a/n : waah ! senangnya dapet review ! soalnya dari 15 chapter reviewnya cuma 2… tapi itu aku maklumin soalnya pembaca di bagian indo emang jarang,kan ? Sebagai hadiahnya, kulanjutin cepet-cepet deh...soal pertanyaan apakah aku akan membunuh Roy ? grins susah dijawab, ya… hehehe.. maaf kalo ada yang kurang puas…tapi nantinya memang akan begitu…(ini tetap belum menjawab pertanyaan, lho..) Ah… benar. Black Hayate kulupakan (hwa…bisa-bisanya..) karena itu di chapter2 berikutnya akan kumunculkan, berhubung di chapter ini kita akan lihat petualangan Roy, oke ! Keep Reviewing !

Chapter 16

Sinar mentari terik. Debu pasir menghantam muka. Angin siang panas yang tidak mengenakan. Kekejaman alam belum seberapa dibandingkan dengna manusia-yang mungkin tidak dapat dikatakan lagi sebagai manusia- yang berperang di sini. Bak pemakaman masal, mayat bergelimpangan di sana sini. Bangunan hancur tak bersisa. Dentuman meriam dan peluru beterbangan di angkasa.

Ini baru pertunjukan awal sebagai pembuka ke horror yang sebenarnya dalam perang itu….

Roy Mustang dan sahabatnya, Maes Hughes serta tentara-tentara lainnya turun dari kereta dan berjalan ke arah utara. Pemandangan itulah yang menyambut mereka. Mayat yang bergelimpangan bukanlah sesuatu yang membangkitkan semangat mereka. Para tentara berbaju biru itu terkapar seolah binatang di sana. Bangkai mereka dimakan oleh anjing dan burung gagak, menambah debaran jantung di setiap personil Amestris itu.

Belum melakukan persiapan dan rencana apa-apa selain rencana pokok yang tadi diberitahukan di kereta, beberapa tentara sudah jatuh terkapar setelah sepersekon terdengar bunyi tembakan peluru.

Flame Alchemist langsung siap dengan sarung tangannya, namun orang-orang itu seolah lenyap setelah meninggalkan pesan untuk berhati-hati selalu.

Tentara Amestris diam mematung, tidak ada yang mengeluarkan suara apa pun. Tepatnya, tidak ada yang mampu mengeluarkan suara. Ketegangan tinggi amat terasa diantara mereka. Perasaan tidak percaya satu sama lain, ketakutan dan keinginan untuk melindungi diri sendiri, bukannya menyerang.

"Semua tentara ! Kembali ke posisi masing-masing ! Hiraukan apa yang terjadi tadi, sekarang, buat tenda darurat dan tempat penyimpanan makanan !" teriak Roy mengomando mereka yang seolah masih membeku itu. Bukannya ia tidak takut, namun ia memilih untuk perang, menang dan kembali pulang ke rumah. Ia sudah merindukan nyamannya sentuhan Riza, membelai dirinya, menenangkan dirinya dibawah celotehan Junior…semuanya. Ia rindu keluarganya.

"roy.." bisik Maes pelan sambil menepuk punggungnya. "kau tegang sekali…"

"kita semua tegang di sini…" katanya pelan, tidak ingin menunjukkan rasa takutnya yang sebenarnya. "apalagi dengan sambutan hangat seperti itu…"

"aku tahu…tapi kita berperang di sini untuk keluarga kita, bukan ?"

Roy mengangguk. Ia membuka botol air dan meneguknya dengan cepat.

"tenang, Roy…Apa pun yang terjadi, aku pasti akan menolongmu…" Maes menyeringai lebar. "bagaimana pun juga, kita tidak bisa meninggalkan Fuhrer masa depan kita terkapar tak berdaya di medan perang sendirian, kan ?"

Roy tersenyum lemah. "Lupakan mimpi itu… aku sudah bahagia dengan keluargaku, kok.."

"hey ! Payah sekali calon Fuhrer kita ini ! Gak gitu dong !" ia menepuk-nepuk pundaknya lagi. "Semangat !"

"thanks, Maes…Kalau tidak ada kamu, mungkin aku sudah stress di medan perang ini.." roy lalu menyodorkan kelingkingnya. "seperti dulu, mari kita berjanji…."

"janji ?"

"kita akan saling membantu. Kalau aku kesusahan, kau yang bantu. Begitu juga sebaliknya. Kita tidak bisa bertahan sendirian di neraka ini, kan !" lalu ia menambahkan seperti katamu tadi dan tersenyum.

Maes menepuk pelan tangan Roy. "Kuno, ah ! Ternyata fuhrer masa depan kita masih berjanji dengan jari kelingking !" ejeknya sambil tertawa.

"kuno ! aku tersinggung !"

Maes tertawa lagi. "Tidak perlu ada kelingking pun hati kita sudah terkait sekarang. Sampai mati aku berjanji untuk melindungimu."

"teman.."

"tentu saja teman…"

Keduanya tertawa bersama. Roy mencari anggur, memanggil bawahannya dan bersenang-senang sebentar sebelum mungkin kali ini giliran mereka yang akan menjadi makanan burung gagak ? siapa tahu…. Tapi setiap detik yang mereka bisa lewati dan hidup dengan normal, setidaknya mengingatkan kalau mereka adalah manusia. Bukan mesin yang digunakan untuk membasmi manusia. Bukanlah anjing yang tidak punya kebebasan. Mereka manusia…butuh sahabat, butuh orang lain yang terus mendorong.

--

Seminggu sudah lewat di medan perang. 30 persen tentara Amestris gugur. 10 persen dari tentara tidak dapat melanjutkan berperang karena stress melihat apa yang mereka lihat di sini. Lebih jahat dari yang namanya neraka. Namun, keadaan ini sudah dapat dibilang lebih baik daripada rombongan yang sebelumnya. Setidaknya ada Flame Alchemist di sini yang tak kenal ampun membunuh orang-orang itu.

"AAAHH !" teriak seseorang ditengah-tengah meja rapat.

"ada apa !" semua tentara segera bergegas menemui sumber suara itu. Sepertinya itu suara Maes. Jantung Roy berdegup cepat. Kalau ada apa-apa padanya… Janjinya berarti batal..

"Maes !" teriak Roy dari kerumunan itu. Pelan-pelan ia menerobos masuk dan menemukan temannya itu….segar bugar berdiri sambil memegangi foto keluarganya.

"Apa-apaan sih kau ini, Maes !"

"Ini gawat, ROY !" teriaknya panic. "sebentar lagi natal dan aku belum menyiapkan hadiah apa pun pada Elycia dan Gracia ! Padahal Elycia sudah memesanku rumah boneka yang hanya dijual 10 buah di Amestris ! Lalu aku sudah merencanakan untuk membelikan Gracia kalung berlian untuk natal kali ini ! G.A.W.A.T !" mulailah ia bercerita tentang bagaimana manisnya Elycia kalau ia sedang bermain boneka, bagaimana beruntungnya dirinya memiliki istri secantik Gracia dan membuat iri para tentara lainnya, juga mengancam jika diantara mereka ada yang ingin selingkuh dengan istrinya, plus tidak lupa ia tambahkan kalau Gracia tidak mungkin sudi melakukan itu karena ia adalah istri yang paling pengertian dan sabar, dan blah..blah.blah….

….

"sudah, maes ?" tanya Roy sinis sambil melipat kedua tangannya dan menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. "apa masih kurang kau bercerita soal bagaimana Elyciamu terlihat amat cantik berfoto di bawah mistletoe dan Graciamu setiap malamnya ?"

"aah..iya, lupa. Aku belum memberi tahu soal itu dan soal Gracia, ini bukan cerita yang pantas untuk dibeberkan di rating T"

Roy mengacak-acak rambutnya, Frustasi. "maksudku, itu adalah pertanyaan retorik yang seharusnya kau jawab TIDAK."

"aah..masa aku harus menjawab TIDAK untuk Elycia dan Gracia ?" lelaki itu tersipu-sipu malu. "tentu saja aku bangga punya keluarga sebaik itu.."

Roy menghela nafasnya. "benar..sebentar lagi natal… ada di sini yang ingin mengirimkan sesuatu untuk keluarganya ?"

Beberapa tentara mengangkat tangannya. Beberapa lainnya tidak ingin mengirimkan sesuatu, pesimis mereka akan kecewa kalau yang pulang hanyalah hadiahnya, bukan orangnya. Ada juga yang tidak mengangkat tangan, dengan peDenya menjawab kalau mereka pasti akan survive dan memberikan hadiah itu sendiri pada keluarga mereka.

"bagaimana kalau kita mengumpulkan hadiah itu, lalu kita yang nantinya bertahan di perang ini, yang memberikan pada keluarga rekan kita yang…tidak bisa bertahan." Roy sedikit sulit mencari kata lain untuk menjauhkan aura kematian dari mereka. "setidaknya satu diantara kita pasti ada yang selamat, kan ?"

Semua orang setuju. Ini pertama kalinya tentara-tentara itu merasakan perang yang setidaknya ada..kemanusiaannya.

---

Roy tersenyum melihat hadiahnya kali ini. Untuk Roy Junior, hadiah natalnya telah ia bungkus dengan kertas cokelat, berbentuk persegi panjang. Ia ingin menghias kadonya dengan pita atau apa, namun rasanya ia tidak mungkin menemukan benda itu di tengah medan perang. Lagipula, pitanya juga nanti akan hancur tergesek dengan hadiah lainnya yang dikumpulkan dalam sebuah box besar. Hadiah untuk rizanya… mungkin tidak bungkus… tapi semoga Riza menyukainya.

DOEENG ! DOENGG ! Tuuuuttt ! Tuuuut !

Bunyi alarm kencang mendengung di sekitar perkemahan mereka. Rupanya tentara Creta telah menyerang lagi. Saatnya untuk kembali berperang.

"maes ! hadiahmu sudah siap ?"

"Tentu ! Walau sederhana dan bukan rumah boneka tapi ini lambang cintaku untuk mereka…"

"bisa-bisanya berpuisi di saat seperti ini.."

Maes memukul pelan sahabatnya. "ayo, jalan !"

Kedua sahabat itu berjalan keluar dari tenda. Ketika menjejakkan kakinya keluar, Roy mengingat sesuatu lalu kembali ke tempatnya segera. "Kau duluan saja, Maes ! aku mau melepas cincinku dulu !"

"untuk apa ?"

"Kemarin benda ini jatuh dan hampir hilang. Lebih baik kulepas daripada hilang dan Riza akan menyuruhku tidur di sofa selama 1 tahun, kan !"

Maes menghentikan langkahnya, menunggu untuk sahabatnya. "kau tahu, roy…" katanya setelah Roy keluar dari tenda mereka. "kau juga tidak kalah romantis dariku.."

"hm..kalau menyangkut Riza, mungkin aku akan membenarkannya…"

TBC

a/n : chapter yang bahagia sebelum penderitaan datang…hue..hue..hue…XDXDXD Next : chapter 17 – that's what friends are for, sudah siap ada di belakang...hehe. special kukebut tadi malam…soalnya greget nih cerita enggak selesai-selesai…(masih tetep berada di medan perang…)