Chapter 3

Berita tertangkapnya orang yang menyebar terror pada keluaga fuhrer itu telah menjadi berita yang hangat dalam pembicaraan media masa. Riza sendiri masih punya banyak pertanyaan dalam benaknya. Kenapa dia mau melakukan itu ? Apa aku memang targetnya ? lalu kenapa ?

"haah… untung kau memilih untuk membuang sarung tanganmu dan menggunakan batu itu roy…"

"ya ! memang kenapa ?"

"tidak… hanya… tadi kupikir kau terlalu bodoh untuk melempar senjatamu, yang sama saja artinya dengan menyerahkan diri dan mengibarkan bendera putih."

"kau tahu, riza. Kenapa ?"

"karena kau bisa membuat proses transmutasi dengan batu ?" ia mereka-nerka.

"tidak.. itu baru kepikiran beberapa detik sesudahnya."

"kalau begitu, apa ?"

Roy hanya tersenyum dan tidak menjawabnya, membiarkan Riza merenggek padanya memberitahukan jawabannya.

"ya sudah, sudah malam. Aku tinggal dulu. Oke ?"

"ya.. terima kasih buat hari ini.."

"ternyata kau tak tahu…..kau tahu kenapa ? karena aku care padamu…" ia menggumam dengan keras tanpa tersadar. Riza sempat mendengar sedikit yang roy katakan. Namun ia berpura-pura tidak dengar apa-apa dan membiarkan roy keluar dari kamarnya.

Setelah cowok itu keluar, riza menarik selimutnya tinggi-tinggi dan berguling-guling di ranjang. Baru ini pertama kalinya ia merasa jantungnya berdebar hingga rasanya hampir copot. Setiap kali ia memejamkan matanya, image roy tidak dapat hilang dari dirinya. Mungkin inilah yang dirasakan Gracia pada Maes setiap hari….

Malam itu, ia dipanggil keluar oleh ayahnya. Dan ia tidak menyangka topic yang mereka bicarakan seperti ini..

"Riza, kau sudah umur 18, tapi hingga sekarang kau masih belum punya pacar…" Ayahnya memulai percakapan.

"Sudah kubilang, aku belum merasa waktunya… jadi kupikir ini belumlah waktu yang tepat." Ia menolak, padahal yang ada di hatinya hanya roy semata.

"Riza ! Dengarkan dulu ! Begini, besok putra dari fuhrer negara Xing akan datang berkunjung." Lalu ayahnya mengambil secangkir kopi dan menghidupnya. "AKu harap kau dapat akrab dengannya. Dia seorang dengan intelegensi tinggi, berpendidikan, dari keluarga cukup ternama, dan cukup tampan. Kurasa dia bisa jadi pasangan yang cocok denganmu…"

Riza terdiam. Entah kenapa terasa ada penolakan dalam hatinya. Padalah dari dulu ia adalah seorang anak penurut yang tidak pernah menolak- apa pun yang disuruh oleh kedua orang tuannya. ".. lihat besok saja, deh.."

"ah, ya. Aku juga mau kau berpakaian serapih mungkin, kau akan menjemputnya di bandara besok jam setengah sepuluh."

"night dad…" ia mengecup pipi ayahnya dan beranjak ke kamar tidurnya.

-- keesokan harinya, bandara di Amestris –

"selamat pagi, Ms. Hawkeye." Sapanya sambil tersenyum. Riza membalas kembali dengan senyum. "selamat pagi, Mr. Havoc. Selamat datang di Amestris. Mau kuantar jalan-jalan berkeliling Amestris ?"

Oh, bagus sekali, riza. Actingmu terlalu bagus. Kau memang anak yang terlalu patuh pada orang tuamu. Padahal kau tidak ingin mengajaknya jalan-jalan, kan !

"Boleh… boleh…" ia tertawa lagi, lalu perlahan menyelipkan lengannya di pinggul Riza. Riza merasa sedikit terganggu akan kelakuannya yang sok berteman akrab atau lebih lagi sok romantis itu, namun ia tidak bisa menolak. Ini demi persahabatan negaranya dengan negara tetangga…

Dari jauh, kedua orang tua mereka menatap anak-anak mereka yang sedang berjalan-jalan mengelilingi Amestris. "Hey.. keduanya bisa jadi pasangan yang serasi, bukan ?"

"ya..hahaha… mau toss demi masa depan Amestris dan Xing ?"

Keduanya mengangkat gelas anggur yang ada pada tangan mereka.

"Untuk masa depan Amestris dan Xing."

XXxxXX

Roy merasa tidak diperhatikan oleh kedua orang itu, dan hari ini ia sedang bad mood. Riza yang memperhatikannya, berkali-kali berusaha menjauhi John yang selalu mencari kesempatan dengannya. Kesal. Padahal menurutnya, John tidak sekeren atau sebaik Roy. Malah ia lebih terkesan menyebalkan, menurutnya.

Sudah satu minggu Havoc berada di Amestris, dan akhirnya besok ia akan pulang juga. Roy dan Riza keduanya merasa lega, ditinggal oleh kawan mereka yang menyebalkan itu.

"Riza, kau sudah kenal baik dengan John bukan ?" tanya ayahnya.

Riza hanya mengangguk, merasakan aura buruk yang akan terjadi padanya.

"Besok hari terakhirnya di sini… Kuharap bisa jadi hari yang terbaik baginya, bagi Amestris, juga Xing."

"sudahlah, ayah… langsung ke topic aja…"

"begini… ayahnya menawarkanmu menjadi menantunya… " ia berhenti sebentar sambil mengambil sebuah surat dan memberikan padanya. "kau… akan menerimanya bukan ? Besok akan dilaksanakan acara pertunangan…"

"APA !" gelas yang sedang dipegangnya jatuh dan pecah berkeping-keping. "Bagaimana mungkin ? aku tidak mau ! AKu tidak akan menghadiri upacara itu !"

"RIZA ! baru kali ini kau jadi kurang ajar begini !" ia berdiri dan hendak memukulnya, namun untung ditahan oleh ibunya. "sudahlah… sabar sebentar…."

"Riza… kau tahukan… ini juga bisa membuka kesempatan yang baik untuk masa depanmu…. Anak fuhrer di Xing itu juga sudah memenuhi criteria yang sempurna, bukan ? Pikirkan dulu lah…"

Riza tidak menjawab, namun segera berdiri dari sofa tempat mereka berbincang-bincang dan lari ke kamarnya. Sesampai di kamar, ia melempar dirinya ke atas ranjang, dan berteriak kuat-kuat dibawah bantalnya. Kesal sekali…. Ia merasa hidupnya selalu dibatasi oleh orang tuanya. Sudah cukup selama ini ia jadi anak yang patuh. Apa pun yang diinginkan orang tuanya ia lakukan. Tapi sekarang ? Ini menyankut masa depannya ! Tidak mungkin ia menikahi orang yang tidak ia sayang.. tidak mungkin !

Paginya setelah menangis semalaman ia merasa lebih baik. "Riza… dengarkan…" pagi itu rupanya ia sudah disambut oleh ibunya melalui communicator dalam kamarnya. "kali ini.. saja kau lakukan perintah kami… tolong deh.."

Riza menarik nafas panjang, lalu mengambil dress hijau pucat diatas lutut miliknya dengan ornamen bunga kecil dibawahnya dan renda hijau tua. Ini terakhir kalinya aku mau melakukan perintah mereka yang tidak kusukai.. batinnya dalam dirinya. Ia terus membisikan kalimat itu berulang-ulang kali agar kali ini pun ia tetap dapat patuh pada orang tuanya.

Riza keluar, sudah dalam keadaan rapih. Rambutnya tetap ia gerai panjang, namun dengan pita hijau menghiasinya. Di luar, roy sudah menjaganya, siap sedia kapan saja.

"wow.. rupanya akhirnya kau tidak single juga... " ia mengejek. Riza tidak tertarik bercanda dengannya, memberikan tampang kesal dan membuang muka.

"hey.. yang mau bertunangan hari ini jangan sedih begitu, dong… seharusnya kan hari ini kau berbahagia…"

"tidak ada urusannya denganmu, Roy !" teriaknya kesal lalu berjalan ke arah dinning room.

"oh well, rupanya hari ini bukan hari keberuntunganku ? bukan begitu ?" ia kemudian mengikuti Riza dari belakang.