Author's note:Sayonara, sayonara. Sampai berjumpa pula~!Sayonara, sayonara. Sampai berjumpa pula~!
Dimana ada pertemuan, disana pula ada perpisahan. Setelah bertahun-tahun fanfic Girls are better than boys ini menemani hari-hari kita, saatnya Penulis harus meletakkan pena Penulis sejenak. Ide tak mungkin mengalir lancar begitu saja. Inspirasi demi inspirasi tetap perlu dikumpulkan demi menghasilkan sebuah mahakarya.
Khusus bagi pemberi komentar sekaligus pembaca chapter pertama, yaitu idiocity, Ken D. Uzumaki, Kisasa Kaguya, Vira D. Ace, Abizar, Ryo, Kaigun Hero, Monono, Yadi, Zeanna, R-daisy, Amamimon, iLogic, Tanpa Nama, Shona Namikaze, Rilf, Megsaturn, Depirateking, Cheesewine, dan semua guest tanpa nama atau para pembaca yang namanya tak disebut satu per satu. Kalian semua rela membuang waktu kalian untuk mampir di fanfic ini. Terima kasih. Tentunya pada seluruh pembaca lainnya seperti Blue light, Ginri, Tsuki-no-Hazama Hime, Nakama MUgiwara, Kanayu, Oplovers, Martin, TwiggyWarior, SamuraiAce, Animangaloverz, martinortogratia30, Vinsmoke Bila, Salsabilaaw, BngJy, Kanaechan, Axel, dan lainnya. Serius, dukungan terlalu banyak. Mungkin tidak cukup mengabsen kalian semua di chapter ini, namun Penulis berikan rasa terima kasih setulus hati.
Mengingat ini adalah chapter terakhir, maka Penulis sebisa mungkin menutupnya dengan baik. Penulis bukanlah author profesional. Masih kalah jauh dari author yang lebih lama menuangkan ide di fanfiction ini. Dengan segala kerendahan hati, semoga chapter terakhir ini memuaskan kalian semua.
.
Disclaimer : Oda Eiichiro
GIRLS ARE BETTER THAN BOYS!
Chapter Thirty Three Part 3:Last Chapter : Beautiful Mistake
By Josephine Rose99
.
.
Note :
Semua karakter yang tampil disini tak punya kekuatan layaknya di anime aslinya.
OOC (Out of Character)= artinya kalau tokoh di fanfic ini banyak memiliki sifat yang tak sama dengan anime aslinya. Jadi jangan protes kalau tak suka. Kemudian miss typo, and of course NO LEMON! Seriously, that's really YAIKS, Gross!
Pasti banyak sekali salah pengetikan. Penulis mohon maaf.
Ide cerita bukan plagiat. Murni hasil pemikiran sendiri.
Jika menemukan kesalahan, jangan malu-malu. Katakan langsung lewat kotak review.
Bagi silent reader, harap tinggalkan jejak. Walaupun hanya kata 'lanjut' saja, sudah sangat diterima. Tapi kalau bisa berikan kesan dan kalau bisa bahas seluruh isi chapter.
Happy reading!
.
.
.
.
.
.
GIRLS ARE BETTER THAN BOYS!
CHAPTER THIRTY THREE PART 3
LAST CHAPTER
BEAUTIFUL MISTAKE
By Josephine Rose99
.
.
.
Seandainya kalian berpikir bahwa Nico Robin membiarkan kesempatan terakhirnya menyelesaikan masalah ini berlalu begitu saja, kalian salah besar.
Tidak peduli Zoro merengek supaya—demi apapun—segera 'menyingkirkannya', prinsip Robin tak tergoyahkan. Dia menuntut si buta arah untuk mengubah tujuan mereka dari HAS menuju taman terdekat. Tahu maksud dari gadis itu, Zoro tak berhenti mengatakan berbagai alasan palsu demi membuatnya tidak mempercayai kata-kata... errr... seekor babon Afrika.
Mungkin karena tidak bisa menahan aura-aura busuk yang terpancar dari tubuh Robin, mau tak mau Zoro putar balik. Motor kesayangannya terarah jelas pada taman kota. Tempat dimana interogasi akan dimulai.
Persiapkan dirimu, tuan pendekar.
.
Time Flies
.
"...Mau es krim?" tanya Zoro begitu melihat penjual es krim tak jauh dari mereka.
Yah, dia tak tahu mau membuka pembicaraan dengan topik apa setelah memarkirkan sepeda motornya dan berjalan-jalan dengan arah tidak jelas. Tidak lucu jika Robin lebih dulu menawarkan. Kemana harga dirinya sebagai laki-laki?
Oke, Zoro. Kau terlalu berlebihan. Faktanya situasi Robin tak berbeda jauh darimu.
Gadis ini sama-sama gugup. Otak jeniusnya kesulitan menemukan rangkaian kalimat paling tepat demi mencairkan kecanggungan ini. Mengharapkan Zoro? Orang paling tolol sedunia alias Luffy saja tahu kalau memimpikan seorang Roronoa basa-basi itu sangat bullshit.
"...Boleh," jawab Robin kalem.
Iya, kalem. Diluar saja tampak seperti itu. Kalian tidak tahu saja hatinya ingin kabur dari tulang rusuknya saat itu juga. Kalau perlu pindah fandom sekalian.
Zoro sedikit heran pada sikap Robin yang terlihat baik-baik saja baginya. Namun kesulitannya mengisi keheningan tidak membuat dirinya bertanya lebih jauh. Sembari membiarkan Robin duduk di kursi taman, dia berlalu membeli es krim. Satu rasa vanilla kesukaannya, satunya lagi... mungkin coklat? Rasa umum yang banyak disukai penggemar rasa. Tapi, haruskah dia menanyakannya padanya? Bisa saja dia menyukai rasa lain.
Tidak, tidak. Dia terlalu pengecut untuk itu. Dia tak berani menanyakan hal sepele seperti ini karena kecanggungan di antara mereka.
Benar juga. Kalau dipikir-dipikir dia tak tahu apa-apa soal Robin. Hari ulang tahun, makanan dan minuman favorit dan dibenci, warna kesukaan, masa lalu, terlebih hari-harinya selama menjadi murid di HAS. Tidak banyak waktu yang mereka habiskan bersama berkat kesibukan mengurus festival serta bayi-bayi besar pengganggu urusan orang yang sok menyebut diri mereka sebagai geng motor.
Kuina benar tentang Zoro. Pemuda ini memang payah jika menyangkut soal wanita.
Pada akhirnya Zoro memutuskan membeli es krim coklat untuknya. Dia berjalan mendekati Robin lalu duduk di pun menerima es krim pemberian pemuda itu dalam diam.
Jilatan pertama bahkan tak mendinginkan kedua hati yang sedang menghangat saat ini. Mereka menjilat es krim masing-masing sembari memandang ke depan dan... kemana saja asal bukan pada lawan bicara. Menyedihkan sekali. Memandang mata gadis itu butuh keberanian lebih banyak dari Zoro kira.
"...Jadi? Apa yang mau kau bicarakan? Aku orang sibuk, jadi tolong dipersingkat," hei, barusan wakil ketua OSIS TG ini mengatakan dirinya sibuk? Jangan bercanda. Pengangguran sepertinya yang bahkan kabur dari sekolahnya untuk mencari Robin dan Kuina dapat dikatakan sibuk? Jelas sekali itu hanya sebuah alasan dari seribu alasan karangan yang telah dipersiapkannya.
Tahu Zoro dari tadi bicara omong kosong, Robin langsung menimpal, "...Kurasa itu tidak mungkin,"
"Eh?"
"Kau tahu apa maksudku."
Sial.
Lagi-lagi Zoro gagal menyembunyikan kegugupannya. Atau mungkin semburat tipis di pipinya?
Pemuda ini menoleh ke arah lain. Pasang alibi seperti menjilat-jilat es krim walau lidahnya kelu luar biasa.
"O-oohh..."
Keheningan kembali menyapa.
Rasanya Penulis ingin menjedotkan kepala Penulis melihat kedodolan Zoro yang sebodoh ini untuk meresmikan hubungan mereka. Tolong maklumi bocah ini. Baginya, menyatakan cinta seratus kali lebih sulit daripada memecahkan soal ujian semester.
Tanpa disadari bocah tolol yang mengaku sebagai pendekar pedang tersebut, Robin diam-diam mencuri pandang. Meliriknya lekat-lekat dengan wajah serius. Jantungnya berdetak agak lambat, namun percayalah dentumannya tak pernah sekeras ini sebelumnya.
Gadis ini jadi teringat dengan obrolan cinta khas bocah SMA di antara anggota Angels kemarin. Kata-kata Nami waktu itu cukup membuatnya iri. Tadinya dia ingin menghiraukannya dan fokus pada masalah Shichibukai. Tapi ternyata tidak semudah itu.
.
FLASHBACK
.
Mari mundur sehari sebelumnya...
.
Gang keempat distrik 12 Yoyogi dimana berdiri rumah megah hasil tabungan kelima malaikat wanita masih menjadi markas utama Angels meskipun pernah menahan gempuran sekelompok anggota geng motor. Tujuan mereka berkumpul lagi di tempat ini cukup kompleks, yaitu merayakan kemenangan mereka atas Shichibukai, kepulangan Hancock dari rumah Luffy, serta kesembuhan Hancock yang telah dapat berjalan normal kembali. Hari ini terlalu indah jadi kenyataan.
Ya, tadinya begitu tujuan pesta mereka. Setidaknya sampai Nami memberikan fakta mengejutkan.
"KAU SUDAH BERKENCAN DENGAN KOKI MESUM ITU!?" itulah yang terdengar dari mulut Vivi saking terlalu shock mendengar Nami telah resmi menjadi Juliet Sanji.
Ini pasti bercanda.
Dan bagaikan mendapat kokoro attack akibat pengumuman hiatus author favoritnya, Kaya langsung menyahut tak kalah horor, "SEJAK KAPAN!? KENAPA AKU BARU TAHU!?"
"Ya, karena kalian tidak tanya," ujar Nami santai. Benar-benar alasan logis, nona.
"Setahuku kau membenci laki-laki penggoda, Nami. Dia tidak menghipnotismu, 'kan?" komentar Hancock sembari membayangkan Nami tersapu—eh, tersipu malu ketika Sanji melontarkan ratusan gombalan maut. Seketika ekspresi Hancock berubah. Tampangnya seperti seseorang sedang menahan memberikan makanan lele dengan bahan organik orginal buatannya.
Errr, itu hanya ungkapan halus, para pembaca. Terlalu vugar 'kan jika Penulis mengatakan Hancock mau 'boker'?
"Mana mungkin!" sergah Nami sensi, "Aku mengatakan perasaanku setelah mendengar nasihat Kuina-san. Ma-makanya kukatakan saja padanya..." suasana Hati langsung banting setir. Dari memamerkan deretan gigi megalodon menjadi malu-malu bak kucing betina jual mahal di musim kawin.
Kemudian muncul sebuah pertanyaan jitu, tercetus dari gadis paling jenius di antara mereka.
"Apa yang kau katakan?" tanya Robin penasaran.
"...Eh?"
"Kau bilang apa pada Sanji?"
Sontak Nami gugup. Tiba-tiba ditanyai begitu membuatnya sedikit kaku.
"...Hmm... yah, semacam..." Nami mendongak, jarinya mengusap-usap pipinya. Mencari-cari rangkaian kalimat terbaik untuk menjelaskan seperti apa pernyataan perasaannya terhadap si jago masak itu, "...Terima kasih kamu mau menyukaiku. Dan kurasa aku juga menyukaimu. Aku tahu bagaimana sifatmu yang menjijikkan itu, tapi aku tak menemukan masalah selain sifat mulut gombalmu. Jadi, kalau aku mendengar kau menggoda perempuan lain, kupastikan aku akan mematahkan seluruh tulangmu dan kau akan berakhir di kamar mayat. Begitu..."
Itulah ringkasan pernyataan cinta Nami yang dikatakannya dengan penuh perasaan diiringi perasaan malu sekaligus canggung.
Namun berbeda darinya, keempat sahabatnya justru sweatdrop massal.
"Kau yakin kau sedang menyatakan cinta? Itu terdengar seperti ancaman pembunuhan bagiku..." ujar Hancock bingung dengan kreativitas Nami dalam menyusun kalimat pengungkapan perasaan.
Kalau Kaya lain lagi. Mengingat dirinya tergila-gila pada drama cinta konyol yang sering diputar di TV, dia menghiraukan kalimat terakhir yang dikatakan Nami dan lebih memilih fokus pada kata-kata manisnya saja, "Heeee... tapi itu manis sekali! Kau punya sisi romantis juga, Nami!"
Nami langsung pasang senyum percaya diri. Hidungnya memanjang persis Usopp.
"Artinya aku sudah melepas masa singleku. Sekarang tinggal kalian berempat," katanya membuat serangan panah mendadak pada jantung beberapa dari mereka.
Beberapa?
"Apa maksudmu berempat? Tentu saja bertiga. Hancock sudah ada Luffy," protes Vivi lantas menunjuk Hancock tepat 2 cm dari matanya. Hampir saja mata Hancock kecolok kuku berkuteks pink menjijikkan itu.
"Aku juga sudah ada Usopp-san," Kaya angkat bicara sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi layaknya pasien rumah sakit jiwa sedang diabsen oleh dokter.
"Nah! Berarti tinggal kami ber... huh?" baru saja Vivi ingin melanjutkan kata-katanya, mendadak dia merasakan hembusan angin dingin menerpa entah dari mana.
Sontak mereka menoleh cepat pada Kaya yang saat ini memandang mereka seolah berkata 'why are you guys looking at me like that?'.
Dipandang begitu, yang lain hanya diam. Menatap antara terkejut atau shock berat mendengar ada anggota selain si mata duitan dan si sok cantik telah punya pacar.
"EEEEEEEEEEKKKH!?" walhasil, jadilah mereka serentak berganti profesi sebagai pasukan paduan suara gagal audisi.
Oke, kali ini mereka tak bisa menahan rasa penasaran mereka. Hancock, Robin, Nami, dan Vivi buru-buru mendekati Kaya, mendekatkan wajah mereka diiringi pelototan terbaik yang tentu saja membuat Kaya sedikit tidak nyaman.
"Usopp-san berhasil membuktikan pelayanku, Klahadore hanya memanfaatkanku. Apalagi dia ternyata memiliki hubungan dengan keluarga Donquixote. Jadi keluargaku sudah memecatnya," anggota Angels lainnya nyaris jantungan tatkala mengetahui pelayan paling setia Kaya justru yang paling tidak setia padanya, "Ja-jadi sebagai rasa terima kasih, aku..." mendadak sikapnya berubah layaknya tokoh Hinata dari fandom tetangga. Memainkan jari telunjuknya sambil menunduk malu, "...Me-menawarinya... berkencan..."
Semua kicep saat mendengar penjelasan itu. Sama seperti Kaya, keempat sahabatnya juga ikut merona. Semburat merah tipis adalah pertanda bahwa sesangar apapun anggota Angels ini, mereka tetap memerlukan kehangatan cinta (halah).
Hancock melipat tangannya, "Biar kutebak. Si pinokio itu tak menolak?"
Kaya mengangguk pelan.
"Sudah resmi?" kali ini Nami mengajukan pertanyaan.
"Ma-masih belum. Tapi kurasa kami sedang menuju kesana..."
"Ternyata hanya kita berdua, sobat," Vivi merangkul pundak Robin. Menggeleng-gelengkan kepala seolah merasa bahwa hanya mereka jomblowati tersisa di dunia ini. Ya, dia mengatakan ini tanpa menyadari bahwa yang lainnya sedang menatapnya layaknya manusia yang miskin akan pengetahuan.
Dalam kepolosan gadis konglomerat itu, Nami langsung bersabda sebagai berikut:
"Kau bicara apa? Kau lupa soal hubungan Zoro dan Robin?"
Dan hari itu telah resmi menjadi hari terburuk sepanjang sejarah Nefertari Vivi.
.
END FLASHBACK
.
Sebenarnya apa maksud Nami waktu itu?
Memangnya apa hubungan antara dirinya dan Zoro?
Selama ini dia mengklaim bahwa hubungan mereka tak lebih dari rekan bisnis. Begitu festival berakhir, maka dia takkan bertemu dengannya lagi. Mengunjunginya di sekolah? Yang benar saja. Jaraknya cukup jauh. Butuh waktu sekitar 20 menit. Itu pun jika tidak terjebak macet atau persimpangan lampu merah. Kurang kerjaan sekali dia menempuh waktu selama itu demi bisa bertemu dengan si maniak pedang paling tidak peka setelah Luffy ini.
Lalu kenapa? Kenapa Nami mengatakan itu?
Apa dia dan Zoro terlihat... seperti sepasang kekasih?
Selagi Robin sibuk berperang di dalam pikirannya sendiri, disisi lain Zoro juga tak berani berkicau sedikit pun. Dia hanya mendadak bisu disana. Tak ada satu lirikan yang dia lemparkan pada gadis di sebelahnya.
Tentunya aksi canggung ini menjadi topik hangat utama bagi tiga detektif kurang kerjaan di balik semak-semak di belakang mereka yang entah sejak kapan berada disana. Tahu 'kan siapa?
"Mereka saling diam lagi," ujar Sabo mengepalkan tangan saking gregetnya melihat kedodolan Zoro. Sungguh bukan sikap seorang pria sejati.
Sebagai teman sejak masa kecil, Kuina pun membela pemuda pengecut itu, "Apa boleh buat. Itu adalah pengertian grogi dalam arti sebenarnya."
"Tak adakah ide muncul di kepalamu untuk mengubah situasi canggung ini?" tanya Ace bingung. Tumben Kuina tak memberikan perintah konyol pada mereka ketika target pasangan kencan mereka menemui jalan buntu. Apa jangan-jangan kemampuan mak comblang Kuina mulai berkarat?
"Tahan dulu, Ace-san. Kita perhatikan situasi dulu. Aku percaya Robin bisa memberi umpan pada Zoro supaya anak bodoh itu mau bicara terus terang."
Sasuga, Kuina. Memang paling paham soal begini.
Sesuai intuisi Dewi cinta kita, Robin juga tak mau membiarkan keheningan ini berlangsung lebih lama. Dia menoleh pada Zoro yang asyik menunduk. Tatapan gadis ini sangat serius. Belum pernah dia seserius ini selain menjawab soal-soal kimia Garp yang dijamin mengirim Vivi dan Nami ke dunia mimpi dalam lima detik.
"Soal tadi... apa itu benar, Zoro?" tanya Robin demi memastikan. Serius, dia benar-benar mendengarnya, 'kan? Kuina tidak bohong, 'kan?
Zoro benar-benar cemburu, 'kan?
"...Soal apa?" Zoro masih pura-pura bego, saudara-saudara. Atau memang pada dasarnya dia memang bego begini?
"Berhenti pura-pura bodoh. Kau tahu apa yang kubicarakan,"
Wakil ketua OSIS TG akhirnya tak berkutik.
Robin melanjutkan kata-katanya, "Sampai cemburu pada Cavendish. Kau benar-benar tak perlu sampai segitunya..."
Melihat Zoro tak membalas perkataannya, Robin segera memberi serangan skak mat.
"Jadi benar, huh? Kuina-san sengaja menantangmu karena ini. Kau memang bodoh,"
"HUH?!"
"Seandainya kau menyingkirkan egomu, kau tak perlu menjadi mainan taruhan Kuina-san. Masa kecilmu juga tak perlu berakhir menjadi berita utama koran sekolahmu..." diam-diam Zoro mengakui hal ini.
Benar juga. Seandainya waktu itu dia mengakui perasaannya... seandainya dia tidak serta merta menerima taruhan Kuina... seandainya dia membuat kepala Kuina cedera dari awal (what!?)... mungkin dia tidak perlu duduk bersebelahan dengan Robin diiringi atmosfer berat yang membuatnya kesulitan bicara.
Tapi meskipun begitu, dunia romansa terlalu sulit baginya untuk dimengerti. Dia bukan Sanji. Bagaimana mungkin dia langsung menyadari bahwa perasaan cemburu ituadalah bukti dari...
"Jadi?" pertanyaan ambigu Robin membuyarkan gejolak pikiran Zoro.
"A-apa?"
"Kau tidak mau menanyakan perasaanku padamu?"
"...Eh?"
Tolong sisipkan awkward moment disini.
Zoro terdiam mendengar semuanya. Tapi percayalah demi donat yang dijual Dadan di kantin sekolah TG, degup jantungnya tidak dapat mendengarkan kata hatinya sendiri sekarang!
Peluh membasahi dahinya. Rona tipis pun semakin menyebar dan menyelimuti seluruh wajahnya. Mulutnya terkatup-katup, sudah persis orang gagap yang tambah gagap ketika ditodong bon hutang dari dua generasi sebelumnya. Sungguh, Zoro tidak percaya ini.
Dia tidak percaya Robin akan sangat to the point begini!
Sedangkan trio detektif (atau mungkin penguntit?) shock berat menyaksikan sebuah keajaiban tepat di depan mata. Tadinya mereka ingin meneriakkan rasa syukur mengingat kerja keras mereka menemui garis finis, tapi harus ditahan karena mereka tidak mau dua sejoli tersebut menyadari keberadaan mereka. Meskipun terlepas dari berat hati dimana mereka tidak mampu meluapkan kebahagiaan, wajah ketiga jomblo dari lahir ini juga sama-sama merona seperti tokoh utama pria kita dalam kasus ini.
Sungguh menyedihkan.
Kita kembali ke Zoro-Robin.
Kembali? Mau kembali kemana, para pembaca? Kembali pada Zoro yang sedang speechless saat ini?
"...I-ituuu..." ayo, Zoro. Katakan sesuatu! Jangan mau kalah dari gadis hitam manis itu! "A-aku... umm..." percuma. Pemuda ini tidak menemukan kalimat tepat untuk setidaknya membalas kata-kata gadis itu sedikit saja. Singkatnya, Zoro bisa melihat K.O tepat di depan hidungnya.
Lalu, apakah Robin mengendurkan serangan? Tentu saja tidak.
"Benar Kuina-san menyuruhmu menciumku?"
"Ha-hah?" tolong, Robin. Biarkan Zoro menarik napas dan mengendalikan detak jantungnya.
"Sudahlah. Jawab saja. Benar atau tidak?"
"...I-itu pertanyaan yang tak perlu kau tanya lagi. Kita sedang membicarakan Emperor Tamarin itu. Sudah pasti dia akan menyuruhku melakukan hal-hal mesum," ujar Zoro masih menunduk sambil melempar makian dari hati paling dalam pada yah-kalian-tahu-siapa.
Tentunya umpatan Zoro ini tidak lepas dari pantauan Kuina. Namun gadis ini belum terlalu yakin. Dia sama sekali tidak pernah mendengar jenis hinaan, makian, ejekan yang disebutkan Zoro sebelumnya. Maklum, sebagai Dewi cinta, dia sudah biasa mendengar betapa indahnya keragaman penghinaan dari para anak buahnya. Perlukah Penulis sebutkan satu-satu untuk mengingatkan kalian?
Dari hinaan Bonney, gadis nomor satu kalau urusan mengejek Kuina. Yah, seperti kadal laut, platipus betina, gadis badak, sadako gua batu, mammoth purba, dan hinaan-hinaan lainnya. Tak mungkin Kuina tak langsung mengenali umpatan yang menyamakannya dengan spesies yang sudah pasti bukan homo sapiens. Tapi untuk kali ini Kuina tidak dapat menafsirkan kingdom, kelas, atau genus dari istilah yang dikatakan Zoro.
"Hei, siapa yang dia katakan... apa tadi? Emperor... apa?" tanya Kuina nyaris masuk mode berserk. Serius, dia bersumpah akan membanting Zoro sampai bocah itu tidak berbentuk lagi jika hinaan barusan benar-benar melukai hatinya.
"Emperor Tamarin. Teman dekat Proboscis," ujar Ace kalem.
"Proboscis apanya? Lebih dekat dengan Colobus menurutku," sahut Sabo juga tak mau kalah pakai istilah-istilah aneh.
"Oh, ya? Kurasa mirip juga dengan Gelada, Sabo."
Sebelah alis Kuina terangkat.
Proboscis? Colobus? Gelada? Huh? Apa itu? Makhluk apa itu? Tolong berhenti menggunakan bahasa-bahasa latin dan cepat katakan saja apa itu Emperor Tamarin itu.
Yah, mana mungkin Ace dan Sabo mengatakannya terus terang, 'kan? Ini kesempatan sekali seumur hidup. Kapan lagi mereka menikmati menghina Kuina di depan matanya sendiri selagi gadis itu tak dapat mengikuti pembicaraan mereka? Yup, gadis kendo itu tidak mengetahuinya, saudara-saudara. Mungkin akan lebih bijaksana jika kalian segera mencarinya di mesin pencarian Google. Dan kalian juga akan langsung mengetahui kalau dia baru saja dikatai dengan berbagai spesies dari kerajaan monyet. Ck ck ck ck.
Hiraukan keberuntungan Zoro karena dia tidak perlu dihabisi di detik itu juga. Mari kita saksikan saja aksi Robin selanjutnya.
...Aksi?
Ya. Entah ada angin apa sampai gadis itu iseng mengarahkan es krimnya yang belum habis itu pada bibir Zoro. Spontan Zoro menoleh, melototi gadis yang saat ini malah cengar-cengir tanpa merasa berdosa. Apa-apaan dia? Dia bukan Nami, Hancock atau Vivi.
Zoro mengusap-usap bibirnya dengan kasar, "Ah! Dingin!" ujarnya, "Kenapa kau mengarahkan es krimmu k—"
Dan yang terjadi selanjutnya membuat para detektif kurang kerjaan jawdrop tiga meter.
Yah, mereka kicep. Bagaikan mendapat serangan shinra tensei mendadak dari Pain dari anime sebelah, hati mereka hampir terhempas dari tempatnya tatkala menyaksikan adegan paling menghujam hati dimana Robin mencium bibir pemuda penggila ilmu pedang itu.
Bibirnya hanya menempel pelan, namun percayalah bahwa ciuman singkat itu memberikan sensasi aliran listrik yang kemudian menciptakan percikan api pada seluruh tubuh Zoro. Dia hanya mampu berdiam diri disana. Tubuhnya membeku layaknya merasakan angin musim dingin. Namun angin musim dingin itu segera berganti ketika angin musim semi berhembus kencang.
Masih melongo, tangan Kuina perlahan menutup kedua mata Sabo dan Ace. Dia tidak ingin membiarkan dua jomblo mengenaskan dalam hidup itu melihat adegan dewasa lebih lama lagi. Singkatnya hanya dirinya yang sekarang melihat Robin menarik dirinya dari pemuda itu.
Zoro ingin sekali mengatakan sesuatu karena—demi apapun! Dia harus memberikan reaksi bagus, tapi mulut si bodoh ini malah terkatup-katup tidak jelas persis ikan koi kekurangan air.
Menghiraukan reaksi konyol Zoro, Robin pun bangkit dari duduknya. Dia berdiri membelakangi Zoro, "...Setelah ini, temui dia. Katakan kau berhasil menyelesaikan tantangannya. Aku jamin Kuina-san pasti akan menarik berita-berita itu lagi. Okay?" ujarnya sebelum menoleh dan memberikan senyuman manis, "Ayo. Antar aku kembali ke sekolah,"
Setelah berkata begitu, Robin pun berjalan menjauhinya.
Ada jeda beberapa detik sampai Zoro sadar bahwa dia sekarang hampir ditinggal sendirian di kursi taman. Masih merona hebat, pemuda ini langsung berdiri dan menyusul Robin. Tak peduli meski dia harus menghiraukan debaran jantung yang terus berdentam tak menentu.
"Ro-Robin! Tu-tunggu! Tunggu aku!" teriak Zoro.
Sialan.
Ini pertama kali dia merasakan perasaan bahagia ini. Sulit sekali mendeskripsikan emosi ini walau ini tetaplah pengalaman pertama baginya. Namun setidaknya dia tidak sebodoh itu untuk mengetahui bahwa jarak antara dirinya dan gadis itu tidak akan sejauh itu lagi.
Satu pasangan kencan target operasi mak comblang akhirnya menyusul pasangan ketua OSIS di garis finis. Ternyata tidak sia-sia kelompok penguntit itu pensiun lebih cepat.
Bicara soal penguntit...
"Woi, Kuina! Kenapa kau menutup mata kami? Padahal tadi sedang seru-serunya!" Sabo otomatis dongkol. Dengan geram dia menjambak rambut Kuina sampai leher gadis itu hampir patah.
Kuina membalas dengan menampol pipi Sabo bolak-balik, "Adegan barusan masih terlalu cepat disaksikan bocah di bawah umur seperti kalian!"
"Apa aku terlihat seperti bocah SD di matamu?!" Ace tidak mau kalah. Dia juga ikut menjambak Kuina seenak jidat. Resmi sudah 2 vs 1.
Kuina yang tak sanggup menahan sakit akibat dijambak oleh dua pemuda yang malah bersikap seolah gadis-gadis SMA rebutan cowok, akhirnya menonjok kedua hidung mereka dengan barbar, "Habisnya ekspresi kalian itu terlalu menunjukkan kesialan nasib kalian dalam dunia persilatan cinta! Aku hanya menolong supaya kalian tidak bunuh diri setelah ini!"
Apa-apaan orang-orang ini? Kenapa malah berkelahi?
Hhhhh... lupakan orang-orang tidak jelas dengan aktivitas tidak jelas mereka.
...T_T/0_0...
~oohcintamembuatkutergila-gila~
...-_-''/:3...
.
.
Sabtu pagi. Sungguh sebuah hari cerah seolah menyambut akhir pekan setelah disuguhi tumpukan pekerjaan selama lima hari. Bisa dikatakan kesunyian ini sangat berarti bagi mereka yang ingin menenangkan diri. Suasana terlihat penuh kedamaian dengan bunyi cicitan burung pagi dan gemerisik daun oleh lembutnya angin. Kupu-kupu lebih bersemangat menghinggapi bunga-bunga di taman. Sinar mentari pun menembus rimbunan daun, menyinari langsung segala makhluk hi—
Cukup! Hentikan sampai disana!
Kalian serius membiarkan Penulis memberikan deskripsi dramatis begini pada Vivi yang sedang berselonjoran santai dan memasang wajah tanpa ekspresi di rumah kayu kecilnya? Deskripsi pagi ini terlalu indah untuk orang sepertinya. Kita ulang saja.
Pagi yang cerah. Tidak ada tugas dan hanya ada hari libur. Namun semerbak angin pagi itu tetap tidak berhasil menyingkirkan awan mendung di hati Vivi. Dia tidur telentang, memejamkan matanya. Tolong jangan berpikir kalau dia sedang berdo'a. Manusia ini tidak mengenal do'a. Dia hanya tahu betul soal dosa. Hampir mirip namun memiliki perbedaan makna.
Sementara manusia di sampingnya—sebut saja Kouza—asyik memainkan ponselnya tanpa memberikan sedikit pun perhatian pada gadis dalam mode sok bertapa itu. Entah kesibukan apa antara dirinya dan ponsel tersebut, tapi hal itu membuat Vivi sedikit kesepian. Tak ada yang mengajaknya mengobrol.
"Wah... aku tak tahu kalau tak memiliki pacar di antara orang-orang yang memiliki pacar ternyata akan menyedihkan begini..." Vivi buka suara. Berharap sang kawan setidaknya membalas meskipun hanya sebuah kata. Demi apapun, dia bosan.
Dasar orang tak punya kerjaan.
Beruntung Kouza cukup memahami kondisinya. Sembari memandang ponselnya dia membalas kalem, "Lagi-lagi kau bicara bodoh..."
"Diam kau, perjaka," Vivi berkata datar, sedatar ketika dirimu menanggapi kisah perselingkuhan tetanggamu yang sangat tidak membuatmu tertarik.
Kouza mengerjap. Aktivitasnya sejenak berhenti.
Tunggu. Dia barusan dikatai... apa?
"SIAPA YANG KAU SEBUT PERJAKA!?" begini teriaknya sambil memberikan pelototan terbaik. Sedangkan yang dipelototi cuma mendengus dan menatapnya malas seolah ingin mengatakan 'kelihatan sekali dari wajahmu'.
Kouza menggeram. Aib keperjakaannya terbongkar sudah. Dalam hati dia sudah melontarkan ratusan makian pada gadis itu. Yah, secara dia tak mungkin mengatakannya keras-keras mengingat mereka sekarang di halaman belakang rumah Vivi. Jika orang-orang rumah—atau lebih buruknya lagi—Tuan Cobra mendengar, maka dirinya hanya tinggal nama.
Vivi tahu Kouza masih bermisuh-misuh tidak jelas di sampingnya. Jadi dia pun membuka topik baru.
"Kouza, kau tak pernah berpikir untuk punya pacar?"
"...What?"
Oke. Kenapa pula Vivi mencari topik yang lebih absurd daripada fakta keperjakaan Kouza?
"Oi, dari tadi kau kenapa, sih?" Kouza mengerjap-kerjap shock. Apa jangan-jangan gadis itu kerasukan?
"Bisakah kau jawab saja? Kau tak peka, ya? Aku sedang bosan, sialan. Makanya aku ingin bicara tentang apapun denganmu,"
Mulut Kouza membentuk 'o'. Sebelah alisnya terangkat selagi memproses jawaban dari pertanyaan tadi. Terus berpikir dan berpikir dan... lama sekali! Rasanya Vivi ingin melempar batu bata di dekatnya pada kepala orang sok berpikir ini, padahal otaknya juga jarang digunakan dalam memikirkan apapun.
Setelah ribuan detik menunggu, akhirnya Kouza memberikan jawaban singkat.
"Pernah,"
Dahi Vivi berkerut, "...Oh, ya?"
"Yaaaah, tapi aku tak ingin memaksakan memilikinya sekarang. Waktunya akan datang," Kouza mencoba sok bijak lalu meneruskan "Lagipula, bukannya kau suka pada Luffy? Kau tak cemburu Hancock merebutnya darimu?" ejeknya tanpa menghiraukan tatapan tajam dari Vivi.
Amit-amit dia dikatai fans berat Luffy dalam dunia percintaan! Luffy bahkan tak sampai seujung jari dari idolanya, chuyunk Barnet, dan dia diisukan menjadi target sasaran hati Vivi? Hell no!
"Aku memang suka pada Luffy-san, tapi bukan dalam arti romantis, tahu. Kau salah paham dengan perkataanku waktu itu," Vivi membela diri sebelum dirinya dicap sebagai Hancock nomor dua garis keras.
Angin berhembus.
Mata Kouza kini masih menatap Vivi. Ya, dia terkejut. Dia tahu kalau Vivi memang suka dengan kepribadian hancur-hancuran ketuanya, namun ternyata bukan cinta. Seketika dia merasakan sesuatu yang aneh. Kelegaan diiringi rasa syukur meledak dari hatinya. Tentu saja diselingi tanda tanya.
Apa ini?
"...Jadi, begitu?" gumam Kouza pelan, menundukkan kepala. Jangan sampai gadis itu tahu bahwa senyum tipisnya sedang terukir di wajahnya.
Vivi garuk-garuk kepala, stres. Dia bingung dengan nasibnya sekarang. Merindukan kesibukan lima hari sebelumnya daripada sibuk tidak melakukan apa-apa seperti saat kemudian muncul ide konyol di kepalanya, "Masa' sih aku harus minta dijodohkan oleh orangtuaku? Memangnya hidupku itu drama?" ternyata gadis ini penggemar berat drama cinta kesukaan Nami, pemirsa. Masih percaya bahwa perjodohan akan mendatangkan kebetulan kemudian mendatangkan kebahagiaan.
Kouza cuma bisa sweatdrop. Sampai segitunya kah gadis ini ingin punya pacar? Apa dia lupa kalau dirinya sempat mengajukan protes saat mengetahui Doflamingo ditunangkan dengan Hancock? Tadinya Kouza sempat berpikir kalau Vivi tipikal gadis jodohku-pasti-akan-datang-dengan-sendirinya. Sebaliknya itu hanya bullshit semata.
"Tak perlu. Aku kasihan pada calon tunanganmu itu nanti. Bisa-bisanya dia dijodohkan dengan perempuan tolol," pendapatmu sungguh logis, saudara Kouza.
"Siapa yang kau sebut tolol tadi, huh!?"
Menghiraukan deretan gigi monster yang siap menerkamnya, Kouza langsung mengalihkan pembicaraan, "Kalau aku merasa sekarang diriku sudah cukup."
"...Huh?"
"Punya sahabat-sahabat yang selalu ada untukku. Kau juga selalu disampingku. Haruskah aku mengeluh?"
"A-apa, sih? Kenapa kau tiba-tiba berkata manis begini?"
"Kau bisa mencari pacar setelah lulus. Menurutku itu lebih baik. Benar, 'kan?"
"Memangnya setelah lulus, kau akan kemana?"
"Aku ingin melanjutkan kuliah di Hokkaido,"
Tanpa komando, Vivi langsung mendelik horor. Gadis ini pun bangkit dari tidurnya.
"Eh? Tu-tunggu! Itu jauh sekali! Kenapa tidak di Tokyo saja?" tanyanya tak percaya bahwa sang sahabat sejak kecil akan meninggalkannya dalam waktu dekat.
"Aku bosan tumbuh dan besar di kota ini. Aku ingin mengeksplor lebih jauh," jawab Kouza simpel.
"...Berarti kita akan berpisah?"
"Kenapa kau bicara seperti aku akan mati?"
"Ma-maksudku, kita selalu bersama sejak kecil. Takkan menyenangkan kalau kau tak ada, Kouza..." Vivi mengerucutkan bibirnya. Sok cemberut yang menurutnya imut. Yah, setidaknya itu bagi Penulis.
Namun bagi Kouza itu lain soal. Tersenyum tipis melihat temannya bisa berekspresi begitu juga ketika dirinya mengungkit tentang lanjut studi, "Itu masih lama. Tenang saja. Lagipula kita pasti akan bertemu lagi," Kouza menepuk-nepuk pelan pundak Vivi,"...Mana bisa aku meninggalkan perempuan ceroboh sepertimu sendirian terlalu lama..."
Mendengar kata-kata semanis itu keluar dari mulut Kouza membuat Vivi memberikan cengiran yang umumnya dipasang oleh pengutil ketika ketahuan mencuri.
"Heeeee..."
Firasat Kouza jadi tidak enak. Kenapa pula gadis ini tersenyum menjijikkan?
"Apa?"
"Begitu, ya? Kau khawatir, ya?"
"Buang-buang waktu untuk khawatir padamu,"
"Ah, kau tetap saja tak mau jujur~~," Vivi tidak menyerah. Dia terus menggoda Kouza sampai terpojok.
Empat persimpangan merah terukir di dahi Kouza. Gadis di sampingnya ini sukses menarik amarahnya untuk segera mengarahkan kepalan tinjunya.
"Perlukah aku mencederai kepalamu sekarang juga?" katanya menahan urat-urat emosi sebelum dia benar-benar memulai pembantaian.
Begitulah kedua insan ini menghabiskan pagi di hari libur. Hanya obrolan santai diiringi tawa dan... saling bunuh? Entahlah. Kalian bisa menyisipkan deskripsi damai yang jarang mereka dapatkan sejak runtuhnya Shichibukai.
Omong-omong soal kedamaian, bukankah ada seseorang lagi yang merasakannya juga hari ini?
...T_T/0_0...
~sayonarasemuanya~
...A=A/^_^...
.
.
Sejujurnya udara Tokyo tidak sejernih udara di desa pinggiran, namun entah kenapa ini adalah udara tersejuk yang dapat dirasakan Corazon setelah keluar dari penjara. Walau belum resmi ditahan sebagai terdakwa, hubungan dengan keluarganya terpaksa menyeretnya untuk duduk seperti orang bodoh di balik sel besi. Jangan harap dia bisa betah di tempat seperti itu dalam seminggu terakhir ini.
Setelah mengucapkan salam pada para polisi yang membebaskannya, dia berlalu ke tempat parkir demi menemui pembebasnya. Dan benar saja. Disana telah berdiri Ace, Sabo, Kuina dan Law dengan pose masing-masing. Berdiri berjejer sembari melempar senyum padanya.
Corazon tidak bisa menahan diri untuk balas tersenyum. Beruntung tidak ada sedikitpun keraguan kepada keempat temannya yang berjanji akan membebaskannya dari lubang jarum. Memang sedikit ada rasa bersalah ketika dia harus meninggalkan keluarganya, namun ini tetap jalan terbaik bagi semua orang.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Law begitu Corazon berhenti di depannya.
Corazon mengangguk kecil, "Lumayan..."
Ace membukakan pintu mobilnya untuknya. Setelah duduk di dalam mobil mewah keluarga Monkey, ketiga temannya menyusul duduk. Ace kemudian mengendarai mobilnya pergi meninggalkan tempat dimana hampir seluruh keluarga Corazon ditahan.
Musik slow bersenandung mengiringi keheningan di antara para penumpang di mobil tersebut. Beberapa sibuk menyandarkan tangannya pada mulut jendela sembari memandangi pemandangan kota Tokyo. Bukan berarti mereka tidak memiliki topik apapun untuk dibicarakan. Tepatnya mereka menunggu seseorang membuka topik tertentu dimana mereka paling ingin mengetahui jawaban Corazon.
Yah, seseorang itu sudah pasti pemimpin mereka alias Kuina.
Sejujurnya Kuina tidak mau mengungkit soal 'ini'. Apalagi melihat reaksi santai Corazon yang harus meninggalkan keluarganya di penjara. Beruntung keluarga Monkey ikut campur dalam masalah ini. Jika tidak, tidak mungkin Corazon bersama mereka sekarang.
"Kau tak marah pada kami, Corazon?" akhirnya Kuina menghiraukan ketakutannya dan memilih bertanya ke inti.
Terlihat Law, Sabo serta Ace sedikit kikuk ketika pertanyaan itu datang.
Namun balasan dari Corazon lebih mengejutkan daripada yang mereka pikirkan.
"Maksudmu?"
"Kau bodoh, ya? Karena kami, keluargamu dipenjara, 'kan?"
"Kenapa aku harus marah pada kalian, tolol? Kalian melakukan hal benar. Tak perlu merasa bersalah."
Meskipun itu benar, bukan berarti perasaan bersalah duo Monkey dan gadis sangar itu menghilang begitu saja. Khususnya Ace dan Sabo mengingat mereka adalah saudara Luffy. Entah berapa banyak masalah datang bertubi-tubi berkat pertarungan Adik mereka.
"...Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Sabo penasaran.
Corazon ber-hmm sebentar, berpikir sebelum memberikan jawaban, "Yaaaa... kurasa aku tetap melanjutkan studiku. Aku juga masih seorang pelajar. Selain itu aku juga punya kerabat yang bisa menampungku untuk sementara,"
Kerabat?
Hanya Law yang paling mengerti maksud kata-kata Corazon. Dia pun menoleh cepat pada pemuda itu sembari memasang ekspresi tercengang.
"Kau akan meninggalkan Tokyo?" tanyanya memastikan.
"Mana mungkin aku tetap bersekolah disini dengan masalah besar begini, 'kan?" benar saja dugaannya. Jawaban Corazon mengkonfirmasi sesuatu tentang keluarganya sendiri dimana Law paling tahu itu.
Kerabat keluarga Donquixote itu tidak ada satupun berada di ibukota negara ini. Dan jika benar soal keinginan Corazon tentang 'penampungan', jelas bahwa dia akan meninggalkan Tokyo untuk menjauhi masalah ini sampai pengadilan keluarganya selesai.
Bukan hanya Law, Corazon menyadari ekspresi sedih serta perasaan bersalah teman-temannya. Karena itulah dia berujar lagi, "Tenanglah. Aku sudah tahu risiko ini begitu aku setuju bekerja sama dengan kalian. Keputusanku sudah bulat,"
Sabo masih tertunduk. Dia tak berani melihat pemuda tersebut berkat ketidakberdayaannya, "...Maafkan aku, Corazon. Kami hanya mampu mengeluarkanmu dari penjara, tapi agak sulit menutup opini orang-orang tentang keluarga kalian,"
"Aku akan minta keluargaku untuk—" kata-kata Ace segera dipotong oleh Law.
"Hei, sudahlah. Kau dengar sendiri katanya, 'kan? Kalau baginya sudah cukup, maka cukup. Pindah sekolah itu bukan hal mengerikan," ucapnya mencoba bersikap bijak. Selain itu, dia percaya bahwa apapun keputusan Corazon, itu pastilah yang terbaik. Pemuda itu selalu memikirkan segala kemungkinan sebelum menarik kesimpulan. Persahabatan hampir satu dekade dapat menjamin hal itu.
Disisi lain, Corazon menyadari air muka Kuina tak berubah. Masih tersirat perasaan betapa dia tak mampu berusaha lebih keras supaya dirinya terhindar dari masalah ini. Saudara Doflamingo ini pun tersenyum simpul. Mungkin dia harus mengatakan sesuatu lagi agar awan mendung yang menguasai hati gadis itu dapat pergi.
"Hanya sampai menyelesaikan SMA-ku. Setelah itu aku akan kembali ke Tokyo untuk melihat wajah jelekmu, Kuina."
Tidak. Penulis tarik lagi kata-kata tadi. Apanya yang mengusir awan mendung? Justru awan mendung itu berubah menjadi awan badai. Bahkan sudah dihiasi oleh petir-petir yang menggelegar dimana-mana.
Tahu bahwa Kuina masuk mode beserk, Ace yang duduk di kursi kemudi cuma bisa pasang tampang datar walau dari tadi keringat dingin telah bercucuran. Yah, kali aja Kuina langsung menerkam Corazon dengan ganas dari kursi depan, lalu terjadilah bloody scene, dan akhirnya Ace harus putar balik ke kantor polisi demi menjadi saksi kasus pembunuhan.
"Corazon, tolong jangan mengatakan hal tidak perlu. Kau ingin ada pembantaian berdarah di mobilku, hah?" sahut Ace was-was sambil melirik senyum iblis baba yaga disampingnya, "Dan kau, Sabo. Jangan coba-coba memutar lagu opening battle scene disini atau aku harus melemparmu secara barbar ke trotoar," lanjutnya lagi melototi Sabo yang bisa-bisanya menggila di saat tidak tepat.
Bocah sinting itu sedang menjulurkan tangannya untuk menekan tombol MP3 Player. Tampaknya dia terinspirasi Robin waktu itu.
Sabo yang tertangkap basah hanya cengar-cengir tanpa merasa bersalah. Ck ck ck ck.
...*_*/9_9...
...0_0/^_0...
.
.
Tidak terasa lima hari telah berlalu sejak Donquixote Corazon dibebaskan. Segalanya berjalan normal sejak itu. Tidak, mungkin terlalu normal dan terlalu indah pula.
Segala bukti tentang sisi gelap keluarga Donquixote telah terkumpul sejak dua hari lalu. Berbagai cara dilakukan oleh keluarga Monkey dan koleganya demi bisa mendapatkan segala hal demi menjatuhkan lawan. Tidak butuh waktu lama bagi pengadilan kota Tokyo memanggil seluruh tersangka, perwakilan korban, dan para saksi. Koran ibukota negara tersebut mungkin sebentar lagi akan menerbitkan judul menarik tentang ini.
Festival sekolah seluruh SMA di Tokyo memang sudah berakhir lama, namun festival itu diklaim menjadi festival kota paling sukses dalam 15 tahun terakhir. Hancock dan Luffy menjadi wakil dari tiap sekolah penyelenggara dalam penerimaan penghargaan dari walikota.
Berkat hal-hal berisik di sekitar TG dan HAS, siapa sangka dojo keluarga Kuina naik daun? Sejak klarifikasi Dragon tentang bantuan Kuina pada hancurnya Shichibukai selain dari Angels, Five Princes, serta para anak angkat Jenderal Shirohige, Kuina semakin dikenal di antara perguruan kendo. Cukup banyak orang menjadi murid baru di perguruan Ayahnya. Gadis ini sampai meminta bantuan Zoro untuk mengurus administrasi selama empat hari terakhir.
Ah, bicara soal 'bantuan', Jenderal Shirohige memotong setengah uang bulanan Marco dan kawan-kawan yang notabene membantu Luffy dan kelompoknya dalam tawuran tanpa sepengetahuannya. Ace dan Sabo terpaksa membantu keuangan sobat kita ini karena dia datang ke rumah mereka sembari banjir air mata darah berkat jatuh ke dalam garis kemiskinan.
Supernova semakin solid. Berterimakasihlah pada klarifikasi Dragon di konferensi pers sehingga cap buruk mereka dicabut oleh masyarakat. Sekarang mereka sibuk bersih-bersih. Tentunya makna 'bersih-bersih' disini bukanlah menjadi anak baik yang rela menyapu taman kota tanpa dibayar. Ini berhubungan dengan sisa-sisa Shichibukai. Sejak geng motor itu bubar, Kid membawa seluruh anggotanya ke setiap sudut kota. Mencari geng-geng preman yang berhubungan dengan geng motor tersebut lalu menghancurkannya.
Seluruh anggota?
Tidak juga.
"Hei, kau, bocah bermulut karet. Aku ingin memberitahumu sesuatu. Saudara Doffy sialan itu mengorbankan dirinya demi kalian. Dia akan tinggal bersama keluarga sepupu jauhnya di Nagoya. Kudengar dia juga akan melanjutkan sekolah di kota itu," ujar Bonney terdengar begitu lepas tatkala mengatakan informasi cukup penting. Mengatakannya tanpa melirik Luffy sedikitpun karena asyik membaca majalah fashion.
Ya. Gadis ini tidak mau repot-repot membersihkan sampah bersama teman-temannya sekarang. Sesekali mengambil libur. Dia muak terus berkelahi. Namun entah kenapa pilihan lokasi liburnya adalah rumah Luffy. Sore hari indah di rumah mewah tersebut dimana Luffy sedang menikmati waktu berduanya bersama Hancock jadi sedikit terganggu. Perempuan yang berperilaku sangar hampir sama dengan Kuina itu tidak datang untuk menikmati secangkir teh chamomile dan dinginnya AC, 'kan?
Disisi lain, Luffy tak menyangka bahwa pengorbanan memang harus terjadi berkat tawuran mereka. Berita yang disampaikan Bonney cukup mengagetkannya sampai keripik kentang di tangannya berhenti tepat di depan mulutnya.
"Jadi, Corazon benar-benar akan pindah sekolah?"tanyanya cukup terkejut.
Bonney membalas enteng, "Setidaknya begitulah kata Kid padaku. Tampaknya dia diberitahu Kakakmu soal ini,"
Mulut Luffy membentuk huruf 'o'. Keripik kentang yang sempat berhenti kembali lancar masuk ke dalam mulut karetnya.
Yah, setidaknya itu tak berlaku bagi seseorang.
"...Ini salahku,"
Seketika Luffy dan Bonney menoleh pada sumber suara.
Hancock.
Gadis itu duduk di kursi anyaman. Kedua tangannya meremas ujung pakaiannya. Wajahnya tertunduk lesu. Sungguh, dia tak berpikir bahwa karena kesalahan bodohnya dimana dirinya mengofrontasi Doflamingo, semuanya berakhir begini.
Sebelah alis Bonney terangkat, "Hah?"
"Seandainya aku tidak menantang Doflamingo... seandainya aku menerima permintaannya saja..."
"Kau bicara apa, Hancock? Dari awal ini memang salahnya. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri," sahut Luffy tidak suka pada pernyataan sang kekasih. Kenapa pula gadis itu asyik merutuki dirinya?
"Aku setuju," ucap Bonney sambil menutup majalahnya, "Kalau bukan karena kau, kita tidak bisa menyelamatkan budak-budak mereka yang disembunyikan di ruang bawah tanah di setiap mansion mereka. Dan kalau bukan karena bantuan Ace, Sabo, Marco, Kuina, dan Supernova kami, kita pasti sudah tamat."
Hancock terdiam memikirkan semua kata-kata itu.
Gusar melihat Hancock membisu, Bonney pun melanjutkan, "Terkadang kesalahan bisa mendatangkan hal baik, Hancock. Seharusnya para budak itu berterima kasih padamu karena akhirnya mereka bisa bebas. Benar, 'kan?"
Baiklah, sejujurnya perasaan Hancock sedikit lebih baik. Terlihat dari senyum tipis yang dia tunjukkan. Beruntung Luffy bukan tipikal para pria yang akan langsung jatuh pingsan diiringi mimisan hebat. Jadi dia mampu membalas senyum tipis itu dengan cengiran lebarnya. Lain cerita jika kita bicara soal Bonney. Gadis itu mati-matian menahan darah melewati lubang hidungnya saking terpesona pada senyum Hancock. Tidak lucu 'kan jika dia jatuh ngegubrak dari kursinya karena kaum gender yang sama dengannya?
Hiraukan Bonney dan tingkah abstraknya.
Hancock meraih ponselnya dari saku. Mengecek jika ponselnya menerima pesan tanpa dia sadari. Yah, pesan-pesan yang seharusnya datang dari tadi karena Hancock mengundang Angels datang ke rumah Luffy. Gadis ini berniat mengadakan pesta barbekyu. Sehingga dia membutuhkan bantuan teman-temannya.
Namun terjadi hal aneh. Tumben sekali Angels tidak menjawab pesan sang ketua. Apa mereka sibuk?
"Omong-omong, Luffy..." ucap Hancock masih sibuk dengan sang ponsel.
"Hm?"
"Apa kau tahu dimana yang lain? Mereka tidak menjawab pesanku. Aneh sekali. Padahal aku ingin mengadakan pesta barbekyu untuk kelompok kita,"
"Kencan."
...
...
Eh, tunggu. Bonney bilang apa?
Kencan?
Hancock langsung menoleh padanya kemudian melempar melotot horor seolah mengatakan 'WOTDEHEL!?'.
"Kencan!?" teriak model SMA tercantik se-Tokyo ini.
"Makanya jangan terlalu fokus berduaan dengan si mulut karet ini, nona. Lihat, kau bahkan tak tahu kalau anggotamu sudah punya pasangan masing-masing," ujar Bonney menunjuk Luffy yang asyik mengupil (lagi).
"Darimana kau tahu itu?"
"Sumber informasiku dapat dipercaya. Kau tak perlu tahu siapa itu," yup, benar sekali, Bonney. Kalau kita membicarakan tentang target pasangan mak comblang, maka seekor dugong air payau(?) di suatu tempat nun jauh disana adalah satu-satunya gudang intel paling wahid.
"Maksudmu?"
"Zoro sedang berkencan dengan Robin."
.
Di waktu bersamaan
Di Toho Cinemas Shinjuku...
.
Layaknya pasangan kencan perkotaan pada umumnya, bioskop menjadi salah satu spot kencan terbaik. Tidak percuma Zoro berguru pada Mahaguru persilatan cinta—well, you know who—demi mempersiapkan hari ini. Tapi tak dipungkiri dia kebingungan memilih judul film. Walhasil, cap-cip-cup menjadi solusi dan akhirnya keputusan jatuh pada film Hereditary.
Maka disinilah mereka. Duduk berdampingan dalam diam, menikmati popcorn, dan dua cup cola. Namun sisipkan hal aneh, saudara-saudara. Biasanya saat pasangan sedang berkencan di bioskop, maka setidaknya salah satunya akan ketakutan. Tapi kenapa situasi di antara mereka berdua baik-baik saja?
"Apa tidak cukup seram bagimu?" tanya Robin dengan nada berbisik.
"Tidak. Aku bukan pengecut seperti Usopp," balas Zoro kalem. Yah, dia benar juga. Jika Usopp disini, pasti bocah hidung panjang itu bakal meringkuk sembari menutupi wajahnya dengan pakaiannya selama film berlangsung, "Bagaimana denganmu sendiri?" bukan hanya Robin, Zoro juga bingung kenapa Robin tidak takut sedikitpun. Apa jangan-jangan gadis ini lebih berani dari kelihatannya?
"Tidak juga," Robin memasukkan popcorn ke dalam mulutnya, "Kau tidak berpikir aku akan memelukmu erat-erat seperti pasangan lain, 'kan?" sial. Meskipun di bioskop cukup gelap, Zoro bisa melihat cengiran menggoda itu.
"A-aku tak pernah berpikir begi—"
Zoro menghentikan kata-katanya tatkala Robin memeluk erat lengan Zoro layaknya sedang menonton film romantis. Mulut bocah itu tertutup rapat. Matanya berkedip-kedip melihat perubahan sikap Robin. Namun dia memilih membiarkannya. Pandangannya kembali ke layar walau jantungnya sedang maraton 1000 km.
Melihat ekspresi tegang Zoro, Robin hanya tersenyum simpul.
Ternyata seorang Roronoa bisa kikuk juga.
.
Sudut mata Hancock naik-turun. Seakan menolak fakta bahwa wakilnya bisa-bisanya menghabiskan waktu bersama seekor Zoro. Menghiraukan rasa kesalnya karena tidak diberitahu sedikitpun, dia pun bertanya pada Bonney lagi.
"Nami?"please, jangan katakan kalau bocah itu juga sama.
Sayang sekali, Hancock. Harapanmu pupus berkat sabda Bonney, "Katanya dia sedang pergi entah kemana dengan si mesum akut tak tahu malu itu."
.
Sementara itu, di salah satu toko pakaian di pinggir jalan utama Shibuya…
.
Pasangan mesum dan mata duitan sedang asyik memilih pakaian renang berdua. Yah, Sanji mengajaknya menikmati angin laut dan sentuhan pasir pantai di akhir pekan nanti. Nami pun kebingungan memilih pakaian renang yang harus dia kenakan hingga akhirnya dia memutuskan meminta Sanji membelinya di Shibuya. Sayangnya dia menemukan masalah.
Dari tadi bocah pirang cabul itu selalu memberikan pendapat positif pada setiap pakaian renang yang dia kenakan. Sudah begitu reaksinya lebay sekali. Kedua matanya malah berubah jadi love-love dan menari-nari tidak jelas. Sempat sesaat dia tidak mau mengakuinya sebagai pacar ketika perhatian banyak orang tertuju pada mereka.
Ambil contoh pada Nami yang saat ini memakai bikini bercorak zebra. Begitu dia keluar dari kamar ganti dan menunjukkannya pada Sanji, pemuda tidak waras itu lagi-lagi menggila.
"Kau seksi sekali, Nami-swaaaaann~!" hidung Sanji kembang kempis, menghembuskan napas bahagia sekaligus nafsu melihat Nami dalam kondisi two-piece.
"O-oh, ya?" Nami tidak langsung percaya. Gadis ini pun beralih pada bikini hitam polos yang dia gantung pada pengait di dekat pintu kamar ganti, "Kalau yang ini?" tanyanya mulai curiga. Dia berani menjamin pemuda di depannya ini pasti mengutarakan kalimat pujian yang membuatnya makin bingung memilih yang mana.
"Bagus! Baaaaggguuusss sekali untukmu!"
Lihat. Benar, 'kan? Bocah itu benar-benar tidak cocok jadi kritikus.
"Kenapa dari tadi komentarmu selalu positif? Pasti ada model yang tak cocok untukku, 'kan?"
"Apapun pakaiannya, selalu cocok untukmu, Nami-san! Mellorine~! Mellorine~!" kembali dia menari-nari keliling layaknya langganan rumah sakit jiwa keluarga Monkey lepas dari kandang.
Nami? Dia hanya mampu sweatdrop.
Yah, mungkin sebenarnya Sanji memang mengatakan sebenarnya, 'kan? Bukankah itu yang selalu dikatakan semua orang?
Cinta dapat membuat orang jenius menjadi bodoh dan orang bodoh menjadi semakin bodoh. Otak tengkurap malah.
.
Bonney langsung mengulurkan tangannya ke depan seolah mengatakan 'tahan dulu' pada Hancock yang masih menggebu-gebu bertanya. Yah, lagipula Bonney sudah tahu apa yang ingin ditanyakan gadis itu.
"Dan kalau kau mau tanya soal Kaya, dia sedang bersama si hidung panjang," ujar Bonney lagi.
.
Mari kita mengalihkan pandangan pada taman kota Distrik 4, Yoyogi.
.
Intel Kuina memang tidak perlu diragukan. Benar saja. Ternyata Kaya dan Usopp asyik duduk di kursi taman di bawah pohon oak. Jika kalian bertanya ada gerangan apa pasangan bodoh ini berada di tempat seperti itu, maka jawabannya adalah karena Kaya meminta Usopp menemaninya membeli buku-buku kesehatan semenjak gadis itu ingin berprofesi sebagai dokter.
Panas mentari cukup terik untuk ukuran sore hari. Mungkin itulah penyebabnya mengapa mereka memilih duduk bersantai di taman kota setelah selesai membeli buku-buku yang sudah pasti membuat otak Usopp berkerut. Dan untuk memeriahkan aktivitas jalan-jalan mereka, Usopp mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai pendongeng ulung.
"Lalu aku menghajar Crocodile dengan tinju mautku! BUGH! Seperti itu!" bocah ini tidak bosan-bosannya berbohong. Berlagak seolah dirinya adalah Kouza yang memberi serangan terakhir pada croco-boy. Benar-benar tidak berubah. Ck ck ck ck.
Kaya juga sama saja. Terkadang Penulis heran mengapa gadis ini menerima mentah-mentah informasi konyol begitu.
"Benarkah? Keren sekali!" begini katanya terpukau. Otomatis hidung Usopp semakin panjang.
"Hm hm~! Itu belum seberapa, Kaya! Aku akan menceritakan kisah kejantananku ketika mengalahkan semua pengawal pribadi Doflamingo!"
Sudahlah. Lupakan saja mereka. Lagipula Penulis yakin kalian juga muak mendengar kisah tolol dari mulut Usopp.
.
Oke. Tiga pasangan sudah resmi tampaknya, huh? Tanpa memberitahu ketua sama sekali, huh?
"Biar kutebak. Vivi dengan Kouza?" Hancock langsung pasang wajah malas. Berpikir bahwa pertanyannya pasti akan dijawab 'ya', namun justru sebaliknya.
"Hah? Tidak, tuh," balas Bonney.
Hancock mendelik, "Eh? Aku salah, ya?"
"Bukan. Mereka mungkin sedang bersama saat ini, tapi mereka tidak berkencan."
.
Kali ini kita terbang ke kediaman Keluarga Nefertari...
.
Katakan ini adalah keunikan di antara keajaiban. Sementara keempat temannya telah memiliki pasangan kencan masing-masing, Vivi tidak memiliki sedikitpun keinginan (setidaknya untuk sekarang) mengencani sahabatnya sendiri. Kouza juga (mungkin?) berpikir demikian. Maka, disinilah mereka. Menghabiskan sore hari sepulang sekolah dengan bermain catur di teras depan rumah Vivi.
Tak! Ratu Vivi berhasil menjepit Raja Kouza. Tidak ada bala bantuan, tidak ada jalan kabur. Benteng dan kuda tidak dapat bergerak. Kouza pun tak berkutik. Akhirnya pemuda itu langsung menunduk lesu sementara gadis di depannya bersorak kemenangan.
"Yeeeeeehhaaaaa! Aku menang lagi!"
"GAAAAHH! Sialan!" Kouza garuk-garuk kepala stres,
"Kau lemah sekali, kawan~"
"Cerewet! Ini masih baru dimulai!"
"Kau sadar kalau kau terus kalah dari tadi, 'kan?"
Keceriaan di kala mentari menikmati waktunya sebentar lagi sebelum diganti rembulan tersebut, tanpa mereka sadari kepala keluarga Nefertari, Nefertari Cobra keluar dari ruang utama bersama Igaram. Kesibukan sebagai salah satu keluarga konglomerat di ibukota tiak membuatnya memiliki waktu luang di sore indah ini.
Namun Tuan Cobra sejenak menghentikan langkahnya, melempar pandangan pada putrid semata wayangnya tenggelam dalam kegiatannya mengalahkan Kouza dengan menggerakkan berbagai bidak tersebut. Igaram disampingnya pun juga ikut berhenti dan menoleh ke arah yang sama.
"Kouza datang lagi?" jangan salahkan Tuan Cobra bertanya begini. Maklum, dia bingung pada Kouza yang datang hampir setiap hari. Sudah seperti tamu tidak diundang. Untung saja bocah itu berteman dengan putrinya sejak kecil. Jika tidak mungkin Igaram dan pasukannya sudah mendepaknya jauh-jauh.
"Nona Vivi mengundang Kouza bermain catur, Tuan Cobra. Katanya untuk membalaskan dendamnya kalah bermain bulu tangkis beberapa hari lalu,"
Ada jeda sejenak tercipta di antara kedua pria tua tersebut meski pandangan mereka masih terpaku pada Vivi yang tertawa lepas dan Kouza yang masuk mode setan.
Hingga kemudian Tuan Cobra berceletuk.
"Mereka akrab sekali. Apa perlu kujodohkan saja, ya?"
.
Mari Penulis mengajak kalian kembali ke tempat kejadian perkara utama...
.
.
Hancock berhasil mendapatkan gambaran jelas tentang situasi di antara anggota Angels lainnya. Yah, sepertinya pesta barbekyu harus ditunda malam ini.
"Lalu bagaimana denganmu?" serius, Hancock. Kau benar-benar menanyakan sesuatu yang membuat Bonney melempar tampang tersinggung padamu?
"...Permisi?" nada Bonney naik satu level.
"Kau tidak mengencani ketuamu sendiri, 'kan?"
Demi mimpi Sabo yang berharap seekor(?) Dadan turun berat badan 50 kg, Bonney barusan mendengar apa?
Dia? Mengencani Kid? Tidak salah, tuh? Kid dari semua orang?
"Aku tidak sebuta itu sampai berkencan dengan si jelek, menyusahkan, menyebalkan, dan pencipta maksiat sepertinya," percayalah, Kid pasti bersin di ujung dunia sana. Berpikir bahwa banyak gadis sedang memuja-muja dirinya, nyatanya tidak.
Bicara soal Kid, Bonney merasakan ponselnya bergetar tanda pesan masuk. Dan setelah dicek, itu pesan dari Kid sendiri. Orang yang dia sebut... err... pokoknya manusia yang tidak memiliki kualitas apapun.
.
From: Ketua Paling Tidak Berguna Di Dunia
Time : 16.32 P.M
Subject : SOS
Bonney, kau dimana sekarang? Cepat kembali ke markas! Aku butuh bantuanmu! Kita masih harus menghancurkan geng-geng yang bekerja sama dengan Shichibukai!
.
Astaga. Haruskah hari liburnya berakhir secepat ini?
"Baiklah, aku undur diri. Ada urusan," buru-buru Bonney meletakkan majalah fashion Hancock ke meja di dekatnya. Setelah mengambil jaket hitamnya, gadis barbar itu melangkah cepat-cepat meninggalkan rumah Luffy.
"Kau mau kemana?" tanya Luffy mengerutkan dahi melihat Bonney malah pergi setelah menerima pesan entah dari siapa.
Bonney mengangkat tangan kanannya. Memberi salam perpisahan sekaligus lambaian, "Ada panggilan, bocah monyet. Terima kasih atas majalah dan minumannya. Sampai jumpa!"
Gadis itu pun menghilang dari pandangan. Tinggal lah Luffy dan Hancock berdua di ruangan besar tersebut.
Luffy menoleh pada gadis disampingnya yang masih melongo menyaksikan Bonney datang dan pergi seenaknya. Cengiran andalannya muncul, disusul tawa khasnya yang tak pernah gagal menghangatkan hati gadis di sampingnya. Perlahan pemuda ini merangkul pundak Hancock sehingga mau tidak mau gadis ini menoleh. Menunjukkan tautan alisnya seolah tak mengerti kenapa Luffy tiba-tiba merangkulnya.
"Luffy?"
"Apa kubilang? Semua akan baik-baik saja! Shi shi shi shi!"
Oh.
Jadi itu maksudnya?
Benar juga. Dulu pemuda ini pernah menjanjikan hal itu padanya. Bahwa dia akan menyelesaikan semua masalah serta mengatakan segalanya pasti akan berakhir baik. Sejujurnya sulit bagi Hancock mempercayai kata-kata laki-laki, namun Luffy terlalu spesial. Pemilik wajah bodoh itu tidak pernah gagal menepati janji yang dia ciptakan.
Huh. Nikmat apa yang perlu kau dustakan, Hancock?
Shichibukai berakhir.
Tugas festival berakhir.
Bisnis keluarga kembali normal.
Memiliki kekasih pun terpenuhi.
Sederhana. Namun bahagia.
Sangat jarang ketua Angels menunjukkan sisi malaikatnya di depan orang lain mengingat banyak hal menyebalkan terjadi. Dia harus bersyukur proyek festival mempertemukannya pada satu hal yang selalu dia cari. Hancock tak memerlukan waktu bertahun-tahun untuk jatuh cinta seperti dalam drama kesukaan teman-temannya.
Perlahan senyumnya mengembang. Dia berikan ekspresi penuh ketulusan hati itu hanya untuk Luffy. Dia harus memberitahu pemuda itu betapa bahagianya dia sekarang.
"Terima kasih, Luffy," ujarnya pelan sebelum memberikan ciuman pada pipinya.
Luffy sejenak bengong merasakan sentuhan bibir lembut itu di pipinya. Namun setelahnya tawa Monkey bungsu pun menghiasi waktu berdua mereka. Mendengar tawa itu, Hancock tidak bisa menahan diri untuk melemparkan dirinya ke dalam pelukan Luffy.
Pernah mendengar ungkapan 'saat jatuh cinta, dunia serasa milik berdua'?
Mungkin kalian bisa menyisipkan ungkapan itu disini karena kedua insan tersebut tidak mengetahui bahwa kedua saudaranya melihat dan mendengar semuanya dari tangga lantai dua.
Ace juga Sabo berdiri disana. Bersandar pada selusur tangga sambil tersenyum.
Tersenyum?
Ah, tepatnya hanya Sabo tersenyum sementara Ace malah banjir air mata. Bukan karena terharu tentunya. Melainkan merasakan hujaman pisau tak terhitung pada jantungnya melihat pasangan-pasangan kasmaran mengumbar kemesraan. Entah itu Zoro atau adiknya sendiri. Tunggu, dia tak berencana lompat dari lantai dua karena miris pada kejombloannya, 'kan?
Kalian tanya reaksi Sabo?
Bocah itu cuma pasang tampang datar. Sedatar ketika dirinya menghina Kuina seenak jidat.
Oh, ya. Bicara soal gadis itu, Marco mengirimkan pesan padanya pagi ini.
.
From: Marco-yoi
Time : 09.17 A.M
Subject : Kau sudah gila, sobat
Um, Sabo. Aku ingin jujur padamu. Mungkin kau merasakan keanehan kenapa ada bekas telapak sepatu pada sampul diari konyolmu itu, tapi harus kukatakan kalau Kuina mencurinya dari kamarmu. Katanya sih karena dia berpikir kau akan menulis kriteria perempuan idaman Luffy disana. Tapi setelah kami membacanya, aku harus katakan dia hanya buang-buang waktu mengambil diarimu. Seriously, yoi.
.
Oh, begitu rupanya?
Jadi itu alasan mengapa dia menemukan buku diarinya yang seharusnya di dalam laci meja belajar malah berada di atas meja? Itu alasan mengapa diarinya lecek dan ada bekas bukti aksi pelecehan(?) di sampulnya?
Kuina keparat itu! Beraninya dia masuk ke kamarnya tanpa izin, apalagi sampai mencuri!
Yup, awalnya Sabo ingin menyusun rencana pembunuhan untuknya. Namun masalahnya adalah pada pesan Marco tepat di bawah paragraf pertama.
.
Dan bicara soal diari, aku membaca sesuatu entah di halaman berapa. Harus kukatakan, Sabo... kau masih waras bukan, yoi?
Kenapa kau menulis begini:
'Meskipun kutil badak sialan itu selalu suka memerintahku kemana-mana dan tentunya aku juga sering menolak, tapi tak pernah sekalipun aku memutuskan hubunganku dengannya. Malahan aku tersenyum sendiri melihatnya begitu antusias menolong Adikku dan teman-temannya melawan Shichibukai ataupun momen-momen sebelum dua kelompok itu bertemu. Kalian pasti tidak percaya soal ini karena aku juga sama.'
'Aku merasa nyaman di dekatnya. Aneh, 'kan? Ibu peri, apa yang terjadi padaku? Kenapa bisa aku yang menginginkan pacar ini suka menghabiskan waktu bersama spesies Jadoo dari film India itu walau aku terkadang menjadi karung beras dadakan karena selalu diseret kemanapun dia pergi? Ibu peri baik hati, tolong berikan pencerahan!'
Jangan tanya kenapa aku bisa hapal betul kalimat ini, Sabo. Aku sempat memotret isi halaman itu. Alasan aku tak pernah menyinggung ini adalah karena masalah kita dan Shichibukai. Maka, ini adalah kesempatanku bertanya padamu.
Kau... jangan-jangan...
Tanpa sadar menyukai Kuina?
.
Marco sialan.
Apa-apaan hipotesisnya itu? Dirinya menyukai Kuina? Yang benar saja!
Jatuh cinta pada Kuina adalah kesalahan besar! Kenapa pula dia harus menyukai gadis yang spesiesnya tidak jauh beda dari dugong air tawar itu? Membuatnya bad mood saja.
Tapi... masa', sih? Apa mungkin hal aneh yang dia rasakan sampai menulisnya di diari adalah...
AAARGHHH! SABO TIDAK MENGERTIIIII!
Melihat Sabo mendadak mencengkeram rambutnya sembari melotot ke langit-langit, gantian Ace yang sweatdrop. Perlukah dirinya memanggil psikiater pribadi keluarganya sebelum Sabo menabrak pembatas perikenormalan?
Uh-huh. Sepertinya daripada semua sangkaan tentang Angels dan Five Princes bersatu, mungkin tidak ada satupun mengira bahwa terjadi satu insiden besar di dalam tim mak comblang itu sendiri.
Akankah kita mengetahui jawabannya?
Hanya Sabo yang tahu.
.
.
GIRLS ARE BETTER THAN BOYS...
THE END
.
.
Author's note: Angkat gelas kalian bersama Penulis, para pembaca! Mari bersulang!
Terima kasih, semuanya! Penulis akhirnya bisa menutup fanfic ini di chapter ini. Semua saran, dukungan dan segalanya, Penulis tak mampu berkata-kata lagi, kalian benar-benar pembaca yang luar biasa! Penulis tahu bahwa Penulis lama update, namun tolong maklumi. Masuk ke dunia pekerjaan membuat Penulis hanya bisa mengetik di sela waktu luang.
Nah, jadi apa fanfic baru LuHan dan kawan-kawan yang akan Penulis buat? Mari berharap semoga idenya bagus,
Akhir kata, sampai jumpa di fanfic kita selanjutnya!
THANKS A LOT, MINNA-SAN ^_^!
