas ke tanah. Gadis itu memegangi pipinya yang merah terbakar rasanya setelah digampar oleh cowok manis dihadapannya.

"BUBAR !" teriak Roy memerintahkan kepada seluruh kerumunan yang menonton mereka. Satu persatu semua meninggalkan tempat itu, sedangkan si gadis yang digampar, bersama gangnya tetap diam membatu di sana.

Suasana di sana pun bertambah sunyi, hingga satu gang anak cowok lainnya mendatangi mereka, dan salah satu dari mereka berteriak; "Heh ! SIAPA YANG BERANI NAMPAR GADISKU !"

"aku !"

"siapa lo ? berani ?" ditariknya kerah roy dan dilemparnya ke lantai. "berani-beraninya lo nyentuh cewek gua !"

Roy berdiri perlahan setelah jatuh, dan memegangi bibirnya yang berdarah. "aku ke sini cuma mau bikin perjanjian…"

---------------

Riza merasa amat cemas. Hatinya sedari tadi berdebar keras sekali. Walau ia masih sedikit terasa sakit bekas-bekas pukulan anak cewek kemarin, namun ia lebih khawatir akan keadaan roy. Bagaimana kalau ia disakiti ? bagaimana kalau mereka lebih parah dari yang kemarin ?

Ting…tong…

Riza bangkit dari sofa dan meninggalkan majalah yang sedang dibacanya, lalu berjalan ke pintu dan membukakannya. Tampang Roy yang babak belur, muka berdarah, baju sobek, sangat jelas terlihat bahwa ia telah mengalami sebuah perkelahian. Tidak… kalau perkelahian, pasti ia akan menggunakan api hingga ia tidak perlu cedera seperti ini…Bagaimana kalau dikeroyok ? ya… itu mungkin. Dalam keadaan pertarungan jarak dekat seperti itu, terlalu bodoh untuk menggunakan apinya.

"roy ! apa yang terjadi ?"

Roy justru tersenyum, berjalan ke arah sofa lalu rebah di sana. "tidak apa-apa….Kau sudah tidak akan diganggu lagi, kok…"

"tunggu sebentar ! aku ambil kain dulu…."

Riza kembali dengan beberapa lembar kain basah, sebaskom air hangat dan sepotong kaus untuk roy. "kakak ? kenapa ?" tanyanya sambil menaruh kain di muka roy dan membersihkan lukanya.

"aauchhh ! sakit… !"

"iya…iya.. aku pelan-pelan kok…lalu kenapa, kak ?"

"bukan…. Ini urusan lelaki… kau tidak perlu pusing, riza."

"aku tahu. Tapi kalau ini melibatkan kakak hingga babak belur begini, ini berarti juga salah Riza, kan ?"

"tidak. Ini keinginanku, kok… tidak perlu khawatir…."

Riza merasa kesal mendengar Roy serba tertutup padanya. Padahal ia tahu, ini pasti gara-gara dirinya, roy cedera. Pasti gara-garanya… Merasa kesal pertanyaannya diabaikan, diambilnya kain itu dan ditaruhnya di atas luka Roy.

"aaaa ! panas !"

"biar kumannya mati… biarin aja panas… abis gak mau jawab…" jawabnya kesal sambil mengambil kain lainnya dan mencelupkannya ke dalam baskom itu. "buka bajunya"

"aah… malu !" ia bercanda padanya, namun tidak ada tanggapan. Riza sepertinya tidak bisa diajak berkompromi, maka ia membuka bajunya, di mana terlihat luka-luka yang jauh lebih parah dari yang pertama. Di punggungnya ada goretan besar, dan biru-biru bekas tonjokan pun jelas sekali terlihat.

"roy… apa yang mereka lakukan ?"

"Riza… kalau kuberitahu… janji… jangan salahkan dirimu sendiri." Riza menangguk. Roy menahan perih dari kompresan riza, lalu memulai memberitahukannya. "aku buat perjanjian dengan mereka…. mereka tidak boleh mengganggumu lagi… sebagai gantinya…. Mereka bebas memukuliku… apa pun yang mau mereka lakukan padaku…."

Pengakuan Roy menusuk hati Riza. Benar.. ini gara-garanya…. Ini semua gara-gara dirinya, roy terluka gara-garanya.

"ja..jadi… benar ini gara-gara aku…!" punggung roy terasa basah oleh tetesan air mata adiknya yang jatuh perlahan menuruni punggungnya.

"jangan menyalahkan dirimu sendiri… kan aku sudah bilang…" bisiknya, lalu menaru satu tanggannya di atas tangan riza yang sepertinya sudah menangis. "aku lakukan hal ini sebagai tanggung jawabku sebagai seorang kakak….mama dan papa tidak bisa melindungi kita lagi… jadi aku mulai hari itu akan bertanggung jawab penuh atas keselamatanmu… aku sudah janji itu."

Riza terdiam. Sedih… "maaf….maaf…roy…" ia melingkarkan tangannya di badan roy dan menyandarkan kepalanya di punggungnya, merasakan hangatnya perlindungan roy yang baru ia sadari.. selama ini ada orang yang care padanya… ada orang yang selalu mau melindunginya… dan ia bersyukur untuk hal itu.

TBC

a/n : sori, lama nge update cerita ini gara-gara fokus aku ke cerita-cerita lainnnya banyak banget. (baru sadar kalo cerita yang dibuatnya yang harusnya panjang, ternyata baru chapter 1 dan belon diselesein) btw, aku buat omake buat chapter ini… cuma buat iseng-iseng aja…

Omake

-- di sekolah –

"riza, roy tidak sekolah lagi ? bukannya dia sudah sembuh dari luka-lukanya ?" tanya maes penasaran. 3 hari roy tidak sekolah gara-gara lukanya itu. Hari keempat ia masuk dan besokkannya ia bolos lagi.

GLEG… "um… begini… gara-gara terlalu lama dibiarkan dikompres tanpa baju….um… jadinya… dia pilek hari ini…"

( di rumah )

roy di atas ranjang, dibungkus dengan selimut 3 lapis dan piyama piyo-piyo panjang (piyama ku…;) di samping ranjangnya sudah tersedia obat sakit flu dan segelas air.

"ha….ha…hatchiii !"

aahh.. dasar riza bodoh.. membiarkanku masuk angin gara-gara mengompresku…awas dia…

"ha…ha…haaattchiii !"

-- di sekolah –

"kenapa riza ? tertular bersin ?"

"ah.. enggak…. Kayaknya ada yang ngomongin aku, ya ?"

omake chapter 3 -fin-