∞ SAY SOMETHING ∞
Timeline:
Tahun ke-7 setelah perang usai.
Warning : Newbie Author, Sebagian OOC, Typo(s), Absurd, Whatever (-_-)
Disclaimer : J.K Rowling
The Story Owned By Me
-o0o-
Aku benar-benar tak tahu kalau penyebab semua luka yang di alaminya saat itu adalah aku.
Aku.
"Aku sadar, ada banyak hal dalam hidupku selain kepahitan dan dusta, aku tahu semua ini tak berjalan sesuai harapanku, tapi aku tak mau egois karena aku bukan hidup di dunia fantasi yang harus memiliki akhir yang bahagia. Kau nyata, perasaan ini nyata, aku hidup di dunia nyata."
"Aku tak bisa egois walaupun aku ingin. Aku juga memiliki kehidupanku sendiri. Saat ini aku tak sanggup lagi menggunakan kata 'kami' mau pun 'kita'. Jadi kumohon, dengarkan aku dan jangan membuatku mengulang kata itu lagi."
"Kita memang ditakdirkan tuk berpisah. Meski tangan terkepal tinggi takkan membereskan semuanya.Kita tak pernah ditakdirkan bersama sampai mati.Aku tak ingin kau dan aku hancur, aku disini bukan untuk melukai siapapun."
"…Kita akhiri semuanya disini."
-o0o-
Chapter 08 : Psychiatrist?
"Aku mencintaimu, Draco." Langkahku perlahan menjauh darinya. Ia seperti terkena mantera pembeku tubuh dan hanya bisa menatapku nanar. Sebelum menggapai pintu menara ketua murid, Malfoy kembali hendak mencegahku pergi, aku segera mengenakan jubah gaib milik Harry yang sedari tadi ku persiapkan di dekat pintu. Ia tampak kebingungan karena tak dapat melihat wujudku. Sesaat aku kembali mendekatinya dalam diam.
"Hermione? Hermione! Kumohon…"
"Berbahagialah…" Ku bisikkan kata itu sebelum mengecup bibirnya singkat lalu pergi menjauh darinya.
"Hermione?" Sebelum berlari terlalu jauh dari menara ketua murid aku bersembunyi dibalik salah satu tiang penyanggah. Kaki ku saat ini tak bisa di ajak berlari.
"HERMIONE?!"
Setelah teriakkannya memanggil namaku aku melihatnya ikut berlari mengejar ku dengan wajah bingung yang tampak sibuk mencari wujudku. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berlari sambil menuruni anak tangga, berhenti sejenak, dan menoleh lagi ke belakang lalu melanjutkan langkahnya. Begitu seterusnya.
Isakkan tangisku tak dapat ku tahan saat mataku sudah tak melihat sosok itu lagi. Aku masih dapat mendengar teriakannya memanggil namaku kembali.
Merlin, aku melakukan hal yang benar, kah?
Harry, seperti ini seharusnya yang ku lakukan, bukan?
Perlahan tubuhku merosot ke lantai menara yang dingin.
Demi apapun itu, ia menangis…
Aku melihatnya…
Draco…
-o0o-
Kau tahu legenda asal mulanya bunga mawar merah?
Aku tahu beberapa.
Dalam legenda Arab, semua bunga mawar awalnya hanya berwarna putih sampai suatu malam ketika burung Bulbul bertemu mawar putih yang indah, ia langsung jatuh cinta. Pada saat itu, burung Bulbul tidak tahu bagaimana cara bernyanyi dengan merdu, burung itu hanya berteriak dengan suara parau dan berkicau seperti burung lainnya. Tetapi sekarang burung Bulbul memiliki cinta yang begitu kuat dan ia terinspirasi untuk menyanyi pada pertama kalinya. Akhirnya cinta burung ini terhadap mawar putih bertambah besar, sehingga ia ingin bersatu dengannya. Ia pun memaksakan dirinya memeluk bunga mawar putih tersebut sehingga duri dari mawar menusuk hatinya dan mewarnai mawar putih menjadi merah, selamanya.
Pada legenda lainnya yang tidak diketahui asalnya yang mirip dengan legenda dari Arab, suatu ketika terdapat burung yang jatuh cinta dengan mawar putih. Burung tersebut berusaha keras untuk mengungkapkan bahwa ia sangat mencintai mawar putih yang sangat indah itu. Namun mawar putih menjawabnya dengan perkataan yang menyakitkan bahwa ia tidak akan pernah mencintai burung tersebut. Lantas burung itu tidak pantang menyerah, ia memotong sayapnya sendiri dan menebarkan darah yang keluar dari sayapnya sebagai bukti pengorbanan cintanya kepada mawar putih. Darahnya yang merah tersebut akhirnya mengubah mawar putih menjadi mawar merah. Setelah itu akhirnya mawar putih sadar bahwa betapa besarnya cinta burung itu kepadanya. Sebenarnya mawar putih juga mencintai burung tersebut, hanya saja ia terlalu gengsi untuk mengakuinya. Apa di kata, semuanya sudah terlambat, sang burung telah mati karena kehabisan darah. Mawar pun merasa sedih dan kecewa terhadap dirinya sendiri.*)
Itulah beberapa cerita legenda sejarah bunga mawar merah tercipta yang ku dapatkan dari berbagai macam buku legenda dan dongeng yang pernah ku baca.
Apa kau tahu inti dari legenda tersebut?
Sebelumnya aku tak tahu, tapi kini aku bisa mengambil kesimpulan. Intinya…
Cinta itu hanya omong kosong. Hanya frasa penuh romansa yang berbalut luka dan pengkhianatan. Cinta yang berakhir bahagia hanya ada di dongeng.
-o0o-
1… 2… 3… 4… 5…
1… 2… 3… 4… 5…
1… 2… 3…
"Hermione?!"
"Oh, hang on, Gin!"
"Kau sudah 30 menit lebih berada di dalam! Kita bisa telat!"
"Aku tahu! 5 menit!"
"Kau sudah mengatakan '5 menit lagi' sejak 15 menit yang lalu! Hermione?!" Dengan malas aku membuka pintu kamar mandi dan menatap Ginny dengan tatapan ingin mengutuknya. "Kau tak punya waktu untuk mengutukku, kita harus segera me— Blimey! Hermione, mata mu…" Ginny sudah hendak menyentuh wajahku tapi aku bergeser pelan.
"Kita harus segera menemui kepala sekolah, bukan?" Tak ada sahutan darinya, saat aku menoleh ia masih menatapku dengan curiga. "Ginevra?"
"Kau berhutang penjelasan padaku, Hermione." Tanpa mempedulikan ekspresi bingung di wajahku ia langsung menarik lenganku berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang rapat Ketua Murid dan Prefect. Aku tak mengerti kenapa ia mengatakan kalimat seperti itu. Memangnya aku berhutang penjelasan apa padanya?
Ah! Merlin, jangan-jangan…
"Well, Ms. Weasley… Ms. Granger?" Pikiranku buyar setelah sadar kalau kami sudah berada diruang rapat dan Profesor McGonagall serta beberapa staff pengajar lainnya tengah menatap aku dan Ginny dengan wajah menunggu penjelasan.
"Maafkan kami, Profesor. Hermione terjebak di kamar mandi selama beberapa menit."
"Ahh… benarkah? Kalau begitu silahkan duduk, mungkin kalian bisa berbagi informasi dengan teman yang sudah mengikuti rapat ini sedari tadi." Aku dan Ginny mengangguk dan segera mengambil tempat duduk yang masih kosong. "Karena Ms. Granger sudah berada disini, aku harap ia bisa mengurangi kekosongan bangku Ketua Murid Pria…" Seperti baru menyadarinya, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Rekan ketua murid ku itu tak berada diruangan ini.
Saat ini kami tengah membahas persiapan menjelang ujian NEWT pertengahan musim semi nanti. Kepala sekolah tengah membagikan jadwal baru anak tingkat 6 dan 7. Aku tahu, waktu ku tinggal sebentar lagi disini. Aku akan segera bisa bernapas lega dan memulai impian baru ku.
Keluar dari Hogwarts, mencari pekerjaan. Kalau aku beruntung aku akan mendapatkan tempat di Kementerian Sihir, tapi kalau tidak aku akan bekerja di dunia muggle dan mencoba peruntunganku lagi di Kementerian Sihir tahun depan. Atau aku bisa berkeliling dunia selama setahun bersama kedua orang tuaku.
Tanpa sadar bibirku kini tengah menyunggingkan senyuman. Sampai telinga ku mendengar suatu kalimat yang membuat senyumanku itu lenyap seketika.
"Kita sudah memutuskan akan menghadiri undangan Peresmian Pertunangan Mr. Malfoy dengan Ms. Greengrass, karena acara itu akan dilaksanakan seminggu setelah acara kelulusan. Apakah diantara kalian ada yang keberatan?"
Kembali, sepertinya perasaan dan pertahananku tengah di permainkan saat ini.
1… 2… 3… 4… 5…
1… 2…
"Ms. Granger, apa kau mengatakan sesuatu?
3… 4… 5…
"Tidak ada, Profesor." Tak lama pandangan mataku bersirobok dengan mata Harry yang tengah duduk di seberang ku. Wajahnya kembali khawatir dan seakan-akan dari ekspresinya itu ia bertanya 'Apakah aku baik-baik saja', seperti itu.
"Baiklah sepertinya tidak ada yang keberatan, kalau begitu Ms. Granger bisa kah kau membagikan perkamen dresscode kepada para Prefect asrama?" Dengan sigap aku membagikan perkamen itu kepada para Prefect setelah menyanggupi permintaan kepala sekolah. "Kita akan membahas mengenai undangan ini setelah Mr. Malfoy bergabung dengan kita. Well, rapat kali ini di bubarkan." Setelah memohon diri untuk pamit dengan kepala sekolah dan para staff pengajar aku pergi meninggalkan ruangan rapat.
"Hermione, setelah ini bisa kita berbicara? Berdua saja?" Aku menghadap ke arah Ginny setelah menghentikan langkahku.
"Kau bisa membicarakannya sekarang, Gin."
"Tidak, tidak disini. Aku perlu tempat yang aman dan hanya ada kita berdua." Alisku mendadak merapat menjadi satu mendengar pernyataan Ginny.
"Pentingkah?"
"Sangat."
"Well… kalau begitu di menara ketua murid, setelah jam makan siang. Aku harus menemui Kepala Sekolah dulu untuk memberikan laporan Ketua Murid." Setelah Ginny mengangguk aku pun melanjutkan langkahku.
"Kau perlu bantuan?" Zabini kini tengah mengikuti langkah kaki ku.
Dari mana anak ini muncul?
"Tak perlu, aku bisa melakukannya sendiri."
"Oh, ayolah. Kalau bukan karena Draco aku juga yakin kau bisa melakukannya sendiri, Granger."
"A-apa? Apa kau bilang?"
"Well, Draco memerintahkanku untuk membantumu dalam mengerjakan tugas Ketua Murid selama ia tak bisa hadir." Aku terdiam selama beberapa saat. Cukup lama sebenarnya hingga Zabini melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
"Tapi kau tak memiliki laporan ketua murid pria." Cegah ku.
"Blimey, Draco tak kan mungkin menyuruhku tanpa memberikanku bahan untuk menolong mu. Tentu saja Draco sudah memberikan laporan ketua muridnya padaku." Ia melambaikan berkas yang tanpa ku sadari sudah sedari tadi berada di tangan kirinya. Tanpa mencoba membalas perkataan pria di depanku ini aku pun menghela napasku dan melanjutkan langkah menuju kantor kepala sekolah. Ia diam saja selama kami berjalan berdampingan kecuali saat ia harus melaporkan hasil patroli dan keamanan ketua murid pria.
Aku sedikit bersyukur bukan Malfoy yang kini tengah disampingku.
Atau TIDAK.
Aku menarik kembali perkataanku sebelumnya. Aku menyesal telah mengatakan hal itu. Zabini benar-benar tak konsisten dengan diamnya selama kami menuju ke kantor kepala sekolah tadi. Kini saat kami telah menyelesaikan laporan tugas hasil ketua murid ia terus berceloteh entah apapun itu setelah kami keluar dari kantor kepala sekolah. Sampai aku berusaha untuk mempercepat langkahku agar ia tertinggal di belakangku, tapi sama saja. Hal itu malah membuatnya semakin bersemangat mengejarku dan mengganti topik pembicaraan dengan pembicaraan yang lain.
"Zabini. Hentikan. Kumohon…" Ia tampak kaget saat aku berhenti mendadak di depannya.
"Well, aku hanya berusaha menghiburmu, Granger."
"Apa? Menghiburku? Apa menurutmu aku tampak sedang butuh hiburan?" Ia mengangguk dengan kecepatan diatas normal. Sudah pernah ku katakan sebelumnya kalau anak-anak Slytherin selalu bertingkah tak normal.
Apakah sejelas itu?
Maksudku, apakah sejelas itu terpampang diwajahku kalau aku memang sedang membutuhkan hiburan?
"Dengar Granger, bukan aku sok akrab denganmu… tapi aku berusaha menghargai apa yang telah kau alami selama ini bersamanya. Aku turut prihatin dengan keputusannya mengikuti perintah Lucius, tapi apa boleh bu—"
"Lucius? Tunggu dulu. Apa yang kau bicarakan?"
"Draco. Tentu saja Draco…" Seketika mataku membelalak, tapi pria didepanku ini tak menyadarinya. "…Aku tahu kalian sudah mengalami hari-hari yang berat. Tapi ku harap, kau tegarlah. Jangan murung seperti ini. Aku tahu bukan hanya dirimu saja yang tersakiti dengan keputusan Lucius ini, tapi aku juga. Sebagai sahabat, sahabat Draco maksudku karena aku tahu tentu kau tak menganggapku sahabat, ha…ha… oke sampai dimana aku bicara tadi? Ah, ya pihak tersakiti, aku. Aku juga. Sebagai sahabat Draco aku juga ingin Lucius tersadar dari apa yang tengah dilakukannya. Draco sudah teramat tertekan saat ini, ditambah lagi dengan sikap dingin mu terhadapnya. Saat ini Draco tengah berusaha memperjuangkan apa yang harus diperjuangkannya, dan ku harap kau bersabar dan setia menunggu usahanya, atau mungkin kau bisa mendukungnya. Kau tahu Draco kemana selama seminggu lebih ini?"
"A-apa?"
"Hah… aku sudah yakin kau pun tak mengetahuinya, tapi ya… itulah tadi. Ku harap kau tegar, bersabar, dan berdoalah. Semoga apa yang diperjuangkan Draco saat ini memang pantas untuk kalian berdua." Ia menepuk bahuku pelan seakan menyuruhku untuk sadar dan segera menginjak tanah. Tak bisa ku jelaskan ekspresi wajahku saat ini seperti apa. Yang jelas, aku terdiam cukup lama.
"Kau… mengetahuinya?"
"Tentu."
"Sejak kapan?"
"Kapan ya? Sejak pesta ulang tahun Hogwarts, mungkin? Ah tidak… sepertinya saat aku memasuki tahun ajaran baru di tahun terakhir ku ini. Sejak perang berakhir. Sejak kau tak memperlakukan Draco sebagai musuh lagi, sejak Draco memperlakukanmu layaknya kau lah orang yang pantas ia perjuangkan itu, dan sejak kau dan Draco tak menyadari apa yang tengah kalian alami."
Ini… apa?
Apa ini termasuk salah satu cobaan ketika kau sedang berusaha untuk move on?
"Hermione… ah, bolehkah aku memanggilmu seperti itu?" Aku tak menjawab pertanyaannya dan masih menatap lantai yang tampak lebih menarik daripada pembicaraan ini. Tiba-tiba kepalaku seperti terangkat ke atas.
"Sudah ku katakan kau memang membutuhkan hiburan, tapi kenapa kau malah mengabaikan hiburanku tadi? Ck! Draco pasti tak kan senang melihat keadaanmu sekarang. Kalau begitu, aku akan kembali ke asrama ku dulu sebelum Draco tiba-tiba muncul dan mengusirku karena tengah berbicara berduaan dengan kekasihnya." Ia menepuk kepala ku pelan lalu melangkah meninggalkanku yang masih terdiam. Ia sempat berteriak menyuruhku makan siang sebelum bayangannya benar-benar menghilang.
Zabini… ia pun mengetahuinya.
"Sejak kau tak memperlakukan Draco sebagai musuh lagi, sejak Draco memperlakukanmu layaknya kau lah orang yang pantas ia perjuangkan itu, dan sejak kau dan Draco tak menyadari apa yang tengah kalian alami."
Benarkah?
"Hermione…" Napasku tercekat saat mendengar suara yang sangat ku kenal memanggil namaku. Dengan refleks aku menoleh kebelakang dan mendapati Ginny tengah memandangku dengan tatapan tak percaya dan tatapan penuh tanya.
"Benarkah… yang ku dengar barusan?"
Ya Tuhan…
Merlin… siapa pun itu…
Tolong aku…
"Jawab aku, Hermione."
-o0o-
"Kenapa kau tak menunggu ku di menara ketua murid?"
"Aku hanya tak ingin kau kembali melewatkan jam makan siangmu setelah beberapa hari belakangan ini, jadi aku berpikir ingin mengajakmu makan siang makanya aku menyusulmu ke kantor kepala sekolah. Well… aku tak tahu kalau aku akan mendapatkan kejutan seperti ini ditengah perjalananku menjemputmu."
Ke…jutan?
"Maafkan aku, Gin…" Ia kembali tak menjawab permintaan maafku. Tak ada sahutan darinya setelah aku menceritakan semua kisahku padanya kecuali pertanyaan tadi. Selama beberapa menit, ah… beberapa jam sudah sepertinya, Ginny masih betah dengan posisi diamnya dan menatapku dari seberang meja. Kami sudah berada di menara ketua murid. Ia masih menatapku tak percaya dengan kedua tangannya yang terlipat didepan dadanya, seperti seorang Ibu yang tengah memarahi anaknya. Sungguh aku merasa terintimidasi dengan tatapan khas Ginny Weasley-nya itu, maka aku hanya bisa menatap kepulan asap yang keluar dari cangkir kami yang berisi cokelat hangat.
"Hah… sudah berapa kali aku menghela napasku?"
"Entahlah, Gin…" Kami kembali terdiam lagi. Aku yakin Ginny tengah memikirkan serentetan kalimat untuk memarahiku. Aku tak berharap ia akan bersikap menerima seperti apa yang telah Harry lakukan sebelumnya padaku. Ginny dan Harry, mereka berbeda…
Berbeda dengan Harry yang sebelumnya mendukung hubunganku dengan Malfoy itu semata-mata karena ia ingin aku bahagia. Tapi Ginny…
Ia pasti akan membahas hal ini secara 'wanita'. Maksudku, karena kami sesama wanita pasti ia mengerti perasaanku, dan aku yakin pasti emosinya akan meledak-ledak karena ia berpikir kalau aku adalah orang yang benar-benar tak rasional karena memiliki hubungan asmara dengan mantan musuh kami. Tak seharusnya aku hanya memikirkan kebahagiaanku semata, seharusnya aku memikirkan perasaan mereka juga. Pantas saja Zabini berkata kalau bukan hanya akulah yang merasa tersakiti, tapi dirinya sebagai seorang sahabat juga merasa tersakiti. Jadi, kemungkinan Ginny juga berpikiran sama seperti Zabini. Maka aku sangat yakin ia pasti benar-benar akan memarahiku.
"Menangislah…"
"Huh? Apa?"
Menangis?
"Menangislah, Hermione…"
"Ginny, a-aku…"
"Aku tahu kau tengah mengalami masa yang sulit, lagi… setelah sebelumnya kau menjadi buronan Voldemort. Aku tak berniat sama sekali untuk memarahimu setelah apa yang tengah kau alami ini. Hermione, maafkan aku…"
"Ginny, kenapa harus kau yang meminta maaf padaku?"
"Maafkan aku karena selama ini aku tak peka terhadap kesulitanmu."
"Ginny… aku sama sekali tak bermaksud untuk membagi kesulitanku dengan orang lain, aku bisa sendiri. Bahkan usaha Harry untuk membantuku menyelesaikan masalahku ini pun ku tolak. Ya walaupun sebagian ku terima, tapi aku—"
"Hermione, seharusnya kau memberitahukannya padaku sehingga aku bisa membantumu menyelesaikan masalah ini, sebagai sesama wanita, tidak dengan Harry. Aku yakin Harry menyuruhmu mengakhiri hubungan mu dengan Malfoy, bukan? Kau bertanya pada orang yang salah, Hermione… Harry tentu tak memahami apa yang kau rasakan karena ia pria, bukan wanita sepertiku. Seharusnya kau bertanya padaku terlebih dahulu."
"Tapi saat itu Harry terlebih dahulu mengetahui hubunganku dengannya, Gin…"
"Ah, seharusnya aku marah pada kalian berdua karena hampir 3 bulan lebih ini kalian menyembunyikan masalah ini dariku, tapi saat ini sudah ku katakan sebelumnya aku enggan memarahimu." Ginny bergumam yang gumamannya itu lumayan dapat ku dengar, membuatku semakin merasa bersalah.
"Maafkan kami, Gin… maaf…" Ginny menghampiriku dan mengangkat daguku untuk menatap wajahnya.
"Menangislah… menangislah, Hermione." kepalaku mengangguk cepat dan seketika air mataku mengalir, Ginny berhambur memelukku.
Ginny benar, bukan maksudku menyalahkan Harry. Tapi seharusnya aku menceritakan hal ini padanya terlebih dahulu, seharusnya aku meminta solusi dan dukungan darinya, sebagai sesama wanita, dan sebagai sahabat. Sudah pantaskah saat ini aku merutuki diriku yang bodoh ini?
Aku masih menangis dalam pelukan Ginny. Aku tak menyangka ia akan menerima luapan emosiku dengan pelukan sehangat ini. Tangannya mengelus perlahan punggungku. Hal itu malah membuat tangisanku semakin kuat.
"Maafkan aku, Gin…"
"Ssst… sudahlah… menangis sajalah, keluarkan semua tangisan yang selama ini kau sembunyikan dari kami, setelah itu aku akan membantumu menyelesaikan benang cintamu dengan Malfoy yang kusut ini. Menangislah…" Aku mengangguk lagi dan mempererat pelukanku.
Ada pepatah mengatakan…
"Kalau hanya dengan menangis tidaklah bisa menyelesaikan semua masalah, tapi dengan menangis setidaknya hatimu tak terasa penat lagi."
And I do believe that if you haven't learnt about sadness, you can't appreciate happiness.
1… 2… 3… 4… 5…
1… 2…
"Kenapa akhir-akhir ini kau sering melakukan itu?"
"Ah, ini… aku hanya melakukan terapi menenangkan diriku sendiri." Ginny mendecih sambil menggeleng-gelengkan kepalanya menatapku prihatin, aku memang sengaja melakukan terapi pernapasan ini untuk menenangkan pikiran dan perasaanku, Dad pernah mempraktekkannya padaku saat aku ketakutan untuk mencabut gigiku yang rusak. Ia selalu memiliki berbagai macam cara untuk menenangkan pasiennya.
"Sesulit inikah sampai kau harus menenangkan dirimu sendiri?" Aku hanya mengedikkan bahuku saja lalu menyeruput minumanku yang sudah tak hangat lagi karena aku terlalu lama menangis. Aku yakin Ginny perlu memeriksa jubah bagian belakangnya.
"So, where do I begin?"
"Apanya?" Tanyaku bingung.
"Menceritakan kisah tentang betapa menakjubkannya cinta, mungkin. Ya tentu saja tentang membantumu menyelesaikan masalah antara kau dan Malfoy, Hermione."
Oh…
OH…
Aku sempat menganggap serius kalimat pertama Ginny. Merlin…
"Entahlah, Gin. Menurutmu?" Ginny tampak berpikir sesaat sebelum mengagetkanku dengan teriakan 'A-HA' nya.
"Kau tahu kemana ia saat ini?" Dahiku berkerut seketika. Kenapa pertanyaannya sama dengan apa yang Zabini tanyakan?
"Aku tak tahu. Mungkin ia sedang sibuk mempersiapkan acara pertunangannya dengan gadis itu." Jawabku berusaha setenang mungkin.
"Astoria. Nama gadis itu Astoria, Hermione."
"Aahh, jangan sebut nama gadis itu didepanku."
"Lantas aku harus menyebutnya apa? The-Girl-Who-Can't-be-Named?"
"Ginny Weasley…"
"Kalau begitu biarkan aku menyebut namanya, karena kalau aku memanggilnya dengan sebutan nama keluarganya, di Hogwarts ini ada 2 orang yang bernama belakang Greengrass, jadi aku akan menyebutnya Astoria." Aku menggeram kesal dengan penjelasan Ginny, sungguh… itu tak penting sekali.
"Pertanyaanmu sama dengan apa yang Zabini tanyakan tadi. Aku tahu kau menguping pembicaraan kami tapi tak bisakah kau lebih kreatif dengan menanyakan pertanyaan lain?"
"Nope. Itu adalah pertanyaan yang tepat untukmu." Aku mendesah. Baiklah, aku kalah debat dengan satu-satunya anak perempuan di keluarga Weasley ini. "Apa kau tak berusaha mencari tahu keberadaannya?"
"Untuk apa?" Tanyaku langsung sambil menatap Ginny tak percaya.
"Oh, ayolah Hermione… apa kau tak khawatir padanya? Bukankah kau sudah tak pernah kembali ke menara ketua murid seminggu terakhir ini kecuali saat kau mengambil keperluanmu? Kau juga bilang padaku tadi kalau kau selalu berusaha menghindar saat mendapatkan jadwal berpatroli dengannya. Apa kau tak merindukannya selama seminggu lebih absennya dirinya ini?"
Apa aku tak merindukannya?
"Hermione?"
"Aku merindukannya." Kepalaku menengadah menatap mata Ginny. "…Aku juga mengkhawatirkannya. Aku khawatir Lucius sudah meng-avada-nya makanya ia tak kembali ke Hogwarts selama seminggu lebih ini. Ya, aku merindukannya, Gin…" Ginny mengelus bahuku pelan.
"Apa yang akan kau lakukan kalau kini ia berada di ruangan ini?" Seketika aku menoleh ke kanan dan kiriku, aku takut saja Ginny tengah menjebakku bercerita tentang Malfoy lalu seketika pria itu muncul dibelakangku membawakan bunga dan berlutut di depanku.
Apa yang baru saja ku bayangkan?
"Ia tak ada disini, kau tahu itu." Ginny sempat terkekeh sejenak melihat diriku yang tampak panik.
"Aku hanya mencoba mengantisipasinya." Elakku.
"Jadi?"
"Entahlah, mungkin aku hanya mendiamkannya saja. Kau tahu, Gin… aku bahkan tak sanggup menatapnya. Menatap wajahnya, apalagi menatap mata indahnya itu. Oh, aku benci mengatakan hal ini tapi ya… aku tak tahu harus mengatakan apa." Ginny mendesah sambil menganggukkan kepalanya seolah ia mengerti apa yang kini tengah berada dipikiranku.
"Kau harus menjawabku jujur. Aku punya beberapa pertanyaan penting untukmu. Dengarkan baik-baik…" apa ini? "…apa yang membuatmu tak berusaha mempertahankan apa yang sudah kau punya?"
"Maksudmu?"
"Kau dengar sendiri bukan, Blaise bilang kalau Malfoy tengah memperjuangkan apa yang pantas untuk diperjuangkannya, dan kau adalah hal yang pantas itu. Kenapa kau tak melakukan hal yang sama dengannya?"
Ini…
Seperti pertanyaan telak untukku.
Aku butuh waktu untuk berpikir.
Aku tahu Zabini mengatakan itu tadi tapi… benarkah ia tengah memperjuangkanku?
"Gin, aku hanya merasa tak pantas untuknya. Kau tentu tahu aku hanyalah seorang darah lumpur."
"Itu bukan jawaban yang tepat, 'Mione."
"Oh, apa ini? Kau sama sekali tak memberikan pertanyaan pilihan berganda padaku, lantas kenapa kau berkata kalau jawabanku salah?"
"Berhenti bercanda, Hermione. Kalau kau tahu kau tak pantas untuknya, kenapa kau menjalin hubungan dengannya?"
Pertanyaan apa lagi ini?
Aarghhh!
"Aku… aku… ini semua salahnya, Gin. Ini salahnya karena telah memberikanku harapan! Seharusnya ia sadar aku siapa dan jangan memberikanku harapan hingga aku menerima hubungan ini." Napasku memburu. Ya, aku yakin Ginny akan mengerti jawabanku kali ini.
"Jawabanmu ini juga salah."
"APA? Gin, dengar—"
"Hanya satu jawaban yang benar, Hermione. seharusnya kau tahu itu."
"Hei, jangan memotong perkataanku. Aku tak tahu jawaban yang benar yang kau maksudkan itu jadi katakan padaku apa jawaban itu, Gin." Ginny bangkit dari sofa dan mengambil tasnya. Mau kemana dia?
"Jawabannya, itu semua karena kau mencintainya." Aku terbodoh selama beberapa saat.
"Tunggu. Gin, apa aku lupa bercerita padamu kalau aku sudah mengatakan pada Malfoy kalau aku mencintainya?"
"Yup, kau sudah menceritakannya."
"Lantas kenapa jawaban dari semua pertanyaanmu itu harus kalimat itu juga?"
"Hermione, dear… kau memang malang, aku tak tahu kalau hanya dengan permasalahan kecil seperti ini gelar Penyihir Paling Bersinar itu hilang seketika. Kau hanya mengatakan kalimat 'Aku Mencintaimu' itu hanya dimulutmu saja, tapi tidak dengan hatimu. Kau masih terlalu gengsi untuk mengakuinya, beribu kali kau mengatakan kalau kau mencintainya tapi kau tak pernah menunjukkan rasa cintamu itu padanya? Itu sama dengan kau bodoh, Hermione."
"Ginny?!"
"Koreksi kalau aku salah." Kembali aku terdiam.
Dimana bagian ia salahnya?
"Kalau begitu aku tinggal kau sebentar, aku masih ada kelas. Sejujurnya aku masih belum puas dengan pembicaraan ini, aku harap kau masih mau bercerita lagi padaku, setelah makan malam ini, mungkin. Ah, kau jangan lupa untuk turun makan malam. Aku benci melihat tubuhmu yang lebih kurus dariku. See ya…" Ginny mengecup pipi kanan dan kiriku lalu melambai pergi.
Perkataan Ginny memang selalu benar, hampir sama dengan Mom. Perbedaannya hanyalah Ginny terlalu tega berkata pedas padaku.
Tapi, aku tetap mencintai sahabatku.
-o0o-
Walaupun aku tak berjanji pada Ginny untuk datang makan malam, toh aku tetap hadir di aula besar. Ada rasa ingin tahuku yang cukup besar mengalahkan rasa malasku untuk sekedar berkumpul di aula ini. Aku masih belum melihat Ginny, Harry, maupun Ron. Mungkin mereka masih berada di lapangan Quidditch. Perlahan aku menyusup cokelat hangatku dan mencicipi aneka macam makanan yang tersedia dimeja panjang di depanku ini. Aku tetap memakannya walaupun semua itu entah mengapa terasa hambar.
"Hei, Hermione… lama tak melihatmu."
"Oh, ayolah Parvati… kita satu asrama bahkan aku sudah bosan melihatmu, kau jangan bercanda."
"Maksudku sudah terlalu lama bagi ku tak melihatmu hadir makan malam di aula besar. Kalau soal seasrama itu, ku akui aku pun bosan melihatmu selama 7 tahun terakhir ini." Kami pun terkekeh di meja Gryffindor ini, dilanjutkan dengan canda gurau dari Neville dan Seamus.
Ada satu hal yang membuatku tersadar kalau aku adalah salah satu orang yang benar-benar tak tahu bagaimana caranya bersyukur.
Sebelumnya aku sempat berkata kalau aku merasa kesepian walaupun ada Harry, Ron, Ginny dan lain-lainnya sejak hubunganku dengan Malfoy berakhir. Tapi nyatanya, aku masih bisa tertawa bersama mereka. Mereka pun tampak masih peduli dengan kehadiranku. Sepertinya masalah ini membuatku sedikit-tidaknya tahu cara bersyukur.
"Hei… Rapunzel telah turun dari menaranya?"
"Oh, shut-up, Gin." Ginny mengambil tempat duduk tepat disebelahku, berseberangan dengan Harry dan Ron.
"Hei, Hermione…"
"Hei, Ron dan tolong bersihkan tanganmu terlebih dahulu sebelum menyentuh makanan itu!" Ron meringis kesakitan karena aku baru saja menepis tangannya menyentuh kue-kue manis itu.
"Tumben kau ikut makan malam? Apa stok makanan di menara ketua muridmu itu habis?" Tanya Harry yang tampak penasaran itu, aku pun menggeleng padanya.
"Percayalah ini karena bujuk rayuku, Harry." Bisik Ginny pada Harry.
"Aku tak tahu kalau selain memiliki ocehan semengerikan Molly kau juga memiliki kepercayaan diri yang berlebihan dari Arthur, Gin."
"Oh, itulah Weasley." Jawab Ron dan Ginny berbarengan, membuat aku dan Harry hanya mendengus tak lucu saja ke arah kakak beradik Weasley itu. Mataku menangkap sesuatu saat aku mencoba mengedarkan pandanganku ke seisi aula besar ini.
Haruskah ku melakukannya?
Ini sangat sederhana, datangi saja ia, tanyakan, lalu kalau kau mendapat respon negatif darinya kau bisa langsung meninggalkannya saja.
Ya, begitulah…
Aku mencoba memotifasi diriku sendiri.
Setelah mengangguk pasti aku bangkit dari dudukku, namun tanganku tertahan oleh genggaman tangan Ginny.
"Kau mau kemana?"
"Mencari jawaban atas pertanyaanmu tadi, Gin…" Ku tepiskan tangan Ginny pelan lalu melanjutkan tujuanku yang sempat tertunda tadi, masih bisa ku dengar ketika Harry bertanya pada Ginny apa yang akan ku lakukan. Ron sepertinya tak tahu apa-apa. Ia malah lebih memilih melihat makanan di depan matanya ketimbang memperhatikanku. Sepertinya Ginny belum menceritakan apa-apa pada Harry.
"Hermione?!" Tak ku hiraukan panggilan Ginny dan terus melangkah menuju meja Slytherin, hingga Zabini menyadari kehadiranku dan menghentikan aktifitas mengunyahnya.
"Hermione… what a surprise? Kau ingin bergabung di meja kami?" Ia menyapaku dengan riangnya dan memanggilku dengan nama depanku. Kini seluruh pandangan anak-anak Slytherin menatapku tajam, menunggu jawaban dari ku. Tapi bukan pertanyaan itu yang ingin ku jawab saat menuju meja ini. Aku mengabaikan ajakan Zabini, mataku menatap pasti pada gadis itu.
"Kau Greengrass, bukan? Astoria Greengrass." Gadis itu tampak tak tertarik dengan pertanyaanku. Ia malah melanjutkan kegiatan makan malamnya. Dengan tak sabar aku menarik tangannya keluar aula besar. Terdengar bunyi ricuh di aula saat aku menarik paksa gadis itu, sejenak aku melirik Zabini dan berkata…
"Bisakah kau tenangkan 3 sahabat ku itu… ah, dan juga yang lainnya? " Zabini yang masih menatapku dengan bingung itu menganggukkan kepalanya. Masih dengan tanganku yang mencoba menahan tangan gadis itu yang tengah sibuk meronta meminta untuk dilepaskan, aku terus menyeretnya hingga menara astronomi.
"Lepaskan tanganmu, Mud— aarghh!"
Jejak tanganku membekas merah di pipi putih mulus bak porselennya itu. Jelas ia tampak kaget karena mungkin ia tak pernah mengalami hal semenyakitkan ini.
Percayalah, ini tak semenyakitkan patah hati.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!" Teriaknya berang.
"Menamparmu." Jawabku secukupnya, ia masih berusaha melawanku sampai aku memantrainya hingga tubuhnya membeku tak bisa bergerak. "Dengar, aku bisa memantraimu lebih parah dari ini, asalkan kau tenang saja aku tak kan merapalkan mantra-mantra itu padamu."
"Apa yang kau inginkan dariku, Mudblood?! Arrghh!" Sekali lagi, aku menampar sisi pipinya yang lain.
"Aku takkan melakukan hal itu kalau kau tak mengatakan itu lagi, Greengrass. Kau mengerti?" Kali ini ia benar-benar tampak ketakutan terlihat dari anggukan kepalanya yang menuruti perkataanku tidak seperti sebelumnya.
"A-apa yang kau… inginkan dariku, Mud—maksudku… Granger?" Ia benar-benar tampak ketakutan, suaranya bahkan bergetar. Tiba-tiba saja aku merasa bersalah.
Apa yang baru saja ku lakukan padanya?
"Sebelumnya maafkan aku menamparmu 2 kali seperti itu, dan aku minta maaf karena telah memantraimu seperti ini… seharusnya kau menurutiku saja sejak awal ku minta dirimu untuk ikut denganku. Tapi aku melakukan ini dengan terpaksa karena ada beberapa pertanyaan yang harus ku tanyakan padamu."
"A-aku akan memaafkanmu… kalau kau melepaskan mantra mu ini… Argh, aku benci posisi terikat seperti ini…" Rengeknya.
"Well…" Ku ayunkan tongkatku untuk melepaskan mantra pengikat tubuh itu, namun aku masih berjaga-jaga kalau saja omongannya tak bisa ku pegang.
"Langsung pada intinya saja Granger."
"Baiklah…" aku mengeluarkan sesuatu dari saku rok ku, ia tampak mawas diri saat aku melakukannya. Mungkin ia mengira aku akan melempakannya granat. Ah, mungkin saja ia tak tahu apa itu granat. "…kau tahu benda ini?" Tubuhnya tiba-tiba tak setegang sebelumnya dan berjalan mendekati benda yang ku tunjukkan padanya. Walaupun ia masih tetap berusaha menjaga jaraknya dariku.
"Bukankah ini… kalungmu?"
"Kalungku?" Ia mengangguk takut lalu mundur beberapa langkah lagi. "Tunggu dulu, bukankah saat itu, ah… kalau kau lupa saat aku sedang berpatroli dengan Malfoy dan kau mendapati kami di depan asrama kalian, aku melihat mu mengenakan kalung ini. Kau ingat bukan?" Ia tampak berpikir sejenak lalu mengangguk lagi.
"Aku ingat. Dengar, kalau kau melakukan ini padaku dan menamparku hingga 2 kali hanya karena kalung itu, aku minta maaf padamu…"
Maaf?
"…aku sudah menyampaikan maafku untukmu pada Draco tapi sepertinya ia lupa menyampaikannya padamu. Aku menemukan kalung itu di tas Draco, aku mengira ia akan memberikannya padaku maka aku dengan sengaja langsung memakainya. Ku pikir ia akan terkejut dengan kalung yang ku pakai itu tapi setelah malam itu, maksudku malam kita bertemu didepan pintu asrama kami itu, Draco langsung merampas kalung itu dari ku dan marah padaku. Ia bilang kalau kalung itu adalah milikmu yang tak sengaja jatuh lalu dipungutnya dari lantai."
"Tapi…"
"Dengar, aku minta maaf padamu soal kalung itu. Kumohon jangan beritahu pada siapapun, aku takut kau mengira kalau aku telah mencurinya darimu."
Apalagi ini?
Malfoy… Malfoy tidak dengan sengaja memberikan kalung ini pada gadis itu, tapi gadis itu lah yang secara tak sopan langsung memakai kalung ini…
"Aku tak tahu kalau Draco akan semarah itu padaku hanya karena kalung ini. Maafkan aku…" Gadis itu menangkupkan kedua tangannya ke wajah khas aristrokatnya. Sialnya aku malah melihat cincin itu di jari manisnya.
Apa yang kini ku lakukan?
Aku menamparnya?
Ia meminta maaf padaku…
Kini aku benar-benar ngeri pada diriku sendiri, hanya perkara ia berkata mudblood aku langsung menamparnya. 2 kali. Aku takkan pernah seemosi ini lagi apabila ada yang memanggilku seperti itu sejak Voldemort mati. Apa karena yang memanggilku seperti itu adalah gadis ini, makanya aku bisa kalap dengan diriku sendiri?
Merlin…
Perlahan aku melangkah mundur dan bersandar pada dinding menara astronomi. "Malfoy tak mengatakan apa-apa lagi padamu?"
Oh, haruskah pertanyaan itu ku tanyakan?
"Tidak, ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia sudah cukup marah padaku karena kalung itu berada ditanganku. Aku yakin ia menolak pertunangan ini terjadi pasti karena ia telah menganggapku sebagai pencuri."
"Menolak? Bukankah kalian sudah bertukar cincin?"
Pertanyaan apalagi ini?
"Ini hanya simbolis saja, kau tahu. Peresmiannya seminggu setelah acara kelulusan kalian. Mungkin ia tetap menggunakannya agar Lucius dan ayahku tak memarahinya. Tapi terlihat jelas kalau ia tetap menolak pertunangan ini. Merlin, kenapa aku menceritakan hal ini padamu?" Aku masih bisa mendengar gumaman kalimat terakhirnya.
Ya, benar.
Kenapa ia harus menceritakan hal ini padaku?
"Kau tahu dimana dia sekarang?"
"A-apa?"
Apa?!
Apa yang barusan ku tanyakan?!
Merlin!
Aku menggelengkan kepalaku. Gadis itu masih menatapku bingung.
"Lupakan, aku hanya—"
"Ia sakit."
"Apa?" Aku tak dapat medengar perkataannya karena ia memotong perkataanku.
"Draco, ia sakit. Sudah seminggu ini dia berada di Manor. Saat aku bertanya pada Narcissa bagaimana keadaannya, Narcissa tak berkata apapun, ia hanya menyarankanku untuk tetap tenang dan sabar, aku tak tahu maksudnya apa, bahkan Healer yang kutanyai pun berkata kalau Draco hanya sakit biasa saja. Seharusnya kalau ia sakit biasa ia bisa datang ke sekolah, bukan?" Tanpa sadar kepalaku mengangguk mengiyakan pertanyaan gadis di depanku ini.
Aku tak tahu kalau ia sakit.
Surat ijinnya yang menyatakan kalau ia sakit pun tak ada nampak. Ku kira ia tengah sibuk mempersiapkan pertunangan mereka.
"Lantas, kenapa kau tak menjenguknya?" Suara ku pun ku buat senormal mungkin agar tak terdengar panik di telinga tunangan pria itu.
"Aku berniat menjenguknya pada hari Minggu karena aku memiliki kelas tambahan Sabtu ini. Damn! Kenapa aku harus melakukan pembicaraan ini denganmu?! Apa kau sudah selesai bertanya padaku? Aku harus segera kembali ke aula besar. Aku tak ingin menimbulkan kecurigaan pada semua murid akibat apa yang kau lakukan padaku di aula besar tadi."
Damn!
How fool I am!
"Tidak ada. Tapi…" aku menghela napas sejenak. "…katakan saja pada Malfoy kalau kalung itu sudah tak ku permasalahkan lagi. Aku akan tetap memakainya dengan atau pun tanpa dirinya. Dan soal kejadian hari ini… aku benar-benar minta maaf."
"Apa… apa maksudmu dengan atau pun tanpa dirinya?" Mulutku sudah terbuka hendak menjawab tapi gadis itu menggelengkan kepalanya. "Sudahlah! Aku takkan mempermasalahkan itu, aku takkan bertanya apa-apa lagi padamu. Maaf juga kalau aku sudah memanggilmu dengan sebutan itu lagi walaupun Dark Lord sudah tiada. Aku harus pergi…" Aroma tubuh gadis itu meninggalkan jejak di sekitarku saat ia berlalu meninggalkanku. Seperti baru tersadar karena aroma tubuhnya itu, aku pun memukul keningku dengan telapak tanganku sendiri.
Tak sadarkah kau tengah berbicara dengan tunangan pria yang menyakitimu?!
Seorang gadis yang memanggilmu dengan sebutan Mudblood!
Apa yang sudah kau lakukan, Hermione?!
Aarghh!
-o0o-
Aku tak berniat kembali ke aula besar. Kaki ku terus melangkah menuju menara ketua murid.
Ia sakit?
Aku menggelengkan kepalaku pelan.
Tidak mungkin…
Ya, itu tak mungkin. Tak mungkin seorang Malfoy yang dilatih bermental baja tak hadir ke sekolah hanya karena perkara sakit saja.
"Hermione…"
"Ginny, Harry, Ron… apa yang kalian lakukan disini?"
"Ron, Harry bisakah kalian tinggalkan kami berdua saja? Ada hal penting yang ingin ku tanyakan padanya."
"Tunggu dulu, Ginny ak—"
"Tapi ada sesuatu yang perlu dan sangat penting ku bicarakan dengannya juga, Gin." Harry sudah memotong kalimat ku sebelum aku sempat melanjutkannya.
"Well, kalau begitu kita bertiga bisa disini, dan kau, Ron…"
"Wow! Tunggu dulu, tunggu dulu… Kenapa kalian tak mengajakku di pembicaraan ini? Apa kalian tak menganggapku sebagai sahabat kalian?" Tak ada sahutan apapun dari mulut kami saat Ron bertanya. "Sebagai keluarga, bagaimana?" Aku, Harry dan Ginny pun masih tak menjawab malah Ginny semakin menatapnya dengan sebal.
"Ron kau membuang-buang waktu kami, pergilah, kami akan menjelaskan dan berbagi cerita padamu saat waktunya sudah tepat."
"Ya, berbagi cerita sebagai bagian dari sahabat maupun bagian dari keluarga." Lanjut Harry.
"Blimey dan demi apapun itu kalian sungguh tega." Setelah memasang tampang sedih dan tak percaya Ron pun pergi meninggalkan ku, Harry dan Ginny yang kini menatapku dengan tatapan penuh curiga.
"So, ada apa? Kalian ingin membahas soal NEWT atau soal tugas Rune Kuno?" Tanyaku pada mereka setelah menghempaskan tubuhku di atas sofa.
"Kau tahu bukan itu yang ingin kami tanyakan padamu." Jawab Harry dan Ginny hampir berbarengan, aku saja sampai terperanjat kaget melihat kekompakkan mereka.
"Kau duluan, Harry."
"Tidak, kau duluan saja, Gin."
"Kau saja, Harry…"
"Hei, hei hei… mau sampai kapan kalian akan seperti ini? Kau duluan saja Gin." Aku sudah tahu kemana arah pertanyaan mereka tapi tetap aku ingin mendengarkan pertanyaan Ginny terlebih dahulu.
"Well, aku tak tahu apa yang tengah terjadi dengan otakmu tapi… Demi Merlin Hermione, apa yang kau lakukan pada tunangan Malfoy tadi?!" Ginny tampak panik sekali akibat ulahku tadi, Harry hanya menatap Ginny pongo dengan mulut terbuka-tutup.
"Aku mau menanyakan hal yang sama…" Ujar Harry. "…Tunggu dulu, Hermione apa Ginny…"
"Harry kau bisa menanyakan itu langsung padaku, kenapa kau harus menanyakannya pada Hermione? Dan ya, aku sudah tahu dan terima kasih atas kerjasama kalian menutupi masalah ini dariku hingga aku harus shock berlebihan saat mendengar kabar itu." Aku hanya bisa menggeleng pasrah saat Harry beralih menatapku, ia masih kelihatan bingung.
"Kami tak berniat menutupi hal ini darimu, Gin."
"Harry sudahlah, aku sudah tak mempermasalahkan hal itu lagi. Kini Hermione, bisakah kau jawab pertanyaanku tadi?" Harry tampak mengehla napasnya dengan lega dan kembali menatapku dengan tatapan menunggu jawaban dariku.
Pasangan ini, apakah mereka memang selalu memandang orang yang sedang di interogasi mereka seperti ku dengan tatapan mengintimidasi seperti itu?
Aku mengangguk sejenak sebelum menjawab pertanyaan Ginny, mereka duduk dihadapanku dengan tenang walaupun bisa ku lihat Ginny tampak tak sabar menunggu jawabanku.
"Aku hanya menanyakan sesuatu padanya."
"Dan apa sesuatu itu, Hermione?"
"Ginny, bisakah kau sabar?"
"Well, aku tak bisa. Aku tak bisa sabar, Hermione. Cepat jelaskan saja pada kami dan jangan berbelit-belit lagi. Kami akan mendengarkan ceritamu hingga kau selesai." Harry mengangguk mengiyakan pernyataan Ginny.
Kini aku tahu kenapa mereka bisa sampai ditahap serius seperti ini dalam berhubungan.
Banyak kecocokkan diantara mereka yang tak perlu dipaksakan dalam hubungan mereka.
"Aku menanyakan keberadaan Malfoy. Sebagai rekan ketua muridnya aku hanya ingin tahu keberadaannya selama seminggu terakhir ini. Gadis itu bilang, Malfoy sakit. Aku tak percaya. Tak mungkin seorang Malfoy yang dilatih bermental baja itu tak bisa hadir ke sekolah hanya karena ia sakit." Aku tergelak sejenak.
"Sebagai rekan ketua murid?"
"Yup…"
"Kau menanyakan keberadaannya hanya karena kau rekan ketua muridnya? Bukan karena dirimu sendiri sebagai Hermione Granger?"
"Tunggu dulu, apa maksud kalian?"
"Dan kau tahu kalau ia sakit, lantas sebagai rekan ketua murid kenapa kau tak menjenguknya?"
"Emmm… itu karena… aku belum sempat saja."
"Belum sempat?"
"Ya… dan hei, kenapa kalian menatapku seperti itu? Apa aku salah bicara? Tidak, kan?" Ginny menggelengkan kepalanya setelah mendengus dengan ekspresi wajahnya yang aneh.
"Dengar, Hermione… kalau kau memang ingin urusanmu dengan keluarga Malfoy berakhir sampai disini, maka kau berhentilah khawatir dengan keadaannya. Kau seharusnya saat ini sudah tahu mana yang lebih prioritas untuk dipikirkan dan mana yang tidak. Hermione yang ku kenal saat ini ia pasti tengah berada di perpustakaan berjibaku dengan buku-buku pelajaran yang membahas tentang ujian NEWT."
"Harry, apa-apaan saranmu itu?" Kini Ginny ikut bersuara setelah Harry menceramahiku.
"Aku hanya memperingatkannya dan memberikannya saran, Gin." Jawab Harry dengan ekspresi tak bersalahnya.
"Saranmu itu tak benar, Harry. Tak seharusnya Hermione bersikap seperti itu. Wajar saja kalau ia mengkhawatirkan keadaan Malfoy. Hermione, kau seharusnya pergi menjenguk dan melihat keadaannya, kau boleh tak percaya dengan apa yang tunangannya katakan tapi saranku kau tetap harus melihatnya, setidaknya kau harus menanyakan kabarnya selama ia tak hadir di sekolah."
"Ginny, apa kau gila?! Itu sama saja menjatuhkan Hermione ke sarang ular." Teriak Harry menghentikan saran konyol Ginny.
"Harry, kalau aku tak gila aku tak kan bisa bertahan selama ini bersamamu."
"Aku tahu itu. Bisakah kita kembali ke topik? Untuk apa Hermione harus menjenguknya? Bisa saja itu hanya bualan tunangannya agar Hermione kembali lagi ke rumah menyeramkan itu dan Malfoy sekeluarga mungkin bisa kembali bebas menyiksanya."
"Harry dimana akal sehatmu, huh?! Bukankah kau yang mengajarkan kami untuk tidak berpikiran negatif dengan keluarga Malfoy setelah perang kegelapan berakhir?! Kini apa?!" Suara Ginny mulai meninggi, tak mau kalah dengan kekasihnya Harry pun melakukan hal yang sama.
"Tapi kau bisa lihat sendiri, Gin! Malfoy kembali menyakiti kita, menyakiti Hermione lebih tepatnya. Seharusnya kau tahu itu!"
"Harry—"
"Cukup!" Ginny dan Harry kini menatapku. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran sepasang kekasih ini hingga mereka bisa bertengkar didepanku.
Aku tahu akulah yang membuat mereka mengeluarkan pendapat mereka masing-masing, tapi… haruskah seperti ini?
Menyakitiku?
Aku tahu Malfoy menyakitiku, lagi.
Tapi haruskah hal itu terdengar oleh telingaku lagi?
"Tinggalkan aku sendiri."
"Hermione…"
"Now."
Tak ada sahutan apapun setelah perintahku terakhir. Ginny tampak menghela napasnya dan menggeleng pasrah, tapi ia sempat berkata sesuatu padaku sebelum pintu menara tertutup.
"Dengarkanlah kata hatimu, jangan terlalu mengagung-agungkan harga dirimu. Dah…"
Ruangan rekreasi ketua murid kembali hening.
Otak ku tak bisa mencerna semua solusi yang mereka berikan padaku jika solusi dari mereka berdua saling bertolak belakang. Mereka hanya mencoba memberikan solusi yang terbaik untukku, aku tahu itu.
Tapi…
Tanpa sadar kaki ku tengah melangkah menuju kamar rekan ketua muridku itu.
Aroma mint & musk yang selama ini ku rindukan semerbak langsung membaui hidungku saat pintu kamar itu ku buka. Selama absennya ia disekolah, aku tak pernah memberanikan diriku untuk melakukan ini. Dan jujur saja saat ini aku berada dimenara ketua murid juga karena ia tak ada disini, sebelumnya aku selalu kembali ke asramaku hanya karena mencoba menghindarinya.
Miris bukan?
Pikiranku terus melayang entah kemana saat aku duduk di ranjang nan empuknya itu, tanganku membelai selimutnya yang hangat, selimut yang biasanya menyelimutiku dan dirinya saat aku bermimpi buruk. Sekarang aku takkan bisa melakukan hal itu lagi. Ia sudah memiliki tunangan dan aku baru saja menampar tunangannya sebanyak 2 kali tadi. Aku harus ingat itu. Dan mungkin saja gadis itu akan bercerita pada Malfoy tentangku yang menampar tunangan berdarah murninya itu.
Hahh… aku tak peduli kalau gadis itu akan melakukannya. Mengadu ke Malfoy, maksudku.
Setelah ku pikirkan beberapa saat, ku akui perkataan Harry ada benarnya juga walaupun Ginny menanggapinya berlawanan. Seharusnya saat ini aku tahu mana yang lebih prioritas untuk ku pikirkan dan mana yang tidak. NEWT sebulan lagi, hari kelulusanku juga akan diumumkan seminggu setelah ujian. Aku bisa keluar dari Hogwarts dan aku bisa bernapas lega saat itu. Hingga saat itu tiba, impianku untuk segera mendapatkan pekerjaan di Kementerian Sihir pun tinggal selangkah lagi.
Ya…
Hingga saat itu tiba…
Selangkah lagi.
Tapi…
Persetan dengan NEWT!
-o0o-
Ya, persetan dengan NEWT dan segala macam impian pekerjaan itu. Kini aku tengah berada diruangan Kepala Sekolah. ia menatapku bingung saat mendapatiku diruangannya sepagi ini.
"Ms. Granger… bukankah ini… hari Sabtu? Apa kau memiliki kelas tambahan hingga… kau sepagi ini berada dikantorku?" Aku membenahi helaian rambut yang menutupi wajahku.
Aku lupa menyisirnya…
"Emm… ya, Profesor ini hari Sabtu dan aku tidak memiliki kelas tambahan." Aku meringis tertawa sejenak untuk menghilangkan kebingungan dan kecanggungan yang ada diruangan ini. Kepala sekolah pun menyuguhkan secangkir teh dan beberapa biskuit secara sihir untukku. Mungkin ia tahu kalau aku pasti belum sarapan.
Tentu saja… kau pikir ini jam berapa?
Ia melirik jam besar di pojok ruangan yang menunjukkan pukul 06.40 am. Teh hijau nan hangat serta biskuit yang disuguhkannya pun langsung ku serang saat ia mempersilahkanku untuk menikmatinya.
"Jadi… ada apa, Ms. Granger?"
"Ah… ya, maafkan aku yang melupakan tujuan utamaku. Teh hijau ini terlalu menggodaku. Well… aku disini hanya… hanya ada sesuatu yang ingin ku bahas dengan Anda, Profesor." Aku membersihkan tanganku dari remah-remahan biskuit.
"Membahas sesuatu denganku? Sepagi ini?" Kepalaku mengangguk cepat.
"Maafkan aku yang membuat akhir pekan anda terganggu, Profesor. Aku hanya ingin membahas persoalan rekan ketua muridku yang tak hadir selama 11 hari terakhir ini. Aku mendengar kabar dari tunangannya kalau ia tengah sakit. Jadi… aku membutuhkan surat ijin untuk menjenguknya. Maksudku… surat untuk ke Malfoy Manor dan… emm… jadi…"
"Kau berniat untuk menjenguknya?"
"Ya, Profesor. Sebagai rekan ketua murid, tentunya." Aku kembali meringis tertawa. Kepala sekolah tampak berpikir sejenak.
Apa ia mencurigai gerak-gerikku?
Memangnya aku sedang apa?
"Itu ide yang bagus, Ms. Granger! Kenapa tak pernah terpikirkan olehku? Hahaha…"
Benarkah? Ide bagus?
Kepala Sekolah mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya. "Ms. Granger, tak heran mereka menjulukimu The Brightest Witch in Our Age, aku saja tak pernah berpikir untuk melakukan kunjungan ke Malfoy Manor, padahal aku juga penasaran dengan keadaannya dan aku pun tak ingat kalau Mr. Malfoy memiliki tunangan yang bersekolah disini juga… apakah ini faktor usia?" Ia tertawa riang tanpa menyadari ekspresi wajahku yang sudah berubah berkat perkataannya barusan.
"Mr. Malfoy memiliki tunangan yang bersekolah disini juga…"
Aku tak tahu apa yang tengah Kepala Sekolah lakukan diatas perkamen itu, pikiranku sedikit ragu.
Haruskah aku mengunjunginya?
Apakah ini takkan menganggu hubungannya dengan tunangannya?
Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku…
Memangnya apa yang akan ku lakukan?
"Ms. Granger?"
"Ah… ya, Profesor…" Yang benar saja… aku tengah mendapat tatapan bingung lagi dari Kepala Sekolah hanya karena lamunanku tadi. Ia menyerahkan gulungan perkamen itu padaku.
"Itu surat ijinmu untuk menjenguk Mr. Malfoy…" Aku membuka lalu membaca sejenak gulungan itu. "…kapan Anda akan mengunjunginya, Ms. Granger?" Dengan senyuman tak jelas (yang entah dari mana asalnya itu) diwajahku, aku mengangguk pasti sambil menggulung kembali perkamen itu.
"Sekarang, Profesor."
-o0o-
Jadi…
Disinilah aku. Di Malfoy Manor. Sebenarnya aku masih berada diluar gerbang Manor.
Arghhh!
Apa yang ku lakukan disini?!
Aku melirik jam tanganku yang tengah menunjukkan pukul 07.15 am.
"Arrghhh! Ini masih terlalu pagi!" Aku menggeram kesal menyesali perbuatanku. Aku langsung bergegas menuju menara ketua murid setelah menerima surat ijin keluar dari Kepala Sekolah. Aku tahu tujuanku kemari adalah menjenguknya, tapi… aku tak tahu kalau aku terlalu bersemangat melakukan ini hingga tak sadar kalau saat ini masih pagi untuk mengunjungi rumah seseorang. Terlalu pagi, bahkan.
Bodohnya aku.
Kenapa aku harus bersemangat sekali?
Apa yang membuatku begitu yakin mendatanginya?
Entahlah…
"Kau siapa?" Pikiranku pun buyar saat seorang pria-yang ku pikir adalah tukang kebun di Manor ini-secara tiba-tiba muncul dari balik pagar besi yang menjulang tinggi di depanku ini.
"Ah… aku Granger, Hermione Granger. Rekan Ketua Murid Draco Malfoy…" Tanganku pun langsung menyerahkan gulungan perkamen, surat ijin keluar ku dari Hogwarts. Ia memperparah kerutan didahinya dengan menambahkan kerutan-kerutan baru.
"Kau dari Hogwarts?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. "Tapi Tuan Muda Malfoy tidak sakit. Kenapa kau ingin menjenguknya?"
"A-apa?"
Apa?!
"Kau pasti mendengar apa yang ku katakan. Aku enggan mengulangnya. Kau tunggu disini, jangan bergerak kemana pun." Alisku bertaut saat ia menyuruhku untuk menunggu di depan digerbang karena ia harus menyerahkan surat ku kepada majikkannya terlebih dahulu hanya untuk sekedar memastikan kalau aku bukanlah penyusup.
Apa tampangku terlihat seperti seorang penyusup?
Oh… yang benar saja.
Bunyi sol sepatuku terus terdengar di telingaku selama 10 menit sembari menunggu si tukang kebun menghampiriku, kaki ku sudah lelah berdiri diluar Manor seperti ini seperti hendak meminta sumbangan. Tampak ekspresi tak senang dari wajahnya saat membukakan gerbang Manor.
"Kau boleh masuk."
"Terima kasih…" Kaki ku pun melangkah dengan ringan menuju Manor yang tak berubah sejak terakhir kali aku berada disini. Tunggu dulu…
"Mudblood!"
"Katakan Draco! Apa benar pria jelek ini adalah Harry Potter?"
"Dimana kau mendapatkan pedang itu, Mudblood?"
"Aku tak tahu… aku… Aaaarrghhhh!"
Mudblood…
Mudblood…
"Hei, kau tak apa? Ms. Granger?"
"Huh?" Tanpa sadar aku berjalan mundur dengan tubuh gemetar dan aku tak tahu kapan air mata ini membanjiri wajahku.
Aku…
"Kita harus memanggil-Nya, lakukan itu Lucius!"
Aku tak bisa…
"Mudblood sialan!"
Mudblood?
Kenangan itu…
"Arrgghh!"
"Ms. Granger?!"
Aku…
"Maaf…" Langkahku menjauh dari Manor itu. "…a-aku, tidak bisa…"
"Ms. Granger!"
-o0o-
"Mom… dad…" isak tangisku terus meledak setibanya aku di perapian ruangan Kepala Sekolah. Aku tak tahu apa yang tengah ku alami, tapi aku sadar aku ber-disapparate.
"Ms. Granger? Apa yang terjadi?" Kepala Sekolah menghampiriku dengan ekspresi kagetnya. Dengan sigap ia memapah tubuhku ke sofa.
"Ms. Granger?"
"A-aku… aku tak bisa… Profesor aku tak bisa…"
"Tak bisa? Tak bisa apa? Ms. Granger, tenanglah. Apa yang terjadi dengan Mr. Malfoy?" Aku menggelengkan kepalaku.
"Maaf, Profesor… aku tak bisa… aku…" Tangisanku kembali pecah. Tanpa berpikir panjang Kepala Sekolah memeluk tubuhku yang masih bergetar hebat. Tangannya mengelus punggung dan rambutku dengan lembut sementara aku masih menangis dan pikiranku semakin kacau.
Aku tak tahu…
Manor itu…
"Seharusnya aku ingat kalau kau memiliki trauma di Manor itu… maafkan aku, Ms. Granger."
-o0o-
"Hermione?!"
"Mr. Potter, Mr. Weasley, Ms. Weasley? Apa yang kalian lakukan disini?"
"Madam Pomfrey apa yang terjadi pada Hermione? kenapa ia bisa seperti ini?"
"Well, Mr. Weasley ku harap kau tenang terlebih dahulu. Ms. Granger sudah diberi ramuan penenang jadi ku harap kalian jangan berisik, saat ini ia hanya butuh istirahat. Walaupun ia sudah tertidur 2 jam lebih dikarenakan efek ramuan tidur tanpa mimpi yang ku berikan."
"Tapi… Madam Pomfrey, bagaimana ia bisa kembali mengalami hal seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?"
"Kepala Sekolah pagi-pagi sekali tadi membawanya kemari dengan tergesa-gesa, aku tak sempat menanyakannya kepada McGonagall karena ia langsung kembali ke ruangannya." Harry, Ron, dan ginny saling bertukar pandang.
"Kita harus menanyakan hal ini pada Kepala Sekolah." Ginny dan Ron pun mengangguk lalu bergegas ke ruangan kepala sekolah.
-o0o-
Dimana aku?
Aku sudah hendak merenggangkan tubuhku saat nyeri dikepalaku mendadak menyerang. Aku mengamati penampilanku yang masih mengenakan seragam sekolah dan berada di…
"Hospital Wings?" Gumamku.
"Ms. Granger? Apa yang kau lakukan? Kau mau kemana?" Madam Pomfrey langsung menghampiri dan mencegahku yang sudah hendak turun dari brankar.
"Madam Pomfrey, apa yang terjadi denganku?"
"Percayalah Ms. Granger, aku juga ingin tahu apa yang sedang terjadi padamu, yang ku tahu Kepala Sekolah benar-benar panik saat membawamu kesini. Apakah kau merasakan nyeri dikepalamu saat kau siuman?" Aku mengangguk. "Itu hanya nyeri sementara akibat ramuan tidur tanpa mimpi yang kuberikan padamu tadi, setelah itu kau takkan merasakannya lagi."
"Ramuan… tunggu dulu, Madam Pomfrey kenapa aku harus meminum ramuan itu lagi? Tapi aku sudah tak pernah meminta ramuan tidur tanpa mimpi dari Anda lagi selama beberapa bulan terakhir ini, kenapa aku perlu menggunakan ramuan itu lagi?"
"Kepala Sekolah hanya menyarankanku memberikan ramuan itu setelah aku memberikan ramuan penenang padamu, Ms. Granger."
Ramuan penenang?
Apalagi itu?
Maksudku aku tahu itu hanya ramuan untuk menenangkanku, tapi…
Itu untuk menenangkanku atas apa?
"Ms. Granger…"
"Hermione?" Harry, Ron, Ginny beserta kepala sekolah menampakkan diri mereka dari balik pintu besar Hospital Wings, mereka menghampiriku dengan ekspresi khawatir khas mereka masing-masing.
"Hermione kau sudah sadar?"
"Kau tak apa-apa?" Aku mengangguk menanggapi pertanyaan ketiga sahabatku ini. Profesor McGonagall menatapku lekat.
"Ms. Granger, maafkan aku…"
"Maaf? Maaf atas apa, Profesor?"
"Maaf aku memberikanmu ijin keluar, aku tak ingat kalau kau memiliki trauma lama dari tempat itu. Seharusnya aku tak mengijinkanmu mengunjunginya."
"Maaf, Profesor tapi aku tak mengerti apa yang kau bicarakan." Kepala sekolah, Madam Pomfrey dan ketiga sahabatku saling bertatapan bergantian.
"Ini adalah bagian dari efek ramuan tidur tanpa mimpi itu, Minerva. Ms. Granger sudah hampir 8 bulan tidak mengkonsumsi ramuan itu lagi, mungkin semenjak traumanya hilang. Jadi mungkin saat ini ia tak ingat apa yang baru saja terjadi padanya."
"Hermione…" Ginny mengeratkan genggamannya pada tanganku.
"Kau tak ingat apa yang menyebabkan kau berada di Hospital Wings?" Aku menelengkan kepalaku sejenak mencoba mengingat-ingat sesuatu.
"Well… aku ingat ini hari Sabtu dan semalam Ginny dan Harry habis bertengkar didepanku tentang… emm… entahlah setelah itu aku kembali ke kamarku dan aku tak tahu bagaimana bisa terbangun disini." Jelasku. Kepala sekolah tampak menghela napasnya diikuti dengan ekspresi sendu Harry, Ginny dan Ron.
"Malfoy Manor." Ucap kepala sekolah singkat.
"Maaf, Profesor?" Tanyaku ulang.
"Kau baru saja dari Malfoy Manor, Ms. Granger."
Malfoy Manor?
-o0o-
Who can say where the road goes?
Where the day flows, only time...
And who can say if your love grows?
As your heart chose, only time...
Who can say why your heart sighs?
As your love flies, only time...
And who can say why your heart cries?
When your love lies, only time...
Who can say when the roads meet
That love might be in your heart?
And who can say when the day sleeps
If the night keeps all your heart
Night keeps all your heart
Who can say if your love grows
As your heart chose?
Only time...
And who can say where the road goes
Where the day flows, only time...
"Kau tak ingat?" Ginny melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku. Madam Pomfrey mengijinkan aku kembali ke asrama setelah meminum ramuan penyegar tubuh yang katanya agar tubuhku tak terlihat bagaikan mayat berjalan.
"Nope." Aku menghempaskan tubuhku ke kasur nan empukku di menara ketua murid. Aku tak ingin kembali ke asrama Gryffindor dengan kondisi seperti ini.
"Hermione kau bercanda?"
"Ron apa kondisi ku saat ini terlihat sanggup untuk membuat lelucon?" Ron meringis mendengar pertanyaan balikku padanya.
"Sorry…"
"Kenapa kau ke Malfoy Manor?"
"Tunggu dulu, benarkah aku melakukannya?"
"Hermione?!"
"Harry, hentikan itu. Kau dengar apa kata Madam Pomfrey, bukan? Mungkin saat ini ia masih tak ingat kejadian itu, kita harus memberikan Hermione waktu." Harry hanya menggeleng pasrah.
"Aku kembali ke asrama, ayo Ron kita harus berpatroli…"
"Hermione, ku harap kau baik-baik saja…"
"Aku baik-baik saja, Ron." Aku tersenyum membalas perkataan Ron. Setelah mereka memohon diri untuk pamit kini tinggal lah aku dan Ginny berdua.
"Now what?"
"Apa… apanya?"
"Merlin, aku tahu kau adalah pembohong yang buruk, Hermione Granger."
Aku mengernyitkan dahiku.
Bad Lier?
"Ceritakan padaku. Semuanya."
"Apanya yang harus ku ceritakan, Gin? Aku tak tahu apa yang kalian semua bicarakan."
"Kau berkunjung ke Malfoy Manor, 'Mione. Apa yang ada dipikiranmu hingga kau menginjakkan kakimu di Manornya? Aku… aku tahu aku salah telah memberikan saran padamu untuk menjenguknya tapi… seharusnya kau ingat kalau kau memiliki trauma dengan rumah dan keluarga itu. Dan Demi Merlin, aku tak pernah tahu kalau selama 8 bulan terakhir ini kau sudah tak pernah mengkonsumsi ramuan tidur tanpa mimpimu itu lagi, Hermione." Ginny terus mengoceh selama beberapa menit.
Haruskah aku menghentilan omelannya?
Ia memondar-mandirkan dirinya didepanku masih dengan omelannya sehingga membuat nyeri dikepalaku kembali lagi.
"Gin, hentikan. Oke, aku kalah. Kau menang. Aku hanya tak ingin memperkeruh masalah ini, Ron dan harry sudah cukup khawatir melihatku, aku tak mau membahasnya dengan mereka makanya aku berpura-pura lupa, aku takut mereka berdua akan melakukan hal-hal diluar nalar mereka. Aku tak menyalahkanmu atas saranmu yang menyuruhku untuk menjenguknya. Ini memang kemauan ku sendiri. Maafkan aku… Aku hanya takut alasan sakit itu dibuat untuk menutupi keadaannya, aku membayangkan kalau saat itu ia tengah terkapar dengan luka-luka disekujur tubuhnya, Gin. Aku takut Lucius mencabik-cabik kulitnya dengan segala macam mantera tak termaafkan itu. Dan…"
"Hermione…"
"Aku… aku juga terlalu merindukannya..." Ginny segera menghampiri dan memelukku, aku tak tahu hanya dengan pelukan seperti ini bisa membuat airmataku mengalir keluar, tapi saat ini aku memang membutuhkan sandaran untuk menopang semua beban di hatiku. "… aku sangat merindukannya, Gin. Bahkan karena terlalu merindukannya aku tak ingat dengan traumaku, aku… aku tak bisa apa-apa tanpanya…" Isakkan ku tak bisa ku hentikan, aku semakin mengeratkan pelukanku.
Menyedihkan…
Betapa bodohnya aku yang hampir saja menghilangkan kewarasanku hanya karena merindukan pria itu.
"Bisakah kau ceritakan padaku bagaimana bisa trauma mu itu kembali lagi setelah kau tak mengkonsumsi ramuan itu?" Kepalaku mengangguk disela-sela tangisku. Ginny membantuku menyeka air mataku saat aku melepaskan pelukanku.
"Ini juga karenanya… Sejak aku tidur bersamanya, aku tak pernah bermimpi buruk lagi. Maka dari itu aku berhenti mengkonsumsi ramuan tidur itu… Ginny, mungkinkah ia menggunakan mantera atau sesuatu yang tak pernah ku ketahui selama aku mempelajari segala macam mantera didunia sihir ini? Ginny, haruskah aku menanyakannya padanya? Haruskah? Haruskah aku bertanya padanya agar aku tak bergantung lagi padanya?" Ginny tak menjawab pertanyaanku ia hanya menatapku sendu dan malah semakin mempererat pelukannya sambil mengelus punggungku pelan.
"Aku merindukannya… rasanya ingin mati saja, Gin. Aku tak sanggup… aku tak sanggup kalau harus mengakhiri masa-masa tahun terakhirku di Hogwarts dengan cara seperti ini. Aku… aku—"
"Kalau begitu rebut kembali lah kebahagiaanmu."
"A-apa?" Aku melepaskan kembali pelukanku dan menatap Ginny bingung. "Apa maksudmu, Gin?"
"Kalau kau tak bisa hidup tanpanya, kalau kau tak bisa mengakhiri semuanya dengan Malfoy seperti ini… rebut kembali lah kebahagiaan itu. Rebut kembali. Rebut kembali semua hal yang diambil alih oleh gadis itu."
"Tapi Lucius melatarbelakangi semua ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa…"
"Bahkan Lucius tak ada apa-apanya dibandingkan Voldemort si kepala plontos itu, Hermione. Lantas kenapa kau tak bisa berbuat apa-apa?" Aku menggeleng menolak pernyataan Ginny. Aku tahu Lucius tak ada apa-apanya dibandingkan Voldemort. Tapi…
"Ibu Malfoy, maksudku Ibu Draco akan berada dalam bahaya apabila Draco menolak pertunangan ini, Gin. Aku… aku tak sampai hati melihatnya menderita mendapatkan luka-luka disekujur tubuhnya hanya karena ia mencoba mempertahankan hubungan ku dengannya. Aku tak ingin egois walaupun aku ingin, Gin. Aku juga takut kedua orangtuaku akan menjadi korban kegilaan Lucius apabila aku bersikeras melanjutkan hubungan ini. Aku bahkan berbohong pada orangtuaku tentang Malfoy. Memori tentang penyiksaan yang terjadi pada putri mereka cukup menyakitkan hingga dengan susah payah mereka ku hindari dari ingatan mereka dengan keluarga Malfoy. Aku tak bisa hanya memikirkan kebahagiaanku semata." Ku tangkupkan kepalaku yang terasa berat di kedua telapak tanganku. Kini Ginny pun tak bisa berkata-kata lagi, ia menghela napasnya berat dan kembali mengelus punggungku untuk memberikanku kekuatan.
"Aku tak bisa berkata apa-apa lagi." Aku mendecih geli mencoba memperbaiki suasana, aku tak ingin Ginny ikut dalam kesulitanku. "Semua akan indah pada waktunya, Hermione." Lanjutnya.
Akan indah pada waktunya?
"Tapi kapan, Gin?"
"Ya… sabar saja."
"Oh… damn you, Weasley!" Umpatku yang membuat Ginny dan aku pun tertawa. Aku menariknya lagi ke dalam pelukanku. "Kau mengerti aku. Pantas saja Harry sangat mencintaimu. Kau sahabat terbaikku."
"Kini kau mengakuinya?"
"Well, kau juga sudah seperti psikiater pribadi ku."
"Psi… apa?"
"Ahli kejiwaan."
"APA?!"
Kami kembali tertawa, sejenak melupakan kejadian buruk yang baru saja terjadi.
Kutumpahkan cukup banyak air mata hingga bisa kulihat bayanganku sendiri di situ. Lalu semuanya jelas…
Tak bisa kusangkal, aku sungguh merindukannya…
-o0o-
Keesokan paginya, aku masih bergelung diranjangku. Ginny memutuskan untuk menemaniku dan tidur bersamaku di menara ketua murid, ia hanya takut kalau aku akan bermimpi buruk lagi.
"Sepertinya kau tak bermimpi buruk lagi, 'Mione." Ujarnya kembali menghampiri ranjangku, aku menyibakkan selimutku menatapnya. Ternyata ia sudah selesai mandi. Aku hanya bergumam mengiyakannya saja dan kembali menarik selimutku.
"Tentu saja aku tak bermimpi buruk, kau memberikanku banyak ramuan tidur tanpa mimpi padaku, kau kira aku tak tahu?" Ia tertawa dan menarik selimutku kasar. Lihatlah betapa bahagianya ahli kejiwaanku ini.
"Maaf. Ah, aku akan kembali ke asrama, siang ini kami akan membahas peraturan dresscode undangan Malfoy itu, kau tak perlu hadir kalau kau masih tak sanggup berjalan." Aku terkekeh mendengar sarannya.
"Kau pikir aku jompo, huh?" Ginny pun tergelak sejenak.
"Tegarlah, Hermione Granger! Aku pergi!"
"Arrgghh! Ginny Weasley kau merusak mood ku pagi ini!" Teriak ku dari dalam kamar saat ia menyipratkan air ke wajahku dan berlari keluar menara. Alhasil, wajahku basah. Ah… sepertinya ia tak menyipratkan air padaku, tapi ia menuangkan seember air di ranjangku.
"Kenapa semuanya jadi basah begini?! Arrghhh! Ginny Weasley!"
Dengan malas aku pun bangkit dari ranjang dan menyeret selimut serta sprei ku untuk dibawa ke binatu. Aku memasukkannya ke kantong plastik dan mengirimnya melalui lubang pengiriman jasa binatu. Aku pun melangkah keluar kamar menuju kamar mandi namun tak lama berselang suara kegaduhan tercipta dari arah pintu menara.
"Bagaimana bisa kau disini? Bukankah kau di Manor? Draco?!" Betapa kagetnya aku saat mendapati Malfoy dan tunangannya yang muncul dari balik pintu menara ini. Tak jauh berbeda denganku, mereka berduapun tampak kaget dengan keberadaanku. Mata ku terus mengamati seluruh tubuh Malfoy untuk sekedar mencari bekas luka atau apapun itu.
"Hermione…"
"Her…mione?" Gadis itu menatap Malfoy dan aku secara bergantian.
Apa yang harus aku lakukan?
Malfoy terus-terusan menatapku hingga aku merasa risih.
"Draco,bukankah seharusnya kau masih berada di Manor? Aku berniat menjengukmu hari ini. Draco… Draco?"
"Kemarin… kau ke Manor ku?" Malfoy mengabaikan pertanyaan tunangannya dan ia malah bertanya padaku.
"Apa?!" Aku merasa kelabakan saat gadis itu menatapku berang. Aku tak berniat menjawab pertanyaannya jadi aku memutuskan melanjutkan tujuan utamaku.
Bagaimana bisa ia berada disini? seharusnya ia berada di Manornya, bukan?
Pertanyaan yang sama dengan apa yang gadis itu pertanyakan juga tadi kini berputar dikepalaku.
"Ibumu bilang kau sakit tapi apa sebenarnya yang terjadi, Draco? Kau tak pernah membalas suratku dan kini kau berada di Hogwarts tanpa memberitahukanku dulu." Dari dalam kamar mandi ini aku masih bisa mendengar suara gadis itu.
"Ini bukan urusanmu, As. Sekarang keluarlah."
"Draco aku—"
"Keluar!"
Ia membentak tunangannya?
"Kenapa aku harus keluar? Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Kau tak mengabariku selama ketidakhadiranmu di sekolah, kau juga sudah tak pernah bersikap manis lagi padaku sejak awal semester ini. Draco peresmian pertunangan kita tinggal sebulan lagi, kenapa kau masih bersikap dingin seperti ini padaku?"
"Dengar, aku tak ingin membahas hal itu denganmu, sekarang keluarlah sebelum aku kehilangan kesabaranku."
"Draco…" Tiba-tiba saja pintu kamar mandi digedor keras dari luar, aku tersentak kaget.
"Hermione, Hermione keluarlah."
"Kau kejam Draco."
"Ya, kau tahu itu. Hermione buka pintu ini atau aku akan mem-bombarda nya." Dengan sigap aku membuka pintu itu sebelum ia sungguh-sungguh melakukannya. Mata ku dan gadis itu sempat saling berpandangan, matanya berair. Ia masih berdiri tepat dibelakang Malfoy, langkahnya terlihat berat meninggalkan ruangan ini.
Apa yang kini tengah ku lakukan diantara mereka?
"Hermione…" secepat kilat Malfoy menarikku ke pelukannya sesaat setelah pintu menara tertutup. Dadaku tiba-tiba terasa sesak. "…kau mengunjungiku? Tapi kenapa kau tak masuk melihatku?"
"Malfoy—"
"Aku merindukanmu hingga ingin mati, Hermione." Tanganku masih menggantung, sama sekali tak mencoba untuk membalas pelukannya.
Apa kau bisa melihat hatiku?
Kenapa ini disebut cinta?
Aku takkan pernah jatuh cinta lagi, tapi aku orang yang bodoh.
Kenapa aku bahagia? Saat aku memikirkan wajahmu.. Hanya berada di sisimu…
Haruskah ku balas pelukannya dan berkata kalau aku juga merasakan hal yang sama dengannya?
"Malfoy…" suaraku tercekat karena berusaha menahan airmataku.
"Kenapa kau tak menemuiku? Kenapa kau langsung kembali ke Hogwarts?" Aku mendorong tubuhnya dengan pelan, saat ini aku sudah tak memiliki tenaga lagi untuk mendorongnya dengan seluruh tenagaku, namun ia menarik tanganku untuk menghadapnya lagi saat aku hendak kembali ke kamarku.
"Hermione, jawab aku."
"Kau baik-baik saja?"
"A-apa? Ya, kau bisa melihat keadaanku sekarang." Aku menganggukkan kepalaku, masih berusaha untuk tak menatapnya aku pun melepaskan genggaman tangannya dan kembali melangkahkan kakiku ke kamar.
"Syukurlah…" Gumamku meninggalkannya yang masih menatapku.
"Hermione?" Sempat ku hentikan langkahku sejenak sebelum tanganku menggapai knop pintu kamarku.
"Aku hanya bersikap profesional… sebagai rekan ketua murid. Aku mengunjungimu, sebagai rekan ketua murid." Aku berbicara membelakanginya. Mataku terasa panas, dengan sigap aku menghapus air mataku.
"Walaupun begitu… aku bersyukur karena kau sempat memikirkanku. Terima kasih, Hermione." Aku mengangguk dan mengangkat tanganku membentuk tanda 'OK' dengan jariku. Tanpa menunggu balasan atau perkataan apapun lagi darinya aku pun memasuki kamarku. Meninggalkan semua perasaan rinduku diruangan itu, bersamanya.
-o0o-
I cried enough tears to see my own reflection in them, and then it was clear…
I can't deny, I really miss him.
To think that I was wrong,
I guess I don't know what I got til it's gone.
Pain is just a consequence of love,
I'm saying sorry for the sake of us…
"Hermione kau masih tak ingat apapun?" Aku menggeleng pelan.
"Oh ayolah Harry, kenapa kau masih menanyakannya hal itu juga? Seharusnya kau senang ia tak mengingat apapun." Ujar Ginny sambil seperti memberikan kode padaku saat ia menyibakkan rambut merahnya itu, aku menutupi ringisan geli ku dengan mengunyah makananku. Aku tahu maksud Ginny berkata seperti itu hanya untuk mencegah Harry menanyaiku lebih dalam tentang kunjungan mendadakku ke Malfoy Manor.
"Dan kenapa kau harus tak kembali ke asrama malam itu?"
"Harry, aku hanya mencoba menemani Hermione. Aku takut ia akan berteriak-teriak lagi kalau saja mimpi buruknya itu kembali menyerangnya. Dan sala kalian tahu saja, aku sudah bagaikan psikiater baginya."
"Psikuarter?" Tanya Ron bingung.
"Psikiater." Jawab Harry membenarkan ucapan Ron sebelumnya. Ron mengangguk paham.
"Ya, ya, ya… apapun itu. Dan apa psikuarter itu?"
Merlin!
Sia-sia pikiranku yang tadi sempat berpikir kalau Ron paham. Ternyata ia TIDAK paham juga.
Dengan malas kami bertiga... (aku, Ginny, Harry maksudku) menoleh ke arah Ron.
"AHLI KEJIWAAN." Jawab kami bersamaan, dan seperti biasa Ron hanya meringis tak jelas dan kembali sibuk dengan makanannya.
"Aw!" Aku meringis pelan saat aku merasakan sesuatu mengenai kaki ku.
"Hermione ada apa?" Aku melemparkan serbet ke Ron, makanan yang tengah dikunyahnya itu muncrat kemana-mana saat ia bertanya padaku. Lalu aku menatap Ginny dengan kesal yang dibalasnya dengan acungan dagunya ke arah belakangku. Perlahan aku mengikuti arah yang Ginny tunjukkan sementara Harry masih sibuk dengan Daily Prophet-nya.
Perasaan apa yang harus ku ungkapkan sekarang?
Ginny benar-benar berniat sekali merusak mood ku. Di meja Slytherin ku lihat Malfoy tengah bercengkrama santai dengan gadis itu. Bukankah beberapa hari yang lalu mereka bertengkar hebat di menara. Dan aku tak mungkin salah dengar soal gadis itu yang mengeluh soal Malfoy yang selalu bersikap dingin padanya, karena aku pun menjadi pendengar setia pertengkaran mereka. Aku menoleh secara kasar kearah Ginny.
"Kau benar-benar merusak mood ku, calon Ms. Potter." Harry menurunkan korannya dan menatap kami bergantian, Ginny tengah tertawa girang sementara mukaku terlalu masam hingga mungkin kadar kemasamanku bisa melelehkan seisi aula besar. Ron hanya mengedikkan bahunya saat Harry bertanya padanya tanpa bersuara sedikitpun. Ia pun hanya bisa menggeleng dan ikut terkekeh geli melihat ekspresi wajahku.
"Hermione, kau takkan melarikan diri dari kelas ramalan kali ini, bukan?"
"Tentu saja tidak…" jawabku saat Harry bertanya. Aku menyelesaikan makanku lalu bangkit dari meja, bersiap untuk mengikuti kelas selanjutnya. "…aku bahkan tengah mempersiapkan beberapa pertanyaan penting kepada guru ramalan favorit murid-murid Hogwarts itu." Harry dan Ginny saling bertukar pandang lalu menatapku horor.
"Hermione, jangan." Cegah mereka berdua namun aku terus melanjutkan langkah sembari membenahi posisi tas ku.
"Hey sebenarnya apa yang tengah kalian bicarakan sedari tadi, huh?"
"Shut up, Ron. Selesaikan makanmu, kita bisa ketinggalan kelas selanjutnya."
"Tapi kita hanya akan menghadiri kelas Ramalan, untuk apa terburu-buru seperti ini… hei, Harry! Lepaskan tanganmu… argghh… Harry?!" Aku tergelak sejenak melihat Ron tersedak makanannya namun Harry tak mempedulikan hal itu dan ia malah menyeret Ron begitu saja mengikuti langkahku di belakang. Lenganku pun merangkul bahu mereka sambil tertawa.
"Perasaanku tak enak…" Gumam Ron.
Ginny melambaikan tangannya pada kami. Wajahnya terlihat cemas seolah-olah ia tahu apa yang akan ku tanyakan ke Profesor Trelawney.
Jujur saja aku memang ingin menanyakan sesuatu pada guru ramalanku itu.
-o0o-
Sesampainya dikelas setelah mengeluarkan bola ramalan dan buku tebal tentang ramalan aku mengedarkan pandanganku ke seisi ruangan, Profesor Trelawney belum menampakkan wujudnya. Tanpa sengaja mataku dengan Malfoy bertemu, dengan segera aku memalingkan pandanganku ke arah lain dan betapa terkejutnya aku saat secara tiba-tiba wajah Profesor Trelawney sudah terpampang jelas didepan wajahku.
"Huaa!" sanking terkejutnya aku hanya bisa membuka dan menutup mulutku gelagapan.
"Sudah pernah kukatakan sebelumnya bukan, kalau kau akan benar-benar dihancur-leburkan oleh sesuatu yang teramat bodoh?"
Damn it!
"Profesor…" aku mencengkram lengan baju Harry, Profesor Trelawney saat ini ia bukanlah dirinya sendiri. Tapi perkataannya itu membuatku ketakutan setengah mati.
"Profesor apa yang Anda bicarakan?" Genggaman tanganku semakin kuat saat Harry bertanya seperti itu, mataku masih tak bisa ku alihkan dari tatapan Profesor Trelawney.
"Profesor?!"
"Profesor!"
"Hah?! Ya? Apa yang baru saja terjadi?"
"Profesor bisakah kita mulai kelasnya sekarang?" Zabini berinisiatif memecah suasana canggung dan ketakutan di kelas. Harry menatapku dengan tatapan bertanya yang ku jawab dengan anggukan saja. Sementara Malfoy…
Berbanding terbalik denganku, ia tampak tenang dengan kejadian barusan, terlalu acuh malah. Aku tak berharap ia seheboh reaksiku tadi, hanya saja ia tampak tak khawatir kalau seandainya saja Zabini tak berteriak memanggil Profesor Trelawney yang sudah hendak membahas masalah percintaanku tadi.
"Well, baiklah… kenapa tiba-tiba tubuhku terasa tak enak?" Gumam Profesor Trelawney setelah menjawab pertanyaan muridnya, saat aku melirik Zabini ia malah mengacungkan jempolnya padaku. Pikirnya semua sudah baik-baik saja, begitu.
Selama 45 menit terakhir kelas berlangsung tenang walaupun diawal pelajaran guru ramalan nan eksentrik seantero Hogwarts itu harus kembali kerasukan arwah aneh lagi. Aku sengaja memperlambat gerakanku mengemasi peralatan tulisku hingga seisi kelas tinggallah aku, Harry dan Ron tentunya.
"Hermione ayolah… apalagi yang akan kau tanyakan padanya?"
"Harry kumohon keluarlah sebentar, Ron bisakah kalian menunggu diluar? Aku masih memiliki beberapa keperluan dengan Profesor Trelawney."
"Tentu saja aku bisa. Tapi Merlin, sejak kapan kau memiliki keperluan dengan guru ramalan aneh itu?" Belum sempat aku menjawab tiba-tiba Profesor Trelawney berjalan mengarah ku.
"Kau bisa menemuiku diruanganku, Ms. Granger…"
"Blimey, Harry apakah ia mendengar omonganku tadi?" Ron berbisik ke Harry.
"A-apa?" Tanyaku kaget. Aku menatap Profesor Trelawney dan Harry secara bergantian, Harry sudah hendak menarik lenganku saja tapi aku segera menepisnya.
"Hermione?" Lirik Harry heran.
"Ruanganku, bagaimana?"
"Ah… ya, tentu saja. Baiklah Profesor. Harry, ini hanya sebentar. Maaf…" aku pun berjalan beriringan dengan Profesor Trelawney meninggalkan Harry dan Ron di kelas ramalan, wajah mereka terlihat sangat bingung (bercampur khawatir juga khusus wajah Harry) saat aku menoleh sejenak kebelakangku. Aku tersenyum meringis ke arah mereka sebelum berbelok ke ruangan Profesor Trelawney.
Profesor Trelawney mempersilahkanku duduk di karpet khas Turki yang terbentang di pojok ruangannya setelah ia menutup pintu, makanan dan cangkir yang berisi minuman dengan kepulan asap diatasnya tersedia secara sihir.
"Aku tak tahu kalau kau berniat mengunjungiku, Ms. Granger…" aku meringis tersenyum sambil menyesap teh hangat ini setelah ia mempersilahkanku menikmatinya.
"Sebenarnya aku berniat hanya ingin berbicara dengan Anda, Profesor." Kekehannya terhenti saat aku berkata seperti itu.
Well, apa yang ku katakan memang benar adanya, bukan?
"Ah… begitu." Wajahnya menampakkan kekecewaan. Memangnya ia berharap aku berkata apa?
"Profesor, soal ramalan Anda…" Ia mengernyitkan dahinya. "…mungkin Anda tidak mengingatnya karena saat itu sepertinya Anda tengah dirasuki entah oleh arwah apa tapi yang jelas Anda pernah memperingati ku kalau aku akan jatuh cinta dan akan benar-benar dihancur-leburkan oleh sesuatu yang teramat bodoh yaitu cinta itu sendiri, Profesor bisakah kau memberitahuku mengapa aku harus mengalami hal seperti ini?"
"A-apa?"
"Maksudku, aku… arghhh! Bagaimana aku harus mengatakannya?" Racauku tak jelas, kini Profesor Trelawney menatapku dalam diam, ia meraih tanganku yang kemudian digenggamnya.
"Ms. Granger, aku tahu apa yang tengah kau alami tapi hal itu tak lantas membuatmu kacau seperti ini…"
"Tapi, Profesor dia, maksudku… ah, aku tak perlu memberitahukan siapa pria yang mengacaukan ku ini padamu, bukan?" ia mengangguk sambil tersenyum. "Dia lah yang mengacaukan segalanya, ia duluan yang memulainya, ia pula yang meninggalkanku. Profesor aku… ah, dia berkata kalau ia mencintaiku, temannya juga berkata kalau ia tengah memperjuangkanku, lantas kenapa Tuhan, Merlin dan siapapun itu sepertinya saat ini tengah senang-senangnya mempermainkan perasaanku? Kenapa perbedaan darah masih juga berlaku disaat si pencipta peraturan itu sendiri telah tiada? Dan kenapa juga harus aku yang mengalami masalah perbedaan darah itu? Sejujurnya aku bahagia saat mendengar temannya berkata kalau pria ini tengah memperjuangkanku, memperjuangkan hubungan kami, tapi disatu sisi aku ingin berlari saja dan meninggalkannya agar ia tetap melanjutkan hubungan barunya dengan wanita lain itu demi keselamatan Ibunya. Tapi Profesor ada satu lagi yang tak bisa diterima oleh akal ku, kenapa ia harus patuh pada peraturan Ayahnya sementara ia bisa meminta bantuan dari Hogwarts soal perbedaan darah itu? Kenapa ia masih melakukannya juga kalau ia memang tengah memperjuangkanku? Aku tahu ia melakukan itu juga demi keselamatan Ibunya, namun apakah aku harus kembali mengorbankan perasaanku? Apa aku tak berhak untuk berbahagia atas apa yang bisa ku miliki sendiri? Aku… aku hanya tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini…"
Selesai.
Habis sudah semua pertanyaan yang ada dikepalaku selama ini.
Sanking leganya aku sendiri sampai tak sadar kalau Profesor Trelawney tengah menatapku dengan mulut menganga.
Apakah ia tak mengerti perkataanku?
"Profesor, Anda… mengerti apa yang ku katakan tadi, bukan?" Lama tak ada jawaban darinya sampai aku melambai-lambaikan tanganku didepan wajahnya.
"Profesor?" Ia pun terkesiap.
"Ah, maafkan aku."
Aku ragu ia mendengarkan ceritaku tadi.
"Sejujurnya tanpa perlu kau ceritakan pun aku sudah tahu, Ms. Granger. Aku hanya mencoba membantumu agar segala macam pertanyaan-pertanyaan yang bersarang dikepalamu itu tak menjadi benang kusut."
Wow…
Aku baru tahu sisi hangat dari guru ramalanku ini…
"So… aku harus melakukan apa, Profesor?" Ia menghela napasnya sejenak sebelum menjawab pertanyaanku, ia tersenyum dan tanpa terlihat berpikir ia pun langsung berkata…
"Ikuti kata hatimu. Kau tahu apa yang terbaik untukmu. Aku bisa saja menyarankanmu untuk melanjutkan hubungan kalian atau meninggalkannya, tapi… seperti yang kataku sebelumnya, kau pasti tahu apa yang terbaik untukmu.
"Ikuti kata hati? Tapi Profesor, bahkan saat ini aku tak yakin apakah hatiku masih berfungsi dengan benar atau tidak setelah hantaman keras yang ditusukkan pria itu tepat di ulu hatiku. Bisakah kau memberikan sedikit pencerahan? Maksudku sedikit saran positif saja sebelum aku bertanya pada Ginny yang sudah seperti ahli kejiwaan pribadi ku itu."
Apa yang baru saja ku katakan?
Sepertinya aku sudah bisa menulis novel atau membuat puisi pujangga bernuansa romansa.
Profesor Trelawney tertawa geli mendengar perkataanku. Jujur saja saat ini aku pun ingin menenggelamkan kepalaku ke danau hitam saja.
"Kau ingat apa kata Mr. Zabini bukan, kalau teman Mr. Zabini, pria yang mengacaukan keadaanmu itu, ia pun tengah memperjuangkanmu?"
"A-ap… ZABINI?!" Mataku membelalak saat menyadari Profesor Trelawney menyebut nama Zabini, karena sedari tadi saat bercerita aku sama sekali tak ada menyebutkan nama-nama pemeran dalam drama percintaanku ini.
"Ia tengah memperjuangkan apa yang pantas diperjuangkannya itu karena ia benar-benar berharap kalau kau adalah sumber kebahagiaannya selain keselamatan Ibunya, jadi… Ms. Granger, perjuangkan jugalah pria itu sampai kalian tak bisa berharap lagi. Saling memperjuangkan satu sama lain. Cinta… seperti itu, bukan?" Aku tak menjawab pertanyaannya. Padahal, kalimat yang diucapkannya tadi sangatlah mudah, ia tidak sedang kerasukan arwah apapun, ia juga mengucapkan dengan ejaan yang benar. Tapi kenapa kalimatnya itu sulit sekali diterima oleh akal dan pikiranku?
"Kenapa?" Hanya itu kalimat yang bisa mulutku ucapkan saat ini. Aku sendiri tak tahu kenapa harus pertanyaan 'kenapa' itu yang ku ucapkan.
"Karena masih ada harapan." Jawabnya dengan senyum yang masih tak lepas dari wajahnya.
"Harapan?"
-TBC-
Thanks to : Clairy Cornell, aurora, Saysay, malfnger, galuhtikatiwi, ElectraMalfoy, yellowers, Carbon, oreo, swift, andreanibebe, uulill, Ein Mikara.
A/N : Maaf kalau ada typo(s), OOC, EYD yang berantakan dan rekan-rekannya. Kemungkinan sekitar 2 atau 3 Chapter lagi cerita ini akan berakhir. Haruskah Happy Ending? Leave your review :)
Well, I hope you all still love and waiting for this weird story. Don't forget to leave your review, every single word from your review are meaningful for me. Thank you :)
