Chapter 20

Aku yang lemah tanpamu
Aku yang rentan karena
Cinta yang tlah hilang darimu

Yang mampu menyanjungku

Selama mata terbuka
Sampai jantung tak berdetak
Selama itu pun aku mampu
Untuk mengenangmuDarimu kutemukan hidupku
Bagiku kaulah cinta sejati

Ya….Bagiku engkaulah cinta sejati

-

Riza menggendong Maes dengan lembut dalam dekapannya. Semua ini terjadi begitu cepat. Dalam satu malam yang telah mengubah seluruh kehidupannya. Kini, tidak ada lagi Roy di sisinya. Tidak ada lagi kata manis yang meluncur dari mulutnya, yang membuatnya menggigil bahagia sendiri. Ia berbaring setelah meletakkan Maes di atas keranjang bayinya. Bantal kepalanya masih jelas tercium wangi Roy, yang merangsang air matanya untuk jatuh perlahan membasahinya.

Wangi itu memang menyenangkan, mengingatkannya kembali, seolah Roy ada di sini, namun di suatu saat, wangi itu terasa menyakitkan. Menyadarkannya pada realita dimana tidak ada lagi orang yang dicintainya. Rasanya hidupnya kosong. Apa yang harus ia lakukan untuk maju ke depan? Ia merasa dirinya tidak mampu lagi. Hilang harapan.

Menangis perlahan di bawah bantalnya, Junior menutup pintu kamar mamanya kembali. Tadi ia hendak memberi mamanya hasil alkemi yang dilakukannya, namun ia mengurungkan niatnya. Mamanya terlihat amat sedih setelah malam natal waktu itu. Ia sering mengurung dirinya sendiri di kamar, dan menangis sambil terkadang mendekap foto papanya.

Junior tidak mengerti. Mengapa orang-orang sering datang ke rumahnya, muka mereka terlihat kusam dan sedih, mengenakan baju yang serba hitam. Semua orang terlihat putus asa seperti mamanya. Mereka menepuk-nepuk bahunya, menyuruhnya untuk tabah. Namun tabah apa ?

Terlalu berat untuk seorang anak kecil mengerti soal kematian. Riza belum siap memberi tahu hal ini pada anak sulungnya itu…dan Maes. Sejak lahir, dia tidak akan pernah melihat wajah ayahnya secara langsung lagi. Haruskah.. ia mengasuh kedua anak ini yang akan kehilangan kasih sayang dari seorang figur ayah ?

Tidak ! Roy belum mati ! Pasti telah terjadi sebuah kesalahan, dan aku harus mencari tahu kebenarannya ! Aku yakin ada seorang yang tidak senang akan kebahagiaan keluarga kami yang ingin menghancurknnya. Aku harus mencari tahu… Roy belum meninggal !

Satu ide tercetus dalam batinnya yang terus melakukan penolakan akan realita. Cepat-cepat diambilnya jas hitam panjang dan dikenakannya boot tinggi kulitnya, lalu Riza melesat keluar ke arah Headquarter. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan di balik ini. Tidak mungkin Amestris menang, namun suaminya meninggal. Kemenangan ini seratus persen karena Roy ! Flame Alchemist yang paling ditakuti di medan perang. Flame Alchemist yang bahkan dibakar tidak akan mundur. Flame alchemist yang terkuat, dengan dorongan semangat untuk kembali dengan selamat demi keluarganya. Dia tidak akan gugur di medan perang !

Pelan-pelan, wanita itu menaiki tangga-tangga yang banyak itu, menuju ke kantor penerangan. Proses administrasi yang berkelit-kelit itu tidak memupuskan semangatnya, hingga sampai ke kantor badan inteligensi di HQ.

"Mrs. Mustang, silahkan duduk." Sapa seorang officer di sana. Mata Riza menuju pada badge penunjuk namanya untuk menyapa. Paul George.

"terima kasih, Mr. George."

Lelaki itu juga duduk dihadapannya,diseberang meja untuk melakukan tanya jawab dengan tersangka dibawah lampu tempel yang redup. Ia menurunkan sedikit nadanya yang tadi penuh bangga dan tinggi, menjadi penuh simpati. "saya…turut berduka cita untuk gugurnya pahlawan Amestris…"

Riza membiarkan ucapan bela sungkawanya itu begitu saja melesat dari telinga kiri ke telinga kanan. Basa-basi ini tidak penting. Ia harus tahu kejadian yang sebenarnya. "Sir… kalau boleh saya tahu, bagaimana ia bisa…gugur di medan perang ? Dia seorang yang hebat… tidak mungkin dengan peluru atau alchemy yang membunuhnya begitu saja… rasanya.. ada yang janggal."

"anda yakin anda mau tahu ?"

"saya perlu lihat fotonya. Saya perlu meyakinkan diri saya bahwa itu adalah suami saya, baru saya akan memberitahukan pada anak-anak, kalau memang ayahnya…. Gugur." Katanya tegas, penuh kepastian bahwa Roy, tidak meninggal.

Paul berdiri, lalu mengambil file berjejer di lemari kerjanya. Ia membalik-balikkan halaman, lalu tersentak sebentar dan memastikan Riza kembali. "anda betul-betul yakin mau melihatnya ?"

"ya, sir."

"baiklah…" ucapnya pelan sambil mengoper file yang berisi data peperangan dan ledakan saat itu. Riza ternganga. Ledakan yang begitu besar. Mayat yang ada di situ hancur, tidak mungkin bisa teridentifikasi…dan…didekat benda yang menjadi arang itu… sarung tangan dan kalungnya… Bibirnya bergetar, namun tak satu kalimat pun yang keluar.

"keadaannya memang hancur…"

"tapi…itu tidak bisa memastikan bahwa suami saya meninggal dalam ledakan itu ! Bisa saja seseorang mengambil sarung tangannya lalu menaruhnya dekat tentara lain yang meninggal…dan hancur seperti ini ! Dari mana bisa diketahui bahwa dia adalah Roy !"

"tenang, Mrs." Ia mengangkat satu tangannya, lalu bersandar kembali sambil menyalakan cerutunya. "dari seluruh data tentara yang ada… dia salah satunya yang teridentifikasi menghilang. Terperangkap dalam pusat ledakan yang paling besar, sudah ditebak tidak mungkin ia bisa selamat."

"TAPI !" Riza menaikan suaranya, berdiri sambil menggebrak meja. "adakah bukti yang menunjukan bahwa mayat itu adalah ROY ! dan itu tidak dapat membuktikan bahwa….bahwa.."

"suami anda telah meninggal, dan ketidakadaannya dirinya itu telah membuktikan semuanya. Lagipula…." Ia menunjukkan foto bangkai hancur lainnya. "Lihat benda ini….berdasarkan panjang dan kekuatannya, teridentifikasi secara kasar kalau itu adalah sebuah lengan..dan tebak berapa jumlahnya ketika ditemukan ?"

"… empat buah ?" Tentu. Sepasang milik musuhnya, sepasang lagi milik Maes.

"Tepat. Empat buah."

"Lalu, itu jelas membuktikan kalau Roy TIDAK berada di sana dan ia bisa saja selamat !"

Officer itu tersenyum sedih, lalu menunjukkan gambar lain pada Riza. "lalu apakah ini ?"

Sebuah Automail… Musuh Roy bertangankan satu automail, sehingga lengan satunya lagi itu…

Jantung Riza berdebar amat cepat. Namun lagi-lagi dan terus, ia menghindar dari fakta. "bi..bisa saja itu milik tentara lain…atau…ia bisa saja selamat walau tangannya putus, kan ?"

"Mrs… bukan masalah tangan yang putus… namun jumlah tubuh yang tidak dapat teridentifikasi ini yang telah membuktikan kalau ia berada di dalam ledakan tersebut….dan tidak mungkin tentara biasa yang mengalahkan Krag, alchemist yang paling hebat di Creta…" ia menggeleng. "saya turut berduka cita… tolong anda terima semua ini… Ia gugur dengan termasyur…pahlawan yang gagah berani yang mengorbankan dirinya demi negara kita…."

Sekarang matanya yang tadinya memancarkan ketegasan, mulai melembut dan berkaca-kaca. "ini…hanya diantara kita..dan kuberitahu karena anda adalah istrinya…sebenarnya… kalau mereka kalah saat itu… target selanjutnya yang hancur adalah… East City…. Colonel menghabiskan segala-galanya untuk melindungi kita semua…. Karena ada anda, istri yang paling ia cintai….keluarganya…orang yang paling disayanginya…."

Rasanya dada Riza terasa tercekat. Walau itu disuruh oleh Gran, namun ia tidak melapor pada ayahnya karena itu… jangan-jangan itulah alasannya…

"Mrs…. Tolong jangan ungkit-ungkit ini lagi… Dia pasti bahagia telah melindungi orang yang ia anggap wajar…. Bukan hanya itu… seluruh kota ini, termasuk negara Amestris…"

Riza menangis. Itu kebenaran yang tersembunyi yang ia dapatkan. Roy tetap meninggal…namun untuk dirinya. Untuk semua orang di sini. Wanita itu memalingkan mukanya. "terima kasih, sir…."

Ia keluar. Beberapa officer bertanya-tanya melihat seorang warga yang menangis setelah keluar dari ruangan itu, namun Riza membiarkannya. Mengetahui kenyataan lebih sakit daripada tidak mengetahui…namun setidaknya lebih baik. Ia ingin Junior dan Maes bangga akan papanya, walau mungkin mereka akan kecewa dan sedih… tapi itu semua untuk mereka.

--

Pagi-pagi buta itu, sekumpulan orang telah berkeliling di ats bukit dipinggir kota. Di lapangan yang luas dengan tonjolan-tonjolan setengah oval itu sekumpulan tentara berbaju biru dengan hormatnya melakukan upacara penghormatan untuk pahlawan Amestris untuk terakhir kalinya. Delapan orang tentara membawa peti kayu jati yang harganya milyaran uang Amestris, dengan diatasnya terdapat foto Flame Alchemist dan bendera Amestris yang dibuka diatas peti. Tentara-tentara lainnya melakukan upacara gerak jalan, lalu menembakkan senjata mereka sebagai tanda penghormatan, setelah itu perlahan-lahan peti mulai diturunkan ke dalam tanah galian itu.

Riza, sebagai istrinya, dan Fuhrer berdiri di paling depan. Riza menggenggam tangan Junior dan satunya lagi menggendong Maes.

"Mama….mengapa foto papa di buang di dalam tanah ? Mengapa ? Bukankah papa sudah janji untuk mengajari Junior kalau nanti pulang ?" ia menarik-narik ujung dress hitam Riza manja, sambil terus merengek. "Mama… kenapa begitu ? Kenapa ? Papa mana ? Apa papa akan seperti Bunny ? Enggak, kan,mama.. ? Papa enggak akan seperti Bunny, kan ?"

Riza tidak menjawab, namun hanya mendekatkan junior ke arahnya, tidak dapat bicara, sementara Maes mulai menangis meronta-ronta. Semua orang menitikan air mata saat itu, tidak terkecuali sang Fuhrer dan ibu negara.

Riza tidak banyak bicara. Setelah kata-kata "dari debu kembali menjadi debu, dari tanah kembali menjadi tanah", upacara selesai, namun wanita itu tetap tinggal di depan makam, duduk sendirian sambil mengelus batu nisan Roy yang di depannya bertaburkan bunga. Ia membaca pelan namanya. General Roy Mustang… 1896-1921…Meninggal dalam aksinya waktu perang..Seorang pahlawan perang, seorang tentara yang setia, seorang ayah yang penyayang dan seorang suami yang pengertian. Biarlah memori akan keberadaannya tetap hidup dan mengharum dalam hati kita...

Tangan lembut mendarat di atas bahunya. Riza mendongak ke atas. Gracia rupanya belum pulang. Riza menunduk sedih lalu kembali menatap nisan seperti sebelumnya.

"Aku minta maaf.." bisiknya pelan. "Aku tahu... roy yang telah membakar Maes.."

Gracia menggeleng. Ia menurunkan sedikit badannya, lalu ikut duduk di sebelah Riza. "Riz… itu bukan masalah besar… aku yakin pasti mereka punya alasan… aku percaya pada Maes. Dia tidak akan membiarkan kawannya membunuhnya, kecuali atas pemikirannya sendiri…" Wanita itu melempar pandangannya pada nama yang tercetak di batu itu. "riz… kau belum beritahu anak-anak ?"

"belum…. Mungkin nanti…" Hatinya tidak siap. Apa yang nanti akan Junior katakan ? Ia amat mengharapkan kepulangan kembali papanya. Lalu bagaimana pula caranya menjelaskan tentang kematian ? Apakah kematian akah terpatri dalam bayang anak itu sebagai tidur dan tidak bangun-bangun, yang sederajat dengan kelinci ? Ia tidak tahu… "Kau sudah ?"

"Elycia tadinya meraung-raung minta ayahnya… tapi akhirnya dia tenang dan tahu kalau itu tidak ada gunanya…" mata biru-hitamnya itu menatap tajam ke arah horizon angkasa. "walau… itu terasa sakit bagiku memberitahukan hal tersebut padanya… mereka masih kecil, namun harus berhadapan dengan kematian orang terdekat yang mereka sayangi…"

"aku… juga tidak tahu… Aku tidak kuat…" katanya lirih, mengadu keningnya ke batu itu. "aku…aku naïve sekali…pergi ke military headquarter untuk mencari semua kebenarannya…..berkelit terhadap fakta yang sebenarnya…." Ia menarik nafas, supaya dapat bernafas dengan lebih baik di sela-sela tangisnya yang dimulai kembali. "… sekarang…. Justru bayangan itu tak dapat hilang dari kepala ini…… hancur, Gracia ! Hancur ! Tiap malam mimpiku didatangi olehnya….dan…aku…aku malah berlari ! Aku malah takut ! Aku…" ia merendahkan suaranya, sambil mengusap air matanya lagi. "aku…benar-benar payah…"

Gracia memandang sedih pada sahabatnya. Ia pula tidak dapat membayangkan keadaan Maes, namun setiap malam ia pun bisa memimpikan hal yang tidak-tidak…Apalagi Riza yang melihat langsung foto di tempat kejadian…. Ia tahu…

Wanita itu menjulurkan tangannya, lalu menarik Riza pelan ke arah dekapannya, memberikannya tempat yang nyaman untuk menangis. "ssh… riza….mungkin itu hal yang wajar…. Tapi walau begitu, hatimu tetap mencintainya, kan ? Dia amat menyayangimu, kok, Riz… Buktinya sampai akhirnya, ia tetap menggenggam kalung pemberianmu, kan…kalung yang tidak hancur…lambang cinta kalian yang tidak akan pernah pudar….dan… ada kesempatan sekarang…kalau kau mau.." ia menunjuk ke arah mobil militer yang diparkir agak jauh dari tempat itu. "Pergi dan katakan pada Junior…dia perlu tahu… bukan hanya hidup dalam fantasinya, memberinya pengharapan kosong untuk menunggu ayahnya…"

Setelah selesai menangis, Riza berdiri, lalu menggeleng pelan. "mungkin… aku terlalu takut untuk memberitahukan pada Junior…tapi.. dia adalah Roy II…"

Gracia tersenyum tipis, menemani sahabatnya itu menjemput Junior yang sedang menunggu mereka di mobil militer.

--

"Junior….mama perlu bicara…" katanya sambil menggenggam tangan anak itu, yang terlihat penasaran membaca nama-nama di setiap nisan yang mereka lalui. Riza berhenti sesaat di tempat dimana ia telah duduk berjam-jam di sana. "Junior...di dunia ini, semua ada batasannya…. Sesuai dengan daur kehidupan… ada saatnya suatu makhluk memulai kehidupannya…Dan juga ada saat……akhir kehidupannya…" tenggorokannya mulai tercekat. Ia akan mulai masuk ke inti pembicaraan. "dan…. Itu berlaku untuk semua orang…termasuk papa.."

Wajah junior berubah. Hati kecilnya menginginkan telinganya untuk tidak mendengar apa yang tidak ingin ia dengarkan.

"Papamu….juga pergi…" mulailah ia terisak. Sia-sia usahanya untuk tidak menangis lagi. Selalu dan selalu saja ia akan mulai menangis, di saat-saat ia mulai mengingat bagaimana fakta kalau Roy telah meninggal. "papamu….tidak akan kembali lagi…sama seperti bunny.. dan paman Maes… Tidak bisa bertemu Junior dan Mama juga Maes kecil lagi untuk suatu jangka waktu yang mama sendiri tidak tahu..."

Junior tersentak. Ia terdiam sebentar sambil memandang nisan itu, lalu berjalan mendekati mamanya. Ia tidak menangis, atau apa pun yang wajar di lakukan anak kecil mendengar orang yang di sayanginya telah pergi. Tidak. Bukan pula karena ia tidak mengerti apa yang barusan diberitahu oleh mamanya. Ia paham sekarang…. Mulai dari kematian Bunny, juga dari buku alkimia yang dibacanya, ia sadar kalau kehidupan manusia itu terbatas. Ada saat di mana seseorang harus mengakhirinya di dalam tidur yang panjang. Kadang ia suka bangun sendiri dari tidurnya, berkeringat ketakutan, jika-jika suatu saat tiba-tiba ia harus mengakhiri kehidupannya….atau mungkin mama atau papanya… Ia sendiri takut… Tapi hari ini ia tidak demikian. Hanya terdiam sambil berjalan pelan.

"mama…"bisiknya lembut. "Mama jangan menangis… Kata Elycia dan tante Gracia, papa sudah bahagia di sana…" dengan satu jarinya, ia menghapus air mata mamanya, seperti apa yang telah dilakukan Elycia padanya. "waktu Junior sedih dan menangis, cara seperti ini yang paling berguna untuk membuat Junior tersenyum lagi….Mama juga harus tersenyum…" Junior melemparkan senyuman hangat pada Riza, lalu melanjutkannya. "Papa sudah bilang pada Junior untuk menjaga mama… dan sekarang anggap Junior sebagai pengganti papa. Junior akan menjaga mama dan menyayangi mama seperti Papa….Junior janji…jadi, Mama jangan sedih lagi…."

Riza tidak tahan, namun tetap menangis dan mendekap Junior erat dalam pelukannya. Kali ini ia bukan lagi menangis sedih, namun karena haru. Anak sekecil dia sudah bisa menjadi tegar menghadapi kematian… Malah memberinya penghiburan dan membuat sumpah di depan nisan ayahnya.

"Junior…."

"Mama ? Jangan menangis lagi…"

Riza tersenyum, lalu menghapus air matanya. Ia mengacak-acak rambut Junior pelan penuh kasih, memandang ke arah matanya yang percis dengan milik Roy, yang penuh sinar kepastian. Kepastian untuk melindungi orang yang mereka cintai. "Mama bukan menangis karena sedih…tapi karena senang….Junior telah menjadi anak yang kuat…" Ia mencubit pipinya pelan. "percis ayahmu…. Ayo, kita ke mobil. Tante Gracia dan Oom Havoc pasti sudah menunggu."

Ia menangguk senang, dipuji oleh mamanya, lalu menyambut gandengan mamanya, berjalan membelakangi sinar matahari yang mulai terbenam sore itu. Pelan…meninggalkan tempat yang amat sacral untuknya…tempat penuh kenangan di mana ia membuat janji itu.

Riza…roy…Maes… aku sayang kalian semua…

Suara pelan berhembus bersama angin di telinga Riza. Ia menengok ke belakang, seolah hendak memastikan seseorang yang berbicara padanya. Tidak ada. Hanya kosong.

Roy Junior… anakku.. kau sudah besar, ya…Harusnya namanya berubah menjadi Senior…

"Mama ?"

"tidak…ayo."

Ia yakin itu tidak hanya ilusi….

Aku tahu…fisiknya memang telah hilang dari kehidupanku.. namun dia akan tetap hidup di sini..di hatiku selalu… seluruh kejadian yang sudah kita alami bersama… sejak pertama kali kita bertemu, tidak dapat terhapus dari benak ini. Setiap senyumannya… Untaian kata cintanya… tingkahnya.. semua sudah tersimpan rapat dalam kotak yang jauh kutanam dalam hati ini…tak kubiarkan seorangpun yang dapat menyentuhnya…apalagi mencurinya dariku… Karena dialah satu-satunya yang paling kucinta…. Bukan yang lain… Biarlah itu menjadi kenangan yang terindah untukku… Kenangan akan dirinya…

-


Bila yang tertulis untukku
Adalah yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan

Yang terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku
Meninggalkan jejak hidupku
Yang tlah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah

(Samson, 'Kenangan Terindah')

-o0O0o-

a/n : Kalo ada yang mau nanya soal penjelasan kematian Roy, silahkan. Aku sendiri juga masih sedikit ragu, kalau aku telah menjelaskannya dengan jelas atau belum…Hm..tadinya aku mau buat author's note yang panjang di sini, tapi kuhapus. Gak penting banget ! (lha ! tetep ada A/n nya di sini ? )

….

Gak penting, kan ! uh..yah. Jangan lupa, REVIEWS !

-end ! tunggu epilognya dulu ! PENTING !- (many fluff & next generation romance inside…plus… another Royai !) -- will update soon, kalo ada waku ! (apa fungsinya soon di sini ! –.- )