Chapter 19
Perlahan Riza membuka matanya. Ia berada di ranjangnya, dengan orang-orang banyak mengelilinginya. Ada apa ini ? oowh ! perutnya rasanya keram sekali. Bayi yang ada di perutnya seolah-olah sedang meraung-raung memukuli perutnya, meminta untuk segera keluar. Ia merintih kecil sambil meremas ujung bantal. Perlahan air matanya menetes. Sakit sekali…
"Riza !" teriak mamanya panic. "dokternya mana ! Cepat ! ia menderita sekali !"
"r..roy……."
"IYAAA ! Sudah kupanggilkan dan sepertinya mereka terhambat karena salju yang deras ini !" ayahnya berteriak. Semua orang kelihatannya cemas. Riza jadi merasa amat bersalah…
/ flashback/ (normal POV)
BRAAK ! terdengar suara sesuatu benda yang jatuh dari depan. Cepat-cepat semua orang yang ada di ruangan itu berlari ke ruangan depan, menemukan Riza yang tersungkur di lantai, seolah meringgis kesakitan, tidak sadarkan diri.
"Ri..Riza !" teriak Gracia dan mamanya sambil berlari mendekati dirinya.
"cepat panggil dokter !" teriak fuhrer mereka pada semua orang yang ada di ruangan itu. Edward cepat-cepat berlari ke ruang tengah, mencari telepon dan meminta seorang bidan untuk datang, namun sepertinya sia-sia. Hujan salju deras di luar pasti akan menjadi masalah untuk mereka. Lelaki kecil itu, bersama adiknya segera berlari keluar.
"Edward !" teriak winry dari pintu. "Mau apa ?"
"aku akan panggilkan dokter ! Tidak bisa kalau hanya menunggu !" teriaknya tanpa membalas menoleh pada gadis itu. "Ayo, Aru !"
"Tu..tunggu, ni-san !" suaranya yang kekanak-kanakan itu terdengar menggema, seperti tidak dihantarkan melalui udara. Edward menoleh ke belakang, hanya mendapatkan sekelilingnya salju putih bersih tanpa kehadiran adiknya.
"ARUU !"
Zirah
itu sepertinya mulai menangis. (Menangis ! ya…mungkin membuat
suara seperti itu..) "
nii-saan... maaf.."
"Ugh !" katanya kesal sambil menggali salju dengan tangan automailnya. "sudah. Kau balik saja, tenangkan Ms. Riza. Aku pergi sendiri !"
"tu..tunggu…ni-san !" apa pun usahanya, sia-sia. Edward telah melesat pergi diantara butiran-butiran putih yang jatuh dari langit, meninggalkannya sendirian. Alphonse dengan sedikit kecewa berjalan kembali ke kediaman Mustang yang besar itu. Ia membuka pintu dan mendapatkan Winry yang sedang terkulai lemas di sofa depan, menunggu mereka.
"ARU !" teriaknya tiba-tiba gembira. "Kau sudah kembali? Mana Edo ?"
"edo pergi sendiri karena aku sering terperosok diantara salju.."
"oh…" tergambar jelas kekecewaannya saat itu. Alphonse menepuk pelan bahunya, ingin membuatnya gembira sedikit. "al…" panggilnya rintih. "kau sudah tahu ?"
"tahu ?"
"Mr. Mustang… gugur di medan perang…" perlahan butiran air matanya mulai jatuh. Alphonse tersentak mendengarnya. Pantas saja ia merasakan aura kesedihan ketika menjejaki zirahnya di rumah ini setelah diperintahkan Edward. "sekarang Mrs. Riza sedang tidak sadarkan diri…bagaimana Junior nantinya ?" bisiknya pelan. "melihat anak itu…aku….aku jadi mengingat diriku. Kalau misalnya ia juga kehilangan ayah dan ibunya ? aku…aku tidak bisa membayangkan, Al !"
Al mendekatkan dirinya ke arah winry, membiarkan gadis itu menyandarkan tubuhnya pada zirah besar yang dingin itu. "win… tenang. Edward pasti akan kembali dengan seorang dokter, dan kita akan menolong Mrs. Riza beserta bayinya. Kau percaya dia, kan ?"
Ia mengangguk lemah, lalu menyeka air matanya perlahan. "ayo, kita naik dan lihat keadaan Mrs. Riza."
"iya.."
/end of flash back/
"r..roy…" bisik Riza lagi berkali-kali.
Kadang-kadang ia bisa berteriak-teriak karena sakit, hingga mengumpat kata-kata yang bahkan tidak ditemukan di dalam kamus. Tangannya terus meremas ujung seprai hingga ujung kiri dan kanan seprai kasur itu sudah lepas. Alphonse menawarkan tangannya untuk diremas, berhubung ia adalah zirah dan tidak akan merasakan sakit walau diremas bagaimana pun. Wanita-wanita lainnya dengan siap berada di sampingnya, menenangkan Riza kalau wanita itu mulai berteriak-teriak lagi.
Winry menggigiti bawah bibirnya. Melihat kejadian ini, ia bersumpah kalau sudah dewasa, ia tidak akan mau punya anak. Mrs. Riza kelihatannya sudah sangat lelah, namun dokter juga belum datang. Ia berjalan ke arah ruangan bermain, di mana Elycia dan Junior menunggu, tidak diperbolehkan untuk masuk melihat mamanya. Winry mengintip mereka dari celah pintu. Junior yang katanya anak lelaki yang kuat itu sedang menangis, ditemani dengan elycia dan black Hayate yang berusaha menghiburnya.
Junior menundukkan kepalanya ke bawah, tidak ingin air matanya dilihat oleh orang lain. "Elycia… bagaimana ini…?" bisiknya pelan sambil terisak. "mama... tadi jatuh dan tidak bangun…sekarang sepertinya dia sedang berteriak-teriak kesakitan..."
Elycia terdiam, tidak begitu mengerti pula masalahnya, namun gadis kecil itu hanya menepuk-nepuk pelan punggung Junior agar ia tidak menangis lagi. "tante Riza adalah orang yang hebat.. seperti papamu… pasti dia tidak apa-apa…"
"tapi ! kalau misalnya terjadi sesuatu pada mama…kalau..kalau terjadi sesuatu…" tangannya menggosok air mata yang mulai berjatuhan lagi. "papa pasti akan sangat kecewa… aku sudah janji untuk melindungi mama…."
Butiran air mata perlahan jatuh meluncur mengenai daun pintu dan membasahi lantai. Winry menangis perlahan melihat mereka. Junior bahkan tidak tahu kalau ayahnya sudah meninggal. Ia masih percaya pada orang yang paling diidolakannya. Ia menutup pintu itu pelan, lalu duduk lemas di atas sofa.
"mamamu tidak apa-apa…percaya ! Dia tidak akan tidur untuk waktu lama seperti Bunny waktu itu…"
"tapi…tapi…bagaimana kalau mama tidur dan tidak bangun-bangun seperti Bunny !" tangisnya sekarang membesar. Ia tidak malu-malu lagi. Hati kecilnya benar-benar takut kalau mamanya tidak bangun-bangun lagi. Melihat kawannya menangis seperti itu, Ia berdiri, memeluk Junior yang sedang duduk mendekap kakinya itu dengan erat, lalu ikut menangis.
"Ju..junior jangan nangis….hiks…kalau enggak aku juga nangis….Tante Riza enggak akan tidur seperti Bunny…hiks..hiks…" tangisnya lebih besar lagi ketika mengingat kelinci putih kesayangannya itu mati. "hiks…waktu itu kita sudah…hiks..janji tidak akan bertengkar lagi…hiks..jadinya enggak akan ada yang tidur seperti itu lagi…hiks…" gadis kecil itu menatap mata kawannya dengan erat, lalu mengusap air matanya dengan jari telunjuk miliknya. "Junior jangan nangis….papa junior juga enggak mau melihat Junior nangis, kan ?"
Lelaki itu mengangguk lemah, lalu menghapus sisa air matanya sendiri. Elycia hendak keluar untuk memanggil mamanya, namun ditahan oleh Junior.
"Jangan pergi dulu… " katanya sambil menarik tangannya. "mama dan papa sedang tidak didekatku…aku enggak mau sendirian dulu…Semua orang tidur dan tidak bangun-bangun saat mereka tidak didekatku….aku…enggak mau terjadi lagi…."
Elycia memberi senyumannya yang hangat, lalu kembali duduk dan mengambil boneka di sebelah Junior. Sesekali memberinya semangat. Mulai tengah malam, akhirnya mereka jatuh tertidur bahu ke bahu. Di tengah-tengah mereka, ada Black Hayate yang melingkarkan dirinya, mendengkur lelap diantara anak-anak itu.
---
Pukul satu tengah malam. Biasanya semua sedang terlelap, kecuali mereka yang menonton bola, namun keadaan di rumah ini jauh dari tidur nyenyak dibawah bantal yang empuk, atau buaian istri di sebelah. Kacau. Sekarang semua mulai stress, termasuk Fuhrer Amestris yang berwibawa tinggi. Riza mulai menunjukkan tanda-tanda kontraksinya. Mereka sudah kerepotan, sehingga sudah berencana untuk mengantarkan bayi itu tanpa dokter. Air panas, antiseptic, handuk basah, semua sudah disiapkan. Sekarang tinggal membuang undian untuk siapa yang akan melakukannya.
Fuhrer menarik nafas panjang. "aku tidak berpengalaman sama sekali di bidang kedokteran. Ini sama saja dengan membawa putriku ke ajalnya. AKu tidak ikut !"
Semua menyertakan alasan yang serupa untuk kabur. Tinggal tersisa Gracia dan Winry. "aku memang tidak belajar secara formal…namun setidaknya aku sudah berpengalaman..dan Riza adalah sahabat terbaikku….Aku ikut." (Mr. Hawkeye menelan ludahnya ketika mendengar kata-kata Gracia yang penuh keyakinan, merasa bahwa dirinya tidak menjadi ayah yang baik. Namun tetap saja ia tidak berani.)
"Winry ? Kau bagaimana ?"
"Setidaknya latar orang tua kedokteran mungkin sudah cukup untuk menolong Mrs. Riza. TIdak ada banyak waktu lagi."
Dengan gemetar kedua orang itu masuk kembali ke kamar utama, lalu mulai bersiap-siap menghadapi tantangan di depan mata mereka kali ini ketika ketukan keras di pintu berbunyi dan Fuhrer Hawkeye segera berlari dari lantai dua kebawah, membukakan pintu untuk Edward dan seorang dokter masuk.
"tepat sekali waktunya. Cepat, naik ke atas."
Derap langkah larian mereka di tangga itu hampir membuat anak-anak tangga hancur. Ketika pintu kamar dibuka, terlihat Riza yang sudah amat menderita, meremas-remas tangan Al sambil menangis. Keringat bercucuran dan bajunya lebih basah dari kain pel.
"Ah…ah… ! Roy ! Kau masih hidup, kan ? roy !" desahnya keras sambil tergopoh-gopoh. "Roy ! Roy !"
"tenang, Mrs. Riza…Kita akan segera melakukan proses persalinan. Sekarang yang paling penting adalah tenang." Katanya profesional sambil membuka tasnya dan mengambil alat-alat yang dibutuhkan. "sekarang, tarik nafas dalam-dalam….hembuskan…"
"Dokter bagaimana saya mau tenang… AAH!" teriaknya kencang sambil menendang-nendang ujung ranjang. "Roy ! Bohong kalau kau mati ! Aaaah ! Pergi ! Aku mau Roy di sini !"
"Mrs. Riza…tenang…tenang… ! sepertinya bayinya sudah akan keluar. Tolong tenang."
"PERGIII ! Roy sudah janji akan di sini kalau bayinya lahir ! AAAH!" ia menarik nafas pendek lagi, lalu menangis sambil terus berteriak supaya dokter itu pergi. Fuhrer Hawkeye yang mendengarnya diluar sudah stress berat. Tidak tahan ia melihat anak perempuannya tersiksa begitu. Secara fisiknya juga emosionalnya. Tidak bisakah tentara itu memberitahukan berita kematian Roy sesudah natal ? Proses persalinannya akan jauh lebih mudah dan Riza tidak akan menderita seperti ini.
"Mrs. Riza…" si Dokter itu mulai berpikir cara untuk membuat ibu ini tenang. "Kalau bayi anda lahir dengan selamat, artinya anda sayang pada suami anda….kalau tidak, anda tentu saja tidak akan mau tenang dan tidak mau mendengarkan apa yang saya suruh…"
Riza terdiam. Lagipula tenaganya juga sudah habis sedari tadi. Dokter itu tersenyum.
"sekarang, tarik nafas dalam-dalam…hembuskan sambil menekan perut anda…Ya…baik…sedikit lagi… sepertinya ini tidak akan memakan waktu lama…"
Riza hampir kehabisan nafas. Ia mendorong kuat bayinya, namun dari tadi tidak selesai-selesai juga. "Uuughhh…"
Dokter itu berkata sesuatu, namun indranya sudah tidak menangkap lagi. Ia merasakan bayi itu sudah keluar sepenuhnya dari dirinya, dan matanya pun terpejam. Riza terbangun beberapa menit kemudian, setelah merasakan sentuhan hangat kecil di mukanya. Dokter itu berdiri di sebelah kanannya, dan memberikan bayinya itu ke dalam pelukannya. Ia mempersilahkan keluarganya yang menanti dengan cemas diluar untuk masuk dan melihat kedatangan si kecil yang cukup merepotkan ini.
"selamat, Mrs. Riza. Anak laki-laki.."
Air mata pelan menetes dari ujung matanya. Entah karena bahagia atau sedih. Perlahan ia membisikkan dibawah nafasnya, "namanya Maes Mustang….seperti katanya…"
TBC
a/n : bener-bener siksa ! Salut untuk guru mat itu. Kalau nilaiku bagus, bisa 3 minggu baru keluar hasilnya… pas nilaiku jeblok…eng..ing..eng… pelajaran pertama dia ulangan, pulang sekolah nilai merah dan ocehan mama, papa, cici, koko, plus guru les menunggu….Huaah ! Nyeseeek ! kurang 0,2 lulus SKBM tuh ! Pasti tuh guru sengaja ! emang sensi ! (lari dari kenyataan lagi..)
ah ! ya. Ngomong-ngomong kenapa di Author's note ku membahas matematika yang kubenci 2 chapter berturut-turut ? aakh… ! oke. Ke cerita. Hey ! aku baru sadar kalau aku melakukan pergeseran karakter ke 3 anak muda itu di tengah-tengah flashback. Yah..setidaknya mereka muncul di cerita. Karena selama 19 chapter, belum ada ed, winry dan al sama sekali, kan…
Lalu soal bunny, dia adalah kelinci Elycia yang dirawat mereka berdua bersama-sama, namun karena keteledoran salah satu dari mereka, akhirnya Bunny meninggal. Mungkin mau kubuat extra chapter tentang si bunny, elycia dan Junior…tehehe..
Proses persalinan yang menentukan nyawa sang bayi dan ibu ditentukan dengan buang undi ! aw my god ! Kalau kepalaku ini yang mengatur jalannya dunia, hancur sudah generasi…ugh..sori juga, aku tidak begitu tahu soal proses persalinan. Tepatnya blank sama sekali. jadi cuma kira-kira aja…
Satu lagi. Soal umur. Ternyata aku salah ! Karena baru-baru saja Roy mengalami hari ayahnya yang pertama, berarti umur Junior baru satu tahun lebih, ditambah kira-kira 9 bulan setelah itu, maka harusnya paling tua umur junior baru 3 tahun, bukan 5 tahun, ya ! Tapi biarlah…anggap saja begitu, oke ! Ah. Ya. REVIEWS ! kesempatan untuk reviews cerita ini tinggal dikit… jadi mending telat daripada enggak sama sekali, kan ! Thx !
