Sebelum masuk ke ceritanya, aku mau jawab beberapa pertanyaan:
Sasuke cs umur berapa?
Sasuke umurnya 20, Itachi dan Obito sepantaran, 25. Naruto masih 16. Orang tua ya paruh baya, bayangin aja sendiri.
Naruto di masa lalu atau dimensi lain?
Dimensi lain dengan budaya yang masih tradisional. Untuk budaya, suku dan lainnya, aku karang sendiri. Disini, tiap suku terdiri dari beberapa klan.
Sasuke cs pake kimono atau apa?
Sudah ada di dalam cerita, untuk laki-laki mereka pakai celana selutut dari kain warna cokelat, kalo untuk perempuan, mereka pake semacam baju kemben(?) dari kain warna cokelat, trus pake celana juga selutut. Kalo nggak bisa bayangin, coba tonton Moana, aku terinspirasi dari bajunya mereka.
Kok beda bahasa?
Iyalah. Logika aja, kalo bahasanya sama, bukan beda dimensi dong.
Ada yang mau ditanyain lagi?
.
Disclaimer : Naruto dan seluruh karakternya BUKAN punyaku. Minjem doang ini mah.
.
Naruto and The Red Stone © Vandalism27
.
Warning : Sasu(fem)Naru! OOC (ini fanfiksi, BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan segala kekurangan dan kecacatan lainnya. Kalo gak suka, NGGAK USAH CAPER :v
.
. Note : karena bahasa Naruto dan Sasuke berbeda, maka bahasa Sasuke aku tulis pakai italic. Semoga paham, ya.
.
Sinopsis : Naruto pikir, ini adalah akhir dari hidupnya, mati ditabrak truk yang melaju ke arahnya. Namun sepertinya, Tuhan berbaik hati mengijinkannya tetap hidup… di dimensi lain!
.
.
SELAMAT MEMBACA!
.
.
Naruto mendecakkan lidahnya ketika lagi-lagi Rin tidak mengerti apa yang diucapkannya. Gadis itu menggaruk rambutnya hingga kusut. Padahal ia hanya ingin mencari toilet, ia perlu mandi untuk membersihkan dirinya.
"Toilet, kau dengar aku? Toilet!" seru Naruto.
"Toi…let? Apa itu?" tanya Rin. Wanita itu memiringkan kepalanya, ia menatap Naruto dengan tatapan bingung. "Kau bicara apa, aku sama sekali tidak mengerti."
"Aku harus ke toilet! Aku perlu mandi!" Naruto memperagakan gaya orang sedang mandi, "Aku juga perlu buang air," lanjutnya, sambil memperagakan orang ingin ke toilet. Gadis itu membuat gerakan seolah-olah dia sedang menaik-turunkan rok seragam sekolah yang dipakainya.
Rin baru mengerti apa yang diucapkan Naruto ketika gadis itu menciumi ketiaknya yang berbau tidak sedap.
"Ah! Kau mau mandi? Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi! Malah berkata toilet, toilet!"
Rin menarik pergelangan tangan Naruto. Ia mengambil beberapa kain yang tersampir di jemuran, lalu membawa Naruto masuk ke dalam hutan. Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.
"Sungai?"
"Kau bisa mandi di sini," kata Rin, ia memperagakan orang sedang membersihkan badan. "Lepaskan pakaianmu, lalu pakai kain ini untuk menutupi tubuhmu. Kau tidak usah khawatir, tidak akan ada laki-laki yang mengintipmu karena mereka mandi di sisi sungai sebelah sana. Kalau sudah selesai, kau bisa pakai ini untuk mengganti pakaianmu. Pakaianmu terlihat kotor."
"Oh, jadi kalian mandi di sungai," gumam Naruto. Ia menerima kain pemberian Rin, lalu memakai kain itu sesuai instruksi yang diberikan oleh gadis ramah itu. Setelah berganti pakaian, tanpa menunggu lama Naruto segera menceburkan diri ke dalam sungai.
Naruto bersumpah, ini adalah sungai terbersih yang pernah ia lihat seumur hidupnya.
Rin tidak ikut mandi, dia hanya duduk di atas batu sambil mencelupkan kakinya ke aliran sungai. Wanita itu memperhatikan bagaimana Naruto membersihkan tubuh dan rambutnya dengan teliti. Rambut pirang gadis itu terlihat berkilau tertimpa sinar matahari. Ia juga memperhatikan bagaimana gadis itu berusaha membersihkan pakaiannya.
Setelah merasa cukup, Naruto memutuskan untuk menghampiri Rin yang sedang duduk sambil termenung.
"Rin?" panggil Naruto.
"Ya? Kau sudah selesai mandi?"
Naruto tersenyum. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan Rin. "Aku sudah selesai mandi," Naruto mengganti pakaiannya dengan pakaian yang dibawakan Rin untuknya. Sebuah pakaian dengan model kemben dan celana selutut warna cokelat. "Terima kasih atas bantuannya, Rin."
Rin tersenyum, seolah memahami perkataan Naruto. "Ayo kita kembali, sebentar lagi kelompok berburu pulang, dan kita harus memasak hasil buruan."
Naruto tidak menjawab. Ia mengikuti langkah kaki Rin, yang ternyata membawa keduanya kembali ke perkampungan. Naruto menyempatkan diri untuk menjemur seragamnya yang sudah ia cuci di sungai tadi, lalu mengikuti Rin yang mengajaknya ke suatu tempat.
Di tempat itu, para wanita sudah berkumpul. Sepertinya mereka sedang bersiap-siap untuk memasak. Ada banyak bahan makanan dan alat-alat masak di sana. Alat-alat masak itu mengingatkan Naruto pada alat masak di zaman manusia masih belum mengenal peradaban modern.
Rin mengajak Naruto untuk duduk di sebelah Mikoto yang sedang sibuk memotong-motong sayuran.
"Naruto!" Mikoto tampak senang melihat Naruto yang sudah berganti pakaian dengan yang lebih normal. "Kau terlihat cantik."
Naruto hanya tersenyum menanggapi kata-kata yang dilontarkan oleh Mikoto. Ia tidak mengerti artinya, tapi jika dilihat dari raut wajah, sepertinya Mikoto sedang memujinya. Gadis itu mengalihkan perhatiannya ketika ia melihat beberapa wanita menatapnya dengan penasaran.
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum gugup. Tiba-tiba saja, wanita-wanita dewasa itu tertawa.
"Kau benar, Mikoto! Dia memang cantik!" kata seorang wanita bertubuh tambun.
"Seandainya anakku belum menikah, aku ingin sekali dia menikah dengan anakku!" celetuk yang lainnya.
"Rambutnya indah, ya. Lihat matanya, begitu jernih dan cantik."
Naruto yang tak paham perkataan para wanita itu, hanya bisa tersenyum.
"Naruto, ayo kita masak bersama," kata Rin, ia menarik lengan Naruto kemudian mengajaknya duduk berdampingan.
Kemudian, wanita cantik berambut cokelat itu menyerahkan sebilah pisau.
"Pisau?" gumam Naruto tidak paham.
"Ini namanya pisau, kita akan membantu menyiapkan bumbu dan bahan-bahan masakan, sementara para wanita yang lebih tua yang akan memasak semuanya. Wanita muda tidak boleh memasak, kita hanya boleh membantu menyiapkan bumbu dan bahannya saja," jelas Rin, ia menggunakan bahasa tubuh agar Naruto paham ucapanannya.
"O-oh, begitu. Jadi kita akan masak?" gumam Naruto, berusaha memahami bahasa isyarat yang Rin gunakan.
Naruto menerima beberapa ikat sayuran. Sayuran ini baru pertama kali dilihatnya. Tanpa banyak bertanya, Naruto memotong-motong sayuran itu sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Rin.
Suara gaduh terdengar tak jauh dari tempat memasak. Ternyata rombongan laki-laki yang ditugaskan untuk berburu telah kembali. Mereka membawa beberapa hewan buruan yang berukuran besar.
Mata biru Naruto bertatapan dengan mata tajam yang mulai terasa familiar.
Sasuke.
Laki-laki berbadan besar itu membalas tatapan Naruto, sebelum ia menyerahkan rusa hasil buruannya yang berukuran cukup besar pada para wanita yang sudah siap memasak.
Naruto berjengit kaget saat melihat Rusa sebesar itu terpampang dihadapannya. Rusa itu terluka di perutnya, sepertinya terkena tombak.
"Hai!"
Naruto menoleh saat ia mendengar suara ceria Obito. Ia melambaikan tangan pada Naruto, lalu memeluk istrinya dengan gemas, tetapi Rin memberontak.
"Kau harus mandi, celanamu penuh darah!" protes Rin.
Obito cemberut, "Tapi aku mau memeluk istriku dulu," katanya dengan nada yang terdengar manja.
"Tidak, sampai kau singkirkan dulu semua darah itu!"
Naruto memang tidak paham percakapan mereka, tapi ia bisa menebak kalau Rin tidak mau dipeluk karena Obito berlumuran darah dari sikap Rin yang menunjuk-nunjuk darah di celana Obito.
Melihat tingkah keduanya, tanpa sadar Naruto tersenyum. Tetapi senyum gadis itu pudar saat ia tanpa sengaja kembali bertatapan dengan Sasuke yang ternyata sedang memperhatikannya dengan mata tajamnya.
'Sialan, ada masalah apa sih dia denganku?! Dari tadi melotot terus! Apa matanya tidak sakit, melihatku seperti itu sedari tadi?!' gerutu Naruto dalam hati.
.
.
.
Acara memasak telah selesai. Kini mereka sedang duduk melingkar, di tengah-tengah lingkaran itu ada satu kuali besar yang cukup untuk makan satu klan. Well, anggota klan ini tidak banyak, mereka hanya memerlukan beberapa ekor rusa untuk memberi makan seluruh anggota.
Semua anggota klan wajib untuk makan bersama, kecuali mereka sedang sakit. Tabu bagi mereka untuk makan sendirian di dalam rumah.
Naruto menerima sepiring makanan dari Rin. Makanan ini jika dilihat sekilas mirip kari, namun setelah dicicipi, tentu saja rasanya berbeda. Rasanya enak, tetapi masih agak asing di lidah Naruto.
Selesai makan, Naruto hanya duduk diam sambil memperhatikan anggota klan yang sedang asyik dengan kegiatannya masing-masing. Rin sedang menyuguhkan minuman untuk Obito, Itachi dan Sasuke yang kini sedang mengobrol.
Naruto menghela napas.
'Kalau sedang sendiri begini, aku mulai merasa kesepian. Seandainya saja aku paham bahasa mereka,' gumam Naruto dalam hati.
'Kau ingin bisa berbicara Bahasa mereka? Caranya sangat mudah, Nak. Kau hanya perlu menggunakan Batu Merah itu.'
Naruto tersentak ketika ia mendengar suara seseorang berbicara dengan bahasanya. Suara siapa tadi? Naruto menoleh ke sana kemari, namun ia hanya mendapati para anggota klan, dan tak mungkin mereka bisa berbicara dengan bahasanya.
"Ah, sepertinya aku kelelahan sampai berhalusinasi," gumam Naruto.
"Naruto!"
Naruto menoleh saat Rin menghampirinya.
"Ayo ikut, aku dan beberapa temanku akan pergi mengumpulkan bunga. Besok malam, kami akan berdoa untuk para leluhur. Kau harus ikut mengumpulkan bunga, aku yakin kau akan sangat menyukai kebun bunga klan kami!"
Naruto tak paham saat Rin tiba-tiba mengoceh, lalu menariknya menuju ke sekumpulan wanita muda yang sedang menenteng keranjang kecil. Ia hanya menurut saja, lagi pula tak mungkin Rin akan membawanya ke tempat yang berbahaya.
Obito tertawa melihat tingkah istrinya. "Lihatlah, Rin sangat bersemangat berteman dengan Naruto, mereka sudah tampak akrab padahal baru kenal, beda bahasa pula! Entah bagaimana caranya mereka bisa saling memahami satu sama lain," celetuk Obito.
"Si Pirang itu mau saja diseret-seret seperti kuda," sahut Sasuke sambil meneguk minumannya.
"Namanya Naruto, Sasuke, bukan Si Pirang. Kau harus menghargai wanita, jangan mencela seperti itu," tegur Itachi.
"Ya, ya, terserah," sahut Sasuke tidak peduli.
Sementara itu, Naruto yang sudah sampai di kebun bunga tampak terkagum dengan keindahan kebun bunga yang kini ada di depan matanya. Ada beberapa bunga yang ia kenali, namun ada juga bunga asing yang baru pertama kali ia lihat.
"Kebun ini cantik sekali, kan?" kata Rin.
Seolah paham apa yang Rin ucapkan, Naruto mengangguk. "Kebun ini cantik sekali. Aku tidak terlalu paham tentang bunga-bungaan, tapi aku suka kebun bunga ini," sahut Naruto.
Rin kemudian menyerahkan keranjang berwarna cokelat kepada Naruto.
"Ayo, kita petik bunga. Bunga-bunga ini akan dijadikan persembahan untuk para leluhur," kata Rin.
Naruto mengikuti Rin dan beberapa gadis muda lain yang sedang memetik bunga. Naruto memilih beberapa bunga yang menurutnya cantik. Setelah keranjangnya dipenuhi berbagai macam bunga, Rin kemudian mengajak Naruto untuk duduk di bawah pohon rindang bersama beberapa gadis lainnya.
"Sekarang waktunya membuat mahkota bunga, Naruto. Gadis yang belum menikah diwajibkan menggunakan mahkota bunga saat upacara doa untuk leluhur. Nah, karena aku sudah menikah, aku tidak memerlukan mahkota bunga, tapi aku sangat suka membuatnya. Makanya, aku akan membuatkannya untukmu dan juga gadis-gadis ini," kata Rin.
Naruto yang tak paham hanya mengangguk saja. Ia melempar senyum pada gadis yang sepertinya lebih muda darinya, gadis muda itu diam-diam memperhatikannya dengan sikap malu-malu.
Naruto bersyukur ia diterima oleh orang-orang di klan ini, semuanya baik dan ramah walaupun Naruto tak paham bahasa mereka.
Rin telah selesai merangkai bunga-bunga itu. Ia tersenyum senang saat Naruto mengenakan mahkotanya. Berkali-kali Rin memuji kecantikan Naruto, namun Naruto hanya membalasnya dengan senyuman karena ia tak paham apa yang Rin katakan.
"Wah, gadis-gadis yang cantik!"
Naruto, Rin dan beberapa gadis lainnya tersentak ketika mendengar suara berat lelaki yang terdengar asing.
Naruto mengerutkan keningnya, siapa dia? Anggota klan tidak begitu banyak, dan saat Naruto sarapan tadi, ia sangat yakin ia tak melihat laki-laki ini. Naruto pun sadar, laki-laki ini kemungkinan berasal dari suku lain karena pakaiannya berbeda. Ia mengenakan jubah hitam dengan motif awan. Rambut silvernya tampak mencolok.
Naruto melirik Rin yang kini sedang meremas keranjang berisi mahkota bunga. Gadis-gadis lainnya juga tampak ketakutan. Yup, laki-laki ini memang berasal dari suku lain. Dan Naruto yakin, ia memiliki niat yang tidak baik.
"Wah, kau menemukan buruan yang bagus, Hidan." Suara lainnya terdengar dari balik pemuda berambut silver itu. Seorang pemuda berambut pirang.
"Ah, kemari, Deidara. Lihatlah, aku menemukan beberapa gadis cantik sedang bermain bunga. Kalau kita menculik salah satunya, kita bisa kaya. Wanita dari Klan Uchiha memang cantik-cantik, ya," kata pemuda bernama Hidan itu sambil tertawa kecil.
Naruto maju, kemudian merentangkan tangannya. Ia berusaha melindungi semua teman-teman barunya.
"Siapa gadis ini?" tanya pemuda berambut pirang yang tadi dipanggil Deidara.
"Wah, wajahmu cantik, sayang kalau aku harus menjualmu. Bagaimana kalau kau jadi istriku saja?" kata Hidan.
"Pergi kalian, kami tidak ada urusan dengan kalian! Jangan ganggu kami!" gertak Naruto.
Kedua pemuda itu saling bertatapan, lalu kembali menatap Naruto. "Bicara apa kau? Aku tidak paham bahasamu," kata Hidan. "Wajahmu tampak asing, tidak seperti anggota Uchiha lainnya. Dari suku mana kau berasal?"
Rin tampak panik.
Ia memerintahkan teman-temannya untuk kabur, lalu menarik tangan Naruto. Perkampungan klan mereka letaknya agak jauh dari kebun bunga ini. Mereka harus berlari dengan cepat agar tidak tertangkap.
Saat salah seorang temannya nyaris tertangkap oleh Hidan, Naruto menubruk pemuda itu, lalu mereka berguling-guling di atas tanah. Naruto tak menghiraukan lutut dan sikunya yang terasa perih.
"Kabur! Cepat!" teriak Naruto.
Naruto berdiri secepatnya, hendak kabur, namun Hidan berhasil menangkap pinggangnya. Naruto memberontak sekuat tenaga, Hidan terpaksa memukul kepala Naruto agar ia diam.
Naruto menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa berputar. Pandangannya sempat kabur sesaat. Naruto menyentuh sisi kepalanya yang terasa basah.
Darah.
"Sialan kau! Berani-beraninya kau memukul kepala seorang gadis!"
Naruto kembali memberontak melawan Hidan. Hidan sempat kewalahan menghadapi Naruto, rupanya gadis cantik ini cukup keras kepala dan bukan mangsa yang mudah.
Sementara itu, Rin yang nyaris tertangkap oleh Deidara berhasil melepaskan diri setelah ia menendang selangkangan Deidara. Pemuda itu meringkuk, ia menggeram kesakitan. Ia berniat membalas Rin, namun wanita itu telah berhasil melarikan diri.
Saat Rin sudah berlari cukup jauh, ia baru sadar Naruto tertinggal. Ia berteriak meminta tolong, berharap ada yang mendengarnya. Untunglah, Obito dan Sasuke kebetulan melintas, tampaknya mereka sedang berpatroli.
"Rin! Apa yang terjadi?!" teriak Obito.
Rahang Obito mengeras saat seorang pemuda asing berambut pirang berhasil menyusul Rin, lalu memeluknya dari belakang. Sebilah pisau menempel di leher Rin, mengancam agar siapa pun yang ada di sana tidak bergerak.
"Siapa kau?! Menjauh dari istriku atau ku bunuh kau!" teriak Obito.
"Obito, jangan gegabah, dia membawa senjata tajam," kata Sasuke.
Mata Sasuke refleks menyisir lokasi, dan ia menyadari Naruto tak ada disana. Bukankah tadi gadis itu bersama Rin?
'Kemana gadis itu?' Batin Sasuke.
Sasuke dan Obito saling melempar pandang, diam-diam menyusun strategi untuk menyerang. Obito yang paham kode, segera pasang badan untuk mengalihkan perhatian sang pemuda berambut pirang, sementara Sasuke bersiap untuk menyerang. Sayangnya, saat Sasuke hendak menyerang, tiba-tiba saja Naruto muncul, gadis itu lalu menghantamkan kayu besar yang digenggamnya ke kepala Deidara.
Deidara refleks menjatuhkan pisau yang dibawanya lalu memegangi belakang kepalanya yang terasa berdenyut. Otomatis pegangannya pada Rin pun terlepas.
Rin tidak menyiakan kesempatan emas itu, ia segera berlari ke pelukan suaminya.
"Sialan!" umpat Deidara.
Deidara kesakitan, ia ingin membalas gadis pirang yang berani memukul kepalanya. Namun ia memutuskan untuk kabur. Dari kejauhan, tampak Hidan juga memilih kabur, ia berlari terpincang-pincang sambil memegangi area terlarangnya. Sepertinya Naruto menyerang di tempat yang tepat.
Naruto melempar senjata dadakannya asal-asalan, lalu menghampiri Rin yang sedang menangis dipelukan suaminya. "Kau tidak apa-apa, Rin?" tanya Naruto. Ia memperhatikan Rin yang tampaknya baik-baik saja. Naruto pun menghela napas lega.
"Kau tidak apa-apa?"
Naruto menoleh saat mendengar suara berat yang familiar.
"Ya?" sahut Naruto.
Sasuke mengangkat tangannya, berniat menyentuh kepala Naruto, namun gadis itu mundur ketakutan. 'Mau apa dia?!' batin Naruto.
"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu," kata Sasuke. "Kepalamu berdarah, lutut dan sikumu juga terluka."
"Hah? Kau bilang apa?"
Sasuke berdecak kesal. Perbedaan bahasa benar-benar membuatnya sakit kepala. Ia kemudian menyentuh pelipis Naruto yang berlumuran darah.
"Kepalamu terluka," ulang Sasuke.
Naruto terkejut ketika Sasuke memperlihatkan telapak tangannya yang berlumuran darah. Refleks ia menyentuh kepalanya yang terluka. "Ah, sepertinya kepalaku terluka saat aku melawan Hidan tadi. Tapi aku tidak apa-apa, kok," kata Naruto.
Sasuke kembali menyentuh kepala Naruto untuk mengecek lukanya. "Ayo kembali. Luka-lukamu harus segera diobati," kata Sasuke. Tidak ada nada ketus dalam kalimatnya. "Lain kali, jangan berusaha melawan penjahat seperti mereka, biarkan aku yang melawan mereka, kau kabur saja. Apa kau paham?"
Naruto yang tidak paham perkataan Sasuke hanya mengangguk saja. Sejujurnya, ia takjub pada nada bicara Sasuke yang tidak ketus. Padahal biasanya, nada bicara Sasuke seperti ibu mertua jahat yang ada di dalam drama.
'Apa dia salah makan? Kenapa tiba-tiba bersikap baik seperti ini?' gumam Naruto dalam hati.
.
.
.
Naruto meringis saat seorang nenek yang dipanggil Chiyo mengoleskan obat tradisional di atas luka-lukanya. Obat-obatan berwarna hijau gelap itu berbau tidak enak, untung saja itu hanya obat oles, bukan untuk di minum. Sudah jelas, Naruto tak akan mau meminumnya. Setelah mengoleskan dedaunan yang ditumbuk itu, sang nenek membelitkan kain bersih untuk membebat luka Naruto.
"Nah, sudah selesai. Beruntung luka-lukamu tidak serius, nak. Aku tidak bisa membayangkan seorang gadis cantik sepertimu terluka karena dipukul laki-laki. Terkutuklah mereka yang suka menyakiti perempuan!" kata Peramal Chiyo.
Naruto meringis, kali ini bukan karena luka di kepalanya yang berdenyut, melainkan karena ocehan sang nenek yang sama sekali tak ia pahami. Satu hal yang Naruto pahami, nenek tua itu sedang mengomelinya.
"Maaf, nek. Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan, tapi terima kasih sudah merawat luka-lukaku," kata Naruto. Ia tersenyum tulus, membuat sang nenek ikut tersenyum.
"Ah, kau memang cantik sekali. Senyummu sangat manis, pantas saja Sasuke suka padamu!" sahut Nenek Chiyo lagi.
"Aku bisa mendengarnya, Peramal Chiyo."
Suara Sasuke terdengar dari balik punggung Peramal Chiyo. Nenek tua yang berprofesi sebagai peramal sekaligus tabib itu tertawa kecil. Ia sudah mengenal Sasuke sedari kecil, dan ini kali pertama Sasuke menunjukkan perhatiannya pada seorang gadis muda. Ah, waktu begitu cepat berlalu, sekarang Sasuke sudah dewasa.
Selain mereka bertiga, di ruangan itu juga ada ayah dan ibu Sasuke. Mereka begitu terkejut ketika mendengar kabar bahwa gadis-gadis dari klan mereka diserang sekelompok pemuda yang mereka kenal sebagai Akatsuki, sekumpulan orang-orang kriminal. Mereka suka menjarah klan di berbagai suku, menculik para wanita untuk dijual, ada pula yang suka memperkosa gadis-gadis tak bersalah.
"Sasuke, ayah ingin bicara denganmu." Uchiha Fugaku bersuara. Nadanya terdengar serius.
Sasuke mengalihkan perhatiannya pada sang ayah, heran karena ayahnya tiba-tiba berwajah serius. "Ada apa, ayah? Tidak bisakah menunggu sampai Naruto kembali ke rumah?"
"Tidak. Pembicaraan ini menyangkut kalian berdua."
Sasuke mengerutkan keningnya. "Kami berdua? Maksudnya aku dan Naruto?"
"Ya, siapa lagi? Kau dan Peramal Chiyo?" sindir sang ayah.
Sasuke melirik ibunya, mencoba mencari clue, namun ibunya menggeleng pelan, tak mau memberikan bocoran informasi. Sasuke meneguk ludahnya gugup. Kalau dilihat dari ekspresi ayahnya, sepertinya pembicaraan ini cukup serius.
"Apa yang ingin ayah katakan?" tanya Sasuke.
Fugaku menutup matanya sejenak, lalu membukanya. "Ayah ingin kau menikahi Naruto."
Sasuke tampak terkejut. Matanya berkedip lucu beberapa kali. "Maaf, bisa ayah ulangi? Sepertinya aku salah dengar."
"Jangan bercanda, ayah tahu kau mendengarnya."
Sasuke menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya. "Tapi Ayah, aku tidak kenal siapa gadis itu. Kami bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Bagaimana bisa ayah menyuruhku untuk menikahinya?!" protes Sasuke.
Fugaku menatap anak bungsunya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau harus, anakku. Kedua pelaku kejahatan tadi sudah melihat wajah Naruto. Ayah khawatir, cepat atau lambat, kabar tentang Naruto akan segera tersebar, lalu sesuatu yang buruk akan menimpa kita semua."
"Memang apa yang akan terjadi?"
Fugaku menghela napas berat. "Kau tahu kan, ramalan tetua yang kita percayai selama ini?" tanya Fugaku, yang dibalas anggukan kepala Sasuke. "Peramal Chiyo yakin, Naruto lah orangnya."
Sasuke membelalak tidak percaya. Seluruh kalimat protes yang hendak ia lontarkan seolah tertelan begitu saja. Yang benar saja? Gadis ceroboh itu adalah gadis dalam ramalan?
"Ayah yakin?" tanya Sasuke, namun sang ayah tidak menjawab. Sial. "Mengapa bukan Itachi saja yang menikahinya? Kenapa harus aku?"
"Ayah sudah membicarakan hal ini pada Itachi, namun Itachi menolak. Naruto terlalu muda untuknya. Kaulah yang lebih pantas untuk Naruto."
Sasuke berdecak dalam hati. Kenapa harus dia?
"Apa ayah yakin Naruto mau dinikahkan denganku?" Kata Sasuke, mencoba bernegosiasi.
"Naruto tak akan menolak, jika ia ingin selamat. Kau tahu kan, akan sangat berbahaya bila gadis secantik Naruto tidak segera menikah? Lelaki dari klan lain akan berebut untuk menikahinya, dan jika Naruto jatuh ke tangan yang salah, maka Naruto akan membawa kehancuran bagi kita semua."
"Tapi—"
"Cukup, Sasuke. Ayah tidak menerima alasan lagi. Kau harus menikahi Naruto. Ini demi masa depan seluruh klan kita."
Mendengar nada final dari ucapan sang ayah, Sasuke pun tidak bisa mendebat.
.
.
TBC
.
.
Hai, teman-teman…
Masih ingatkah dengan fanfic ini? Hahaha. Maaf ya, sudah lama banget semenjak aku update terakhir kalinya. Soalnya aku sibuk dan udah jarang ada waktu megang laptop untuk ngetik fanfic. Apalagi laptopku yang dulu rusak, draft SEMUA fanfic ku ada disana, jadi aku ngetik ulang nih pake laptop baru.
Semoga kalian masih sudi ngikutin dan ninggalin jejak di fanfic ini.
Oya, cerita sedikit ya. Adegan Naruto pelorot-pelorotin roknya itu terinspirasi dari kejadian nyata yang aku alami sendiri. Jadi, waktu itu ada tamu dari asia (entah dia dari daerah mana, waktu itu aku kerja di hotel bintang 5), trus dia nanya sesuatu ke aku pake bahasa negeranya. Dia gak bisa bhs Inggris sama sekali, sedangkan aku ga bisa bahasanya dia, aku coba ajak dia bicara pake bhs Inggris tapi dia kebingungan, pake Bahasa Jawa malah tambah gak paham. Akhirnya dia bikin gerakan seolah2 lagi pelorotin celananya, eeeh aku baru ngeh ternyata dia lagi nyari toilet!
