A First Love Crap
By ewfzy
.
.
.
CHANBAEK STORY
Genre : Romance, Drama?
.
.
.
"Baek..."
Suara teriakan dari luar tidak sama sekali Baekhyun gubris. Pria itu kembali menangis ketika menyentuh perutnya. Rasa nyeri itu datang lagi dan semakin lama rasa sakitnya semakin tak tertahankan. Membuatnya meringkuk di atas lantai sambil mengingat ucapan dokter yang beberapa hari lalu memeriksanya.
Hatinya benar-benar hancur ketika dokter mengatakan jika kandungannya mungkin takkan bisa bertahan. Mereka bilang kehamilan pria carier akan jauh lebih berisiko setelah kehamilan pertama. Kandungan Baekhyun sangat lemah hingga dokter memberikannya dua opsi. Menggugurkan kandungan itu atau mempertahankannya dengan nyawa sebagai taruhan.
Kenapa? Kenapa seperti ini?
Baekhyun tidak bisa melepaskan bayinya begitu saja, tapi ia juga takut jika tak memiliki kesempatan untuk melihat bayinya kelak.
"Baekhyun ... Setidaknya kau harus makan jika ingin mempertahankan bayimu." ucap Junmyeon mulai lelah. Sudah berjam-jam sejak ia berdiri di depan kamar milik Baekhyun. Ratusan kali ia mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama sang pemilik ruangan, namun tak ada satupun yang mendapat balasan.
Baekhyun kembali mengurung dirinya dan menolak bertemu siapapun yang berkunjung, termasuk Junmyeon.
Tak kunjung mendapati sahutan, Junmyeon lagi-lagi mengembuskan napas lelah.
"Baekhyun, kau tidak hanya akan membunuh bayimu jika terus-terusan begini. Kalian berdua bisa mati kalau kau tetap keras kepala." tukas Junmyeon kesal, ia sadar jika kata-katanya terdengar cukup kasar, tapi mau bagaimana lagi, ia sudah tak punya cara untuk membujuk pria mungil itu.
"Tinggalkan saja makanannya di depan pintu, akan aku makan nanti. Sekarang pergilah, aku tak ingin bertemu siapapun."
Baekhyun tetaplah Baekhyun. Junmyeon benar-benar tidak mengerti kenapa pria itu bisa begitu keras kepala. Dan, yang lebih tidak masuk akal adalah bagaimana ia masih bisa bertahan dengan Baekhyun sampai sejauh ini.
Junmyeon hampir menggedor pintu kamar Baekhyun lagi kalau saja ponsel di jaketnya tidak berdering. Pria itu segera merogoh saku dan mengangkat panggilan.
Setelah beberapa detik panggilan terhubung, wajah tampannya berubah serius. Beberapa menit berselang panggilan diakhiri dan Junmyeon pergi meninggalkan apartemen Baekhyun.
...
"Dia masih menolak untuk bertemu siapapun." jelas Junmyeon membuat pria di hadapannya menghela napas panjang.
"Aku akan mencoba berbicara dengannya."
Junmyeon mengangguk penuh harap. Ia sudah buntu, Junmyeon tidak mengerti lagi cara untuk menghadapi artisnya yang satu itu. Ia hanya bisa berdoa kedatangan pria di depannya benar-benar membuat semua jadi lebih baik.
TOK TOK TOK ...
Baekhyun hampir menjerit frustasi. Kenapa manajernya itu bebal sekali! Ia sudah mengatakan ratusan kali jika tak ingin diganggu. Tapi, pria itu terus saja datang membuat Baekhyun kesal.
"Sudah kubilang aku tak ingin bertemu denganmu Hyung! Tinggalkan saja makanannya di sana!"
"Ini aku"
Sunyi. Tubuh Baekhyun seolah membatu begitu mendengar suara yang terdengar familiar.
Bukan. Itu jelas bukan suara manajer cerewetnya. Baekhyun tahu benar suara milik siapa itu.
Namun Baekhyun segera membuang jauh-jauh pemikirannya, karena mana mungkin pria itu ada di sini? Apa ia juga mulai berhalusinasi sekarang?
"Baekhyun, buka pintunya ini aku ... Chanyeol."
Baekhyun terbungkam. Suara berat itu seolah memberi konfirmasi bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Menjadikan jantungnya otomatis berdegup gila.
Pemandangan pertama yang Chanyeol lihat begitu si mungil itu setuju untuk membukakan pintu adalah kamar Baekhyun yang seperti kapal pecah. Semuanya berserakan, sangat kacau, benar-benar jauh dari kamar milik pria itu biasanya.
Si pemilik kamar pun kondisinya tak jauh berbeda. Baju kusut, wajahnya yang pucat, matanya sembab, serta bibir keringnya yang mengelupas. Pipi gembil favorit Chanyeol pun telah hilang, digantikan wajah mungil yang nampak tirus dengan tulang rahang yang tercetak jelas.
Jujur saja Chanyeol tak tega melihatnya. Ingin sekali ia memeluk pria di hadapannya ini sekarang juga. Merengkuhnnya dengan erat karena Chanyeol tahu betapa rapuh sosok itu.
Namun, lain di hati lain di sikap. Nyatanya Chanyeol tak bereaksi lebih. Pria itu hanya diam sambil meletakkan nampan makanan Baekhyun di atas meja. Kemudian, mengambil duduk di hadapannya. Masih tanpa kata, yang lebih tinggi mengambil mangkuk berisi bubur yang telah mendingin itu.
Keheningan kaku tercipta, sementara Baekhyun sendiri sudah diliputi canggung dengan segudang debaran di dadanya. Si mungil itu berakhir tak berani mengangkat pandangan meski kepalanya terus berputar memikirkan alasan kenapa Chanyeol bisa berada di apartemennya.
"Buburnya sudah dingin, kau ingin aku menghangatkannya dulu?"
Baekhyun melirik sekilas sebelum menggeleng memberikan jawaban. Entah mengapa suaranya seperti tertelan di tenggorokan.
"Ya sudah, sekarang buka mulutmu."
Baekhyun mendongak, menatap Chanyeol yang sudah siap dengan suapan bubur di tangannya. "A-aku bisa makan sendiri." tolak Baekhyun hendak mengambil alih sendok di tangan Chanyeol.
"Buka mulutmu Baekhyun."
Chanyeol tidak berteriak, tidak pula membentak, tapi Baekhyun merasa ciut dengan kata-katanya. Dan, Berakhir pasrah membuka mulutnya untuk menerima suapan yang Chanyeol berikan.
Suapan demi suapan terus ia telan hingga bubur di dalam mangkuk itu tandas tak bersisa. Chanyeol kini beralih pada segelas air dan sebungkus obat yang telah Junmyeon siapkan sebelumnya.
Perlakuan Chanyeol membuat semua potongan kenangan kisah cintanya dengan pria itu tanpa permisi terputar begitu saja. Memaksanya mengingat berbagai macam perasaan dan emosi.
"Aaa... " ujar Chanyeol menginstruksikan agar Baekhyun membuka mulutnya.
Si mungil menurut, pandangannya memburam menatap sepasang kilauan hitam Chanyeol yang juga menatapnya. Sementara yang lebih tinggi dengan telaten menyuapkan sebutir pil dan segelas air putih.
Sudah bermenit-menit sejak Chanyeol meninggalkan Baekhyun sendirian di dalam kamar usai menyuapinya. Rasa penasaran pun mulai mengusik ketenangan Baekhyun. Maka dengan tubuh lemas itu ia memaksakan diri berjalan menuju dapur, mencari tahu apa yang tengah Chanyeol lakukan di sana.
Untuk beberapa detik yang lama Baekhyun hanya berdiri mengamati Chanyeol dari ambang pintu. Si tinggi nampak sibuk membersihkan kekacauan yang ada di dapurnya. Chanyeol terlalu fokus dengan piring-piring kotor itu hingga tak menyadari langkah Baekhyun yang kian mendekat padanya.
Detik berikutnya sebuah pelukan hangat Chanyeol rasakan dari balik punggungnya. Sepasang tangan ramping itu melingkar sempurna memeluk pinggangnya. Tidak bohong perlakuan itu membuatnya terkejut, namun Chanyeol terlalu pandai menyembunyikan perasaan hingga si mungil luput menyadari.
Tangan penuh busa seusai mencuci piring itu Chanyeol basuh dengan air mengalir. Lantas ia keringkan, sebelum ia alihkan untuk meraih telapak tangan Baekhyun. Dengan hati-hati Chanyeol coba melepaskan belitan si mungil dari perutnya.
"Biarkan seperti ini dulu." tolak Baekhyun enggan melepaskan. Masih terlalu nyaman menikmati aroma menenangkan milik mantan kekasih sekaligus ayah dari anak-anaknya.
Chanyeol menurut, menit demi menit dibiarkan berlalu begitu saja. Menjadikan keheningan yang menemani dan menjadi saksi. Pelukan Baekhyun semakin erat, seolah berusaha menyampaikan betapa rindu yang ia rasakan.
"Kenapa kau tidak memberi tahu ku?" mulai bosan dengan kebisuan panjang Chanyeol memutuskan melontarkan sebuah pertanyaan.
Tak kunjung mendapati jawaban Chanyeol kembali bertanya.
"Apa kau sengaja menyembunyikan ini dariku?"
"Bukan. Bukan begitu." sahut Baekhyun cepat.
"Lalu?" Belitan tangan mungil itu Chanyeol lepaskan, berbalik tubuh tingginya mematri Baekhyun yang nampak gusar.
"A-aku hanya tak ingin membebani mu dengan kabar ini. Dan, aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu dengan masalah sepele."
"Masalah sepele?" tanya Chanyeol membuat Baekhyun menelan ludah kasar. "Ini sama sekali bukan masalah sepele Baekhyun. Kau hamil dan itu karena perbuatanku, dia juga anakku. Bagian mananya yang sepele?"
"I-itu..." Baekhyun mati kutu, merutuki dirinya sendiri karena salah memilih alasan dan berhasil membuat Chanyeol kesal padanya.
"Maaf—" Baekhyun menundukkan kepala dalam. "Aku hanya tidak mau merusak hidupmu Chanyeol. Aku sudah pernah melakukannya sekali, dan aku tidak ingin mengulanginya. Maafkan aku."
"Kau pikir dengan cara ini kau takkan menyakiti ku? Kau membuatku terlihat seperti seorang pria brengsek yang tidak bertanggung jawab Baek."
Baekhyun tak berani mengangkat kepalanya sama sekali. Ia hanya sibuk mengamati kakinya sambil menggelengkan kepala merasa bersalah.
Butuh banyak detik hingga Chanyeol menemukan air mata Baekhyun yang hampir jatuh. Pria itu menunduk kian dalam dengan bibir tak bersalahnya yang ia gigit kuat.
Chanyeol menarik napasnya dalam, ia tak boleh terbawa emosi. Ia harus ingat jika kondisi Baekhyun sedang tidak stabil, belum lagi kandungan
nya yang lemah.
"Berapa usianya?" tanya Chanyeol berusaha mengalihkan topik agar suasana tidak semakin panas.
Kepala Baekhyun terangkat sedikit, si mungil itu berusaha mengintip Chanyeol dari balik poni yang menutupi sabitnya. "Dokter bilang 12 minggu." cicit Baekhyun dengan tangan yang otomatis tergerak mengusap perutnya.
"Aku dengar kehamilanmu kali ini cukup berisiko—"
"Tidak apa-apa, jangan pikirkan soal itu kami akan baik-baik saja." potong Baekhyun tak ingin diingatkan. Ia benci jika orang-orang terus mengatakan hal buruk tentang kandungannya.
"Aku yakin dia lebih kuat daripada yang kalian pikirkan."
Chanyeol memperhatikan setiap gerak-gerik Baekhyun, menemukan senyuman sesingkat kedipan mata begitu si mungil itu mengusap perutnya. Menjadikan Chanyeol ingin membatalkan niat untuk berbicara. Tapi ia tak punya banyak waktu dan pilihan.
"Jika kali ini kau ingin menggugurkannya— aku tak keberatan."
Baekhyun tergugu. Bergetar manik itu memandang kosong. Perkataan Chanyeol berhasil menghancurkan satu-satunya tembok pertahanannya. Membuat air mata yang mati-matian ia tahan akhirnya luruh juga. Segala sesak di hati semakin kuat mendesak keluar.
"Kau pun berpikiran sama?"
Tanya Baekhyun dengan tatapan nanar.
"Aku tidak ingin membunuh bayi ku– " Kalimatnya tersengal, susah payah Baekhyun ucapkan. "Aku tidak mau—"
Baekhyun berakhir tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dan, apakah tatapan nanar dari Baekhyun tidak cukup untuk membuat Chanyeol mengerti?
Padahal ia sempat membulatkan tekat untuk menjelaskan banyak hal pada Chanyeol. Tentang perasaannya, tentang rencana masa depan yang telah ia pikirkan.
Butuh waktu hingga akhirnya Chanyeol tergerak. Mendekat, dan menangkup kedua pipi yang basah, merapus linangan air di sana sebelum membawa pria mungilnya dalam dekapan.
"Maaf telah membuatmu terjebak dalam situasi ini."
"Lepas!" Baekhyun berontak, mendorong Chanyeol darinya. "Kau sama saja seperti mereka! Kau tidak boleh mengambil bayiku—"
"Maafkan aku" ujar pria itu lagi sambil mengeratkan rengkuhannya.
Baekhyun berakhir terisak dalam pelukan Chanyeol. Jemarinnya yang bergetar menggenggam erat baju yang Chanyeol gunakan. Emosinya lantas menyerah, kehilangan tenaga untuk melawan.
Pada keheningan yang menyapu, Baekhyun merasakan pundaknya yang ditepuk pelan. Punggungnya hangat diusap, namun semua terasa menyedihkan.
"Aku ingin mempertahankannya Chan... Tidak peduli jika aku harus mati nanti."
Tanpa Baekhyun sadari kata-katanya menjadikan air mata pria yang setia menepuk punggungnya itu mengalir.
...
"Dia tetap bersikeras tak mau menggugurkan bayinya." mulai Chanyeol mengangkat pembicaraan.
Raut sedatar dinding Junmyeon berikan dibalik panggilan ponselnya, seolah apa yang Chanyeol ucapkan tidak lagi mengejutkan. "Aku tidak akan ikut campur masalah itu. Semua keputusan ada di tangan kalian, karena itu adalah anak kalian berdua dan aku sama sekali tidak punya hak."
"Aku hanya berharap yang terbaik untuk Baekhyun. Jadi, ku mohon teruslah ada di sisinya. Dia membutuhkanmu Chanyeol."
"Apa akan baik-baik saja jika kami punya anak lagi? Maksudku tentang kesehatan dan karirnya."
"Dokter bilang masih ada kesempatan untuk mereka berdua bisa selamat meski presentasinya kecil. Tidak ada yang tahu masa depan bukan? Berdoa saja agar Tuhan memberikan yang terbaik. Dan untuk karir, kau tak perlu mencemaskannya."
Napas berat Chanyeol embuskan. Panggilan ditutup beberapa saat setelahnya, menyisakan ruang hening selama beberapa detik.
"Siapa yang mau punya anak lagi?"
Chanyeol terlonjak terkejut begitu mendapati pertanyaan tiba-tiba menyapa pendengarannya. Si tinggi itu segera menoleh, menemukan Jackson yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya.
...
Ruangan luas nan mewah yang menjadi tempat direktur salah satu agensi besar Korea itu bekerja entah mengapa terasa begitu sesak untuk Junmyeon. Membuatnya terlihat begitu kecil atau setidaknya begitulah yang ia rasakan.
Hari sudah hampir tengah malam dan tentu waktu kerjanya sudah berakhir sejak berjam-jam yang lalu. Namun direktur agensinya itu menolak ambil pusing dengan menyuruhnya datang. Junmyeon masih memcoba duduk dengan tenang meski direkturnya itu belum juga mau bersuara. Dan, Junmyeon tidak bodoh untuk mengartikan keterdiamannya.
Pria itu tengah marah besar.
Beberapa menit lagi tak kunjung ada kata yang terlontar, maka Junmyeon akan memberanikan diri bersuara.
"Sajang—"
"Berapa tahun kau bekerja di agensi ku?"
"I-iya?"
"Jangan membuatku mengulang!"
"Maafkan saya Sajangnim."
Pria berusia lima puluhan itu memijat pangkal hidungnya lelah. "Kenapa kau sangat tidak becus Jun? Bagaimana bisa kau membiarkan Baekhyun kembali dengan pria itu bahkan sampai mengandung anaknya."
"Maafkan saya, tapi itu bukan kewenangan saya. Bagaimanapun Baekhyun memiliki kehidupan pribadinya sendiri, dan saya tidak berhak untuk ikut campur masalah itu."
Direktur Lee berdecih remeh. "Lalu apa saja tugasmu hah? Kau tahu berapa banyak kerugian yang akan agensi tanggung jika berita ini sampai tersebar? Apa kau tahu sebagaimana besar masalah ini? Bukan hanya Baekhyun yang akan hancur, nama baik agensi juga akan tercemar akibat kelalaian mu itu!"
Junmyeon terdiam, ia tak bisa memberikan pembelaan lagi. Atau lebih tepatnya pria itu memilih diam, tak ingin membuat direktur agensinya semakin murka.
"Kau lihat di bawah sana? Menurutmu ada berapa banyak wartawan yang masih beejaga meski hampir tengah malam begini?"
Tumbangnya Baekhyun di atas panggung dan absennya di fansign terakhir kali cukup untuk membuat publik bertanya-tanya. Dan sedikit saja kebenaran tentang Baekhyun tercium awak media maka akan cukup untuk membuat kekacauan.
"Aku tidak mau tahu, kau bisa menyuruhnya untuk menggugurkan kandungan atau apapun. Lakukan semua dengan bersih tanpa ada media yang tahu."
...
Pecahan beling terserak di seluruh penjuru ruangan. Seprei kusut dan keadaan kamar yang sudah benar-benar tak berbentuk menjadi bukti sebagaimana marahnya Jane beberapa jam lalu. Wanita itu masih setia meringkuk di ujung ruangan setelah mengamuk begitu tahu Chanyeol benar-benar pergi meninggalkannya.
Hidung merah dan mata sembabnya cukup jelas mendeskripsikan lama ia menangis. Semua perjuangannya sia-sia. Tahun-tahun yang ia habiskan bersama dengan Chanyeol pada akhirnya sama sekali tidak berarti untuk pria itu.
Jane tidak terima. Apa yang telah ia lakukan sama sekali tidak sebanding dengan yang ia dapatkan sekarang.
Byun Baekhyun.
Benar, pria itu harus bertanggung jawab. Byun Baekhyun harus bertanggung jawab atas semua pesakitan yang ia terima.
Jane mengusap kasar sisa lelehan air matanya. Terus meratap seperti ini takkan mengubah apapun. Ia harus melakukan sesuatu.
Bukan dia yang pantas menerima rasa sakit ini, tapi Baekhyun.
...
Kesadaran perlahan-lahan menghampiri diri. Sabit itu akhirnya terbuka dengan kepalanya yang pening, mungkin karena efek terlalu banyak menangis. Ranjang besar miliknya terasa dingin, kosong tak ada siapapun.
Kantuk dan lelah Baekhyun seketika hilang, digantikan jantungnya yang tiba-tiba berpacu gila. Menatap dentingan jam yang berada di atas nakas. Kemudian kembali teringat akan sosok yang beberapa jam lalu memeluknya.
Selimut tebal yang sebelumnya membungkus tubuh sampai dagu ia lempar asal. Menjejakkan kaki turun dari kasurnya yang empuk.
Dadanya bergemuruh berisik, takut jika apa yang beberapa jam lalu terjadi hanyalah ilusi.
Baekhyun berlari keluar dari kamarnya. Menginjakkan kaki di ruang tengahnya. Kosong. Tak ada siapa-siapa.
Kaki-kaki mungil itu lagi bergerak menuju dapur. Namun, nihil, masih tak ada seorang pun di sana. Tubuh lemasnya ia sandarkan pada tembok, sementara tangannya yang dingin berpegangan pada pinggiran nakas.
Baekhyun tersenyum miris.
Kedatangan pria itu saja sudah seperti keajaiban. Apa yang kau harapkan Baekhyun?
Tapi, Baekhyun ingat dengan jelas apa yang Chanyeol katakan semalam. Chanyeol berjanji dia akan tetap di sini menemaninya.
Lalu apakah semua itu hanya mimpi? Atau sekadar karangan alam bawah sadarnya?
Tidak. Baekhyun yakin semua itu bukan mimpi, dia yakin Chanyeol benar-benar mengatakan semuanya. Maka dengan itu Baekhyun segera beranjak. Berjalan menuju kamarnya untuk mengambil kunci mobil dan jaket lantas keluar dari apartemennya untuk mencari Chanyeol. Ia tak boleh kehilangan pria itu lagi.
Ia mempercepat langkahnya sebelum berulang kali mengeratkan pakaian hangatnya. Berbagai pikiran negatif menghantuinya. Namun, tubuh mungil itu terhenti ketika sampai pada lobi apartemen, di sana ada begitu banyak wartawan.
Baekhyun tak pernah membayangkan tentang ini. Terjebak di tengah segerombolan pemburu berita, sendirian, tanpa ada seorang pun yang mendampinginya. Baekhyun bersumpah hal ini bahkan tak pernah ada dalam mimpi buruknya.
Penampilan Baekhyun yang begitu mencolok dan tanpa adanya masker yang menutupi wajahnya tentu membuat para wartawan dengan mudah mengenalinya.
"Baekhyun ssi, bagaimana keadaan anda? Saya dengar akhir-akhir ini anda seringkali keluar masuk rumah sakit."
"Baekhyun ssi apa rumor tentang anda yang mengidap penyakit menular sepulang dari New York itu benar?"
"Baekhyun ssi apakah kepergian anda ke New York beberapa bulan lalu berhubungan dengan sakit yang anda alami saat ini?"
Baekhyun ketakutan, semua orang terus melontarkan pertanyaan. Ia sendirian, tak ada manajernya yang biasa melindungimya. Tubuh mungil itu terus di desak, Baekhyun semakin ketakutan. Jarinya mulai bergetar, keringat dingin membasahi kening, belum lagi pusing yang ia rasakan semakin menjadi. Baekhyun hanya bisa mengandalkan kakinya, berdoa agar bisa bertahan menopang tubuhnya lebih lama.
Di tengah rasa kalut itu Baekhyun sama sekali tak berkutik. Segala pertanyaan yang terus terlontar tak ada yang Baekhyun jawab. Ia hanya berusaha pergi dari kumpulan wartawan itu. Namun tubuhnya yang mungil membuat Baekhyun kesulitan. Baekhyun rasa ia akan pingsan, matanya mulai berkunang-kunang.
Namun sebelum ia benar-benar tumbang, Baekhyun merasakan seseorang menarik tubuh dan memeluknya dengan erat.
Bersamaan dengan para wartawan yang semakin menggila.
...
..
.
TBC
Hello apa kabar?? akhirnya update ya setelah sekian lama.
