"Menma! Bangun, bukankah hari adalah hari pertamamu masuk ke Akademi?"
"Ha'i, aku bangun Tou-san!"
"Yosh, cepatlah turun. Tou-san sudah menyiapkan makanan di meja!"
"Iyaa, aku akan segera turun!"
Yah, begitulah kehidupanku dalam 4 tahun ini. Hidup dengan keluarga yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Ah sampai lupa. Perkenalkan, namaku Menma Uzumaki, seorang yatim piatu, walaupun sekarang tidak lagi. Dikarenakan sekarang ada seseorang yang mengharuskan ku untuk memanggilnya Ayah semenjak dia mengadopsi ku sebagai bagian dari keluarganya.
'Yosh, sempurna'
Ku pandang cermin kamar mandi yang memantulkan bayangan bocah yang tak lain adalah diriku sendiri, aku tidak bisa bilang jika wajahku tampan, namun aku cukup percaya diri dengan penampilanku, hehe. Dengan rambut merah sepundak dan juga jambang yang membingkai kedua sisi wajahku, tidak lupa juga dengan iris sapphire yang mirip dengan Tou-san, walaupun tak sejernih miliknya, dan juga tiga garis di masing - masing pipiku yang ku anggap sebagai tanda lahir yang ku banggakan.
Dan begitulah, aku bergegas keluar dari kamar mandi menuju meja makan yang menyatu dengan dapur ―mengingat tempat tinggal kami hanyalah apartemen sederhana, dan aku melihat seseorang yang ku panggil Tou-san sedang duduk dengan wajah yang tertutup dikarenakan sedang membaca koran, dengan makanan yang tersaji rapi didepannya.
"Ohayou, Tou-san"
"Mhm Ohayou, duduklah. Mari mulai sarapan"
"Ha'i"
Hm, mau berapa kali pun ku berfikir, tetap saja ketika ku lihat wajah Tou-san aku seperti melihat sosok yang sepertinya tidak pantas ada di tempat seperti ini. Bukan karena wajahnya buruk atau bagaimana, hanya saja yang kulihat hanyalah ketampanan yang sepertinya mustahil untuk disaingi oleh penduduk disini.
Bayangkan saja, dengan rambut seperti emas yang panjang hingga sepunggung, iris mata seperti yang ku beritahu sebelumnya, bentuk wajah yang kokoh tapi halus, bahkan aku beberapa kali salah mengira jika Tou-san perempuan, bagaimana wanita di desa tidak jatuh cinta dengan Tou-san? Apalagi dengan sifat Tou-san yang kalem. Yah, walaupun aku tidak pernah melihat Tou-san dekat dengan perempuan.
"Ada apa Menma? Apakah masakan Tou-san tidak enak?"
"Eh? Ah tidak, aku hanya kepikiran sesuatu"
"Apakah tentang hari pertamamu sebagai murid di Akademi Ninja?"
"Mm yaa, mungkin aku hanya agak gugup saja"
Yah, di umurku yang ke-9 Tahun ini akan menjadi awal perjalananku menyusuri karir sebagai Ninja, walaupun statusku masih murid Akademi. Tapi tetap saja, ada setitik perasaan gugup ketika memikirkan jika nanti aku akan berkumpul dengan beberapa anak sebayaku.
"Tenanglah, tidak perlu merasa gugup. Walaupun itu wajar karena ini memang pertama kalimu untuk berkumpul dengan anak seumuranmu, tapi tetap percaya dirilah seperti dirimu yang biasanya."
"Mm, terima kasih, Tou-san."
"Baiklah, cepat habiskan makananmu, dan segeralah berangkat. Kau tidak ingin terlambat di hari pertamamu kan?"
"Ha'i ha'i"
Itulah akhir pembicaraan kami di meja makan, begitupula aku dengan cepat menghabiskan sarapan Omurice dan juga salad yang tersaji didepanku. Entah kenapa Tou-san sering menghidangkan makanan yang sama untuk beberapa hari ini, mungkin karena kelebihan stok? Entahlah.
.
.
.
"Tou-san aku berangkat!"
"Ya, hati-hati. Ingat, jangan membuat masalah di Akademi, apalagi dihari pertamamu!"
"Haaa'i"
Dengan begitu, dimulai lah langkah awal menuju impianku sebagai Ninja terhebat yang akan melampaui para pendahulunya.
Siang hari jalanan di Desa Konoha tampak dipadati akan lalu lalang para penduduk yang sedang beraktifitas. Entah itu hanya sekedar jalan-jalan dengan keluarga, ataupun para pekerja yang sedang menunaikan tugasnya.
"Obaa-san, apakah sudah disiapkan seperti biasa?"
"Ah Naruto-san, aku sudah menyiapkan beberapa sayuran seperti yang sudah kau pesankan"
Disisi jalan yang padat tersebut―lebih tepatnya sebuah toko yang menjalankan dagangan berbagai macam sayuran, terlihat seorang pria pirang dengan kisaran umur 20-an yang dikenal sebagai Ayah dari seorang Menma Uzumaki itu sedang berbelanja beberapa kebutuhan pangan, dengan beberapa kantong yang telah terisi beberapa kebutuhan lain tergantung di tangan kirinya.
"Ha'i, terima kasih Obaa-san. Oh dan untuk kembaliannya ambil saja, anggap saja sebagai tanda terima kasihku karena selalu menjaga beberapa sayuran segar untuk dijual kepadaku."
"Eeh, kau yakin Naruto-san. Ini terlalu berlebihan, lagipula itu juga tugasku sebagai penjual untuk menjaga beberapa daganganku tetap bagus untuk setiap pelanggan."
"Tak apa Obaa-san, anggap saja itu sebagai tambah keperluan untukmu kedepannya"
Pria yang dikenal bernama Naruto itu pun langsung melenggang pergi dari toko, meninggalkan sang Nenek penjaga yang entah kenapa terlihat kebingungan.
"Hmm, ini sudah cukup."
Setelah merasa cukup berbelanja kebutuhannya dan sang anak untuk beberapa hari kedepan, dia pun hanya berjalan pelan dengan kepala yang menoleh ke kanan kiri seakan sedang mencari sesuatu.
'Ah, ketemu!'
Melangkahkan kaki dengan cepat untuk segera mencapai tempat yang berupai kedai sederhana, dimana jalanan tersebut tidak terlalu menyulitkannya untuk mengambil langkah dikarenakan lebih lenggangnya jalan tanpa terlalu ramai lalu lalang para penduduk.
"Oji-san, ocha dango seperti biasa!"
"Haiyoo."
Setelah sampai di kedai yang menjadi tujuannya dia pun langsung mengambil tempat duduk kosong yang tersedia, tak lupa juga menurunkan belanjaan yang dibawanya. Beberapa kali merenggangkan otot lengan yang dirasa kaku akibat membawa beberapa kantong belanja hanya disatu sisi.
"Are? Naruto-san? Baru pulang berbelanja?"
"Ah, Mitarashi-san, iya seperti biasa. Ngomong-ngomong, tumben sekali kali ini datang sendirian? bukankah biasanya kau sering datang kesini bersama Yuhi-san?"
Anko Mitarashi, seorang Jounin dari Konoha dengan denga wajah rupawan dan juga lekuk tubuh yang membuat beberapa pria lapar ingin menerkamnya.
Datang dan langsung mengambil tempat duduk berseberangan dengan Naruto, langsung menyangga kepala dengan kedua tangannya yang bertumpu pada meja, dengan air muka yang terlihat sedang lelah.
"Ntahlah, aku tidak tahu. Aku terlalu lelah setelah menjalankan misi beberapa hari terakhir..."
"Dan juga, Naruto-san. Sudah kubilang beberapa kali untuk memanggilku Anko, tidak perlu terlalu sopan padaku!"
"Ahaha, begitukah? Baiklah, maafkan aku kalau begitu"
"Sudahlah, tak perlu minta maaf"
Hening, tanpa ada yang memulai pembicaraan. Sebenarnya Naruto ingin menanyakan sesuatu, namun enggan, mengingat wajah lelah Anko yang begitu kentara membuatnya mengurungkan niat 'tuk bertanya.
"Naruto-san, ini pesananmu."
"Ha'i, terima kasih, Oji-san."
Diamnya kedua orang itupun terpaksa diinterupsi oleh sang pemilik kedai yang mengantarkan pesanan milik Naruto.
"Ah, Ji-san, aku pesan seperti biasa."
"Oh Mitarashi kah. Ha'i ha'i, seperti biasa ya."
Sang pemilik kedai pun kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanannya.
"Uwaah-, masih seperti biasa. Kau benar menyukai dango ya, Anko-san."
"Hm, yaah. Walau bagaimana pun dango tetap menjadi makanan pertama yang akan ku makan setelah pulang menyelesaikan misi."
Senyum kecut menghiasi wajah Naruto, serasa melihat seorang bocah kecil yang sangat senang ketika melihat hidangan ramen di depannya, dan na'as nya bocah kecil tersebut adalah anak angkatnya. Walaupun Menma sekarang lebih menurut jika tentang makanan, tapi tetap saja akan berlebihan jika sudah menyangkut suatu masalah yang berhubungan dengan ramen.
'Mengingat tentang anak itu, bagaimana dengannya saat ini ya, apakah dia bisa membiasakan diri di Akademi?'
Yah, pikirannya melayang memikirkan bagaimana keadaan anak angkatnya di Akademi, mengingat ini adalah hari pertama dia memulai karir ninjanya.
Menma merasa seperti dia harusnya tidak datang kesini, dia ingin pergi dari sini, tapi apalah daya tetap tidak bisa karena janjinya kepada sang Ayah untuk selalu maju tanpa memandang kebelakang. Juga, dia tak ingin membuat sang Ayah kecewa jika usaha Ayahnya untuk memasukannya ke Akademi atas permintaan egoisnya hanya berujung dia menyerah tanpa hasil.
"Jangan dekat-dekat dengannya, ibuku bilang dia adalah jelmaan dari Monster!"
"Ssst, jangan terlalu keras, bisa-bisa dia mendengarnya!"
Hanya duduk diam di ayunan bawah pohon tepat didepan Akademi tempatnya menuntut ilmu. Dia mendengarnya, mendengar dengan sangat jelas berbagai macam pembicaraan buruk yang ditujukan padanya.
tap... tap... tap...
"Heh lihat, ini kah monster yang dibicarakan ibuku dengan teman-temannya itu?"
Langkah kaki yang disertai ejekan itu membuatnya mendongak dan menemukan tiga bocah yang berdiri disertai senyuman mengejek didepannya, dengan satu bocah berbadan besar yang diduganya sebagai pemimpin dari para pembully tersebut.
"Ahaha, lihatlah dia sendirian, kasihan sekali. Kenapa kau tidak berkumpul dengan teman monster mu yang diluar desa saja?"
"Aku juga tidak habis pikir, bagaimana bisa monster sepertinya dibiarkan saja berkeliaran di desa ini."
Menghiraukan ejekan yang dilontarkan ke tiga anak tersebut, dia hanya diam saja dengan kepala tertunduk kembali. Ingin sekali rasanya membantah apa yang disebutkan, tapi tetap saja tidak akan ada yang menghiraukannya.
"Hei! Apa kau tuli? Kami sedang bic-"
"Apa yang dilakukan oleh warga sipil disini!?"
Suara lelaki dewasa memotong perkataan si bocah berbadan besar itu terdengar dari belakang punggung ketiganya, yang membuat ketiganya menoleh melihat asal suara tersebut, dan menemukan pria dewasa dengan setelan ninja sedang menatap ketiganya seakan meminta penjelasan dari mereka.
"Cih, ayo pergi!"
"Hei! Jelaskan apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan!"
Tanpa banyak berkata mereka langsung pergi begitu saja meninggalkan orang tersebut tanpa menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan.
"Hahh, dasar anak muda sekarang." Keluhan yang keluar dari mulut orang tersebut.
Lalu dia memandang ke arah bocah yang sedang duduk di ayunan bawah pohon―yang diketahuinya sebagai murid baru di akademi ninja tempat dia bekerja sebagai pengajar.
"Hei, kau murid baru bukan? jam istirahat akan segera berakhir, kembalilah ke kelas."
Menma yang sedari tadi diam pun lekas melihat orang tersebut dan menemukan si ninja yang hanya diam melihatnya. Dan jika dia tidak salah ingat, orang tersebut adalah seorang Jounin yang mengajar di kelas tempatnya belajar juga.
"I-Iruka-sensei?"
"Hm, Menma Uzumaki bukan?" Anggukan disertai pertanyaan balik itu bagaikan seperti perkenalan ulang diantara keduanya.
"Umm"
Hanya gumaman dan anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan Iruka yang dijawab oleh Menma, dia tidak tau harus berbuat apa di situasi seperti ini. Walaupun Ayahnya mengatakan untuk lebih percaya diri tetapi tetap sulit baginya untuk melakukannya.
"Kenapa kau sendirian disini?"
Pertanyaan yang terasa menyulitkan Menma untuk menjawabnya, karena bagaimanapun dimanapun dia berada di keramaian pasti akan membuat semua anak yang berada di akademi menjauhinya. Jadi diam hanya lah yang menjadi jawaban Menma.
Iruka yang melihat diamnya Menma pun seakan mengerti apa yang terjadi, dia mendengar―bukan, lebih tepatnya dia tahu apa yang terjadi pada Menma. Akan sulit bagi anak seperti Menma jika terus menerima perlakuan seperti itu terus-menerus.
Puk
"Hm, jangan murung, anggaplah ini rintangan mu untuk menjadi lebih kuat dikemudian hari."
Sepatah kalimat serta tepukan dipuncak kepala si bocah tersebut terasa menjadi dorongan untuk Menma, karena biasanya dia hanya mendengar kalimat semacam itu hanya keluar dari mulut sang Ayah yang senantiasa men-support dirinya.
"Sensei tidak takut padaku? Orang-orang banyak yang memanggilku sebagai jelmaan dari monster, padahal aku manusia."
"Lalu? untuk apa aku takut? Itu hanya perkataan dari orang-orang, bukan dari dirimu bukan?" Iruka hanya tersenyum teduh dengan tangan masih mengusap kepala Menma. "Lagipula, dilihat dari mana pun juga fisikmu dan pemikiranmu juga manusia. Kenapa harus memikirkan apa yang dikatakan orang, belum tentu juga perkataan mereka benar."
Menma diam tanpa berkata-kata setelah mendengar itu. Entah kenapa dia merasa hangat seperti ketika dia bersama sang Ayah, karena dari banyaknya orang di desa, hanya sang Ayah lah yang menganggapnya keluarga, bahkan merawatnya dengan penuh kasih sayang yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
"Um, terima kasih, Sensei."
Senyum yang terpampang di wajah Iruka pun semakin lebar ketika mendengar itu.
"Yosh, tidak apa-apa. Ayo cepat kembali ke kelas, dan jika kau menemukan kesulitan, jangan sungkan untuk memberi tahu padaku." Seraya berkata seperti itu dia dengan sigap menuntun Menma kembali masuk kedalam akademi, bersiap untuk melanjutkan pelajaran yang akan dia mulai lagi.
"Sekali lagi terima kasih, sensei"
"Ha'i ha'i."
Dengan itu mereka kembali, meninggalkan pohon dengan ayunan yang tergantung sebagai saksi bisu pertemuan keduanya.
Meninggalkan kesunyian yang entah akan bertahan sampai kapan.
.
.
TBC
23 - 11 - 2022
