chapter 5
Riza merasa ada sesuatu yang salah. "hey… apa maksudnya ini ?"
"dengarkan, riza… aku….tidak bisa menerima perasaanmu… oke… ?" katanya dingin, lalu kembali memakai sepatunya lagi.
Riza rasanya langsung down sekali. "apa-apan ini maksudnya, roy ! Kalau begitu kenapa kau lakukan hal yang tadi malam !"
"kau masih belum sadar, riza ? tugas teroris itu sudah selesai… sekarang ia tinggal menunggu hasilnya saja…."
"ti..tidak mungkin…." Riza berlari menghentikannya. "jangan bohong, Roy ! AKu percaya padamu ! Kau tidak mungkin orang sejahat itu ! Aku yakin !" ia meraih kakinya dan memeluknya erat-erat. Air mata mulai mengalir dari matanya. "tidak mungkin….ti..tidak mungkin… kan ?.. Roy ! Aku percaya.. kau satu-satunya yang aku percaya…."
Roy menarik nafas panjang sebelum kemudian, ia membelai rambut riza dan perlahan melepaskan tangannya dari kakinya.
"aku pergi dulu…." Lelaki itu berjalan keluar dari kamar, meninggalkan seorang gadis yang sambil menangis, meraung-raung memanggil namanya.
--------------------------- ------------------------------- ------------------------------- --------------
Setelah insiden di hotel itu, dan setelah ia yakin dirinya sudah tenang, ia pulang ke rumahnya. Pertamanya ia sedikit takut, harus mengatakan apa pada orang tuanya, tentang kepergiannya tiba-tiba di upacara itu. tapi, ia sudah mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakannya.
"ma..pa.. sori,…. Aku kabur saat upacara itu.. aku..hanya.. tidak bisa..aku tidak mau dengannya…" malahan ia semakin sedih mengingat dirinya ditolak oleh Roy.
Kedua orang tuanya itu memeluknya ketika melihat Riza datang. "tidak apa-apa… yang penting kau selamat… itu sudah jauh lebih penting…"
"ya.. kau tidak tahu, ayahmu sudah seperti orang gila mengerahkan seluruh tentaranya mencari kau di gedung itu."
Setelah melepas rindu pada putri satu-satunya itu. Fuhrer Hawkeye menatap anaknya. "nak, mulai sekarang, kami juga tidak akan memaksakan kehendak kami lagi… kau bisa memilih jalan hidupmu sendiri… maafkan kami.. selama ini terlalu mengekangmu…"
"tidak apa-apa…" ia memeluk kedua orang tuanya. Tidak buruk juga berterus terang apa yang ia pikirkan…
------------------ --------------------- ----------------------------------- ------------------------
Satu masalah telah selesai. Namun masih jga ada beban yang menempel padanya. Beban ini rasanya jauh lebih berat daripada yang sebelumnya.
Ya.. berterus terang saja… itu yang selalu diingatnya.. dan justru membuatnya semakin ingat pada roy.
Bicara soal Roy, ia tidak memberitahukan hal ini pada orang tuanya. Tapi, menurut bapak dan ibu negara itu, roy telah memberika surat pengunduran diri, sehubung dengan tertangkapnya teroris itu… yang sebenarnya padahal Riza tahu… bukan sebenarnya…
Riza bimbang. Ia mengambil telepon, lalu menutupnya kembali. Hatinya deg-degan… akhirnya kembali ia menekan nomor yang ia kenal hingga ada jawaban di sebelahnya.
"Halo… Roy mustang di sini ?"
"ha..halo…roy ?"
"riza ?"
"roy…a..ada hal penting yang harus kukatakan" suaranya terdengar tegas, namun ada getaran ketakutan dan ketidak pastian didalamnya.
"ya…kenapa ?"
"r..roy…"
"riza, sebaiknya kau datang ke sini saja, lalu kau katakan langsung. Sepertinya ini bukan percakapan yang dapat dilakukan ditelepon…"
terdengar keheningan yang panjang. "di mana alamatmu ?"
"apartemen blok R nomor 1021."
"baik… aku segera ke sana."
------------------------- -------------------------
Sekitar sepuluh menit kemudian, Riza telah berada di dalam apartemen Roy. Ia tidak menyangka lelaki ini tinggal di apartemen yang cukup mewah, dan yang paling penting, kamarnya rapih teratur.
"maafkan aku soal tadi, riza. Namun aku yakin telepon ku pasti sudah disadap. Aku tidak bisa bicara hal penting di sana….."
Riza mengangguk. "aku mengerti…"
"sekarang…katakan…"
"r..roy…a..aku…."
"hm ! kenapa ?"
"a..aku… hamil, roy…"
