∞ SAY SOMETHING ∞
Timeline:
Tahun ke-7 setelah perang usai.
Warning : Newbie Author, Sebagian OOC, Typo(s), Absurd, Whatever (-_-)
Disclaimer : J.K Rowling
The Story Owned By Me
-o0o-
"Apa kau sudah membaca Daily Prophet?"
"HEADLINE NEWS!"
"LUCIUS MALFOY MENGUMUMKAN PERTUNANGAN PUTRA TUNGGAL MEREKA DENGAN SEORANG GADIS BERDARAH MURNI JUGA YANG SAAT INI MASIH DISEMBUNYIKAN IDENTITASNYA." [Ket. Pg:02]
"Kau…cemburu?"
"Menurutmu? Apa aku berhak untuk cemburu? Memilikimu saja tidak."
Cemburu?
Cinta?
Pertunangan?
Maaf?
Persetan dengan semuanya!
Tuhan, Merlin atau siapapun. Apakah kalian tengah mencoba mempermainkan fisik dan batinku?
-o0o-
Chapter 07 : Love is…
Suara dentingan lonceng dan nyanyian-nyanyian para paduan suara terdengar dimana-mana menyambut malam natal. Aku menemani Mom berbelanja di supermarket yang tak jauh dari rumah kami.
"Kenapa Mom tak membelinya sekalian saja? Kita jadi harus keluar lagi di malam natal seperti ini." Keluhku kesal sambil mendorong troli.
"Maaf, Dear. Tapi ini karena Dad mu tidak memberitahukan Mom soal rekan-rekan kerjanya yang akan datang ke rumah kita besok." Mom sibuk memilah milih belanjaan sementara aku masih saja mendorong troli tentunya.
"Dear, kenapa temanmu itu tak datang lagi ke rumah?"
"Teman? Harry?"
Mom menggeleng. "Bukan. Teman mu yang berambut pirang dan memiliki nama yang aneh itu. Ah, Mom lupa siapa namanya…tapi dia sangat tampan." Aku berhenti mendorong troli hingga Mom pun ikut menghentikan langkahnya dan menatapku heran.
"Dear?"
"Dia pria sibuk, Mom. Dan dia tak akan datang lagi ke rumah kita."
"Kenapa? Dear, kau tak ingin menceritakan sesuatu pada Mom?"
Insting seorang ibu kembali menerjangku.
"Se-sesuatu apa?" Mom menatapku menyelidik. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Ah, ya. Harry juga akan datang ke rumah kita besok, Mom."
"Benarkah? Kalau gitu baguslah, kau tak akan mengurung dirimu lagi di kamar."
"Mom…" Mom terkekeh geli melihat ekspresi masamku. Aku tak berani keluar kamar dengan mata sembab akibat menangis semalaman, dan di malam-malam berikutnya juga. Setengah mati aku menahan isakanku agar tak terdengar kedua orangtuaku. Sampai baru kusadari betapa bodohnya aku, kenapa aku tak menggunakan muffliato lalu aku pun menangis sejadi-jadinya.
-o0o-
"Harry!" Aku berhambur memeluk pria berkacamata bulat yang sedang cengengesan tak jelas di depanku ini.
"Masuklah…"
"Harry?"
"Merry Christmas Sir, Ma'am." Harry mengeluarkan se-bucket bunga dan kue dari kantongnya yang disambut haru orangtuaku.
Kami menghabiskan waktu berbincang-bincang sejenak setelah makan malam tadi. Mom dan Dad memberikan kami waktu untuk mengobrol berdua saja sampai akhirnya disinilah aku dan Harry duduk di sofa ruang keluarga dengan Harry yang menatapku aneh.
"Harry berhentilah menatapku seperti itu." Sebenarnya aku risih dengan pandangan aneh seperti itu sedari tadi.
"Kau benar-benar tak apa-apa?"
"A-apa maksudmu? Kau sudah melihat keadaanku saat ini, Harry. Aku baik-baik saja dan kalau soal kesehatanku setelah dari Hospital Wings itu, aku juga sudah tak apa-apa." Jelasku panjang lebar karena ia sudah berulang kali menanyakan keadaanku sedari ia mengirimiku surat beberapa hari yang lalu.
Ia tampak menghela napasnya sejenak. "Kalau soal fisikmu, aku juga yakin kalau kau baik-baik saja. Aku menanyakan keadaan hatimu, Hermione."
"Hati?" Apa aku terkena penyakit hati? Hepatitis? Merlin, aku tak berpenyakitan seperti itu.
"Kau sudah membaca Daily Prophet?" Belum sempat aku menjawab ia sudah melanjutkan kalimatnya. "Dari ekspresi wajahmu saat ini aku yakin kau sudah membacanya. Dan aku juga yakin kau tak membaca surat dari Ron karena terlalu shock dengan Headline News itu." Mulutku menganga. Aku lupa. Aku juga lupa membalas surat mereka. Apa Harry marah padaku gara-gara itu?
Atau marah pada sesuatu yang lain?
Aku menggeleng pelan. "Ha-Harry, jika kau marah soal itu aku minta maaf padamu. Aku…lupa."
"Kau ada berkomunikasi dengan Malfoy?" Aku mengernyitkan dahiku.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Jawab saja aku, Hermione." Aku tertegun sesaat.
"Aku tak pernah berkomunikasi dengannya lagi Harry, tapi ia pernah mengunjungi rumahku beberapa hari yang lalu." Jawabku sambil berusaha menutupi ekspresiku.
"Lalu?"
Lalu apa?
Aku berpikir sejenak. "Lalu Mom mengajaknya makan malam bersama karena ia rekan ketua muridku, ia berbincang dengan kedua orangtuaku sebentar…" Aku memainkan jariku. "…lalu denganku."
"Ia tak mengatakan apapun?" Aku menatap mata hijau emerald di depanku ini. Aku harus menjawab apa? Ku selipkan anak rambutku ke belakang telinga untuk menutupi kegugupanku.
"Ia hanya menanyakan kabarku saja, sama dengan pertanyaanmu, Harry." Tak ada sahutan darinya setelah ia mendengarkan jawabanku. "Sekarang giliran aku bertanya, memangnya ada apa hingga kau menanyakan hal itu padaku, Harry?"
"Belum waktumu untuk bertanya, Hermione. Apa yang kau katakan padanya? Pada Malfoy. Apa kau mengusirnya?" Aku mendengus. Apa-apaan ini?
"Harry, kau mencoba menginterogasiku karena Malfoy mengunjungiku? Oh ayolah Harry, ia hanya mengunjungiku karena kami rekan ketua murid. Dan kenapa aku harus mengusirnya?"
"Kau yakin ia hanya mengunjungimu sebagai rekan ketua murid?" Aku menelengkan kepalaku karena tak mengerti pertanyaan Harry. "Apa ia datang bukan karena memberitahukan kabar pertunangannya?"
"Ha-Harry… Apa maksudmu? Untuk apa ia mengunjungiku hanya untuk memberitahukanku soal pertunangannya? Aku hanya perlu membaca Daily Prophet saja tanpa ia harus mengunjungiku seperti itu."
"Kau bukan pembohong yang baik, Hermione."
Aku mengatupkan mulutku. Tatapan mata dan semua perkataannya membuatku enggan untuk bersuara lagi. Aku takut ia akan berkata kalau aku pembohong yang buruk lagi.
"Hermione…" Kini Harry menatapku dengan ekspresi yang kelewat serius. Ekspresinya sama saat ia bercerita padaku soal rencananya melamar Ginny.
"Aku tahu semuanya. Aku tahu kau memiliki hubungan dengannya. Dengan Malfoy."
Seperti disambar petir di bulan Desember yang penuh salju ini, aku membelalakkan mataku. Dan kurasa rahangku saat ini sepertinya sudah lepas dari mulutku karena menganga terlalu lebar.
"Ha-Harry apa yang kau bicarakan? Aku? Dan Malfoy?" Aku tertawa sesaat. Entahlah, entah sesaat atau tidak yang jelas saat ini Harry menyentuh bahuku mungkin tengah mencoba untuk menghentikan tawaku.
"Hermione, kau kira aku tak tahu perubahan sikapmu selama setengah tahun terakhir ini? Kau kira aku tak tahu apa yang terjadi selama kau dan dia menjadi rekanan? Aku menyadari semua itu, Hermione." Dari nada bicara Harry sepertinya ia sangat marah padaku.
Tuhan dan Merlin, kalian masih ingin mempermainkanku kah di hari natal ini?
Aku terdiam.
Aku benar-benar menyesali semua perbuatanku kalau pada akhirnya Harry akan memarahiku seperti ini. Tak seharusnya aku menutupi hal ini darinya. Seharusnya aku menceritakannya saat itu juga dengannya. Seharusnya aku memberitahukannya kalau aku tidur dengan mantan musuhnya.
"Kau berpacaran dengannya, bukan?"
Berpacaran?
Bahkan aku tak tahu jenis hubungan macam apa yang tengah ku jalani dengan Malfoy sebelumnya.
"Hermione?"
"Aku tak tahu, Harry. Aku tak tahu harus menyebut hubunganku dengannya saat ini dengan sebutan apa. Aku tak tahu apa yang tengah ku lakukan bersamanya." Nada bicara ku sedikit meninggi karena berusaha menahan air mata sialan ini agar tak jatuh lagi. Ku hela napasku sejenak. "Awalnya aku hanya menganggap perubahan sikapnya padaku mungkin hanya karena perang telah usai dan ia merasa malu terhadapku, tapi lama-kelamaan sikapnya semakin manis. Ia sering membawakanku senampan makanan dan cokelat hangat saat aku enggan ke aula besar. Ia juga sering membantuku selama kami menjadi rekanan, ia tak pernah protes saat aku terlambat berpatroli atau hal bodoh yang kulakukan saat bertugas bersamanya sebagai ketua murid, dan ia juga tak protes saat Kepala Sekolah menyetujui konsep pesta hanya karena ia melihatku terlalu bahagia dengan konsep itu, ia membantuku mengembalikan semua tongkat dan dengan otomatis ia memberikanku waktu untuk berdandan hanya karena ia tak ingin melihatku mengenakan gaun pesta tahun ke-4 ku lagi. Sampai tiba-tiba ia menciumku setelah kembali memaki ku Mudblood." Harry tampak terperangah namun masih tak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Dari ciuman singkat di lorong Hogwarts itulah semua perasaan aneh ini menggelayuti hati dan pikiranku. Di tambah lagi ia memohon maaf padaku setelah memakiku seperti itu. Aku bingung, Harry. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Mengapa aku harus terbuai dengan semua sikapnya? Tak seharusnya seorang Malfoy memperlakukan seorang Mudblood seperti itu, bukan? Semua sikap dan tingkah lakunya membuat asumsiku tentang seorang Malfoy sebelumnya goyah. Dia sangat berbeda, Harry. Bahkan saat berdansa dengannya di aula besar, aku sempat mengira kalau ia adalah Ron yang sedang meminum ramuan polyjus karena ia memperlakukanku dengan manis dan hangat… dan ia juga merubah penampilannya saat di Pesta Topeng Hogwarts sehingga tak ada seorang pun yang mengenalinya…"
"Berdansa?"
"Ya, Harry. Sebenarnya aku tak kembali ke menara ketua murid setelah acara pembukaan pesta itu berlangsung. Aku juga merubah total penampilanku dengan tujuan ingin mengelabui dan mengerjainya, makanya tak ada seorang pun yang mengenaliku juga saat itu." Aku tertawa sumbang, menertawai diriku sendiri. "Aku berniat mencari kalian karena kalian tak kunjung menemukanku, namun Malfoy dengan mudahnya mengenaliku hanya karena aku mengenakan kalung pemberiannya…" Harry menaikkan satu alisnya. "…Ia memberikan ku sebuah kalung-yang tak bisa ku sangkal betapa indahnya kalung itu-sehari sebelum acara berlangsung dengan maksud agar ia dengan mudah dapat menemukanku di pesta topeng itu…" Aku langsung melanjutkan kalimatku sebelum Harry bertanya karena tak paham. Tersenyum bodoh mengenang hal itu.
"Dan, The Suspicious Kisser itu pun terjadi…" Aku perlahan menatap Harry yang kembali terperangah.
"Ja-jadi… pasangan dansa bertopeng yang menjadi Headline News Hogwarts selama berminggu-minggu, tidak…" Ia menggeleng sejenak. "…bahkan berbulan-bulan itu…" Aku mengangguk pelan sambil meringis menjawab pertanyaannya yang sengaja ia gantung itu.
"Maafkan aku, Harry…" Tak ada sahutan atau reaksi apapun lagi selama beberapa saat, hingga bisa ku dengar suara helaan napasnya yang berat, Harry sepertinya enggan untuk memaafkanku. Wajar saja kalau ia tak bisa menerima maafku tapi setidaknya aku harus menceritakan semua hal yang belakangan ini ku sembunyikan darinya. "Maafkan aku. Aku tak memberitahukanmu soal kedekatanku dengannya. Aku…aku terlalu takut kalau kau akan marah padaku karena aku sudah sedekat ini dengan mantan musuhmu. Dan benar saja dugaanku, kau pasti sangat membenciku saat ini. Sebenarnya… Harry, aku pun takut dengan diriku sendiri. Aku takut dengan perasaanku yang tak sejalan dengan pemikiranku… Harry…"
"Kau mencintainya, Hermione."
A-apa?
Cinta? Mencintainya?
Aku? Dengannya?
Benarkah?
Ramalan Profesor Trelawney tentangku yang jatuh cinta itu…
Aku tersentak saat Harry menggenggam kedua tanganku yang dingin dan dihangatkannya dengan tatapan matanya yang teduh itu. Aku menatap Harry tak percaya karena ia tengah tersenyum padaku. Ia tak memarahiku, tak juga melemparkan mantra kutukan apapun padaku?
"Aku tak akan membencimu, Hermione. Justru aku senang kau menceritakan hal ini padaku, seperti yang ku katakan sebelumnya aku curiga padamu karena sepertinya kau memiliki hubungan lain dengan Malfoy selain sebagai rekan ketua murid, hanya saja aku merasa ragu untuk menanyakannya denganmu. Seperti yang kau lakukan di awal pembicaraan ini, kau pasti menyangkalnya. Sekarang aku benar-benar perlu memastikannya, memastikan keadaanmu juga setelah berita di Daily Prophet tentang… yeah, you-know-that." Kepala ku kembali tertunduk. Soal berita itu, sebelumnya aku masih menganggap hal itu hanyalah mimpi tidak sampai Harry membahasnya lagi hari ini.
"Kau benar-benar tak apa-apa dengan berita itu setelah semua yang kau lakukan dengannya?"
"Apa yang ku lakukan dengannya, Harry?" Harry menatapku tak percaya sambil berusaha menahan tawanya untuk tidak meledekku.
"Kau pasti tidur dengannya juga, bukan?"
"A-apa?!"
"Oh, ayolah Hermione. Dugaan pertamaku sudah benar dan dugaanku kali ini juga aku sangat yakin pasti benar." Aku melepaskan genggaman tangan Harry dengan gugup. Ia meraihnya lagi dan kembali menatapku setelah berhasil mencoba serius kembali. "Saat aku singgah ke menara ketua murid di pagi hari setelah acara pesta Hogwarts berakhir, kau membukakan pintu kamarmu sambil mengenakan jubah Slytherin, Hermione."
Jubah?
Jubah Slytherin? Aku memang mengenakan jubah saat membukakan pintu kamarku, tapi aku tak tahu kalau jubah yang tersampir di kursi meja riasku adalah jubah Slytherin.
Oh, my…
Damn!
Aku baru ingat saat aku sibuk mencari pria bertopeng di pesta Hogwarts hari itu, aku memang meletakkan jubah Slytherin itu di meja riasku saat aku tersadar dari pingsanku.
"Dan aku juga mencium aroma parfum pria. Tentu saja aku tahu aroma itu bukan hanya berasal dari jubah itu tapi dari pria yang tengah mendengkur di ranjangmu itu, Hermione."
Tamatlah riwayatku…
Dari mana aku harus memulainya? Menceritakan semua kisah ku bersama Malfoy?
"Emm…aku, maafkan aku Harry. Sungguh aku tak tahu kenapa aku bisa melakukan hal segila ini. Aku…aku terbuai dengan perlakuannya. Awalnya aku akan berpikir kehidupanku akan biasa-biasa saja setelah perang berakhir dan aku enggan untuk mengharapkan hal-hal yang indah hadir di hidupku karena aku sudah cukup puas dengan rasa indah yang ku miliki sebelumnya, bersama kalian, keluarga Weasley, dan tentunya kembalinya aku bersama keluargaku…itu sudah cukup membuatku bahagia. Tapi seperti yang ku katakan padamu sebelumnya, ia hadir di kehidupanku. Ia hadir di kehidupanku dengan seluruh perlakuan manisnya padaku yang membuatku kembali berharap kalau kehidupanku selanjutnya akan benar-benar lebih dari sekedar 'Indah' jika kulalui bersamanya. Aku merasakan kebahagiaan yang lain saat bersamanya. Ia membuatku memikirkan hal-hal aneh-sekaligus manis-yang tak pernah ku pikirkan sebelumnya. Aku selalu merindukan pelukannya di setiap pagi dan malam hari saat kami berjumpa, aku membutuhkan sapaan dan senyumannya untuk memulai hari-hariku. Kalian juga mungkin heran kenapa aku tak kunjung mati kelaparan karena aku jarang sekali makan di aula besar lagi, itu karena ia selalu membuatku ingin menghabiskan hari hanya dengannya saja. Walau harus ku akui terkadang ia juga lah yang membuatku menjadi sering mendengus, menghela napas, berdecak dan menggeleng kesal yang sampai-sampai aku menganggap kalau seolah-olah aku ini adalah Wanita Pengeluh hanya karena seluruh tingkah aneh dan hobinya mengangguku yang menjadi kegiatan favoritnya itu." Aku mendengus geli, begitu juga dengan Harry…yang tak marah padaku sedikitpun. "Kebahagiaan yang kurasakan, kehangatan dan kenyamanan yang diberikannya membuatku gila seperti ini. Ia memberikanku harapan, Harry…"
"Mungkin ia juga mencintaimu, Hermione." Aku segera menggeleng.
"Ia memang pernah mengakui perasaannya padaku. Sekali. Tapi, kalau memang benar ia juga mencintaiku, kenapa aku tak melihatnya menjengukku saat aku pingsan di tribun pada pertandingan Quidditch kalian itu?" Kini Harry yang menggeleng dan kembali menatapku.
"Kau harus tahu satu hal, Hermione. Saat kau pingsan Malfoy pun mengalami insiden yang sebenarnya lumayan parah. Ia lengah sejenak saat semua orang di tribun panik meneriaki namamu, Bludger menghantam lengan kirinya hingga ia terjatuh dari sapunya. Ia tak sadarkan diri juga dan…ia berada di sebelahmu saat di Hospital Wings. Apa…kau tak menyadarinya?" Aku terperangah mendengar perkataan Harry. Tidak mungkin. Ia baik-baik saja saat aku kembali ke menara ketua murid. Bahkan hari itu juga ia kembali membuatku emosi saat ia bergabung denganku dan Zabini untuk mengerjakan tugas di perpustakaan. Aku mengerjapkan mataku dan kembali menatap Harry yang tampak masih ingin melanjutkan kalimatnya.
"Ia seharusnya mendapatkan perawatan intensif di St. Mungo, namun saat ia sadar dan tahu kau berada disebelahnya ia memohon padaku memberitahukan Madam Pomfrey untuk tidak memindahkannya ke St. Mungo dan tak perlu mengabari keluarganya juga, karena ia bilang kalau dirinya sudah tak apa-apa. Padahal kalau dilihat dari keadaannya…" Aku kembali menggeleng mengenyahkan seluruh rasa iba di hatiku sebelum Harry mengatakan hal-hal aneh lainnya yang mungkin akan membuat perasaanku menjadi luluh pada Malfoy.
"Tapi aku tak mengerti, Harry. Aku tak mengerti, kalau ia mencintaiku kenapa ia bertingkah seperti itu dan akhirnya ia harus menghancurkan harapanku seperti ini? Ia berjanji akan menemaniku, ia berjanji akan membuat semua mimpi burukku hilang, ia juga berjanji akan menghilangkan semua rasa sakitku, tapi apa?! Sebulan yang lalu…entahlah. Entah apa yang tengah ada dipikirannya hingga ia harus berulang kali terkejut menatapku saat aku menyapanya, ia mengabaikanku selama sebulan lebih, dan aku merasakan sakit yang teramat sangat di dadaku saat melihatnya tersenyum pada wanita lain yang tak ku kenal dan kalung indah yang sebelumnya ia berikan untukku kini berada pada wanita lain yang bahkan aku tak tahu namanya. Tapi setelah membaca berita itu kini aku tahu kenapa ia melakukan hal itu padaku. Apa ia masih mencintaiku juga seperti aku mencintainya setelah semua ini?! Cih! Aku rasa hanya aku saja yang merasakan hal aneh itu." Lanjutku sambil menyeringai.
"Hermione…"
"Kini kau tahu bagaimana perasaanku setelah membaca kabar pertunangan itu, bukan? Ah, ya…aku juga tak hanya membacanya di Daily Prophet tapi aku mendengarkan berita pertunangan darah murni sialan itu dari orangnya langsung, Harry. Ia memberitahukanku terlebih dahulu sebelum aku membaca berita itu. What a surprise Christmas gift, right? Isn't right, Harry?!" Ia mengangguk. Aku tertawa bak wanita gila, si Bellatrix itu, lalu tersenyum nanar dan sialnya air mataku ikut mengalir keluar.
"Ramalan Profesor Trelawney…memang terjadi, Harry." Harry membantuku menyeka air mataku. "Aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada orang yang salah. Aku bersinar terang seperti bintang tapi lalu menghilang. Aku berharap terlalu tinggi padanya. Aku merasa begitu percaya diri dengan perasaanku dan perasaannya, merasa hebat karena aku yakin kami pasti akan bahagia jika kami bisa terus selalu bersama. Namun kini aku benar-benar dihancur-leburkan oleh sesuatu yang teramat bodoh. Sesuatu yang kalian menyebutnya adalah CINTA."
"Hermione…" Aku menghambur kepelukannya dan kembali menangis. Kali ini aku tak bisa membendung tangisanku hingga Harry harus merapalkan mantra muffliato agar kedua orangtuaku tak mengetahuinya. Aku tak dapat menahan rasa sakit yang teramat sangat di dadaku. Sungguh, aku tak pernah tahu kalau namanya jatuh cinta itu akan sesakit ini.
-o0o-
I'm only human, I bleed when I fall down
I crash and I break down
Your words in my head, knives in my heart
You build me up and then I fall apart
I'm only human…
Sebenarnya cinta itu apa?
Apakah cinta memang harus saling menyakiti seperti ini?
Harry bilang cinta itu tak berwujud. Cinta itu, adalah sesuatu yang memiliki keberadaan yang unik dan berbeda, tidak harus dalam bentuk fisik. Tapi kenapa saat ini aku merasa seperti baru saja dibunuh oleh cinta? Dibunuh dalam artian, seolah-olah cinta itu memiliki wujud dan tengah menikamku dengan sebilah pisau tepat di dadaku.
"Karena kau tak dapat melihatnya tapi kau hanya dapat merasakannya."
Ya aku memang tak dapat melihatnya tapi aku yakin kalau yang namanya 'Cinta' itu adalah utusan Tuhan yang akhir-akhir ini sedang senang-senangnya mempermainkan perasaanku.
"Hermione, Dear…teh mu sudah siap."
"Aku akan segera turun, Mom."
Bisakah aku kembali ke Hogwarts dan melewati hari-hariku seperti biasa saja? Bisakah aku menjalankan tugas terakhirku sebagai ketua murid perempuan selama sisa masa ajaranku di Hogwarts? Bisakah aku mengikuti NEWT dan mendapatkan hasil yang memuaskan setelah ini?
…Dan bisakah aku mengabaikannya?
"Dear…" Aku tersentak kaget dan menoleh ke arah pintu kamarku. Mom kini tengah mengamatiku. "…kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, Mom." Mom menghampiriku dan duduk bersamaku di tepi ranjang.
"Apakah menangis di tiap malam dan terbangun dengan mata sembab itu masuk dalam kategori baik-baik saja?"
"Mom…"
"Walau kau memantrai kamarmu hingga Mom tidak bisa mendengar tangisanmu di tiap malam, tapi Mom bisa merasakannya, Dear. Dan itu semua terbukti dengan matamu yang membengkak saat kau keluar dari kamar di pagi harinya. Dear, apa yang terjadi, huh? Kenapa anak gadisku jadi pemurung dan melankolis seperti ini?" Aku tergelak pelan, meletakkan kepalaku ke pangkuan Mom sebelum memulai cerita padanya. Tapi…haruskah ku ceritakan hal ini padanya?
Mom membelai kepalaku dan sesekali menyibakkan rambut yang menghalangi wajahku. "Kau putus cinta?"
"Mom?!" Aku memutar tubuhku hingga menengadah menatap Mom yang kini tertawa.
"Kalau masalah nilai Mom yakin kau tak akan uring-uringan seperti ini, Dear. Dan Mom juga sangat yakin Harry tak mungkin datang dan menghabiskan waktu hingga bermalam di rumah ini hanya untuk bercerita soal pertemanan kalian selama di Hogwarts. Koreksi kalau Mom salah."
"Congrats! Karena Mom tak pernah salah." Jawabku yang membuat kami berdua tertawa bersama.
"Mom…" aku memainkan jari-jemari Mom dan memperhatikan cincin yang bertengger dengan indahnya di jari manisnya itu. "…seperti apa rasanya saat Mom bertemu dan berkenalan dengan Dad dulu?" Mom sedikit terkesiap.
"Kenapa? Apa kau berkencan dengan seseorang?"
"Oh, God… Mom?!" Mom menatapku bingung. Aku bangkit dan membetulkan posisi dudukku lalu menatap Mom pura-pura serius. Kami kembali tergelak.
"Dear, ngomong-ngomong kenapa rekan ketua muridmu itu tak mengunjungimu lagi pada hari natal kemarin?"
Tentu saja ia tak berani datang lagi. Aku sudah mengusirnya karena ia mencampakkanku, Mom.
"Mom sudah kedua kalinya menanyakan hal ini padaku. Dia pria sibuk Mom, aku sudah mengatakan itu sebelumnya. Lagi pula kami bukan teman dekat. Emm…saat itu ia datang karena Kepala Sekolah menitipkan sesuatu untukku."
"Oh, begitu…"
Maafkan aku Mom…
"Mom…"
"Hemm?"
"Apakah cinta itu selain saling mencintai, cinta itu juga saling menyakiti?" Mom menaikkan alisnya karena pertanyaanku yang tiba-tiba ini.
"Kalau saling menyakiti atau satu pihak tersakiti, itu namanya bukan cinta, Dear. Kalau kau sudah berkomitmen untuk mencintai seseorang maka berusahalah untuk membuatnya bahagia dan jangan sampai setetes airmata pun terurai dari matanya. Cinta takkan sekejam itu memperlakukan perasaan. Kalau pasanganmu tersakiti itu tandanya hanya ia yang mencintaimu sementara dirimu memikirkan perasaan cintamu dengan yang lain…"
Mungkinkah hanya aku saja yang mencintainya?
Lantas bagaimana dengan semua perkataannya?
Bagaimana dengan semua ungkapan cinta yang pernah di ucapkannya padaku?
"Dear?" Aku terkesiap dari lamunanku. Aku tak mendengarkan perkataan Mom selanjutnya jadi aku hanya meringis saja saat ia menatapku kesal sekaligus geli karena ia langsung tergelak.
"Bersiaplah, kau tak ingin terlambat, bukan?" Mendengar pertanyaan Mom seperti membuatku kembali masuk ke jurang saja. Kalau aku boleh memilih, aku enggan untuk kembali ke Hogwarts. Aku pun mengangguk lalu memeluk Mom cukup lama hingga tiba-tiba Dad sudah bersandar di ambang pintu kamarku sambil bersedekap.
"Apa aku mengganggu waktu Ibu dan Anak kalian?" Aku berlari ke arahnya. Kini gantian aku memeluk Dad yang membuatnya menatapku bingung namun ia tetap membalas pelukanku.
Mungkinkah kehidupanku kelak akan memiliki keluarga seharmonis ini? Seperti Mom dan Dad?
Mungkinkah aku mendapatkan pasangan hidup yang kucintai?
Mungkinkah cintaku takkan menyakitiku?
"I love you both, Mom…Dad…"
"Kami juga, Dear…"
-o0o-
"Hermione, kau tak berpatroli?"
"Aku lelah…"
"Ta-tapi…" Aku berlalu menuju Hogwarts Express meninggalkan Harry dan Ginny yang masih sibuk memeriksa koper-koper mereka. Sementara Ron menatapku pongo.
"Ada apa dengannya?"
"Entahlah Ron."
"Tapi tak ada seorang pun yang memeriksa keberangkatan kita, Harry."
"Itulah gunanya Prefect, Ron. Ayo… bye Gin…" Ginny pun menyusul.
"Bye…"
"Ha-Harry ini bukan jadwal kita…"
Aku tak mempedulikan kegaduhan yang selalu dibuat Ron itu. Saat ini aku memang benar-benar malas berpatroli.
"Granger! Granger!" Aku menoleh ke arah suara itu dan mendapati Zabini tengah melambai-lambaikan tangannya yang kosong tak memegang apapun, aku menghentikan langkahku saat sudah hendak menaiki gerbong, ia menghampiriku. "Hei, Selamat Tahun Baru." Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan memberikannya padaku.
"Ya, me too. Apa ini?" Aku mengamati kotak kecil itu.
"Kado natal." Ucapnya sumringah. Ini aneh. Aku tak pernah berbicara sedikitpun padanya tapi kenapa ia bertingkah seolah-olah kami berteman dekat melebihi pertemananku dengan Harry dan Ron? Dan lihatlah, kini ia pun memberikan ku kado natal?
"Oke, oke…aku tahu kau takkan percaya ucapanku, aku hanya mencoba bercanda saja. Itu bukan kado natal dari ku…" Kini ia mengeluarkan sesuatu dari dalam ranselnya. "…ini, huahhh…akhirnya aku berhasil menyelesaikannya. Oh, ayolah kenapa kau masih menatapku seperti itu?" Aku menerima amplop cokelat besar itu dan masih menatapnya penuh tanya.
"Apa ini?"
"Granger, itu tugas herbologi kita, ingat?"
"Ah…" Aku mengangguk. "…lalu ini?" kali ini aku menggerak-gerakkan kotak kecil yang sebelumnya ia berikan padaku. Ia terlihat ragu untuk menjawab pertanyaanku, matanya menyapu seluruh King Cross.
"Sebaiknya kau membukanya ketika berada di kompartemen saja, aku tak bisa memberitahukannya disini."
"Hermione, ayo naik." Ginny sudah berdiri dibelakangku, aku kembali menatap Zabini ia hanya menyunggingkan senyum saja lalu mempersilahkan aku dan Ginny masuk duluan. Ku masukkan kotak kecil itu ke dalam tasku.
"Selamat Tahun Baru, Little Weasley…"
"Selamat Tahun Baru juga, Blaise…" Zabini tertawa sesaat.
Mereka akrab? Bahkan tadi Ginny memanggil nama depannya?
"Kau akrab dengannya, Gin." Aku membuka pembicaraan dengannya sambil mencari kompartemen kosong.
"Well…begitulah. Aku tak tahu kalau Blaise itu adalah tipe orang yang menyenangkan. Kami akrab semenjak acara pesta dansa itu, Blaise sering mengunjungi asrama kita dan berdiskusi dengan Harry tapi tentu saja tidak dengan Ron." Aku mengangguk paham dan segera menghempaskan tubuhku ke bangku panjang Hogwarts Express setelah kami berhasil menemukan kompartemen kosong.
"Ginny, bisa kau membantuku sebentar? Oh, hai Hermione, Happy New Year."
"Yeah, Luna. Happy New Year too." Jawabku seadanya sambil mengusahakan diriku untuk tetap tersenyum.
"Ada apa, Luna?"
"Harry kewalahan menangani anak tingkat 1 dan Ron bukannya menyita tongkat anak itu ia malah membuat gerbong Ravenclaw berantakan."
"Haruskah aku?"
"Well, Hermione kelihatan kurang sehat. Makanya aku meminta tolong padamu. Tak ada yang bisa menenangkan anak-anak itu selain salah satu di antara kalian." Ginny memperhatikanku.
"Kau sakit?" Ini luar biasa! Bagaimana bisa Luna memiliki insiatif dan insting seperti Ibu Peri? Aku langsung mengangguk saja. Aku harus berterima kasih pada Luna nanti. "Ya sudahlah, aku saja. Ayo, Luna."
Kereta sudah mulai berjalan. Ginny belum kembali dari tugas dadakannya. Maka jadilah aku sendirian di kompartemen ini. Selama 15 menit lebih aku betah memandangi pemandangan yang disuguhkan dari jendela besar kompartemen Hogwarts Express ini. Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri hingga tiba-tiba aku mendengar gesekan dari pintu kompartemen yang terbuka.
"Kenapa kau—"
"Hermione…" Aku mengira Ginny sudah menyelesaikan tugasnya, namun bukan Ginny yang ku temukan melainkan pria yang tengah berjalan gontai memasuki kompartemen ini, pria itu pun melepaskan topi yang sebelumnya menutupi wajahnya. Seketika aku terperangah dan segera menghampirinya.
"Kenapa dengan wajahmu?"
"Arghh!"
"Kenapa dengan wajahmu, Malfoy?!" Tiba-tiba pintu dan semua tirai di kompartemen tertutup. Tak lama berselang pria didepanku ini pun ambruk di pelukanku.
"Malfoy? Malfoy sadarlah?!"
Tidak.
Tidak ada yang boleh melihat keadaannya saat ini.
Aku memapah tubuhnya dan menidurkannya perlahan ke bangku panjang. Pemandangan tak mengenakan terlihat oleh mataku saat aku mencoba membuka jaket kulitnya. Bercak darah ada dimana-mana.
"Malfoy…"
Luka bekas sayatan terlihat di dada dan lengan kirinya saat aku melepaskan kemeja putihnya yang kini sudah penuh dengan warna darah. Dengan panik aku segera mencari tongkatku dan beberapa ramuan obat-obatanku.
"Malfoy… Malfoy sadarlah, siapa yang melakukan ini semua?! Malfoy…"
"Her…mionehh… Aarghh!"
"Merlin, Malfoy kumohon tahan sebentar, aku sedang berusaha mengobatimu." Tanganku bergetar hebat saat mendengar teriakan kesakitannya. "Maaf… maaf, aku akan pelan-pelan… maaf…" Ini gila. Ini benar-benar gila. Siapa yang melakukan ini padanya?
"Hermione…"
"Ssttt…jangan bergerak dulu…sabarlah, lukamu akan segera mengering…" Aku memberikan beberapa tetes ramuan penenang dan ramuan tidur ke mulutnya yang masih berusaha menahan teriakan kesakitan. Perlahan semua luka-luka yang menganga itupun tertutup, aku menggenggam tangannya berpikir kalau dengan melakukan itu akan mengurangi rasa sakitnya.
"Maafkan aku, Hermione…" Ia meringis menahan sakit ditubuhnya.
"Jangan berlagak me-melodramatis keadaan, Malfoy. Lukamu tak akan sembuh kalau kau masih berbicara juga." Tak ada sahutan darinya, aku melihat matanya yang perlahan terpejam, tubuhnya pun sudah tak bergetar hebat seperti sebelumnya, napasnya juga sudah terdengar teratur kembali. Sepertinya ramuan tidur itu sudah mulai bekerja. Mataku tertuju pada semua bekas luka diwajahnya. Aku hampir saja tak mengenalinya saat ia melepaskan topinya tadi kalau bukan karena rambut pirang dan mata kelabunya itu. Wajahnya…
Dengan sangat hati-hati aku menyibakkan rambut pirangnya yang berantakan itu. Pelipis mata kirinya yang sobek masih mengeluarkan darah, tanda biru-keunguan tergambar jelas di tulang pipi kanannya, terdapat luka sobekan di sudut bibirnya dengan darah yang sudah mengering. Jemariku perlahan membelai wajahnya yang kini terlihat tenang seolah-olah tak terjadi apa-apa. Aku kembali meneteskan air mataku. Kembali ku genggam tangannya yang terlihat semakin pucat.
Apa Voldemort bangkit dari kubur dan menghukumnya karena telah tidur denganku? Dengan seorang Darah Lumpur?
Itu tidak mungkin…
Lantas siapa yang melakukan ini padanya?
Aku sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri sampai sebuah nama terbesit di kepalaku.
Mungkinkah…
"Harry…"
-o0o-
"Bloddy hell, anak-anak itu susah sekali di atur…"
"Itu karena kau tak bisa mengendalikan mantramu, Ron. Mereka jadi menertawaimu dan keributan pun semakin terjadi."
"Kalian seharusnya bersyukur karena aku berhasil menenangkan mereka dan menghentikan kekacauan itu, boys." Ron mendengus saja.
"By the way, kemana Hermione?"
"Disini." Aku memasuki kompartemen dan menatap Harry cukup lama.
"Emm…Hermione, maaf aku lupa memberitahukanmu kalau aku bersama mereka disini, aku akan kembali ke—"
"Bisa kita bicara? Berdua saja." Aku mengabaikan permintaan maaf Ginny. Harry, Ron dan Ginny saling bertatapan bergantian lalu menatapku bingung.
"Kita bisa membicarakannya di—"
"Aku tunggu di gerbong sebelah. Sekarang." Potongku. Aku pun keluar dari kompartemen dan berjalan menyusuri pinggiran gerbong, Harry mengikutiku di belakang.
"Kenapa lagi dia? Ini masih awal tahun tapi ia sudah marah-marah saja."
"Entahlah, mungkin dia sedang mengalami Pra Menstruation Syndrom."
"Merlin, apa semua wanita selalu seperti itu saat menstruasi?"
"Menurutmu?"
"Kalau begitu aku akan selalu waspada pada istriku kelak."
"Yang benar saja…"
-o0o-
"Apa yang kau lakukan padanya, Harry?" Aku langsung menanyakannya pada Harry sesaat setelah aku memastikan tak ada seorang pun yang melewati gerbong ini lagi dan segera saja aku memasang mantra muffliato. Harry yang tampak bingung sekaligus terkejut dengan pertanyaan mendadakku ini pun hanya bisa menatapku penuh tanya.
"Harry aku takkan memarahimu kalau kau memberitahukanku alasanmu kenapa melakukannya. Jadi, kau apakan dia?"
"Dia siapa, Hermione?"
Aku mendengus, ku perhatikan sekitarku lagi sebelum menjawab pertanyaannya. "Malfoy. Apa yang kau lakukan padanya?"
Harry mengerjap-ngerjapkan matanya. "Memangnya apa yang telah ku lakukan padanya?"
"Harry saat ini aku enggan untuk mendengar candaanmu."
"Hermione, aku tak mengerti maksud pembicaraanmu ini dan aku sama sekali tak berniat bercanda sejak melihat ekspresimu saat memasuki kompartemen kami tadi." Kali ini aku yang mengerjapkan mataku.
"Kau harus melihat keadaannya." Harry perlahan menolehkan kepalanya mengikuti arah pandangan mataku, ia pun terperangah saat aku membuka pintu kompartemen disebelah kami dan mendapati Malfoy tengah terbaring dengan keadaannya yang sangat berantakan. "Malfoy hampir saja mati kalau ia salah memasuki kompartemen dan bukan aku yang mendapatinya dengan keadaan seperti itu."
"Siapa yang melakukan ini?"
"Aku menanyakannya padamu juga, Harry."
"Tapi aku tak melakukan apapun padanya." Harry menghampiri Malfoy yang masih terbaring lemah. "Bahkan aku tak pernah bertemu lagi dengannya sejak libur Hogwarts." Aku memijat pelipis mataku dan terduduk di bangku satu lagi, Harry pun menghampiriku.
"Hermione, tenanglah…"
"Tapi dia hampir saja mati, Harry. Kau tak tahu betapa paniknya aku saat melihat keadaannya pertama kali memasuki kompartemen ini. Aku sangat panik. Bayangan wajah Ron yang sekarat saat ia mengalami eksplisit ketika kita lari dari kementerian membuatku hampir saja salah merapalkan mantra ke tubuhnya." Harry memandangi lagi keadaan Malfoy.
"Kau sudah melakukan penanganan yang tepat, Hermione. Tenanglah… Ia sedang beristirahat, aku akan membantumu juga." Aku terisak berusaha menahan tangisanku saat Harry memeluk dan mencoba menenangkanku.
Ini benar-benar gila…
-o0o-
Harry memutuskan kembali ke kompartemen mereka sebentar untuk memastikan Ron dan Ginny yang tadi sempat curiga melihat kelakuanku.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" Aku langsung menanyakan hal itu saat melihat mata Malfoy perlahan mengerjap, ia sudah tampak lumayan baik-baik saja dibandingkan dengan keadaannya sebelumnya.
"Hermione?"
"Jangan bergerak." Ia kembali berbaring setelah sebelumnya mencoba untuk duduk. "Jawab aku siapa yang melakukan ini, Malfoy?"
"Hermione, aku membawakan…" Malfoy terperangah saat Harry memasuki kompartemen. Harry yang baru tersadar kalau Malfoy sudah siuman pun kini terlihat salah tingkah.
"Emm…aku akan keluar sebentar. Kalian berbicaralah…" Malfoy menatapku horor setelah Harry menghilang dari hadapan kami.
"Apa ia…"
"Ya." Aku tahu kemana arah pertanyaannya. Hening pun terjadi selama beberapa saat.
"Kereta akan segera tiba di Hogwarts. Aku dan Harry akan membantumu keluar dari gerbong tanpa ada seorang pun yang melihat keadaanmu."
"Hermione…" Aku masih tak ingin menatapnya, menatap keadaannya. "Kau tak merindukanku?"
Oh, Merlin atau siapapun itu pasti tahu kalau aku sangat merindukanmu, tapi tentu saja aku tak bisa mengatakannya pada tunangan wanita lain.
"Istirahatlah. Aku akan menemui Harry."
"Aku merindukanmu, Hermione…" Langkahku terhenti dengan tangan yang belum menggapai pintu kompartemen.
Aku tahu...
Dengan perasaan yang berkecamuk ku paksa kakiku untuk kembali melangkah. Tak mempedulikan tatapan heran orang-orang yang berlalu-lalang di gerbong karena melihat ekspresi wajahku, aku masih mencoba menyibukkan diriku dengan mencari Harry. Rasa sesak di dadaku membuatku terpaksa menghentikan langkahku di sebuah kompartemen kosong. Setelah aku merapalkan muffliato, tangisku pun pecah…
Who can say where the road goes?
Where the day flows, only time...
And who can say if your love grows?
As your heart chose, only time...
Who can say why your heart sighs?
As your love flies, only time...
And who can say why your heart cries?
When your love lies, only time...
Who can say when the roads meet
That love might be in your heart?
And who can say when the day sleeps
If the night keeps all your heart
Night keeps all your heart
Who can say if your love grows
As your heart chose?
Only time...
And who can say where the road goes
Where the day flows, only time...
[Enya – Only Time]
-o0o-
"Kau harus mengenakan ini…" Harry menyerahkan jubah gaibnya pada Malfoy yang menerimanya dengan tangan ringkihnya. Aku tak tahan melihat bekas lukanya, alhasil ku rebut jubah itu dan segera memakaikannya pada tubuhnya, Harry maupun Malfoy hanya diam saja melihat sikapku. "…Well, kalian tak perlu melapor pada Hagrid. Biar aku dan Ron saja, kalian segeralah kembali ke menara dan bersiap untuk makan malam. Aku akan menyusul kalian sebelum kalian keluar menara." Harry menggerak-gerakkan tangannya menunjuk wajahnya lalu melirik wajah Malfoy. Aku mengangguk dan langsung menutupkan kepala Malfoy dengan jubah.
"Gerbong sudah kosong, kalian keluarlah…" Sekali lagi aku mengangguk dan memapah tubuh Malfoy untuk berjalan keluar.
"Hermione…" Aku terkesiap sesaat mendapati Ginny dan Luna yang tengah mengamatiku.
"Kenapa kau berjalan seperti itu?"
Bagaimana ini?
"Ah, ini…aku terburu-buru saat keluar kompartemen dan menabrak pintu masuk tadi." Aku mencoba menegakkan tubuhku dan membungkuk kembali untuk mengelus lututku.
"Kau perlu bantuan?" Aku segera menggeleng.
"Tidak. Tidak, Gin. Aku tak apa-apa. Kalian duluan saja."
"Kau tak ikut?"
"Aku harus memeriksa gerbong, Gin, kalau kau lupa…" Aku meringis tak jelas mencoba meyakinkannya. Ginny pun mengangguk lalu mengajak Luna berjalan duluan namun Luna menggeleng sesaat sambil tersenyum setelah mengalihkan pandangannya dari ku ke Ginny.
"Aku meninggalkan sesuatu di gerbong, kau duluan saja, Gin."
"Well, kalau begitu sampai jumpa di aula besar." Kami berdua mengangguk dan aku terus mengamati Ginny sampai menghilang dari pandanganku.
"Aku akan membantumu, Hermione."
"A-apa?!"
"Malfoy, bukan?"
"Kau bisa melihatnya?" Luna mengangguk dan menunjuk kacamata nan eksentriknya itu. Ia lalu menghampiriku dan memapah tubuh Malfoy juga tanpa banyak tanya lagi. Kami berjalan dalam diam hingga tiba di pintu masuk menara ketua murid.
"Aku rasa aku tak perlu ikut masuk. Banyak orang yang akan curiga nanti." Ya, Luna benar.
"Thanks, Luna…"
"Anytime…"
"Ah, dan soal ini—"
"Aku akan merahasiakannya, Hermione." Aku membalas senyuman Luna dan ia pun berlalu meninggalkanku dan Malfoy. Sekali lagi, terima kasih Luna Lovegood.
"My Nightingale…" Pintu menara ketua murid pun terbuka, aku kembali memapah tubuh Malfoy yang berat ini sendirian.
"Aku akan menyiapkan seragammu dan beberapa ramuan lainnya yang untuk sementara menghilangkan bekas luka diwajahmu. Kau istirahat saja dulu." Ia mengangguk lemah setelah aku membaringkan tubuhnya di ranjang. Aku segera berpaling dan menyeka air mataku.
Setelah beberapa menit sibuk mencari-cari ramuan penghilang bekas luka di kamarku, aku pun kembali menghampirinya yang masih terbaring lemah. "Kau yakin akan ikut makan malam?" Perlahan ia membuka kelopak matanya, mataku segera beralih sibuk menatap apapun asalkan jangan mata kelabu itu.
"Teman-temanku dan Kepala Sekolah akan curiga kalau aku tak menampakkan diri di aula besar." Ia masih sempat menyeringai.
"Kau berhutang penjelasan tentang ini padaku." Tanpa perlu mendengar sahutannya lagi aku mulai mengoleskan ramuan berupa salep bening ke wajahnya. Sesekali aku menghentikan tanganku karena ringisannya. Aku sampai harus menggigit bibir bawahku selama mengoleskan salep itu, sulit rasanya mengendalikan emosiku saat ini.
"Perlu bantuan?" Harry muncul dari balik pintu kamar Malfoy setelah mengetuk-ngetuk pintu itu, aku mengangguk lalu berjalan keluar tanpa suara, setidaknya sekarang aku bisa mengatur napasku. Melihat kondisinya saat ini membuatku sulit untuk mengabaikannya. Aku bersyukur Harry dan Luna tak bertanya apa-apa padaku sedari tadi. Saat ini aku sudah cukup gila dengan keadaan Malfoy dan aku tak mau dipusingkan dengan berbagai macam pertanyaan lainnya.
Setelah merasa cukup mematut diriku didepan cermin besar ini, aku pun keluar dari kamarku lengkap dengan seragam sekolah. Harry tampak baru saja keluar dari kamar Malfoy.
"Harry…"
"Hai…" sapanya setelah aku menghampirinya. "Aku sudah mengganti perbannya dan memberikan beberapa ramuan pengurang rasa sakit, ia sudah bisa berjalan dengan normal berkat ramuan itu."
"Luna mengetahui keadaannya juga…" Ujarku.
"Aku yakin ia takkan menceritakannya pada siapapun kalau ia sudah berjanji, Hermione." Ia tersenyum menatapku, merangkul bahuku dan mencoba menenangkanku dengan senyuman hangatnya itu.
"Kau tenanglah, jangan murung seperti ini."
Bagaimana caranya untuk tenang, Harry?
Malfoy berjalan keluar dari kamarnya dengan kedua tangan berada disaku celananya. Ia menuruni anak tangga dengan perlahan. Benar, ia sudah terlihat seperti semula. Ia tersenyum kaku ke arahku yang langsung ku abaikan.
"Kita harus bergegas ke aula besar, Kepala Sekolah akan curiga kalau kita tak berada disana." Malfoy mengangguk dan berjalan bersebelahan dengan Harry sementara aku berjalan dibelakang mengamati punggung mereka. Sesekali mereka berbincang dan membahas soal merahasiakan semua hal ini dari siapapun, Harry hanya mengangguk dan menoleh tersenyum ke arahku. Sesekali juga Malfoy harus menghentikan langkahnya secara tiba-tiba saat nyeri di tubuhnya kembali terasa, membuatku dan Harry harus mendadak menjadi siap siaga menampung tubuhnya agar tak terjatuh ke lantai.
"Selamat datang kembali, murid-muridku…" Kepala Sekolah memulai pidato singkatnya sesaat setelah kami bertiga dan beberapa murid yang lainnya masuk dan duduk dibangku asrama masing-masing. Aku tak terlalu mendengarkan pidato sambutan itu. Sesekali aku mencoba mencuri-curi pandang ke arah meja Slytherin, ia terlihat tenang mendengarkan pidato sambutan itu hingga Kepala Sekolah mempersilahkan kami memulai acara makan malam. Sepintas aku melihat sesuatu yang mengkilap di jari tangan kirinya saat ia mengangkat cangkir minumannya.
"Hermione, kau tak apa?"
"Huh?" Teguran Ginny membuatku tersadar kalau aku baru saja menjatuhkan sendok sup labuku. Aku mengangguk kaku dan kembali sibuk berkonsentrasi dengan makanan di depanku ini. Aku sibuk mengaduk-aduk makananku dan aku juga sibuk berkutat dengan pikiranku sendiri.
Aku tak melihatnya mengenakan cincin itu saat di Hogwarts Express tadi...
"Kalian tentu sudah membaca Daily Prophet 'kan?" Ginny membuka pembicaraan di meja kami dan membuat anak-anak yang lainnya menghentikan kegiatan mereka sesaat.
"Memangnya ada apa di Daily Prophet?" Tanya Seamus polos. Ginny memutar bola matanya malas.
"Malfoy sudah bertunangan…" Jawab Ron dengan mulut penuh makanan. Seamus, Dean dan beberapa anak lainnya yang tampaknya belum membaca koran itu kini tengah terperangah hebat.
"Benarkah?!" Kali ini Dean yang penasaran. Ginny mendengus kesal karena teman-temannya yang ketinggalan informasi ini.
"Kalian tak membacanya? Bahkan berita itu menjadi topik hangat selama berminggu-minggu." Lanjut Ron. Harry kini menatapku, ia menatapku dengan tatapan mata yang sendu dan seolah-olah hidupku ini benar-benar memperihatinkan. Aku berusaha tersenyum padanya dan kembali fokus pada makananku walau sedari tadi aku tak memakannya.
"Kabarnya lagi tunangannya itu adalah seorang darah murni keturunan keluarga bangsawan juga. Aku tak habis pikir kenapa mereka masih melakukan hal seperti itu bahkan setelah Si Kepala Botak itu mati."
"Yeah, Gin. Dan aku baru saja mendapat bocoran dari kembaranku kalau tunangannya yang masih disembunyikan identitasnya itu ternyata adalah salah satu murid di Hogwarts juga."
"A-APA?!" Semua aktifitas di aula besar terhenti dan tertuju ke meja kami, tertuju padaku tepatnya. Bersusah payah aku berusaha mengendalikan emosiku seperti semula tapi yang ada aku malah membuat teman-temanku menatap ku heran. Kini aku tak bisa tersenyum membalas tatapan mata Harry, ia menggeleng tanpa suara padaku dengan maksud mencoba mencegahku untuk tidak pergi secara mendadak dari meja ini. Tapi aku tidak bisa…
Remuk redam mungkin kata-kata yang paling tepat untuk menjelaskan keadaan hatiku saat ini, maka aku memutuskan untuk menjauh dari pembicaraan nan menyesakkan itu.
Mungkinkah tunangannya…adalah gadis itu?
"Hermione, ada apa?"
Aku menatap Ginny yang tampak curiga. "A-aku harus mencari tugas herbologiku, sepertinya aku lupa meletakkannya dimana. Maaf… aku duluan." Mereka sepertinya tak tampak curiga lagi dengan alasanku itu karena aku sering melakukannya. Maksudku aku sering berteriak tiba-tiba apabila teringat dengan tugas-tugasku yang terlupakan atau belum selesai.
Setelah berhasil keluar dari aula besar, aku pun lanjut melangkah lagi menjauhi ruangan itu. Karena tak sanggup melangkah dengan cepat, aku berjalan pelan, nyaris tersaruk. Sebenarnya aku tak yakin harus kemana, maka aku membiarkan kakiku melangkah dengan sendirinya hingga aku tersadar kalau kini aku sudah berada di menara Astronomi. Ku rapalkan muffliato dan airmataku pun perlahan mengalir.
Lagi…
Untuk kesekian kalinya…
-o0o-
"Kau bersinar terang seperti bintang tapi lalu kau menghilang. Jangan berharap terlalu tinggi. Kau merasa begitu percaya diri, merasa hebat lalu kau akan benar-benar dihancur-leburkan oleh sesuatu yang teramat bodoh."
Matahari pagi menyapaku dari balik tirai dan membangunkanku pagi ini. Aku menyunggingkan bibirku. Kini kalimat ramalan Profesor Trelawney pun menjadi bagian dari mimpi-mimpiku.
Setelah berhasil mengumpulkan nyawa, aku pun melangkah mengambil jubah mandi dan memutuskan untuk berendam selama beberapa menit. Sudah hampir 2 minggu sejak kembali ke Hogwarts, aku dan Malfoy tak ada berbicara. Bahkan untuk saling menyapa atau saling melihat saja tidak. Aku lebih memilih menghindar saat mendapat jadwal berpatroli dengannya, untung saja Harry dengan sukarela mau menggantikanku.
Aku selalu memikirkan semua hal ini hingga rasanya kepala ini mau pecah. Aku memikirkannya, memikirkan pria itu yang lebih memilih mendiamkanku daripada menjelaskan semua hal gila ini padaku. Hingga spekulasi-spekulasi aneh pun sering menghinggapi pikiranku. Aku merasa seakan-akan aku tahu, seakan-akan aku mengenalnya, seakan tahu hatinya, dan seakan aku tahu apa yang takkan dia lakukan untuk melukaiku. Tapi aku tak menyadarinya. Memang aku merasa begitu percaya diri dan hebat, seperti yang dikatakan ramalan Profesor Trelawney, lalu aku pun dihancurkan oleh perasaan itu sendiri. Dan seolah kehancuranku itu belum cukup, lalu semua ini pun membuatku merasa gila. Ia hanya diam saja, membuat semua ini seakan-akan adalah salahku. Ini semakin menyakitiku. Aku tahu ini sangat menyakitkan, tapi hati ini pun tetap menginginkannya berada disisiku. Ini benar-benar gila karena ia sudah membuatku berharap, berharap akan sesuatu yang sudah jelas takkan bisa ku dapatkan.
Aku tahu tingkahku agak gila dengan mencoba menghindarinya juga, tapi aku bisa apa?
Ranjang pun terasa dingin saat ia tak berada disisiku untuk menemani tidur malamku. Semua janji yang pernah diberikannya seakan samar dimataku. Tapi dengan jarak tak terlihat yang kini membuatku dengannya tak bisa bersama membuatku ingin mati saja.
Aku…
Aku seperti bergantung padanya. Kini aku seperti tak bisa hidup kalau tak mendengar suaranya yang memanggil namaku. Apa aku masih pantas mempertaruhkan semua kemungkinan yang hampir mustahil ini?
Hatiku berkata, "Ya!"
Namun logikaku pun berteriak, "Tidak!"
Kali ini aku tak harus mendengarkan kata hatiku. Aku harus menjadi Hermione Granger yang selalu menggunakan logika. Tak seharusnya aku mempertahankan semua ini. Aku harus menemuinya dan menuntut penjelasan darinya. Aku harus mengakhiri semua ini. Semua ini membuatku terbangun dari tidurku dan setiap detik aku bernapas terasa sangat menyiksa. Aku harus mengakhiri rasa sakit didadaku yang selama setengah tahun terakhir ini membuat produksi air mataku menjadi berlebih apabila setiap kali aku mengingat semua perkataan maupun semua perbuatannya.
Aku masih menyimpan semua nasihat dari Harry untuk memikirkan setiap keputusanku dengan baik-baik. Tapi aku tak peduli. Ada jutaan alasan mengapa aku harus berhenti mengharapkannya.
Berhenti berharap pada janji-janji yang diberikannya…
-o0o-
"Well, kelas berakhir. Sampai jumpa minggu depan…" Semua murid pun sibuk memasukkan peralatan tulis ke dalam tas, termasuk aku.
"Heh?"
Kotak apa ini?
Dan aku baru ingat kalau itu adalah kotak pemberian dari Zabini, ah ralat, pemberian dari orang yang kata Zabini tak bisa diberitahukannya identitasnya saat kami berada di King Cross. Sebelum keluar kelas aku membuka kotak itu sebentar, dan tak perlu aku menanyakan siapa yang memberikanku kotak ini lagi pada Zabini, aku langsung mengetahui siapa orang itu.
"Ms. Granger, apa kau akan bermalam disini?"
"Ah, maaf Profesor…" Terburu-buru aku memasukkan kotak itu lagi ke dalam tasku dan berjalan keluar meninggalkan ruangan kelas. Harry dan Ron sudah menungguku sedari tadi diluar.
"Hermione, kenapa kau lama sekali?"
"Ah, maaf Ron… Aku harus menyusun beberapa bukuku."
"Huh, itu karena kau terlalu banyak membawa buku, 'Mione. Mungkin kalau kau membawa makanan dengan senang hati aku akan membantumu. Arghh! Hermione?!" Aku memukul kepalanya dengan bukuku karena sudah kelewat kesal.
"Kenapa di kepalamu hanya ada makanan saja, Ronald?" Harry tertawa saja melihat tingkah kami. "Kalian kemana setelah ini?"
"Entahlah mungkin—"
"Jangan bilang kalau kau akan mencari makanan di aula besar."
"Aku berencana mengatakan itu…" Ron bergumam dan takut membalas tatapanku, aku tertawa sejenak lalu menggamit kedua lengan mereka.
"Aku tahu kalian tak memiliki rencana apa-apa. Kalau begitu kalian harus menemaniku di perpustakaan." Harry dan Ron menghentikan langkah mereka berbarengan membuatku hampir saja terjatuh.
"Dari banyaknya tempat favorit di seluruh bangunan Hogwarts, kenapa kau memilih perpustakaan ke dalam daftar favoritmu, Hermione?" Ron mengangguk berlebihan dengan tanggapan Harry.
"Well, kita ada tugas Arithmancy kalau kalian lupa, dan NEWT sebentar lagi, boys. Jadi, aku harus segera menyelesaikan semua urusanku sebelum keluar dari Hogwarts, maka dari itu aku sangat mencintai perpustakaan karena perpustakaan sangat membantuku dalam menyelesaikan semua urusan-urusanku disini." Harry mendengus geli mendengar perkataanku.
"Kau mencintai perpustakaan? Bukankah kau mencintai yang lain?"
"Yang lain? Ha-Harry, apa maksudmu yang lain? Hermione?" Aku menatap horor ke arah pria berkacamata di depanku ini yang tengah bersiap-siap untuk berlari.
"Emm… Snape mungkin?" Ron langsung tertawa setelah mendengar jawaban dari Harry.
"Yeah, Hermione. By the way, kau mungkin akan sangat cocok dengan Snape…"
"Kalian menertawaiku?"
"Emm… Hermione kami hanya mencoba bercanda saja…" Kini Ron juga tampak ikut bersiap-siap untuk lari karena sepertinya kepalaku sudah mengeluarkan tanduk.
"HARRY JAMES POTTER?!"
"Hua!"
"Ha-Harry! Tunggu aku!"
"RONALD BILLIUS WEASLEY!
Aku sempat menoleh ke kiri sebelum berlari mengejar Harry dan Ron saat aku merasakan ada seseorang yang berlalu dari balik tembok lorong sebelah.
"Sial! Lari kemana mereka?" Umpatku kesal. Aku sudah kehilangan jejak kedua sahabatku itu saat aku kembali memfokuskan diriku ke depan.
"Harry! Ron!" Aku pun segera berlari menyusul mereka.
-o0o-
Aku dan Harry memilah-milih buku sementara Ron duduk di pojok ruangan sibuk dengan perkamennya.
"Buku ini…"
"Kenapa?" Harry menghampiriku dan melihat buku yang tengah kupegang saat ini.
"Kau membaca buku ini juga?"
"Juga?" Tanyaku balik. Harry mengangguk.
"Sudah berapa kali ku lihat Malfoy selalu membaca buku ini juga saat aku meminjam buku di perpustakaan. Kira-kira sejak kita masuk tahun ke-7. Beberapa hari selanjutnya setelah aku melihatnya membaca buku ini, sering kali aku juga melihatnya meletakkan buku ini di rak bagian bawah, dan tak lama kau masuk lalu mengambil buku ini juga. Aku tak tahu kenapa ia tak mengembalikan buku ini pada tempatnya. Mungkinkah ia membantumu agar tak memanjat mengambil buku ini? Seharusnya buku ini berada di rak tingkat 5, bukan?" Aku menatap buku ini lama. Sudut bibirku menyungging.
"Pantas saja buku ini tak pernah kembali ke tempatnya…" Gumamku.
-o0o-
This is a modern fairytale...
No happy ending,
No winning ourselves.
But I can't imagine a life without breathless moments,
Who breaking me down...
-o0o-
Langkahku terhenti saat aku baru saja memasuki menara ketua murid. Ia pun tampak terkejut menatapku. Ku langkahkan kembali kakiku menuju kamarku dan sekali lagi aku menghentikan langkahku karena senampan makanan dan cokelat hangat terletak di undakan anak tangga.
"Aku tak melihatmu di aula besar beberapa hari ini. Aku tak tahu apa yang kau makan sampai kau bisa setahan itu tak ke aula besar." Tanganku ku tutupkan ke mulutku agar tak mengeluarkan suara isakan yang mungkin akan membuat keadaan saat ini semakin parah. Aku menghela napas sejenak dan berdeham untuk menormalkan suaraku.
"Well, entah mengapa aku sudah sangat kenyang hanya dengan memakan semua janji-janji manismu, Malfoy." Nampan itu tak ku sentuh dan ku lalui begitu saja. Pintu ku tutup cukup kuat hingga menghasilkan suara yang cukup keras dan cukup untuk membuatku tersadar dari apa yang baru saja ku lakukan. Ku ayunkan tongkat dan merapalkan mantra untuk mengunci pintu kamarku dari lemparan mantra apapun dari Malfoy.
"Apa yang baru saja ku katakan padanya?" Aku yakin pasti semua akan semakin kacau setelah ini.
"Merlin…"
-o0o-
Senin ke selasa, selasa ke rabu, begitu seterusnya hingga salju mencair, hingga musim dingin ini pun menjadi musim terdingin yang pernah kurasakan seumur hidupku.
Akhir-akhir ini aku membenci kehidupanku sendiri.
Menangis setiap malam hingga harus berulang kali merapalkan mantra peredam suara, melamun di setiap kelas, bergumam tak jelas, mengabaikan setiap candaan Ron dan Harry, bahkan selain perpustakaan kini menara Astronomi dan Danau Hitam yang sebagian masih membeku itu pun kini menjadi tempat favoritku.
Aku bukan seperti seorang Hermione Granger.
Semilir angin dingin dari seberang danau pun tak mengurungkan diriku untuk tak duduk di pinggiran danau ini.
Hah…
Kenapa aku menjadi puitis seperti ini?
"Well, aku benar-benar harus berterima kasih dengan yang namanya cinta itu…" Bibirku menyunggingkan senyuman yang aku sendiri tak tahu mengapa aku melakukan itu. Ku hela napasku sejenak sebelum membuka buku pertama yang akan ku baca kali ini.
Siapa yang tahu kemana jalan ini menuju?
Kemana hari mengalir?
Dan siapa yang tahu jika cintamu tumbuh
Seperti pilihan hatimu?
Siapa yang tahu mengapa hatimu mendesah saat cintamu terbang?
Dan siapa yang tahu mengapa hatimu menangis saat cintamu berdusta?
Siapa yang tahu kapan jalan-jalan itu bertemu menunjukkan bahwa cinta mungkin ada di hatimu?
Dan siapa yang tahu kapan hari tertidur jika malam selimuti hatimu?
Siapa yang tahu jika cintamu tumbuh seperti pilihan hatimu?
Dan siapa yang tahu kemana jalan ini menuju?
Kemana hari mengalir?
Siapa yang tahu
Hanya waktu...
Aku menutup halaman terakhir buku ini setelah berjam-jam selesai membacanya. Entah mengapa kalimat terakhir dari akhir cerita buku ini membuatku mengulang kembali semua masa-masa indahku sejak memasuki Hogwarts.
Pertama kalinya aku bertemu dengan Harry dan Ron di Hogwarts Express, dengan yakinnya aku merasa kalau dua bocah itu adalah orang yang tepat untuk menjadi temanku. Dan benar saja, itu terbukti.
Pertama kalinya aku melihat topi yang bisa berbicara dan menyatukanku kembali dengan Harry dan Ron di asrama Gryffindor yang hingga kini menjadi asrama tetapku di tahun terakhirku.
Aku menghela napasku kembali dan menggeleng pelan. Sudah cukup rasanya mengulang kembali semua ingatanku akan masa laluku. Masa laluku cukup pahit hanya untuk di kenang. Mungkin aku harus menuliskannya ke sebuah buku agar anak cucuku bisa membacanya suatu saat nanti. Mungkin mereka tak akan percaya kalau kehidupan seorang Hermione Granger itu sangat melodramatis seperti ini. Hah…
Suara derik ranting yang terinjak dari arah belakangku membuatku menoleh.
"Kini Danau Hitam pun menjadi tempat favoritmu?"
"Harry…" Harry pun mengambil tempat duduk disebelahku.
"Kau wanita teraneh yang pernah ku kenal, Hermione." Aku mengernyitkan dahiku saat mendengar perkataan Harry. "Disaat semua orang memilih berkumpul diruang rekreasi atau pun aula besar dengan perapian yang menyala, kau malah memilih duduk sendirian disini sambil membaca buku. Apa perpustakaan sudah pindah lokasi?" Aku tergelak sesaat dan merapatkan jubahku.
"Lantas kenapa kau malah berada disini juga bersama wanita teraneh dihidupmu itu, Harry?"
"Karena aku sahabat wanita teraneh itu, Hermione."
"Oh, well. Kini kau mengakui dirimu kalau kau adalah sahabatku." Kami pun tertawa mencoba mengurangi rasa dingin dari pinggiran Danau Hitam ini. Aku mungkin memang aneh, seperti yang dikatakan Harry tadi, seharusnya aku berada di tempat yang memiliki perapian yang cukup hangat di udara yang sangat dingin seperti saat ini.
"Perapian sebesar apapun untuk saat ini tak bisa menghangatkanku, Harry. Jadi lebih baik aku disini saja. Tahun depan aku takkan bisa menikmati pemandangan musim dingin seperti ini lagi dari Hogwarts." Harry mengangguk sambil tersenyum mengiyakan perkataanku.
"Aku paham apa yang kau rasakan saat ini, tapi tak bisakah kau mencari tempat lain yang tak membahayakan nyawamu?"
"Oh yang benar saja…" Kami tertawa lagi. Seharusnya mendengar candaan Harry aku sudah bisa sedikit terhibur, tapi entah mengapa malah bayangan pria berambut pirang itu yang kini bermain di kepalaku.
"Kau sudah berbicara dengannya?" Pertanyaan Harry membuyarkan bayangan itu. Aku menoleh ke arahnya. "Dengan Malfoy, apa kau sudah berbicara dan membahas apa yang perlu kalian bahas?"
"Apa lagi yang harus ku bicarakan dengannya, Harry?"
"Oh, ayolah Hermione, kau pasti tahu apa itu." Tawaku sengaja ku paksakan saat Harry berkata seperti itu.
"Harry, aku tak ingin membicarakan hal apapun yang menyangkut dirinya saat ini."
"Tapi kita sudah membahasnya, Hermione." Aku kembali terdiam. Terhanyut dalam hembusan angin musim dingin dan kembali memandangi Danau Hitam yang memutih.
"Menurutmu apa yang harus ku lakukan saat ini, Harry?" Harry memutar tubuhnya menghadapku karena ia tampaknya sangat tertarik dengan pembicaraan ini.
"Pertama…" Aku kembali merapatkan jubahku dan menunggu tanggapan darinya dengan sabar. "Demi Merlin, bisakah kita mencari tampat yang hangat terlebih dahulu?" Mulutku hampir saja menganga berlebihan saat mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut si pria berkacamata bulat ini.
"Ayolah Hermione…" Ia bangkit sambil menarik-narik lenganku layaknya bocah yang meminta dibelikan gulali besar. Dengan malas sambil menahan geli karena melihat tingkah kekanakan Harry, aku pun bangkit dari dudukku dan berjalan dengannya kembali ke kastil.
-o0o-
"Kenapa kau berpura-pura tidak tahu saat kau tahu?" Harry mengedarkan pandangan ke sekitarnya setelah menanyakan hal itu padaku.
"Apa yang ku pura-pura tak tahu kan, Harry? Oh, haruskah aku merapalkan muffliato disini?" Harry menggeleng.
"Hanya kau yang menyukai tempat-tempat aneh seperti ini, Hermione. Takkan ada seorang pun yang mengunjungi tempat ini dimalam hari seperti ini selain dirimu."
"Harry…"
"Bercanda…" Ia menghentikan tawanya setelah aku menatapnya horor karena candaan tak lucunya itu. Sebenarnya Harry hanya terlalu berlebihan saja. Kami berada di menara Astronomi dan dia masih menganggap tempat ini aneh setelah menyaksikan pembunuhan berencana Snape pada Dumbledore. Ia segera menghampiriku dan duduk disebelahku. Sama seperti yang ia lakukan saat di Danau Hitam tadi, ia tak bisa tenang sedikitpun.
"So, untuk kedua kalinya aku bertanya padamu, apa yang harus ku lakukan saat ini, Harry?" Ia menghentikan kegiatannya mengayun-ayunkan kakinya di udara saat kami duduk di pinggir balkon menara ini. Ia mengalihkan pandangannya dari langit dan menatapku serius setelah membenarkan letak kacamatanya yang posisinya sama saja seperti sebelum ia memperbaikinya.
"Berbicara."
Aku mengernyitkan dahiku. Hanya satu kata itukah yang ingin ia katakan?
"Aku serius, Harry."
"Aku juga serius, 'Mione. Untuk apa aku bercanda saat aku mencoba menolong sahabatku?"
"Kau sering melakukannya."
"Oke, I did. Tapi saat ini aku benar-benar tidak bercanda. Maksudku, kalian harus berbicara. Kau dan Malfoy. Hal pertama yang harus kau lakukan adalah berbicara dengannya. Kalau kalian saling diam seperti ini sampai Voldemort memiliki hidung pun masalah kalian tak akan terselesaikan."
"Kau melakukannya lagi."
"Oke, maaf. Aku hanya mencoba menghiburmu." Helaan napas dan gelengan kepala ku menandakan bahwa aku sama sekali tak terhibur oleh candaan Harry.
"Aku tak bisa melakukannya."
"Hermione, apa yang membuatmu enggan untuk berbicara dengannya?" Kini giliran aku yang memandangi langit malam yang terasa hampa tanpa bintang di musim dingin ini.
"Entahlah. Bibirku terlalu berat hanya untuk berkata 'Apa' atau 'Hei' padanya…" Aku menggeleng pelan. "…bukan bibirku sepertinya."
"Hatimu. Hatimu terlalu sakit untuk menerima perintah dari otakmu untuk melakukan itu, bukan?" Senyuman hambar tersungging dibibirku.
"Percayalah Harry, sejujurnya aku pun menunggu penjelasannya. Tapi kenapa harus aku yang memulai pembicaraan itu? Kau lebih mengetahui diriku ketimbang aku sendiri, Harry. Aku hanya tak siap mendengarkan alasannya mengapa ia melakukan hal itu."
"Hermione, semua perbuatan pasti ada sebabnya. Dan aku yakin kau pasti ingin mengetahui hal itu, kau harus bisa menerima alasan apapun yang diberikannya padamu nanti atau kapan saat ia berbicara padamu…"
"Tak semudah itu Harry." Harry menatapku tak percaya.
"Merlin, Hermione. Sepertinya semua hal selalu kau anggap rumit."
"Tidak dengan pelajaran." Tandasku. Harry hanya menggeleng aneh dengan ekspresi wajah yang tak kalah anehnya.
"Hermione, berusahalah untuk memperbaiki keadaan diantara kalian berdua. Aku yakin dia juga menantimu untuk memulai pembicaraan. Tak ada salahnya berharap, bukan?"
-o0o-
Langkahku terhenti saat berpapasan dengannya di lorong sekolah. Aku berusaha bersikap senormal mungkin. Ku eratkan genggamanku pada buku-buku yang ku dekap didadaku, walaupun aku tahu hal itu hanya akan membuat dadaku semakin terasa menyesakkan. Ia masih tak bergerak dari tempatnya menatapku dari jarak 10 meter.
"Hai…"
Buku-buku yang ku genggam seerat mungkin itu hampir saja jatuh ke lantai Hogwarts yang masih terasa dingin.
"Jangan mendekat!" Cegahku saat aku menyadari Malfoy hendak menghampiriku karena keterkejutanku tadi tapi seperti biasa ia tak pernah mengindahkan larangan atau perintahku, ia kini berdiri tepat didepanku dan aku pun masih dengan bodohnya berdiri ditempat itu walaupun aku sudah merasakan gemuruh didadaku.
"Herm—"
Ia tak menyelesaikan kalimatnya karena aku langsung berlalu meninggalkannya.
"Aku merindukanmu."
Aku mendengarnya. Walaupun seperti bisikkan tapi aku mendengarnya. Langkah kakiku tak ku hentikan dan terus ku laju walaupun rasanya aku ingin berlari memeluknya dan membalas perkataannya.
Tapi aku tak akan melakukan hal sebodoh itu. Aku terus berlari hingga ke kelas dan langsung menghempaskan bokongku ke kursi kayu nan keras tepat disebelah Harry dan Ron.
"Kau tak apa?" Aku hanya sanggup mengangguk sambil sesekali mencegah air mataku terlihat saat Ron bertanya padaku. Rasanya aku ingin sekali menghilang menggunakan jubah Harry saat ini juga. Aku lelah…
-o0o-
"Kau sudah menuangkan 3 sendok gula kedalam cangkirmu, Hermione."
"Huh?"
"Gula…" Ginny menggerakkan jemarinya menunjuk kearah cangkir teh ku yang membuatku segera tersadar dan meletakkan sendok gula itu kembali ke tempatnya.
"Kau tak mengaduknya?" Tiba-tiba ada sesuatu terbesit dipikiranku yang membuat benang kusut itu sedikit terurai.
Aku akan mencari tahu sendiri.
"Aku tak jadi meminumnya. Aku harus segera ke perpustakaan, Harry, Ron sampai ketemu di kelas selanjutnya." Tatapan heran Ginny dan Ron tak ku hiraukan dan langsung mengemas barangku setelah Harry membalas ucapanku. Harry tampak mengamatiku dengan mata sendunya. Aku tahu ia khawatir padaku. Tapi saat ini aku sudah bisa sedikit mengendalikan emosi dan perasaanku.
Aku baik-baik saja.
Kalimat yang selalu ku ulang disetiap pagiku. Walaupun aku sendiri ragu dengan kalimat itu.
"Ms. Granger, kau sakit?" Madam Pince tampak memperhatikan wajahku dengan serius, aku meringis kemudian menggeleng. Setelah mengembalikan beberapa buku yang ku pinjam dari perpustakaan beberapa hari yang lalu, aku memutuskan untuk mencari buku yang biasanya tak pernah kembali ke tempatnya itu. Namun betapa terkejutnya aku saat mendapati Malfoy di balik rak buku tua itu. Entah mengapa tubuhku dengan refleksnya bersembunyi dibalik rak dan kakiku pun melangkah mundur perlahan.
Apa yang kini ku lakukan?
Menjadi penguntit?
Tampaknya ia tak menyadari kehadiranku selama beberapa menit. Aku pun masih di posisi sebelumnya memperhatikannya dari balik sela-sela susunan buku, ia tampak serius dengan buku itu sambil membolak-balikkan halaman buku, sampai tiba-tiba seseorang yang-lumayan-ku kenal menghampirinya dan membisikkan sesuatu. Aku tak tahu apa yang dikatakan wanita yang ku kenal sebagai Greengrass itu sampai membuat Malfoy tak jadi meletakkan buku itu dan keluar dari perpustakaan dengan tergesa-gesa.
Perlahan aku keluar dari persembunyianku, maksudku dari balik bilik rak buku itu dan menatap tubuhnya yang samar-samar menjauh.
"Haruskah kita seperti ini?"
Barusan itu aku. Tentu saja aku bermonolog dengan diriku sendiri karena aku tak berniat sedikitpun untuk menanyakan hal itu secara langsung padanya. Bukannya aku takut, berulang kali juga ku katakan aku tak siap mendengarkan jawaban langsung dari mulutnya.
Apa yang harus aku lakukan?
Mengikuti saran Harry?
Oh, diriku hanya terlalu gengsi untuk memulainya duluan.
Bunyi derak terdengar menyakitkan dari kursi perpustakaan yang harus menopang tubuhku saat aku menghempaskan tubuhku diatasnya. Buku itu kini benar-benar tak kembali ke tempatnya. Memang sih buku ini biasanya berada di rak bawah (yang seharusnya berada di rak kelima), maksudku ia bahkan tak sempat menutup halaman terakhir dari buku ini. Walaupun aku sudah membaca buku ini berulang kali hingga akhir, tapi aku tetap menyukai membaca ulang bagian terakhir yang ditulis dibuku ini.
Siapa yang tahu kemana jalan ini menuju?
Kemana hari mengalir?
Dan siapa yang tahu jika cintamu tumbuh
Seperti pilihan hatimu?
Siapa yang tahu mengapa hatimu mendesah saat cintamu terbang?
Dan siapa yang tahu mengapa hatimu menangis saat cintamu berdusta?
Siapa yang tahu kapan jalan-jalan itu bertemu menunjukkan bahwa cinta mungkin ada di hatimu?
Dan siapa yang tahu kapan hari tertidur jika malam selimuti hatimu?
Siapa yang tahu jika cintamu tumbuh seperti pilihan hatimu?
Dan siapa yang tahu kemana jalan ini menuju?
Kemana hari mengalir?
Siapa yang tahu
Hanya waktu...
Ya…
Siapa yang tahu?
Hanya waktu…
Aku butuh waktu untuk berbicara dengannya. Dan aku juga butuh waktu untuk mendengarkan jawaban-jawaban darinya.
Saat ini, aku hanya tak siap. Tak siap akan apapun itu.
Tak siap akan berakhirnya hubungan ini.
-o0o-
"Hermione!"
"Arghh… Ginny Weasley."
"Kenapa? Kenapa ekspresimu harus seperti itu saat melihatku?" Ginny menyamakan langkah kakinya denganku.
"Kau tak perlu berteriak-teriak seperti itu memanggilku, Gin. Kau bisa memanggilku dengan normal."
"Oh, ayolah. Aku sudah memanggilmu dengan normal saat kau keluar dari kelas, kau saja yang tak menghiraukanku." Langkahku terhenti sesaat menatap Ginny bingung, ia menekankan kata dengan normal dan ekspresi kesal yang tak lepas dari wajahnya.
"Benarkah?"
"Blimey, Hermione. Tubuhmu disini tapi pikiran dan hatimu berada dimana, huh?"
"Draco…"
Apa?
Itu bukan aku.
Bukan aku yang menjawab pertanyaan Ginny. Kepalaku menoleh kearah suara yang menyebutkan nama pria berambut pirang itu. Pria itu, maksudku Malfoy sedang menatapku. Ia tengah bersandar di dinding tak jauh dari kelas Rune Kuno ini dengan kedua tangan berada di saku celananya.
"Apa yang kau lakukan disini?" Ia masih tak mengindahkan pertanyaan wanita itu. Dan masih betah menatapku.
Aku merindukanmu…
"Hermione?"
"Huh?"
Apa itu tadi?
Ia…baru saja me-legillimens ku?
Pandanganku tiba-tiba mengabur terkena lambaian tangan Ginny. Kini ia yang menatapku bingung.
"Hermione, ayolah. Harry dan Ron sudah menunggu kita." Seperti baru tersadar, aku pun mengikuti langkah Ginny dan mengabaikan pandangan itu.
"Aku ingin menemui seseorang dan mengatakan sesuatu."
"Seseorang? Siapa?"
"Ia sudah pergi."
Aku masih bisa mendengar suaranya menyahuti pertanyaan temannya tadi.
Entahlah…
Disela-sela perjalanan menuju asrama Gryffindor tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Sesuatu yang seharusnya sudah ku lakukan beberapa hari yang lalu saat di perpustakaan. Tapi hebatnya, aku malah melupakannya begitu saja.
"Ginny…"
"Yup?"
"Itu tadi… Greengrass, bukan?" Ginny mengangguk sambil memperbaiki tasnya yang melorot. Aku berinisiatif mengambil buku-buku yang sebelumnya didekapnya.
"Biar aku yang membawakan…"
"Thanks."
"Anytime. So… Ginny, apakah Greengrass itu…"
"Tunangan Malfoy?" Tanpa sadar mulutku sudah menganga mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Ginny.
Tunggu dulu.
Apa Ginny bisa membaca pikiranku?
"Aku yakin tidak, 'Mione."
"Merlin! Kau membaca pikiranku?!" Teriakku kaget dan refleks menghadang langkahnya.
"Hermione, kau bicara apa?"
"Kau… kau baru saja membaca pikiranku, bukan?" Ginny mengerutkan dahinya lalu tertawa membuatku semakin menatapnya takut.
"Membaca pikiran? Oh, Merlin jangan kau sama kan aku dengan Trelawney, 'Mione." Ia melanjutkan langkahnya yang disusul oleh langkahku.
"Tapi kau tadi tahu kemana arah pertanyaanku. Dan kau juga berkata, 'Aku yakin tidak, 'Mione…' seperti itu." Ginny semakin tertawa karena aku baru saja memperagakan gaya bicaranya padaku.
"Tentu saja aku tahu kemana arah pertanyaanmu, 'Mione. Semua orang pasti akan menanyakan hal yang sama saat melihat Malfoy bersama Greengrass. Tapi aku sangat yakin kalau bukan Greengrass lah tunangan rekan ketua muridmu itu." Aku mengernyitkan dahiku.
"Kenapa kau begitu yakin?" Ginny kembali menghentikan langkahnya sebelum mengucapkan sandi asrama Gryffindor lalu menghela napas.
"Greengrass, ah, maksudku Daphne Greengrass itu sahabat Malfoy, sama layaknya Parkinson. Dan yang ku tahu Daphne Greengrass tengah menjalin hubungan dengan Nott. Jadi, keluarga Malfoy tidak akan mungkin berkelahi dengan keluarga Nott yang sesama penyihir berdarah murni itu hanya karena memperebutkan Daphne Greengrass. Maka dari itu aku sangat yakin Daphne Greengrass bukanlah tunangan Malfoy karena sampai saat ini Malfoy, Nott dan Greengrass masih aman tentram tak ada terlihat pertikaian diantara mereka sedikit pun. Food of Love…"
Tanpa sadar aku memberikan tepukkan tangan pada Ginny. "Analisa mu sungguh luar biasa. Kau bahkan tak seangkatan dengan mereka tapi kau mengetahui segalanya. Dan demi Merlin siapa yang memberikan sandi asrama kita seperti itu?"
"Kau pasti tahu itu siapa…"
Aku tahu itu siapa dan mulutku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, jadi aku hanya mampu menggelengkan kepalaku dan mendengus sambil mengikuti langkah Ginny memasuki asrama.
Dada ku terasa sedikit lapang.
Entahlah, tak terasa menyesakkan seperti sebelumnya. Mungkin karena sebagian pertanyaan yang berputar dikepala ku sudah terjawab.
Setidaknya kini aku tahu.
Gadis itu, bukan Greengrass.
-o0o-
Ia masih memakai cincin itu.
Ia memakainya setiap hari tanpa perlu menyembunyikan cincin itu dari siapapun, tak seperti hubungan kami. Ah, aku lupa kami tak memiliki hubungan apapun. Di setiap kesempatan ia selalu berusaha untuk berbicara denganku, tapi di setiap kesempatan itu juga aku berusaha menghindar. Aku masih tak tahu siapa pemilik satu lagi cincin tunangan nan indah itu. Bukannya aku tak berusaha untuk mencari tahu, tapi hanya dengan mendengarkan penjelasan Ginny kemarin itu saja sudah cukup bagiku. Walaupun aku masih ingin tahu juga…
Entahlah.
Well, tapi aku baik-baik saja.
Aku bersikap acuh tak acuh walaupun sebenarnya rasa ingin tahuku lebih besar dari rasa acuh itu.
Apakah itu bisa dikatakan kalau aku baik-baik saja?
-o0o-
"Kau sudah tahu siapa gadis itu?" Aku menggeleng pelan. "Sebaiknya kau bertanya langsung padanya, Hermione."
"Untuk apa?" Harry mendesah lelah mendengar pertanyaan balik dari ku.
"Setidaknya kau harus mendengarkan penjelasan darinya sebelum kau menghakimi dia dengan mendiamkannya seperti ini."
"Oh, ayolah Harry. Aku sudah baik-baik saja dengan keadaanku saat ini. Kau tak perlu mengkhawatirkan aku lagi. Aku tak membutuhkan penjelasan apapun darinya dan urusan siapa tunangannya itu biarkan saja ia menyelesaikannya sendiri, aku sudah nyaman seperti ini."
"Nyaman? Baik-baik saja? Apa dengan bertingkah seperti penguntit dan pendengar setia gosip-gosip para gadis itu kau artikan dengan kata nyaman dan baik-baik saja? Demi Merlin, kau bukan seperti Hermione Granger yang ku kenal." Goresan pena bulu ku terhenti.
Benarkah aku sudah bersikap seperti itu selama ini?
"Harry, dengar…"
"Entah apapun yang akan kau katakan aku sudah tak mau mendengarnya lagi, Hermione." Harry menutup bukunya dengan kasar lalu pergi keluar perpustakaan meninggalkanku yang masih menatapnya bingung.
Apa? Apa-apaan ini? Sejak kapan seorang Harry Potter berkata kasar seperti ini pada sahabatnya.
Aku menghentikan aktivitasku yang memang sudah terhenti sedari tadi dan menyusul Harry sambil berusaha menyamakan langkahku dengannya.
"Harry… Harry, kau marah padaku?" Harry menghentikan langkahnya dan menarikku ke salah satu lorong Hogwarts yang tampak sepi.
"Hermione, aku tak marah padamu, hanya saja sikapmu saat ini membuat posisiku sebagai sahabatmu seperti tak berguna. Aku sudah berusaha memberikanmu nasihat. Walaupun kau berkata kau baik-baik saja tapi wajah sendumu menunjukkan kalau kau tak baik-baik saja. Aku ingin kau kembali seperti Hermione yang ku kenal, bukan seperti Hermione yang mengikuti Malfoy secara diam-diam atau seperti Hermione yang menghabiskan waktu senggangnya dengan mendengarkan gosip-gosip para murid."
"Aku tak melakukan itu…"
"Yes, you did." Aku kembali terdiam. Ini sulit dipercaya, aku melakukannya? Merlin, bahkan diriku sendiri menyangkal kalau aku sudah melakukan hal seperti itu. Harry memegang bahuku sehingga aku menatap mata hijau emerald-nya itu. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. "Malfoy memberikan ini untukmu melalui aku karena baginya sangat sulit untuk memberikan undangan ini secara langsung padamu walaupun kalian satu menara sebagai ketua murid. Seminggu setelah acara kelulusan, seluruh warga Hogwarts di undang untuk menghadiri acara Pesta Peresmian Pertunangan Malfoy, maksudku Draco… di kediamannya. Aku tahu kau pasti akan menolak untuk hadir ke acara itu, tapi apa kau masih yakin dengan kalimat andalanmu yang selalu mengatakan kalau kau baik-baik saja?" Tanganku dengan ragu menerima amplop berwarna hitam silver itu.
"Harry… aku…"
"Aku ingin kau segera menyelesaikan semua urusanmu dengan Malfoy sebelum keluarganya melakukan sesuatu lagi padamu. Dan kumohon, tegarlah, Hermione." Belum sempat aku berkata Harry sudah memotong perkataanku, membuatku kini menatapnya nanar.
Semua perkataannya tadi, dan juga undangan peresmian pertunangan itu…
Semuanya benar-benar membuat pertahanan 'Aku Baik-baik Saja' ku itu runtuh.
-o0o-
Apa yang kini ku harapkan?
Kisah hidup dengan akhir bahagia?
Itu hanya akan bisa ku temukan di dunia fantasi saja.
Beberapa hari ini, aku tidak bisa menenangkan diriku sendiri bukan karena jadwal ujian NEWT yang tinggal sebulan lagi, tapi karena aku kembali teringat dengan perkataan Harry setelah ia memberikanku undangan dan segala macam wejangan itu. Walaupun soal Greengrass itu sudah terjawab oleh penjelasan Ginny, tapi aku dan dirinya-Malfoy maksudku-tetap perlu berbicara. Dan soal waktu, entahlah sepertinya ini sudah waktunya.
Saat ini, aku tengah memondar-mandirkan diriku di kamar. Sebelumnya aku selalu menghabiskan seluruh waktuku membaca semua buku di perpustakaan, aku menghentikan semua kegiatan menguntit ku itu dan mencoba mencari jalan keluar. Jalan keluar dari semua masalah ini. Berbagai macam cara kulakukan tapi tetap saja berakhir dengan tangisan. Pria itu, ia tak sedikitpun berusaha menjelaskan semua ini padaku. Sampai aku harus memikirkan semua ini sendirian.
Kenapa ia melakukan ini padaku?
Kenapa ia melakukan ini begitu mudahnya?
Atau tidak.
Aku lah yang tak memberikannya kesempatan untuk menjelaskan.
Aku lah yang selalu menghindar disaat ia ingin berbicara denganku.
Tapi, aku begitu karena dirinya juga. Ia membuatku sulit tersenyum karena ia membuatku sulit bernapas.
Kenapa ia lakukan semua ini padaku?!
Satu kalimat yang setara dengan setitik air mata, lebih sulit daripada yang pernah ku takutkan. Dan aku sadar walaupun aku memiliki Harry, Ron, Ginny dan yang lainnya tapi aku merasa sangat kesepian. Hari-hari ini tidaklah mudah, tak seperti dulu. Hari-hari ini tak lagi mudah. Tak lagi mudah tanpanya. Yang ku rasa saat mendengar tiap kata yang diucapkannya, ia berjanji padaku akan menemaniku, menghilangkan rasa sakitku, traumaku, dan semua mimpi burukku, semua itu begitu indah ku rasa. Namun hanya sesaat.
Harusnya dulu aku tahu kalau semua ini tidaklah nyata dan mundur serta berusaha untuk mengerti apa yang paling penting untukku.
Aku…
Aku benar-benar tidak baik-baik saja seperti apa yang selama ini ku katakan pada diriku sendiri.
"Kita perlu bicara."
Ya, kita perlu bicara…
"A-apa?" Aku tersentak kaget dari lamunanku dan menemukan Malfoy tengah menghampiriku yang sedari tadi duduk menatap perapian ruangan ini. Ia duduk tepat di depanku, menatapku yang masih enggan membalas tatapannya. Menatap perapian yang sedang membara saat ini lebih baik daripada menatap mata kelabunya. Pikiranku melayang entah kemana selama beberapa menit karena tak ada satupun dari ku mau pun dirinya yang memulai pembicaraan ini.
"Kenapa kau bersikeras mengembalikan kalung itu padaku?" Pertanyaanku membuka percakapan yang tak tahu harus memulai dari mana ini. Ia pun terlihat tertarik dengan pertanyaanku. Seharusnya aku menanyakan hal yang lebih utama, tapi entah mengapa malah pertanyaan itu duluan yang keluar dari mulutku. Sungguh, mungkin bila ku keluarkan isi kepala ku ini pasti bisa terlihat kepala ku penuh dengan berbagai macam jenis pertanyaan yang bertujukan untuk dirinya. Untuk pria di depanku ini.
"Kau sudah menerimanya?" See? Ia bahkan tak berusaha menjelaskan kenapa ia mengembalikan kalung itu padaku. Aku tak menjawab pertanyaannya. Keheningan pun kembali terjadi. Kurasa sudah ada lebih dari 1 jam kami saling pesta bisu seperti ini sejak ia menghampiriku tadi.
"Siapa namanya? Gadis itu. Tunanganmu." Akhirnya aku sudah bisa menentukan mana pertanyaan utama yang harus ku pertanyakan padanya. Ku atur suaraku agar tak bergetar, namun aku masih belum berani menatapnya. Helaan napasnya dapat ku dengar dari sini. Dengan teriakan perih di dalam hatiku, aku berusaha melanjutkan kalimatku. "Aku ingin tahu. Caranya memandangmu, memperhatikan setiap gerakanmu, caranya mencari tahu kemana kau pergi. Aku harus melihat wajahnya, aku perlu untuk mengerti kenapa semua perasaan ini harus berakhir."
Ini sulit.
Ini sangat sulit.
"Hermione…" Mataku mulai memanas bukan karena hawa yang dikeluarkan dari perapian ini, mataku memanas karena ia tak kunjung menjawab pertanyaanku dan malah kembali memanggil namaku dengan suara yang teramat sangat ku rindukan itu.
"Beritahu aku, aku ingin mendengarkannya. Aku ingin mendengarkan siapa yang menghancurkan harapanku selama ini. Siapa yang menghancurkan kepercayaanku, dan siapa yang berbaring denganmu dimalam hari saat aku disini sendirian dan kau tak bersama ku selama sebulan lebih kau mengabaikanku. Beritahu aku, Draco…" Nama itu kembali ku sebutkan setelah sekian lama aku merasa enggan untuk menyebutkannya. Diam-diam tanganku menyeka air yang mengalir secara perlahan dari pelupuk mataku, dengan susah payah aku menggigit bibir bawahku dan menahan isakan tangisku.
"Dia… kau yakin ingin mendengarnya? Aku berulang kali ingin mengatakan ini padamu, tapi kau selalu menghindariku, aku tak menyangka kau akan menanyakannya langsung padaku. Ak—"
"For God Sakes…"
"Baiklah…" Malfoy berdeham sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya, ia mengatur napasnya yang terdengar gugup itu. "…dia adalah adik Daphne, teman seasrama ku. Greengrass, Astoria Greengrass..." Jeda sesaat karena aku tak memberikannya respon setelah ia memberitahukan nama gadis itu. "Kau sudah pernah bertemu dengannya di depan pintu asramaku saat kita berpatroli."
Jadi…
"Hei, As…"
"Untuk apa kau mengetahui namaku? Dan sepertinya aku tak perlu menyebutkan namaku karena seisi Hogwarts pasti sudah tahu siapa aku."
Sekilas percakapan ku dengan gadis itu beberapa bulan yang lalu seperti menghujam jantungku.
Jadi dia…
Bukan Daphne Greengrass, tapi adiknya.
Astoria Greengrass. Dia adalah Greengrass bersaudara.
Seharusnya aku tahu itu. Aku pernah sesekali melihatnya bersama Parkinson dan Greengrass satu lagi, kakaknya, Daphne. Tapi aku tak pernah hapal wajahnya karena ia tidak satu angkatan denganku.
Greengrass…
Malfoy…
"Hei, As…"
Sapaan Malfoy saat itu, ia menyapanya dengan menyebutkan nama depan gadis itu…
Ia menyapa nama depan gadis itu didepan umum. Ia menyapa nama depan gadis itu tidak hanya saat mereka sedang berdua saja. Ia melakukan itu tanpa perlu bersembunyi-sembunyi seperti apa yang aku dan ia lakukan selama ini.
"Hermione…"
Kedua keluarga Darah Murni itu…
"Hermione, say something…"
Aku berharap air mataku tak kembali mengalir saat aku memberanikan diriku menatapnya. Ia sedikit kaget melihat ekspresiku yang ku buat sedatar mungkin.
"Like what?"
Aku tahu kalimat ini juga pernah ku lontarkan padanya, namun ia tak mengatakan hal yang berarti saat itu. Malfoy tak menjawab pertanyaanku, ia masih menatapku, aku tahu ia tengah berusaha me-legillimens ku, tapi kali ini aku tak membiarkannya melakukan itu. Napasnya sedikit terengah-engah saat ia tak berhasil membobol pertahananku dari legillimens-nya. Mata ini saling bertatapan kembali. Wajahku masih ku usahakan sedatar mungkin saat aku berkata…
"Terkadang aku merasa terganggu tanpa mengetahuinya. Mungkin aku yang aneh karena aku berpikir sepertinya aku hanya berjuang sendiri…" Senyuman hambar terpahat di wajahku saat mengingat semuanya. Ia tak bersuara, masih mencoba menunggu ku berbicara. "Aku tak suka dirimu saat kau mendiamkanku selama sebulan lebih sebelum liburan akhir tahun Hogwarts itu. Aku juga tak suka saat kau memberitahukanku soal pertunanganmu dengan gadis itu. Mataku terlalu sakit melihat cincin itu tersemat di jari manis mu." Matanya beralih ke cincin pertunangan yang tengah melingkar di jari manis tangan kirinya. Aku masih menatap wajahnya dengan masih berusaha sedatar mungkin, ia nampak tengah berpikir itu.
Kalau saja cincin satu lagi tersemat di jariku…
"Tapi aku hanya memilikimu. Coba jelaskan arti diriku, Draco. Akhir-akhir ini, aku merasa kau milikku, seperti milikku tapi tidak. Seperti aku milikmu tapi tidak. Draco, apakah hubungan kita? Aku bingung. Aku merasa kita pasangan, seperti pasangan tapi tidak. Setiap kali aku melihatmu, kau terlihat samar. Dan akhir-akhir ini setelah disadarkan oleh berita pertunanganmu di Daily Prophet dan juga dari dirimu langsung, aku benci menerima kenyataan kalau kita memang tak memiliki hubungan apapun."
"Tapi aku sudah mengatakan padamu kalau aku mencintaimu, Hermione…"
"Kalau kau mencintaiku kenapa kau bertingkah seperti ini?! Memberikan ku janji, membuatku berharap, dan pada akhirnya kau jugalah yang menghancurkan semua janji dan harapan-harapan itu, Draco!" Kali ini aku sudah tak dapat mengontrol emosiku lagi. Ini sangat menyesakkan. Ia benar-benar membuat seolah-olah semua ini adalah salahku dengan sikap diamnya itu. "Seharusnya kau memberikanku kepastian… kepastian mengenai hubungan kita sehingga aku bisa menjawab 'YA' ketika kau bertanya apakah aku cemburu atau tidak, kepastian mengenai hubungan kita sehingga aku tak perlu merasa khawatir kau akan direbut wanita lain karena kau sudah menjadi milikku, dan kepastian mengenai hubungan kita sehingga aku tak harus berlari ketakuan ketika Ayahmu mendapati kita sedang berkencan!"
"Tapi aku tak bisa melakukannya!"
"Kenapa?! Kenapa kau tak bisa melakukannya? Apa karena kau malu telah tidur dengan seorang Darah Lumpur?! Apa kau takut Ayahmu meng-crucio mu karena anak semata wayangnya merusak kemurnian darah kalian?!"
"Ya! Ia memang melakukan itu!"
Kata-kata yang hendak ku keluarkan sebelumnya mengambang begitu saja saat ia memotong perkataanku. "A-apa?"
"Ia memang melakukan itu padaku. Ia meng-crucio ku, melemparkan segala macam mantra yang terdengar asing ditelingaku, bahkan ia hampir meng-avada ku kalau saja saat itu aku tak segera ber-apparate ke Hogwarts Express. Hermione, aku tak pernah malu telah tidur denganmu. Aku bahagia bersamamu. Setelah aku mengatakan bahwa aku mencintaimu, aku meyakinkan diriku untuk berani mengatakan semuanya pada orangtuaku. Aku mengakuinya di depan kedua orangtuaku karena aku pun menginginkan hal yang sama dengan yang kau katakan sebelumnya. Tapi kau bisa lihat bagaimana keadaanku saat di Hogwarts Express setelah aku melakukannya, bukan?" Nada bicaranya tak setinggi tadi, ia tampak kembali tenang dan sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu juga denganku.
Aku tak tahu.
Aku benar-benar tak tahu kalau penyebab semua luka yang di alaminya saat itu adalah aku.
Aku.
Secara tidak langsung memang aku.
Kenapa aku tak memikirkan hal itu sebelumnya?
"Aku juga ingin melihatmu disetiap aku membuka mataku di pagi hari. Aku ingin tidur dengan suaramu di malam hari. Tak hanya saat kita hanya berdua di menara ketua murid, tapi aku ingin melakukannya disetiap kesempatan yang ada. Aku ingin memelukmu di depan orang banyak, menunjukkan pada mereka kalau kau adalah milikku. Tapi aku sudah pernah mengatakannya padamu saat aku mengunjungi rumahmu, semua ini diluar kemauanku, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku berusaha melakukan semua keinginanku sendiri tapi Lucius langsung mengancam akan membunuh Ibuku. Lucius langsung membuat pertemuan antara keluargaku dengan keluarga Greengrass setelah ia melihat kita di Hogsmeade. Saat kau memergokiku tengah melamun dini hari lalu, saat itu aku tengah membaca surat darinya. Ia memaksaku untuk selalu bersikap manis dengan Astoria. Setengah mati aku menolaknya tapi kalau aku tak melakukannya dengan senang hati ia akan langsung melemparkan kutukan tak termaafkan ke Ibuku. Merlin! Kau tentu tahu selain dirimu aku juga sangat mencintai Ibuku, hanya kalian berdualah yang memperlakukanku layaknya manusia sesungguhnya." Aku tertegun mendengar perkataannya.
Ini semua…
…Apa?
Benarkah Lucius memperlakukan Draco dan Ibunya seperti itu?
"Kau tahu, Hermione…" Aku kembali menengadah menatapnya. "…saat kau kembali dari Hogsmeade dan aku mendapatimu di menara ketua murid bersama Harry, ia sempat memintaku berbicara berdua saja diluar. Dan kau tahu apa yang dikatakannya? 'Kumohon jangan sakiti Hermione lagi…' itu yang ia katakan padaku." Ia tak memberiku waktu untuk menjawab pertanyaannya, aku hanya bisa terperangah mendengarkan jawaban dari pertanyaannya itu. "Harry juga pernah memperingatiku, memperingatiku soal Lucius. Tapi aku tak mengindahkan semua perkataan sahabatmu itu, karena aku menganggap bocah itu tak tahu apa-apa soal hubungan kita berdua. Aku tak tahu kalau selama ini ia menyadari apa yang tengah terjadi diantara kita, aku juga tak menyangka ia masih mau membantuku saat aku terluka parah setelah mengetahui perlakuanku padamu. Dan sebelum libur akhir tahun itu, aku tak pernah berniat mendiamkanmu. Saat itu aku tengah sibuk memikirkan cara untuk menyampaikan masalah pertunanganku dengan Astoria—"
"Jangan sebut nama gadis itu." Perintahku dingin. Ia langsung terdiam, tak melanjutkan perkataannya.
Aku tak menyangka Harry pernah memperingatinya seperti itu. Aku tahu Harry melakukan itu karena ia takut Malfoy dan keluarganya menyakiti, untuk kesekian kalinya. Hanya saja, aku yang bodoh ini tak pernah menyadari semua itu dan malah terbuai dengan bunga-bunga mimpi yang takkan bisa menjadi nyata ini.
Di tengah keputusasaannya, Malfoy… ia melakukan hal yang benar. Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau nyawa kedua orangtuaku terancam seperti nyawa Ibunya. Aku juga mencintai kedua orangtuaku. Aku juga menutupi identitas Malfoy dari mereka karena aku takut mereka akan mengingat kembali kalau pria ini adalah bagian dari penyebab traumaku, bagian dari seseorang yang pernah menyiksa anak mereka.
Namun kini, ia menyiksaku langsung. Bukan melalui Bibi ataupun keluarganya, melainkan dirinya sendiri. Maksudku, ia tak menyiksaku secara fisik, tapi ia menyiksaku secara batin.
Sekali lagi,
Aku menjadi korban seorang Malfoy.
Ia mengacak rambutnya frustasi dan menangkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya yang terlihat lelah itu. Mataku menangkap cincin yang tampak melingkar dengan indahnya di jari manisnya, sangat kontras dengan jemarinya itu. Awalnya aku ragu namun kakiku kini berjalan menghampirinya. Ku raih tubuhnya dan memeluknya yang tampak terkejut dengan perlakuanku. Airmataku akhirnya ku biarkan dengan bebasnya mengalir saat mendengar semua perkataannya namun aku masih berusaha menyembunyikan isakanku.
Aku dan dirinya sama-sama korban Voldemort. Setelah semua perkataannya, aku tak bisa memaksakan keinginanku saja, perkataannya menyadarkanku, aku juga harus memikirkan dirinya yang tampak tertekan dengan semua perintah Ayahnya sendiri itu.
Intinya, aku dan dia, sama-sama tersiksa…
Yeah, this is a modern fairytale...
No happy ending, No winning ourselves.
"Hermione…"
Ku pejamkan mataku selama keheningan yang terjadi di antara aku dengannya. Saat ini aku tak sanggup lagi menggunakan kata 'kami' maupun 'kita'.
Ia membalas pelukanku dan mempereratnya seolah-olah tak ingin jauh dariku.
Percayalah, aku pun begitu…
"Andai waktu bisa ku ulang kembali di tahun pertama kita berjumpa, mungkin kita akan—"
"Tidak." Aku langsung memotong perkataannya. Aku tahu kemana arah tujuan per-andai-an dalam kalimatnya itu. "…Apa yang kau pikirkan saat ini takkan terjadi. Dan takkan ada yang berubah." Aku sudah tak ingin berandai-andai lagi. Sudah cukup.
"Hermione?" Ia melepaskan pelukan dan menatapku penuh tanya. Wajahku kini telah penuh dengan linangan air mata.
"Aku sadar, ada banyak hal dalam hidupku selain kepahitan dan dusta, aku tahu semua ini tak berjalan sesuai harapanku, tapi aku tak mau egois karena aku bukan hidup di dunia fantasi yang harus memiliki akhir yang bahagia. Kau nyata, perasaan ini nyata, aku hidup di dunia nyata. Kau pernah berkata jarak diantara kau dan aku yang tercetak jelas selama 7 tahun terakhir ini sangat menyulitkan walaupun Voldemort sudah tiada tapi pasti banyak pihak yang tak bisa menerima hubungan ini. Awalnya aku juga menyangkal jarak itu, tapi kini aku katakan sekali lagi, aku tak mau egois, kau memiliki Ibu yang harus kau lindungi dari Ayahmu yang gila itu. Dan aku juga punya orangtua yang harus ku lindungi juga dari kegilaan-kegilaan Ayahmu yang lainnya apabila kau dan aku terus bersama. Berpura-pura seperti musuh di depan umum, bertingkah seperti pasangan saat hanya berdua, ini berat. Sangat berat…" Ku hela napasku sejenak.
"Draco… mari kita akhiri semua ini…"
"A-apa?! Tidak." Dengan jelas ia langsung menolaknya. "Tidak. Hermione, ini bukan saat yang tepat untuk bercanda. Aku takkan mengakhiri semua ini. Aku akan kembali berusaha meyakinkan Ayahku, ak—"
"Kumohon jangan lakukan itu lagi!" Napasku tersengal, isak ku pun kini terdengar. "Semakin aku memikirkannya, semakin aku bingung dengan perasaanku sendiri. Aku hanya manusia biasa, Draco. Manusia biasa yang kalian sebut Darah Lumpur…"
"Jangan katakan itu lagi!"
"Aku tak bisa egois walaupun aku ingin, Draco! Aku juga memiliki kehidupanku sendiri! Aku tak ingin kembali terlibat dengan keluargamu! Saat ini aku tak sanggup lagi menggunakan kata 'kami' mau pun 'kita'. Jadi kumohon, dengarkan aku dan jangan membuatku mengulang kata itu lagi." Ia tak mencoba memotong perkataanku lagi. Tangisanku semakin menjadi, butuh waktu lama agar aku bisa kembali melanjutkan perkataanku.
"Kita memang ditakdirkan tuk berpisah. Meski tangan terkepal tinggi takkan membereskan semuanya. Kita tak pernah ditakdirkan bersama sampai mati. Aku tak ingin kau dan aku hancur, aku disini bukan untuk melukai siapapun. Sudah cukup dengan semua pembunuhan yang ku lakukan selama menjadi buronan Voldemort. Aku hanya ingin hidup tenang…" Aku memerlukan jeda beberapa menit untuk mengumpulkan nyawa dan pasokkan udara untuk tubuhku sebelum berkata-kata lagi. Dan untuk kedua kalinya, aku harus mengatakannya. "…Kita akhiri semuanya disini."
"TIDAK!" Ia langsung menarik tubuhku ke pelukannya, ia memelukku dengan erat hingga rasanya sangat sulit bagiku untuk bernapas. Bahunya bergetar, aku tak tahu kalau ia mungkin tengah berusaha menahan tangisnya. "Setelah NEWT… tidak, saat ini juga… larilah bersamaku. Kita bisa hidup bahagia. Berdua saja."
"Jangan bodoh, kau takkan tahu bagaimana rasanya menjadi buronan. Tak ada yang namanya hidup bahagia, Draco. Kau masih diberi kesempatan untuk memilih, dan kau harus memilih kehidupanmu kedepannya bersama gadis itu… bukan denganku, demi Ibu mu." Perlahan aku mendorong tubuhnya yang tampak enggan melepaskan ku. Akhirnya ku beranikan diriku menatap matanya. Menatap setiap lekuk wajahnya…
Rambut pirangnya yang selalu tersisir rapi, mata kelabunya yang selalu menatapku dengan berbagai cara itu, wajahnya yang baru ku sadari semakin tirus, dan bibir hangat nan lembutnya itu… aku merasakannya dengan jemariku untuk yang terakhir kalinya.
Aku takkan bisa melakukan hal seperti ini lagi setelah acara peresmian pertunangan mereka.
"Hermione—" Aku tak ingin mendengar perkataan yang akan dilanjutkannya maka bibirnya langsung ku bungkam dengan bibirku. Ciuman perpisahan yang panjang itu pun berakhir saat itu juga. Oh, bisakah aku mengatakannya begitu?
Aku hanya ingin ia menemukan jalan yang tepat untuk dirinya tanpa melukai siapapun lagi. Ia tampak tak ingin melepaskanku, begitu juga denganku. Tapi…
"Hermione, kumohon…"
"I'll let you go…"
"Hermione…"
"Aku mencintaimu, Draco."
Jadi, seperti inilah cinta itu…
-TBC-
Thanks to : Macey Harris, dep, caesarpuspita, Guest (Hai…hayati love you :*), bi, yellowers :*, Nha Chang, Clairy Cornell, andreanibebe, , ElectraMalfoy, and Bellezalf. Ah, and for SILENT READERS.
A/N : Maaf kalau ada typo(s), OOC, EYD yang berantakan dan rekan-rekannya. Saya juga mau memperjelas soal sihir yang kenapa berpengaruh sampe jam 12 tapi jam satu pagi tokohnya masih berpenampilan sama, itu karena sihir yang hilang hanya pada tongkatnya saja tidak pada apa yang mereka kenakan :) How about this chapter? Apa Hermione dan Draco harus berakhir disini, atau…?
Well, I hope you all still love and waiting for this weird story. Don't forget to leave your review, every single word from your review are meaningful for me. Thank you :)
