Mungkin mereka sudah mencapai titik jenuh dan butuh lebih banyak ruang untuk diri sendiri. Dalam hal ini katakanlah sebuah jarak. Atau mungkin itu hanya terjadi pada Chanyeol saja?
Drama, (heavy) angst, major character death.
Aku tidak tahu dari mana semua ini bermula. Lebih tepatnya jarak yang tercipta di antara kami. Aku dan Chanyeol nyaris tak terpisahkan selama lebih dari 13 tahun. Tapi di sinilah kami sekarang.
Kami bertemu setiap hari. Saling menatap wajah satu sama lain setidaknya 2 kali, yakni saat sarapan dan makan malam. Itu adalah saat-saat yang paling tidak bisa dihindarkan. Chanyeol tidak suka sarapan. Tapi kopi paginya tak pernah terlewat. Ia tidak suka membeli di tempat lain. Sebab rasanya tak senikmat buatan sendiri.
Ya. Chanyeol selalu melakukan semuanya sendirian. Ia tak pernah membiarkanku mengurusnya.
Kegiatan rutinnya di pagi hari adalah mandi selama setengah jam. Itu yang paling cepat. Kemudian ia akan menggiling kopi sambil menonton berita. Lalu ia akan menyeduh kopinya dan minum di meja makan, menemaniku yang selalu tak pernah melewatkan sarapan. Terkadang ia akan minta sesuap makanan apa pun yang kusiapkan, namun lebih seringnya melirik pun tidak. Sebab kopi saja menurutnya sudah cukup. Tapi ada yang tak pernah terlewat. Yakni obrolan kecil kami di pagi hari.
Sama seperti yang kami lakukan saat malam tiba. Obrolan ringan seputar apa yang kami lakukan hari itu tak pernah absen.
Chanyeol tidak suka makan di luar. Jika tidak terpaksa, ia tidak akan mau melakukannya. Chanyeol lebih senang makan di rumah, meski masakanku tak begitu sedap. Kami akan mengobrol sambil bertukar keluh kesah, yang sebenarnya, lebih banyak aku lakukan ketimbang dia. Tapi dia tak pernah bosan mendengarnya setiap hari, mengingat pekerjaanku yang memang memiliki beban mental cukup besar. Chanyeol selalu sabar.
Entah apa yang membuat kami jadi seperti ini.
Mungkin kami sudah mencapai titik jenuh dan butuh lebih banyak ruang untuk diri sendiri. Dalam hal ini katakanlah sebuah jarak. Atau mungkin itu hanya terjadi pada Chanyeol? Aku tidak tahu. Yang jelas kami jadi semakin jauh dari waktu ke waktu.
Belakangan ini momen spesial bagi kami berdua hanya terjadi sebanyak 2 kali. Yakni pada ulang tahunku dan ulang tahunnya. Itu pun hanya diisi dengan ucapan selamat ulang tahun saja. Tidak ada perayaan. Tidak ada kue. Tidak ada hadiah.
Jangan bahas soal anniversary pernikahan. Karena itu sudah lama terlupakan.
Chanyeol bilang kami terlalu tua untuk semua itu.
Yang mana baru kusadari kebenarannya.
Aku paling tidak suka jika seseorang merayakan ulang tahunku. Jadi aku juga tidak pernah merayakan ulang tahun untuk orang lain. Pengecualian bagi Chanyeol. Karena dia adalah separuh hidupku. Dan aku selalu ingin memberikan yang terbaik untuknya. Tapi aku tidak suka tiap kali dia membalas kebaikanku tersebut dengan memberikan perayaan ulang tahun yang berlebihan. Selalu ada kue, lilin, kado, wine, juga menu makan malam di restoran mewah. Aku tidak suka.
Hingga pada suatu hari aku berhenti melakukannya.
Aku tidak lagi merayakan ulang tahun Chanyeol karena tidak ingin dia melalukan hal-hal yang tak kusukai saat aku ulang tahun. Hanya ada ucapan selamat di pagi hari dan sex hebat di malam hari. Chanyeol bilang dia merasa cukup hanya dengan itu. Karena perayaan ulang tahun hanya dilakukan untuk anak-anak. Kami terlalu tua untuk melakukannya.
Seketika aku pun menyadari.
Mungkin selama ini Chanyeol tak pernah ingin merayakan ulang tahun siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Dan semua yang dia lakukan untukku, itu hanya karena perasaan berutang saja. Bukan semata-mata ingin membuatku bahagia.
Jadi di sanalah kami benar-benar berhenti melakukannya.
Hanya ada ucapan. Namun tidak lagi ada sex hebat. Karena sex bisa dilakukan kapan saja. Usia kami yang semakin bertambah membuat tubuh kami cepat lelah. Karenanya momen ulang tahun yang jatuhnya tidak tepat, terkadang membuat kami terpaksa melewatkan sex yang biasa dilakukan.
Apakah itu masalahnya?
Aku tidak dapat menyimpulkan. Karena ada segudang masalah lain yang bisa menjadi penyebab renggangnya hubungan kami.
Kini aku seperti tinggal bersama orang asing.
Chanyeol masih melakukan kegiatan rutinnya menggiling kopi di pagi hari. Tapi ia tidak lagi meminumnya di meja makan, melainkan menuangnya langsung pada cup yang sengaja ia beli agar bisa dibawa ke kantor. Malam hari juga kami jarang makan bersama karena aku yang mudah kelelahan sudah tak sanggup menungguinya pulang kerja. Kami jadi seperti berada pada dunia masing-masing. Tinggal satu atap, tidur di tempat yang sama, namun seolah tak bersama.
Jarak yang terbentang terlalu luas dan tidak dapat dikikis meski aku sudah berusaha semampuku. Karena hanya aku sendirian yang berusaha, sementara Chanyeol tidak. Ia seperti diam saja di tempat. Namun sebenarnya tengah menjauh perlahan, melepas apa yang dulu kami punya.
Yakni cinta.
Aku tidak tahu apa yang salah. Dan aku lelah mencari tahu sendirian. Jadi kuputuskan untuk mengonfrontasi Chanyeol dengan melalukan tindakan yang tidak biasa. Lebih tepatnya sesuatu yang sudah jarang aku lakukan.
Aku menata meja makan. Menyiapkan masakan yang lezat, lalu membuka kue yang kubeli dalam perjalanan pulang. Lilin juga sudah siap. Tinggal kunyalakan saat Chanyeol menekan password apart.
Ini adalah hari ulang tahunnya. Dan aku ingin merayakannya kembali setelah sekian lama.
Saat kutengok jam di dinding, ternyata sudah pukul 11 malam. Tidak biasanya ia belum sampai rumah selarut ini. Tapi karena aku tahu bagaimana Chanyeol, aku tidak pernah menghubunginya jika ia tidak mengabariku sendiri. Karena sesuai apa yang kami sepakati, memberi kabar hanya untuk keadaan darurat saja. Tidak ada kabar, berarti semuanya baik-baik saja.
Kesepakatan konyol ini tidak begitu saja dibuat. Chanyeol yang memaksaku menyetujuinya setelah aku bertingkah seperti orang sinting saat dia telat pulang dan tidak mengabari. Itu karena ponselnya mati. Bukan karena dia tak sudi memberi kabar. Aku pun mau tak mau setuju karena tidak ingin ada keributan lebih jauh.
Kuputuskan menunggu setengah jam lagi. Jika Chanyeol masih belum muncul, aku akan mengiriminya pesan. Untung saja bunyi password yang ditekan terdengar semenit sebelum batas yang kutentukan. Tubuh jangkungnya muncul tak lama kemudian. Dan aku pun sudah siap dengan kejutan kecilku.
"Selamat ulang tahun, suamiku."
Chanyeol tertegun di tempatnya. Matanya sedikit membola. Aku tidak peduli jika ia marah atau menertawaiku setelah ini. Aku akan tetap memaksanya meniup lilin, memotong kue, dan makan bersama di meja makan. Kuhitung sampai tiga, tapi baru sampai dua, tawa Chanyeol yang renyah terdengar.
Kendati dia tidak sedang menertawaiku.
Dia hanya merasa senang.
"Aku terkejut. Tapi terima kasih, suamiku." Ia membalasku dengan sedikit gurauan di dalamnya. Namun aku tahu dia tulus.
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Tiup lilinnya. Lalu kita makan. Kau hanya punya waktu kurang dari 30 menit."
Chanyeol menghampiriku dan menuruti apa yang kupinta. Lilin ditiup. Kemudian ia menghampiriku untuk mendaratkan kecupan di kening.
"Jangan lihat jam terus. Kita punya banyak waktu untuk menghabiskan semua ini."
"Bagaimana bisa? Sebentar lagi hari akan berganti."
"Lalu apa bedanya?" Chanyeol terlihat seperti sudah siap mendebatku, tapi yang kulihat selanjutnya adalah senyum tampan yang membuat lesung pipinya muncul.
Apa-apaan? Huh.
"Dengar, jangan terpaku pada waktu. Kau harus menikmati momen yang terjadi saat ini. Tidak akan ada yang tahu jika itu adalah kali terakhir kau bisa menikmatinya."
Aku tidak suka mendengarnya mendebatku, apalagi saat ia tengah menasihatiku seperti ini. Tapi karena ucapannya terdengar sangat masuk akal, aku akan maafkan.
Hanya untuk hari ini.
"Baiklah. Ayo kita makan."
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, kami dapat duduk kembali bersama dan merayakan ulang tahun secara sederhana.
Selamat ulang tahun, Park Chanyeol.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ponsel berdering, membangunkan Baekhyun dari tidurnya yang nyenyak. Ia membuka mata, menyadari dirinya masih berada di dapur sekarang. Tepatnya ia ketiduran di meja makan.
Setelah menyiapkan makan malam sepulang kerja, Baekhyun kelelahan. Dan menunggu Chanyeol membuatnya tambah lelah. Ia pun tertidur tanpa sadar.
Panggilan datang dari sederet nomor tak dikenal. Ketika mengangkatnya, suara sirine, entah polisi atau ambulance, adalah yang pertama menyapa telinga Baekhyun. Entah mengapa tubuhnya mendadak terasa dingin. Sambil mendengarkan penjelasan seseorang yang berbicara di seberang telepon, Baekhyun mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya saat ia dan Chanyeol meniup lilin, lalu menyantap kue dan makan malam sambil mengobrol seperti biasa.
"Tidak mungkin. Dia sudah pulang. Kami baru selesai-" Pandangan Baekhyun jatuh pada meja makan yang masih terisi penuh oleh cake yang dibelinya serta makan malam yang ia masak sendiri. Seketika kenyataan pahit menghantamnya saat itu juga.
"Di mana? L-lokasinya di... mana?" Suaranya tampak bergetar dan hanya terdengar seperti cicitan.
Setelah mendapat jawabannya, Baekhyun berlari keluar apartement untuk menjemput Chanyeol.
Pria yang menjadi separuh hidupnya.
Yang ia pikir sudah pulang dan baru saja merayakan ulang tahun bersama.
Padahal sebenarnya tidak.
Baekhyun hanya bermimpi. Karena Chanyeol tak pernah pulang ke rumah. Namun pria itu memilih pulang ke pelukan Tuhan.
Dan mungkin dalam perjalanannya, dia mampir ke mimpi Baekhyun untuk menyampaikan pesan.
"Jangan terpaku pada waktu. Tak apa jika kau berduka, tapi kumohon hanya sebentar saja. Setelahnya teruskanlah hidupmu, kemudian bahagia."
A/N :
Special birthday for our giant. So sorry karena ngasih ending yang begini. Yang bikinnya lagi nyaris gila seharian ini.
Lcourage, 281121.
