Disclaimer : Naruto dan seluruh karakternya BUKAN milik saya.

.

Hello, Mr. Wolf! © Vandalism27

.

Warning : SASUNARU, BOYSLOVE! YAOI! OOC (ini fanfiksi, BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan segala kekurangan dan kecacatan lainnya. Kalo gak suka, NGGAK USAH CAPER :v

.

Note : sekali lagi aku ingatkan, jurus yang dipakai untuk bertarung dan hal-hal lain tidak sesuai sama manga/animenya, ya. Aku nggak hafal tiap jurus yang mereka kuasai, wkwkwk.

.

.

SELAMAT MEMBACA!

.

.

"Bagaimana, apa dia sudah sadar?"

Neji bertanya pada Karin yang sedang duduk di dalam gua tempat mereka berteduh.

"Belum," sahut Karin.

Ia sedang menjaga seorang pemuda yang kini sedang tidak sadarkan diri. Mereka tidak tahu siapa pemuda ini. Kemarin, di tengah perjalanan menuju ke Hutan Barat, mereka menemukan pemuda ini sedang pingsan dan tidak ada siapapun di sekitarnya.

Tubuhnya dipenuhi luka lebam dan lecet. Meskipun tidak mengenalnya, tapi Karin tahu kalau pemuda asing ini adalah wolf. Dan melihat luka-lukanya, Karin tahu kalau yang menyerang pemuda ini bukanlah orang biasa.

Normalnya, wolf bisa menyembuhkan diri mereka sendiri dalam waktu relatif singkat, namun pengecualian jika ia diserang dengan senjata khusus atau sihir yang kuat.

Awalnya Karin menolak untuk menolong pemuda itu, namun Shikamaru dan Neji bersikeras untuk menolongnya. Tidak mungkin mereka meninggalkan seorang pemuda yang sedang pingsan di tengah hutan.

"Kau yakin tidak mengenal pemuda ini, Karin?" tanya Neji.

"Tidak, aku tidak mengenalnya. Tapi yang pasti, aku tahu dia adalah seorang wolf, dan aku tahu dia dari klan mana," kata Karin.

"Memangnya dia dari klan mana?" tanya Neji.

"Inuzuka," jawab Karin. "Klan Inuzuka sempat menyerang kastil saat aku dan Obito mencoba membawa Naruto kabur. Sepertinya mereka kalah. Well, Pein bukanlah lawan yang bisa diremehkan. Beruntung bocah ini bisa kabur walaupun terluka," jelas Karin.

Neji mengernyitkan keningnya. "Dari mana kau tahu dia dari klan Inuzuka?" tanya Neji.

"Tato di kedua pipinya. Hanya anggota klan Inuzuka yang memiliki tato seperti ini."

Neji memperhatikan tato yang ada di kedua pipi sang pemuda asing. Tato yang menarik, batin Neji.

Pemuda berambut panjang itu menghela napas. Ia sudah paham garis besarnya. Hutan ini sedang tidak aman karena sekelompok wolf yang menamakan diri sebagai Akatsuki sedang berusaha untuk menaklukan sebuah klan bernama Uchiha. Dan Naruto—kata Karin—adalah pasangan dari salah satu keturunan klan Uchiha yang tersisa.

Neji pernah dengar tentang wolf dan mating sistemnya. Kalau benar Naruto adalah pasangan wolf, lantas, bagaimana dengan Shikamaru? Bukankah temannya itu memiliki perasaan lebih pada Naruto?

"Argh," suara erangan lirih mengalihkan perhatian Neji dan Karin.

"Hei, kau sudah sadar?" Karin mendekat, hendak mengecek keadaan pemuda asing yang kini mulai membuka kedua matanya. "Kau bisa mendengar suaraku?" tanya Karin lagi.

Pemuda itu mula-mula menatap langit-langit gua dengan tatapan bingung, namun tiba-tiba saja ia melompat, beringsut mundur lalu menggeram pada Karin yang berada terlalu dekat dengannya. Sesekali sang pemuda meringis kesakitan sambil memegangi lengannya yang terluka.

Neji yang paham situasi, segera mengangkat kedua tangannya ke udara. "Hei, tenanglah. Kami tidak ada niat jahat, kami hanya ingin menolongmu," katanya.

Pemuda berambut cokelat itu melirik Neji. Ia mengamati Neji, memastikan pemuda berambut panjang itu tak akan menyerangnya. Ekspresi dan gerak tubuhnya terlihat tenang, tidak mengancam. Kemudian, ia melirik Karin. Wajah gadis itu terlihat tegang dan waspada.

"Kami sudah susah payah membawamu kemari, merawat luka-lukamu, dan ini balasanmu, hah?!" bentak Karin kesal.

Pemuda berambut coklat itu kembali menggeram, ia tidak menjawab ocehan Karin.

"Sudahlah, Karin. Dia sedang terluka, wajar kalau dia jadi lebih agresif pada orang asing seperti kita," kata Neji. Ia lalu berusaha mendekati sang pemuda dengan perlahan. "Kami tidak akan menyakitimu. Duduklah dengan tenang, sebentar lagi temanku datang membawa makanan. Kau harus makan agar setidaknya kau punya tenaga, setelah itu kita bisa bicara."

"Siapa kalian? Mengapa aku ada disini?" Sang pemuda berambut cokelat bersuara tanpa mengurangi kewaspadaannya.

Neji tersenyum tipis. "Kau ada di gua tempat kami berteduh. Kami menemukanmu tergeletak tidak sadarkan diri lalu memutuskan untuk menolongmu. Aku adalah seorang hunter, sementara yang di sebelahku ini adalah wolf, dia temanku," jelas Neji.

Pemuda asing itu memicingkan matanya dengan curiga. Ia menatap Neji dan Karin secara bergantian.

"Wolf dan hunter? Lelucon macam apa ini?" sang pemuda melemparkan pertanyaan retoris. "Mana mungkin kalian berteman!"

"Kami tidak sedang bercanda! Kau pikir wajahku saat ini terlihat lucu?!" seru Karin sebal. Gadis temperamental itu tidak bisa menutupi kekesalannya sama sekali. Pemuda ini, baru saja membuka mata malah mengajak berkelahi.

"Karin, sudahlah," tegur Neji pelan.

Sang pemuda asing terdiam. Ia mengamati keadaan sekelilingnya. Ia berada di sebuah gua yang tampak asing, namun terasa hangat karena ada api unggun tak jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Selain itu, ia tak merasakan tanda-tanda makhluk lain, selain dua orang yang saat ini sedang berdiri dihadapannya. Setelah merasa yakin Neji dan Karin tidak ada niat untuk menyerangnya, pemuda asing itupun menurunkan tingkat kewaspadaannya.

"Maafkan sikapku, aku hanya takut diserang musuhku. Aku terluka parah gara-gara mereka."

"Akatsuki?"

Sang pemuda membelalak kaget. "Dari mana kau tahu?"

Karin mendengus, dagunya terangkat tinggi. "Tentu saja aku tahu! Kau kabur setelah menyerang kastil Pein, kan? Klanmu kalah, kan?" kata Karin. Neji berdecak sebal, mulut gadis ini benar-benar pedas dan menyebalkan.

Pemuda itu menunduk, lalu ia mengangguk. "Ya, klanku kalah. Seluruh anggota klanku yang tersisa telah tewas, hanya aku yang berhasil selamat," jawab pemuda itu dengan nada yang terdengar sedih dan bergetar, sepertinya ia menahan tangis.

Karin terdiam. Ia melirik Neji, sepertinya ia baru sadar kalau topik itu cukup sensitif. Neji memicingkan matanya, berusaha memberi kode kalau ucapan Karin sangat jahat. Akan tetapi, karena Karin dan harga diri tinggi sudah menjadi satu paket, gadis itu tak akan meminta maaf dengan mudah. Ia berusaha menghindari tatapan Neji.

"Siapa namamu?" Neji bertanya pada sang pemuda asing dengan hati-hati.

"Kiba. Inuzuka Kiba."

Pemuda berambut cokelat jabrik itu tiba-tiba saja menegakkan tubuhnya. Ia mengendus-endus udara, kemudian matanya terbelalak saat ia melihat ke mulut gua. Di mulut gua ada Shikamaru, sedang berdiri tegak, baru saja kembali dari sungai sehabis menangkap ikan dan memetik beberapa buah yang bisa ia temukan.

"Oh, rupanya dia sudah sadar," kata Shikamaru. "Neji, Karin, ayo makan. Aku sudah menangkap banyak ikan dan memetik buah-buahan untuk kita semua," kata Shikamaru.

Kiba mematung sambil menatap wajah Shikamaru.

Baru saja Shikamaru meletakkan ikan-ikan dan buah-buahan yang dibawanya, ia dikejutkan oleh Kiba yang bertingkah aneh. Kiba menggeram, lalu melesat seperti hendak menerkam Shikamaru.

Karin sadar ada yang salah dengan tingkah Kiba. Gadis itu segera menghadang Kiba, menangkap tubuhnya lalu berguling beberapa kali hingga punggung Kiba menabrak dinding gua yang terbuat dari batu. Kiba memberontak, namun Karin berusaha menahannya.

"Sadar, bocah! Dia manusia!" bentak Karin.

Karin balik menggeram mengancam saat Kiba berusaha melepaskan diri. Sebagai half wolf, Karin menguasai sihir walaupun tidak terlalu kuat. Ia menahan tubuh Kiba dengan sihir yang ia kuasai.

"Lepas! Dia mate-ku!" Kiba berteriak sambil menggeram. Suaranya terdengar lebih berat dan serak.

Pemuda berambut coklat itu masih berusaha melepaskan diri. Sesekali ia mendesis karena sihir Karin mencengkeramnya dengan kuat. Seandainya ia dalam kondisi sehat, sihir kecil begini tak akan bisa menahannya.

"Sial! Tenanglah, bocah!"

"Apa yang terjadi?" teriak Neji, heran karena pemuda yang tadinya tampak tenang, berubah beringas setelah melihat Shikamaru. "Dia teman kami, ia tak akan menyerangmu, tenanglah, Kiba!"

Sementara itu, Shikamaru tak bisa menggerakan badannya. Matanya seolah terpaku pada mata Kiba yang menatapnya dengan tajam. Shikamaru bisa merasakan tubuhnya merinding, namun anehnya, ia sama sekali tidak merasa takut.

Karin mengangkat jari telunjuknya yang bebas, lalu seberkas sinar muncul di ujung jarinya. Ia mengarahkan sinar itu ke dahi Kiba. Kiba sempat menggeram dengan keras, namun kemudian tubuhnya tampak melemas. Karin segera melepaskan belenggu sihirnya, lalu membantu Kiba agar ia bisa berdiri tegak.

Kiba memegangi kepalanya yang terasa berdenyut menyakitkan.

"Ah, sial. Maafkan aku, aku tidak bermaksud menakuti kalian. Aku hanya terkejut bertemu dengan mate-ku," kata Kiba. Ia mendongak, tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Shikamaru.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau ingin menyerangku?" tanya Shikamaru.

Kiba—yang menyadari pasangannya adalah manusia—menarik napas panjang. "Maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyerangmu, dan tidak ada niat untuk melukaimu. Aku hanya kaget. Kau adalah–umm, bagaimana mengatakannya, ya?" Kiba berusaha menjelaskan, namun ia tampak kebingungan mencari kata yang tepat.

"Kau adalah mate-nya, Shikamaru," timpal Karin.

Shikamaru dan Neji saling melempar pandangan. Keduanya jelas tampak bingung.

"Mate? Apa maksudnya seperti Naruto dan pasangannya yang pernah kau jelaskan waktu itu?" tanya Shikamaru.

Karin mengangguk. "Benar."

Neji mencoba mencairkan suasana yang mulai tegang dan canggung, "Ayo kita mengobrol sambil makan," katanya.

Semua yang ada di gua itu menuruti ucapan Neji. Shikamaru dan Neji duduk diseberang Karin dan Kiba. Mata tajam Shikamaru tak lepas dari bocah berambut cokelat yang kini sedang menunduk sambil memandang jemarinya.

Dia mate bocah wolf itu?

Pemuda itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bagaimana bisa ia memiliki pasangan seorang wolf? Laki-laki pula! Lalu, bagaimana dengan perasaannya terhadap Naruto?

"Memangnya wolf harus bersama dengan pasangannya?" tanya Shikamaru.

"Tentu saja!" Kiba menyahut cepat. "Tanpa pasangannya, wolf tidak akan bisa bertahan hidup. Ya, secara teknis bisa, sih, tapi hidup akan terasa lebih mudah dan menyenangkan kalau bersama dengan pasangan, kan?" jawab Kiba, tanpa sadar bibirnya melengkungkan senyum.

Kening Shikamaru berkerut dalam. "Tapi aku sudah punya orang yang aku suka. Dan aku tidak berencana untuk menjalin hubungan dengan orang lain, selain dia," tegas Shikamaru, membuat Neji menggerutu dalam hati. Temannya ini benar-benar straight to the point.

Dan senyum di bibir Kiba pun lenyap seketika.

Pohon cintanya telah tumbang, bahkan sebelum tunasnya sempat bertumbuh.

Ugh, sakit tapi tak berdarah.

.

.

.

"Bagaimana, Zetsu? Kau berhasil membujuk Shion untuk bergabung?" Pein bertanya pada Zetsu yang muncul dari lantai. Anak buah Pein yang memiliki bentuk aneh itu memang sering muncul dari arah yang tidak terduga.

"Tidak, Ketua. Shion menolak dengan keras untuk bekerja sama dengan kita. Jadi aku membunuhnya agar tidak menyulitkan rencana," balas Zetsu.

"Hn, sayang sekali," Pein menggumam. "Lalu, ada informasi apa lagi?"

"Ada beberapa informasi penting. Pertama, Naruto, Itachi, Sasuke dan Kyuubi sedang berada di dunia fairy. Yang kedua, Naruto telah memiliki Kristal Bulan. Dan yang ketiga, saya telah berhasil melacak keberadaan Karin. Ia sedang bersama dua orang hunter, namun saya kehilangan jejak Uchiha Obito, atau yang selama ini kita kenal sebagai Tobi."

Pein mengerutkan keningnya. "Aku akan memerintahkan Deidara untuk memburu Karin, biar Sasori yang menjaga perbatasan. Kemudian kau lacak keberadaan Obito sialan itu. Saat Itachi dan Sasuke sudah menuju ke kastil ini, segera kabari aku," kata Pein. "Ah, jangan kau sentuh Naruto. Biar aku sendiri yang mengurus manusia aneh itu. Kristal Bulan itu adalah tanda kalau dia bukanlah lawan yang bisa kau hadapi. Kau paham?"

"Paham, Ketua."

Pein mengangguk. "Kau boleh pergi."

"Um, Ketua?" panggil Zetsu, membuat Pein menaikkan sebelah alisnya sebagai ganti kata tanya. "Mengapa Ketua tidak mendatangi mereka langsung? Mengapa menunggu mereka menyerang kastil?"

Mendengar pertanyaan anak buahnya, Pein menghela napas. Ia berdiri, berjalan perlahan mendekati Zetsu yang membeku di tempatnya. Entahlah, tatapan Pein membuatnya tidak bisa bergerak sedikitpun.

Pein mencengkram belakang leher Zetsu, lalu mendekatkan kening mereka berdua. Tatapan matanya tajam menghujam mata Zetsu.

"Aku ingin memastikan mereka berakhir di kastil mereka sendiri. Agar Madara tahu, seluruh keturunannya habis di tanganku. Lagi pula, tujuan akhir mereka adalah kastil ini, biar mereka yang mendatangiku, aku tak mau lelah memburu mereka lagi," ucap Pein. Pelan, namun nada bicaranya benar-benar membekukan. Zetsu bisa merasakan tubuhnya merinding dari atas kepala sampai ujung kaki.

Ah, sebaiknya ia tidak mengecewakan Pein, atau nasibnya akan berakhir seperti Uchiha Madara dan klannya.

Zetsu tak berkomentar lagi. Setelah Pein melepasnya, ia menunduk hormat, kemudian di bawah kakinya muncul semacam lubang hitam. Zetsu pun masuk ke dalam lubang hitam itu, ia menghilang seolah ditelan bumi.

Sepeninggal Zetsu, Pein menoleh saat pintu ruangannya terbuka. Ternyata Konan. Kondisi wanita itu sudah jauh lebih baik. Efek tanaman yang meracuninya memang mengerikan namun tidak bertahan lama, apalagi Pein sendiri yang mengobati Konan dengan bantuan sihirnya.

"Istirahatlah, Konan. Jangan terlalu lelah," kata Pein. Ia berjalan menghampiri Konan. Pein mengulurkan sebelah tangannya untuk memeluk pasangannya itu.

"Aku sudah tidak apa-apa, Pein. Kondisiku sudah jauh lebih baik," sahut Konan dengan nada lembut. Ia menyamankan diri dalam pelukan Pein.

Pein tidak membalas ucapan Konan. Ia mengecup pucuk kepala Konan dengan sayang. Diam-diam pria itu bersyukur, kondisi pasangannya sudah jauh membaik. Ia tak tahu harus berbuat apa seandainya Konan tidak selamat.

"Pein?"

"Hn?"

"Apa aku boleh memberi saran?" tanya Konan dengan hati-hati.

"Saran apa?" Pein balik bertanya dengan nada tajam. "Jangan ikut mengurusi masalah ini, Konan. Biarlah ini menjadi urusanku. Sudah cukup kau terkena racun, aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu lagi."

Konan terdiam. Tumben Pein mengomel panjang lebar. Tapi, ia tidak akan menyerah.

"Aku ingin membantu, Pein, aku tak akan membiarkanmu berjuang seorang diri," sahut Konan dengan nada tenang. Ia tidak boleh tersulut emosi. "Bagaimana kalau kita menyerang mereka saja? Terlalu lama kalau menunggu mereka datang ke kastil ini."

Pein menghela napas panjang. Pasangannya ini memang keras kepala. "Aku akan segera mengurus mereka, begitu mereka kembali dari Hutan Barat. Terlalu beresiko kalau anak buahku harus masuk ke Hutan Barat," jawab Pein.

Konan tersenyum tipis. Pein memang terlihat dingin dan arogan, namun sebenarnya ia adalah sosok yang care pada orang-orang yang loyal padanya.

"Ah, begitu. Jadi kita menyerang saat mereka sudah ada di tanah Hutan Timur?"

Pein mendelik. "Aku dan anak buahku yang akan mengurus mereka. Tidak ada kata kita dan tidak ada negosiasi, pembicaraan ini hanya sampai disini. Paham?"

Konan mengatupkan bibirnya saat mendengar nada final dari ucapan Pein.

Ia tahu betul bagaimana sifat Pein. Jika lelaki itu bilang tidak, berarti tidak. Namun, bukan Konan namanya jika ia hanya berdiam diri saja. Ia akan membantu Pein. Dan menurut Konan, lawan yang harus ia hadapi adalah Sakura dan Shion. Ia sangat yakin Shion masih hidup, tidak mungkin penyihir sehebat Shion bisa kalah semudah itu.

Konan akan meminta tolong pada Zetsu secara pribadi untuk mencarikan informasi tentang mereka. Pokoknya rencana Pein harus berhasil. Bahkan jika ia harus berkorban nyawa, Konan akan selalu siap. Apapun akan ia berikan untuk Pein.

Tersenyum lembut sambil mengelus sebelah pipi Pein, diam-diam Konan menyusun rencana.

.

.

.

"S-Sa-Sasuke?" gumam Naruto. Mata birunya terbelalak lebar.

"Ya, Naruto, ini aku. Kau baik-baik saja?" tanya Sasuke.

Seulas senyum tipis hadir di wajah Sasuke. Tanpa sadar tangan kanannya terangkat, mengelus sebelah pipi Naruto. Jadi, gadis cantik ini adalah Naruto?

Sasuke bersyukur Naruto tampak baik-baik saja. Ya, meskipun fisiknya berubah, namun ia tidak mencium bau darah dari tubuhnya. Sasuke sangat bersyukur Inoichi tidak melukai Naruto. Ia tak akan bisa berpikir jernih seandainya Inoichi melukai Naruto barang seujung kuku saja.

Naruto tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh Sasuke. Ia masih shock, terlalu terkejut karena Sasuke tiba-tiba saja muncul dihadapannya. Apalagi fisiknya masih belum kembali ke bentuk semula.

Naruto mendorong dada bidang Sasuke sekuat mungkin, kemudian melangkah mundur menjauhi Sasuke.

"Naruto?" gumam Sasuke, bingung dengan gestur tubuh Naruto yang tidak biasa. "Ada apa? Apa ada yang sakit?"

"Ah, m-maaf, Sasuke. Aku hanya terkejut," jawab Naruto terbata. Ia menghindari tatapan mata Sasuke.

Sasuke diam. Dia tahu Naruto berusaha menyembunyikan sesuatu. Ada apa? Mengapa Naruto terlihat tidak tenang? Mengapa Naruto mendorong tubuhnya? Apa Naruto menolaknya? Naruto tidak senang bertemu dengannya? Oh, Sasuke over thinking.

Naruto sendiri tampak menyesali perbuatannya. Ia hanya reflek saja mendorong tubuh Sasuke. Ia senang bisa bertemu lagi dengan Sasuke, tapi Naruto sangat malu karena perubahan fisiknya. Ia sangat takut Sasuke akan memandangnya aneh.

Damn you, Inoichi!

"Hei! Ayo pergi dari sini, jangan bermesraan di tengah peperangan!" teriakan Ino mengalihkan perhatian mereka.

Seolah tersadar, Sasuke segera meraih tangan Naruto. "Tempat ini berbahaya. Kita bicara lagi nanti, sekarang kita harus mencari Itachi dan Kyuubi," Kata Sasuke.

Naruto tidak menjawab. Ia hanya diam saat Sasuke menggenggam tangannya dengan erat lalu mengajaknya berlari mengikuti Ino. Sasuke sama sekali tidak melepaskan tangan Naruto, seolah ia takut Naruto akan menghilang jika ia melepaskan tangannya barang sedetik saja.

Mereka bertiga terus berlari hingga mereka berpapasan dengan Inoichi dan beberapa pengawal pribadinya.

"Ino!" seru Inoichi. Ia memeluk tubuh anak perempuannya itu dengan erat. "Kau baik-baik saja, nak?"

"Aku baik-baik saja, ayah!" kata Ino.

Perhatian Inoichi teralih ke Naruto. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, yang dijawab anggukan kepala Naruto. Mata Inoichi melirik Sasuke yang tampak memejamkan matanya.

"Ini Sasuke," jawab Naruto. "Dia datang untuk menjemputku."

"Aku Uchiha Sasuke, wolf dari klan Uchiha," jawab Sasuke setelah matanya kembali terbuka.

"Wolf? Kenapa wolf ada disini?" tanya Inoichi.

"Well, seseorang menculik pasanganku. Makanya aku ada disini," jawab Sasuke, menyindir Inoichi.

Inoichi yang merasa tersindir, berdehem dengan gaya yang berlebihan. Kemudian ia segera meminta maaf. "Ah, aku minta maaf telah membawa pasanganmu ke duniaku, tapi kau perlu tahu, itu tidak disengaja," jawab Inoichi.

"Aku tidak peduli dengan alasanmu. Sekarang aku harus menemukan kakakku dan pasangannya. Setelah itu, kami akan pergi dari sini," kata Sasuke.

Ekspresi wajah Inoichi berubah datar.

"Ino, ayah harus pergi membantu Sai. Dia akan kesulitan menghadapi Chouza dan Chouji seorang diri. Sihir mereka tidak bisa diremehkan," kata Inoichi.

Wajah Ino tampak khawatir. "Aku ikut, ayah!"

"Tidak!"

Ino mengerutkan keningnya dalam. "Aku tidak akan membiarkan ayah dan Sai berperang, sementara aku duduk manis!" teriak Ino, lalu fairy muda itu terbang menjauh, tanpa mempedulikan teriakan ayahnya.

"Ino! Tunggu aku!" teriak Naruto, pemuda itu menghentakkan tangan Sasuke, kemudian berlari begitu saja tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. Ino adalah sahabatnya, Naruto tak akan membiarkan Ino berperang sendirian.

Sasuke yang terkejut, segera menyusul Naruto.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Sasuke, menahan lengan Naruto.

"Aku harus membantu Ino!"

"Memangnya kau bisa berpedang? Kau bisa sihir? Kau siap kena tebas pedang?" pertanyaan retoris meluncur dari bibir Sasuke. Pemuda itu agak menyesali ucapannya karena Naruto kini terlihat down.

Sial, Sasuke lupa kalau bagi Naruto, sahabat adalah segalanya.

"Tapi aku tidak ingin Ino sendirian!" sahut Naruto.

Sasuke terdiam, ia berusaha meredam emosinya. Sasuke bukanlah wolf yang penyabar, ia sangat mudah tersulut emosi, ia juga tak bisa mengerem kata-katanya yang cenderung tajam dan menyakitkan. Tapi, demi mate-nya, Sasuke akan belajar untuk mengatur emosinya.

"Sasuke!"

Konsentrasi Sasuke buyar saat ia mendengar teriakan familiar yang terdengar dari kejauhan. Itachi dan Kyuubi berlari menghampiri mereka.

"Kyuubi!" Naruto berteriak—atau lebih tepatnya merengek memanggil nama Kyuubi.

Saat Kyuubi mendekat, Naruto hendak memeluk teman baiknya itu tetapi Kyuubi malah menangkap wajah Naruto, menahan wajah pemuda itu dengan satu tangannya. Ekspresi wajahnya tampak tidak ramah.

"Siapa kau?! Sok kenal!" hardik Kyuubi, ia tidak mengenali fisik baru Naruto.

"Ini aku, Naruto!" jawab Naruto, ia menyingkirkan tangan Kyuubi di wajahnya dengan kesal.

"Naruto?" gumam Kyuubi heran. "Seingatku, Naruto adalah laki-laki? Dan sejak kapan Naruto punya dada sebesar itu?"

"Sialan! Dasar mesum!" Naruto refleks menutupi kedua dadanya. "Ini gara-gara sihirnya Inoichi, ayahnya Ino. Dia salah mengucap mantra, seharusnya dia mengucap mantra untuk membunuhku, tapi dia malah mengucap mantra untuk mengubah jenis kelaminku!"

"Apa? Dia mencoba untuk membunuhmu?" Desis Sasuke tidak terima.

Naruto menggigit bibir bawahnya. Sial, dia kelepasan bicara. Bisa runyam masalahnya kalau Sasuke mengamuk lalu baku hantam dengan Inoichi. Berbulan-bulan hidup bersama para wolf, ada satu hal yang Naruto sadari. Wolf memiliki motto hidup : untuk apa berdamai kalau bisa diselesaikan dengan baku hantam?

"Sudah, Sasuke. Yang penting Naruto selamat. Sebaiknya kita segera pergi dari sini," Itachi mencoba mengalihkan perhatian Sasuke.

"Tidak!" seru Naruto. "Aku harus membantu Ino! Kalau kalian mau, silahkan pergi duluan, tapi aku disini untuk membantu sahabatku!"

Naruto menatap ketiga orang itu dengan serius, tidak ada senyum di wajahnya. Jika menyangkut sahabat, Naruto tidak pernah main-main. Jika Naruto bilang ingin membantu Ino, maka ia—maksudnya, mereka: Sasuke, Itachi dan Kyuubi juga dihitung—akan membantu Ino.

Itachi menghela napas. "Baiklah, aku dan Sasuke yang akan membantu Ino. Kyuubi, kau bertugas menjaga Naruto, tapi kalian harus bersembunyi di barrier yang nanti aku buat."

"Barrier? Kau bisa membuat barrier?" tanya Kyuubi heran.

"Bisa. Kurang lebih fungsinya sama seperti milik Sakura-san. Memang tidak sekuat dan sebesar milik Sakura-san, tapi sangat mampu untuk melindungi kalian agar tidak terkena senjata atau sihir nyasar. Tapi, kalian harus tetap berada di dalam barrier agar tidak terluka, dan jika kalian keluar dari barrier, kalian tidak akan bisa masuk lagi. Jadi jangan bertingkah. Paham?"

"Bagaimana bisa kami hanya bersembunyi sedangkan kau dan Sasuke bertarung?" bantah Kyuubi.

"Paham, Kyuubi?" Itachi mengulangi ucapannya. Pelan, namun penuh penekanan. Mata berpupil hitam Itachi menghujam tepat ke mata Kyuubi yang tampak terkejut.

Kyuubi menelan ludah. Itachi alpha mode: on.

Kalau sudah begitu, Kyuubi tidak bisa membantah, mau tidak mau ia harus menurut. Membantah pun percuma, Itachi sedang tidak bisa diajak berkompromi. Dan ini bukan saat yang tepat untuk pertengkaran pasutri(?). Ngambek-nya bisa ditunda dulu. Awas saja kalau Si Keriput itu minta jatah, Kyuubi tidak akan memberikannya dengan mudah!

"Baiklah. Aku paham," jawab Kyuubi mengalah.

Itachi tersenyum, ia mengelus kepala pasangannya dengan sayang. "Bagus," katanya. "Kalau kau, Naruto? Apa kau paham ucapanku? Kau bisa berjanji untuk tidak berulah, kan?"

Naruto menatap mata Itachi yang entah mengapa terlihat menyeramkan. Naruto melirik Sasuke, berusaha meminta bantuan tapi Sasuke malah mengalihkan tatapannya seolah tidak mau membantu. Maaf Naruto, Sasuke pun tidak bisa berkutik kalau lawannya adalah Itachi.

Naruto pun akhirnya terpaksa menggangguk dengan gerakan kaku. Ia terpaksa mengiyakan. Kalau Sasuke saja tidak berani menginterupsi, artinya Itachi benar-benar serius. Dan insting Naruto mengatakan, jangan pernah mencari masalah dengan Itachi.

"Anak pintar," kata Itachi. "Baiklah. Kalau begitu sekarang kita cari Ino."

Sasuke menyuruh Naruto untuk naik ke punggungnya, lalu mereka melesat dengan kekuatan fairy yang mereka dapatkan dari Chouza. Tak berapa lama kemudian, mereka berhasil menemukan Ino. Ia sedang membantu Sai untuk menumbangkan Chouji. Meskipun terlihat lemah, tetapi Chouji bukanlah lawan yang bisa diremehkan.

"Ino!" teriak Naruto.

Naruto buru-buru turun dari punggung Sasuke dan berniat menghampiri Ino sebelum Itachi menangkap belakang leher Naruto, menahannya agar tidak bisa kemana-mana. Sebisa mungkin Itachi menahan Naruto agar ia tidak bertindak gegabah. Kalau Naruto bertindak gegabah, bisa-bisa Kyuubi yang kena getahnya. Kyuubi tidak akan tinggal diam jika terjadi sesuatu pada Naruto, kan?

"Sepertinya ada yang lupa dengan janjinya?" sindir Itachi. Nada bicaranya terdengar menakutkan.

"Eh, hehe iya maaf aku lupa," kata Naruto. Ia tertawa dengan canggung. Sindiran Itachi terasa seperti sindiran ibu mertua yang ada di drama kesukaan Kakashi.

Sasuke nyaris tertawa melihat reaksi Naruto yang tak berkutik di bawah ancaman kakaknya. Jangankan Naruto, Sasuke saja tidak berkutik kalau kakaknya sudah menggunakan alpha mode-nya.

Itachi menarik lengan Kyuubi untuk mendekat, lalu merapal sesuatu yang terdengar asing di telinga. Dari tangannya, muncul semacam gelembung transparan, yang kemudian membesar dan terus membesar, melingkupi tubuh Kyuubi dan Naruto.

Kedua pemuda itu tampak takjub dengan barrier milik Itachi. Lebih kecil dari punya Sakura, tapi ketika disentuh terasa kokoh.

"Kalian tunggu disitu, oke?" perintah Itachi. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya pada Sasuke. "Sasuke, kau siap?"

"Ya," jawab Sasuke. "Naruto, tunggu disitu bersama Kyuubi. Aku akan segera kembali. Kyuubi, aku titip Naruto."

Kyuubi mengangguk, "Serahkan padaku!"

Kedua wolf itu pun bergabung dalam peperangan.

Naruto dan Kyuubi mengawasi dari balik barrier dengan cemas.

Itachi sengaja tidak berubah ke wujud wolf-nya agar ia bisa leluasa menggunakan sihir, sementara Sasuke sengaja tidak berubah agar ia bisa menggunakan pedangnya yang ternyata mampu menangkis sihir. Dibantu sharingan-nya, Sasuke tidak mengalami kesulitan mengalahkan fairy-fairy itu. Naruto meremas tangannya dengan khawatir saat Ino terlihat kewalahan, ia dikepung beberapa fairy yang terlihat kuat.

"Bagaimana ini, Kyuubi? Sepertinya Ino terdesak," gumam Naruto.

"Tidak, Ino pasti bisa mengalahkan mereka. Ino bukanlah fairy lemah, ia bahkan pernah mengalahkan Choumei, kau ingat, kan?" Kyuubi berusaha menenangkan Naruto.

Kyuubi tidak terlalu mengkhawatirkan Itachi karena dia sanggup menghadapi setiap fairy yang berusaha menyerangnya. Bahkan kalau boleh jujur, malah para fairy itu yang terlihat kewalahan menghadapi Itachi.

Kalau Sasuke? Ah, jangan ditanya. Fairy-fairy itu dibabat habis olehnya.

Tiba-tiba saja, seberkas cahaya menyerupai tali berwarna keemasan, membelit tubuh Ino hingga tubuhnya tidak bisa bergerak. Naruto memekik saat salah satu fairy menyerang Ino dengan sihir. Sihir berbentuk bola berpendar keemasan itu mengenai dada Ino, membuat fairy itu terpental hingga menabrak tembok. Ino mengerang kesakitan, mulutnya memuntahkan cairan berwarna merah.

Naruto tidak bisa berpikir jernih saat ia melihat sahabatnya terluka. Kepalanya seolah kosong, tatapannya menggelap. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja tubuhnya seperti bergerak sendiri. Ia keluar dari barrier Itachi, padahal seharusnya ia tidak boleh keluar dari barrier kokoh itu. Lalu ia melesat cepat menghampiri fairy yang mengeroyok Ino.

Antara sadar dan tidak, Naruto merasa tubuhnya terasa ringan, ia seperti sedang melayang. Ia juga bisa merasakan tangannya mengeluarkan bola cahaya berpendar kebiruan yang terasa hangat. Kemudian, Naruto melemparkan cahaya berbentuk bola itu ke fairy yang menyerang Ino. Sekelompok fairy tumbang bersamaan setelah bola biru itu meledak dengan suara berdentum yang kencang.

"Berhenti kalian semua! Berani sekali kalian menyakiti sahabatku, hah! Dasar fairy jelek, curang, main keroyokan! Kemari, maju satu lawan satu!" teriak Naruto.

Suara dentuman dan suara teriakan Naruto seolah membungkam kastil yang sedang kacau. Seluruh fairy yang ada di tempat itu terdiam, mereka semua menatap takjub ke arah Naruto.

Naruto tidak paham dengan apa yang terjadi. Mengapa mereka semua malah diam?

"Kenapa malah diam, hah?! Aku menantang kalian!"

Seluruh pasang mata menatap ke arah Naruto. Pemuda pirang itu bertambah bingung ketika seluruh fairy, bukannya menyerang malah berlutut hormat di depan Naruto. Bahkan Inoichi dan Chouza, mereka juga berlutut di depan Naruto.

Serempak mereka berseru, "Hormat kami kepada Dewi Penjaga Kristal Bulan!"

Apa? Dewi? Siapa? Dimana?

Naruto menoleh kesana kemari namun ia tak menemukan sosok dewi yang dimaksud.

"Dewi apa? Jangan mengada-ada, ya!" Hardik Naruto.

Naruto menatap Sasuke dan Itachi untuk meminta jawaban, tapi mereka berdua malah menatapnya dengan tatapan takjub, dan sepertinya mereka sama bingungnya. Kyuubi? Ah, tanpa perlu repot menoleh pun Naruto bisa menebak ekspresi wajah Kyuubi.

Ia lalu menatap kedua tangannya yang kini diselimuti cahaya berpendar kebiruan. Bukan hanya tangannya, tapi dari ujung kepala sampai ujung kaki Naruto, diselimuti cahaya berpendar kebiruan yang terlihat cantik.

"Aaargh! Papaaa! Apa lagi ini! Tubuhku kenapa?!" jerit Naruto.

Tepat setelah Naruto menjerit, sinar berpendar kebiruan itu mendadak lenyap, bersamaan dengan seluruh energi yang Naruto miliki. Kaki Naruto mendadak lemas, kepalanya pusing, matanya memberat, dan Naruto pun ambruk tak sadarkan diri.

.

.

TBC

.

.

Haiiii semuanya! Hehe, apa kabar? Semoga kalian masih ingat dengan FF ini ya. Udah lama banget aku gak update fic2 ku yang ada disini. Aku gak sempat ngetik karena sibuk banget, aku udah ga punya kebebasan akan waktu kayak dulu lagi, klo pun ada waktu, idenya yg buntu :")

Aaargh sumpah deh, ngetik fanfic ini tuh agak susah, perlu imajinasi tingkat dewa. Aku minta maaf kalau chapter ini kurang memuaskan :'( kalian boleh baca ulang kalo kalian agak2 lupa sama jalan ceritanya.

Btw sebagian lokasi di fanfic ini terinspirasi dari mimpiku. Entahlah, aku sering mimpi pergi/jalan-jalan gitu—kadang mimpi jalan-jalan di sekitar rumah, kadang mimpi main ke rumah nenek, kadang ke daerah antah berantah yang aku bahkan nggak tau itu dimana—aneh? Emang! Wkwkwk.

Ah, iya, sedikit penjelasan, disini Naruto dipanggil Dewi Penjaga Kristal Bulan… karena sekarang Narutonya kan lagi jadi cewek :p

Sampai jumpa di chapter berikutnya yang nggak tau kapan aku up :")

Adios!