∞ SAY SOMETHING ∞
Timeline:
Tahun ke-7 setelah perang usai.
Warning : Newbie Author, Sebagian OOC, Typo(s), Absurd, Whatever (-_-)
Disclaimer : J.K Rowling
The Story Owned By Me
-o0o-
Kutumpahkan cukup banyak air mata hingga bisa kulihat bayanganku sendiri di situ. Lalu semuanya jelas…
Tak bisa kusangkal, aku sungguh merindukannya…
"Sudah pernah kukatakan sebelumnya bukan, kalau kau akan benar-benar dihancur-leburkan oleh sesuatu yang teramat bodoh?"
"Ikuti kata hatimu. Kau tahu apa yang terbaik untukmu."
"Bahkan saat ini aku tak yakin apakah hatiku masih berfungsi dengan benar atau tidak setelah hantaman keras yang ditusukkan pria itu tepat di ulu hatiku."
"Ia tengah memperjuangkan apa yang pantas diperjuangkannya itu karena ia benar-benar berharap kalau kau adalah sumber kebahagiaannya selain keselamatan Ibunya, jadi… Ms. Granger, perjuangkan jugalah pria itu sampai kalian tak bisa berharap lagi. Saling memperjuangkan satu sama lain. Cinta… seperti itu, bukan?"
"Kenapa?"
"Karena masih ada harapan."
"Harapan?"
-o0o-
Chapter 09 : One Way Love
Same bed but it feels just a little bit bigger now,
Our song on the radio but it don't sound the same…
When our friends talk about you, all it does is just tear me down,
Cause my heart breaks a little when I hear your name…
It all just sounds liketoo young, too dumb to realize…
-o0o-
Hari ini aku memutuskan untuk berkunjung ke St. Mungo.
Bukan.
Bukan karena aku harus memeriksakan kejiwaanku, aku hanya mengunjungi Ron yang saat ini tengah merengek terbaring disalah satu brankar. Ia mengalami insiden patah tulang saat berlatih Quidditch, padahal NEWT hanya tinggal beberapa minggu lagi tapi ia masih harus beristirahat selama beberapa hari. Setelah memastikan keadaannya yang sudah sedikit membaik aku, Harry dan Ginny pun kembali ke Hogwarts.
"Rasanya aneh tanpa kehadiran Ron disini." Harry mengangguk mengiyakan perkataanku.
"Kalau saat ini ia berada disini mungkin kita takkan kebagian pie berry ini."
"Kau benar, Gin." Kami pun terkekeh bersama.
"By the way, yang kau tanyakan pada Profesor Trelawney kemarin itu… apakah ia benar-benar menjawabmu dengan perkataan seperti itu?" Tiba-tiba makan siangku terasa hambar.
"Gin, sudah berapa kali ku katakan padamu, kau benar-benar perusak mood ku."
"Aku tahu, maaf. Aku hanya ingin memastikan saja."
"Memastikan apalagi? Memastikan kalau mood ku sudah rusak?"
"Perhaps?" Aku menggerutu mendengar jawaban darinya.
Setelah pertemuanku dengan Profesor Trelawney beberapa hari yang lalu itu, Ginny dan Harry langsung menghadangku didepan pintu asrama tidak termasuk dengan Ron karena ia sudah pasti lebih memilih makanan dibandingkan diriku, mereka tak mengijinkanku memasuki asrama Gryffindor sampai aku berjanji akan menceritakan apa yang baru saja terjadi pada mereka.
Aku tak bisa menolaknya.
Kalau mereka tak mengijinkanku tidur di asrama aku tak tahu lagi harus bermalam dimana. Tentu saja aku tak berniat sama sekali untuk kembali ke menara ketua murid. Jadi dengan wajah kesal dan pasrah aku pun harus mau menceritakannya pada mereka.
Harry hanya terdiam saja saat mendengarkan ceritaku, sementara Ginny terlihat sangat antusias. Aku tahu kenapa Harry bersikap seperti itu, itu karena sejujurnya ia ingin aku mengakhiri hubunganku dengan Malfoy, bukan karena ia masih membenci para mantan pelahap maut itu, hanya saja… apa yang dikatakan Harry soal keluarga Malfoy yang seperti memiliki hobi terselubung untuk menyakiti seorang Hermione Granger itu jelas sekali terlihat.
Buktinya, Lucius langsung membuat pertemuan keluarga dengan keluarga Greengrass guna membahas pertunangan anaknya dengan gadis itu setelah ia melihatku dengan anaknya di Hogsmeade.
"Aku harus ke perpustakaan, sampai nanti." Harry dan Ginny mengangguk setelah aku memohon pamit untuk ke perpustakaan.
Sepanjang lorong menuju perpustakaan aku terus berpikir. Hidupku takkan serumit ini kalau saja saat itu aku bisa tegas dengan diriku sendiri.
Karena aku benar-benar mencintaimu, Karena aku benar-benar menyukaimu,
Aku benar-benar seperti orang gila, aku benar-benar hancur…
Aku menghela napasku yang sepertinya akhir-akhir ini aku kembali sering melakukannya, menghela napas maksudku.
-o0o-
Hai, St. Mungo.
Lagi.
Tentu saja aku kesini masih dengan meyakinkan diriku kalau aku masih tak perlu memeriksakan kejiwaanku. Setelah satu minggu penuh berada di bangsal perawatan St. Mungo, Ron akhirnya diperbolehkan pulang, kembali ke sekolah. Gips yang sebelumnya terpasang dikaki kiri dan lehernya itupun sudah tak ada lagi, hanya masih ada sedikit luka goresan di pelipis matanya. Walaupun begitu ia masih harus rutin ke Hospital Wings untuk memeriksakan kondisi retakan tulang kering pada kakinya. Dengan bantuan Madam Pomfrey kami pun kembali ke Hogwarts.
"Welcome Home, Dude…" Kami bergantian menyambutnya yang tengah tertawa kegirangan.
"Woahh… aku terharu. Walaupun sejujurnya aku sudah mati bosan melihat wajah kalian setiap hari yang tak pernah absen mengunjungiku selama aku dirawat."
"Oh, shut up, Ron!" Teriak kami serentak yang membuatnya berhenti tertawa.
"Mr. Weasley, Anda masih harus mengkonsumsi ramuan itu dan beristirahatlah yang cukup. Ku harap kau sudah bisa sehat sepenuhnya menjelang NEWT nanti." Ia meringis mendengar perintah dari Madam Pomfrey.
"Blimey, ia membuatku kembali ingin berbaring di St. Mungo saja saat ia menyebutkan kata NEWT." Racaunya tak jelas yang membuat aku dan Harry kembali tertawa. Setelah menerima sekantong kertas ramuan pemulih kesehatan Ron dari Hospital Wings aku, Harry dan Ron berjalan beriringan menuju aula besar.
Seperti biasa, wajah Ron tampak tak sabar untuk makan siang.
"Selamat Datang kembali, eh, Ron!" Aku melipir ke sebelah Ginny saat para bocah laki-laki itu menyambut kepulangan Ron.
"Aku tak percaya ia akan kembali ke Hogwarts dalam waktu secepat ini."
"Ginny?!"
"Becanda…" Tak lama Harry dan Ron pun ikut bergabung dengan kami setelah bersapa-ria dengan teman-teman mereka.
"Ron, telanlah dulu makanan yang ada dimulutmu sebelum mengunyah makanan lain." Ujarku. Seperti biasa, bahkan dalam keadaannya yang masih belum pulih total itu ia masih sanggup melahap semua makanan yang ada dimeja.
"Kalian tak tahu betapa tersiksanya aku selama disana, di St. Mungo maksudku. Makanan yang ada disana benar-benar menyiksaku, aku tak berselera makan sama sekali sampai aku sekurus ini."
"Kurus… damn you…" Ginny sempat mengelak sebelum makanan Ron menyemprot wajahnya saat ia mengumpat seperti itu tadi. Ia tak habis pikir kenapa selama ia berada di St. Mungo adik perempuan satu-satunya itu tak pernah menjenguknya.
"Ia hanya berpura-pura sakit untuk mencari perhatian, 'Mione."
Begitulah kalimat yang Ginny ucapkan saat aku bertanya padanya. Pura-pura sakit hanya untuk mencari perhatian?
Seperti tersengat petir disiang bolong aku baru menyadari sesuatu.
"Draco, ia sakit. Sudah seminggu ini dia berada di Manor. Saat aku bertanya pada Narcissa bagaimana keadaannya, Narcissa tak berkata apapun…"
"…Healer yang kutanyai pun berkata kalau Draco hanya sakit biasa saja. Seharusnya kalau ia sakit biasa ia bisa datang ke sekolah, bukan?"
"Tapi Tuan Muda Malfoy tidak sakit. Kenapa kau ingin menjenguknya?"
Dan keesokan harinya jantungku juga nyaris copot saat secara tiba-tiba ia sudah berada di menara ketua murid.
Mungkinkah ia membuat alasan sakit, hanya untuk mencari perhatianku?
-o0o-
Menyibukkan diriku belajar bersama dengan teman-teman seasramaku membuatku melupakan permasalahanku sejenak dengan Malfoy. Aku sama sekali tak berniat mengganggunya, karena ia pun melakukan hal yang sama denganku. Sibuk dengan persiapan NEWT dan mungkin juga sibuk dengan persiapan peresmian pertunangannya.
Gadis itu juga masih setia berada disisinya walaupun pertengkaran mereka saat di menara ketua murid saat itu selalu berputar kembali di kepalaku setiap melihat kemesraan mereka. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran mereka berdua. Kalau Malfoy memang tak menyukai gadis itu seharusnya ia bisa menolak semua sikap manisnya, dan juga aku masih saja heran dengan gadis itu, ia tahu kalau Malfoy menolak pertunangan mereka lantas kenapa ia tak meminta pembatalan pertunangan mereka saja ke kedua orangtuanya?
"Tampaknya gadis itu mengalami cinta sepihak." Hebatnya, Luna sudah berada disebelahku. Aku menoleh ke kanan dan kiriku untuk memastikan tak ada yang mendengarkan apa yang baru saja Luna katakan. Luna memperhatikan gerak-gerikku yang aneh sedari tadi.
"Percayalah, Hermione… takkan ada yang mendengarkan percakapan kita di perpustakaan di jam selarut ini."
"Huh? Ah… sepertinya begitu…" Aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul 9 malam.
"Aku akan kembali ke asrama ku, kau tak perlu memaksakan dirimu belajar hingga selarut ini untuk minggu depan." Aku tersenyum menanggapi perkataannya.
"Demi NEWT…" ujarku singkat.
"Atau demi mengamatinya."
"A-apa?" Mulutku hanya bisa membuka-tutup seperti ikan yang terdampar didaratan.
"Dah… Hermione…" Aku masih tak bisa membalas ucapan Luna sampai Madam Pince membunyikan peringatan pertanda perpustakaan yang akan tutup.
Luna Lovegood… suara nan lembut, kehadiran yang tak bisa diperkirakan, dan perkataan nan singkat namun menyakitkan itu terkadang membuatku tersadar akan sesuatu hal…
Kenapa ia selalu lebih tahu tentangku, tentang apa yang ada dipikiranku, dan tentang apa yang ada di dalam benakku ketimbang diriku sendiri yang memiliki tubuh ini?
-o0o-
"Hermione, bolehkah aku meminjam catatanmu?!"
Kalau sudah mendengar teriakan seperti itu, aku akan bersembunyi di pinggiran danau hitam.
Tapi karena Harry juga tahu tempat persembunyian favoritku itu, aku jadi memutuskan untuk kembali ke menara ketua murid, sekalian membenahi kamarku, pikirku.
Selama seminggu menjelang NEWT buku catatanku sudah seperti korban kekerasan dalam rumah tangga. Maksudku, buku catatanku selalu berpindah-pindah tuan dan selalu berakhir ditanganku dengan beberapa lembar yang robek atau ketumpahan minuman dan aneka bercak noda lainnya.
Aku merubah kata sandi menara ketua murid agar Harry dan siapapun yang mengetahui sandi menara ketua murid ini tak bisa sembarangan masuk demi mengejar buku-buku catatanku.
"Mawar Berduri…" Ujarku dari balik sofa yang membuat langkah Malfoy terhenti. Dengan malas aku membenarkan posisi dudukku yang sebelumnya tiduran di sofa ruang rekreasi ketua murid ini, kini aku menatapnya yang tampak terkejut dengan kehadiranku. Ia tengah mengancingkan kemejanya.
"Kenapa?"
"Kata sandinya sudah ku ganti. Mawar Berduri." Jelasku lagi setelah ia menatapku dengan tatapan bertanya.
"Bukan, bukan itu. Aku bertanya kenapa kau bisa ada disini?"
"Kau akan tahu setelah keluar dari pintu itu." Tunjukku dengan dagu lalu kembali merebahkan tubuhku di sofa. Malfoy sepertinya masih mengamatiku karena aku tak mendengar ia mengucapkan sandi pintu menara.
"Hermione…"
-o0o-
Saat aku tersadar, aku tahu aku tak berada dikamarku yang di menara ketua murid maupun kamar di asrama Gryffindor. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, aku membelalakkan mataku saat indera penciumanku yang pertama kali tersadar saat aroma yang ku kenali itu terhirup oleh hidungku.
"Merlin!" Dengan sigap aku mengintip dari balik selimutku yang ternyata masih dengan pakaianku yang lengkap. Aku menghela napasku lega.
"Apa yang sempat kau pikirkan?" Suara yang ku kenal itu ternyata tengah menatapku dari kursi yang berseberangan dengan ranjang ini.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada dikamarmu, Malfoy?" Ia bangkit dari duduknya dengan kedua tangannya yang tampaknya selalu melekat dibalik saku celananya itu.
"Aku tahu kenapa kau mengganti sandi menara ketua murid."
Ah… jadi itu…
Tubuhku sedikit oleng saat aku berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar, aku segera menepis tangannya yang sudah hendak menyentuh lenganku.
"Kau tak kan bisa kemana-mana. Temanmu itu, maksudku Potter dan yang lainnya masih menunggumu di ruang rekreasi." Mendadak aku menatapnya.
"Bagaimana mereka bisa masuk?"
"Mereka menungguku keluar menara dan mereka langsung menyelinap masuk saat aku masih tak tahu apa tujuan mereka melakukan itu."
"Apa Harry mencurigaimu?" Ia menggeleng pelan dan seolah mengerti pertanyaan apa yang akan ku lontarkan berikutnya ia pun melanjutkan berkata…
"Ia berpikir kau cukup gila untuk bersembunyi dikamar orang yang pernah menyakitimu."
"Tentu saja ia berpikir seperti itu." Gumamku sembari kembali mendaratkan bokongku diranjang nan empuk miliknya.
"Apa kau dan teman-temanmu itu benar-benar berpikir seperti itu?" Aku menatapnya nanar. Disaat-saat seperti ini pun masih ada saja yang merusak mood ku selain Ginny Weasley.
"Bukankah itu terdengar cocok untuk mu? Kau… ah, tampaknya bukan hanya kau saja tapi Bibimu dan Ayahmu yang mengagung-agungkan darah murni kalian itu pun tampaknya memiliki hobi terselubung untuk menyakiti seorang Hermione Granger. Tentu saja Harry dan temanku yang lain berpikir seperti itu, bahkan saat ini aku tengah berbicara dengan orang yang menyakitiku itu. Aku pasti sudah gila, bukan?" Ia terdiam tak menyahut, saat ku pikir ia akan membalas perkataanku, ternyata ia hanya mengambil sebuah kantongan kertas besar dari dalam lemarinya dan meletakkannya di atas ranjang. Ia menghela napasnya lalu kembali menatapku.
"Istirahatlah, aku akan turun ke aula untuk mengambilkan beberapa makan malam untukmu. Jangan coba-coba untuk keluar kamarku. Dilihat dari keteguhan teman-temanmu yang berpikir mengenaiku yang hobi menyakiti seorang Hermione Granger itu, aku yakin mereka akan bertahan hingga jam malam berakhir. Jadi, jangan coba-coba untuk keluar kalau kau tak ingin dianggap gila oleh teman-temanmu itu."
"…" Aku masih tak bisa membalas perkataannya sampai ia menghilang dari ruangan ini. Isi kantongan besar itu ku tuangkan di atas ranjang. Beberapa helai baju dan celana…
Seperti baru saja terlepas dari himpitan tubuh Throll aku pun menghela dan menghirup napasku berulang kali.
Ini menyesakkan.
Sungguh menyesakkan…
-o0o-
"Berhenti disitu. Cukup. Kumohon…" Perintahku saat menyadari ekspresi terselubung itu.
"…kumohon, jangan sakiti buku-buku ku lagi."
"Hermione?" Parvati, Dean, Seamus, Harry, Ron, Neville dan beberapa orang murid Gryffindor satu angkatanku yang lainnya kini tengah menatapku tak percaya dengan apa yang baru saja ku ucapkan.
"NEWT tinggal 5 hari lagi, 'Mione. Catatan siapa lagi yang bisa kami pinjam selain milikmu?" Harry menatap memelas padaku tetapi tatapan memelas seperti itu tetap takkan menggoyahkan pendirian seorang Hermione Granger.
"Tidak. Aku bilang tidak, Harry. Aku juga membutuhkan buku-buku catatan ku untuk mengulang semua pelajaran demi ujian nanti…"
"Tapi kau sudah jenius, Hermione. untuk apa kau mengulang membaca semua buku-buku catatan mu lagi? Aku yakin kau pasti masih ingat materi pembahasan pertahanan ilmu hitam tingkat 3 tentang pertahanan dari serangan Warewolf dan Dementor."
Tentu saja aku ingat, saat itu kita tengah dikejar-kejar serigala jadi-jadian dikarenakan tikus palsumu itu, bukan?
Aku menggeleng tidak setuju dengan perkataan Ron.
"Tidak, aku tidak mengingatnya sama sekali, Ron. Dan Merlin, kau sendiri saja masih ingat tentang ilmu pertahanan tingkat 3 itu, untuk apa aku harus meminjamkannya pada kalian?"
"Hermione, menurutku lebih baik bagaimana kalau kita belajar bersama? Sejujurnya kami pun tak mengerti dengan coretan-coretan yang ada di buku catatanmu itu tanpa ada yang menerangkan." Parvati mencoba menengahi dengan saran yang menurutnya lebih baik itu. Aku menghela napasku.
"Baiklah aku kalah. Aku setuju dengan saranmu, Vat. Daripada buku-bukuku kembali jadi korban tangan-tangan kotor kalian…"
"Hermione?!"
"Ya…ya…"
Apa ada yang bisa tak menggoyahkan pertahanan seorang Hermione Granger?
"Bagaimana kalau kita mengerjakannya di menara ketua murid?"
"A-apa?! Tidak. Tidak, tidak… siapa yang memberikan ide seperti itu tadi? Ron?"
"Tapi Hermione, kita bisa memasak makanan kita sendiri di menara ketua murid, jadi kita tak perlu keluar lagi untuk hadir makan di aula besar." Ujar Ron lagi. Setelah ini aku akan mengunci mulut Ron dengan mantera pengikat tubuh. Ia telah memprovokasi Dean dan yang lainnya untuk menggunakan menara ketua murid.
"Well, tapi hanya menara ketua murid sajalah yang cukup tenang, kalau kita mengerjakan di ruang rekreasi Gryffindor aku berani jamin pasti kegiatan kita akan berujung pada lempar-lemparan kue."
"Tidak, Dean. Kau tak tahu bagaimana sesungguhnya suasana menara ketua murid itu. Kau tak kan bisa tenang jika belajar disana. Harry kau tahu maksudku, bukan?" Aku harus mencari bantuan dengan menanyakannya ke Harry karena ia tahu pasti bagaimana persisnya suasana menara ketua murid itu.
"Maaf, tapi tidak, Hermione…"
"Harry?!" Bahkan kini Harry pun tak memihakku?
Merlin!
"Baiklah, semua setuju. Kalau begitu setelah jam makan malam kita akan menggunakan ruang rekreasi menara ketua murid untuk belajar bersama. Pastikan kalian semua hadir. Arrghh! Hermione?!"
"Kau dan segala aturan bebasmu, Ronald Weasley." Aku meninggalkan aula besar setelah mendaratkan buku-buku catatanku ke kepala Ron.
Yang benar saja…
Sekarang siapa sebenarnya ketua murid mereka?
-o0o-
"Kenapa Malfoy menatap kita seperti itu?" Aku memijat pelipis mataku saat Parvati berbisik bertanya padaku.
"Granger, apa yang kau lakukan dengan teman-teman asramamu?"
"A—"
"Mate!" Belum sempat aku menjawab pertanyaannya tiba-tiba Zabini dan beberapa anak Slytherin lainnya memasuki menara dan berkumpul di ruangan rekreasi. "Well, Draco kau tak bilang kita akan belajar bersama anak-anak Gryffindor. Apa ini kejutan?" Tak ada sahutan apapun dari Malfoy. Kini yang ku tahu setelah memijat pelipis mataku yang sama sekali tak menghilangkan pening dikepalaku itu, Malfoy menatapku tajam.
"Kita perlu bicara. Berdua saja. Diluar, Granger." Ia lalu berjalan duluan tanpa menunggu respon dariku. Aku menoleh dan menatap Harry dengan tatapan sama seperti apa yang Malfoy lakukan padaku sebelumnya.
"Aku akan memecahkan kacamatamu, Harry Potter." Harry terdiam dan mulutnya tampak kaku saat hendak membalas perkataanku. Kelihatannya ia cukup kaget dengan perkataanku tadi.
Dengan malas aku berjalan menyusul Malfoy. Ia menungguku di depan pintu dengan ekspresi yang sulit ku jelaskan. Ia langsung menoleh menatapku sinis sesaat setelah aku berada di sampingnya.
"Apa kau berniat menunjukkan ke seluruh teman-teman Gryffindor mu itu kalau aku adalah pria dari keluarga yang memiliki hobi ingin menyakiti seorang Hermione Granger?" napasnya memburu setelah menanyaiku dengan kalimat satu tarikan napas itu.
Wow…
"Dengar… arghhh, terserah kau mau mendengarkanku atau tidak. Tapi pertanyaan dengan satu tarikan napasmu tadi itu sama sekali tak menjadi tujuan utama ku membawa mereka kemari, mereka hanya ingin belajar bersama denganku dan aku menyetujuinya daripada mereka membuat buku-buku catatanku jadi seperti jubah voldemort. Percayalah sejujurnya aku pun enggan berada disini." wajahnya sedikit melonggar, tidak setegang sebelumnya. Ia tampak berpikir sebentar.
"Well, aku bisa mengusir teman-temanmu dan teman-temanku kalau kau—"
"Tidak. Tidak perlu mengusir mereka…" aku menghela napasku lelah, "…kau hanya perlu bersikap sewajarnya saja. Dan aku tak ingin ada keributan antara asramaku dan asramamu. Bersikaplah seolah tak ada apa-apa antara kau dan aku, well… seperti biasa. Kau pasti tahu. Dan… entahlah…" Aku meninggalkannya diluar dan kembali ke ruang rekreasi, Harry dan Zabini tengah menatapku penasaran. Aku masuk ke kamarku mengambil beberapa peralatan tulisku, tak lama berselang Malfoy menyusul masuk ke ruangan dan duduk tenang diantara teman-temannya. Aku kembali ke ruangan setelah mencari peralatan tulisku, elak ku… Sejujurnya saat di kamar aku tengah mengatur emosiku agar tak meledak saat melihat manusia-manusia yang tengah menatapku heran saat ini.
"Jadi, apa selanjutnya? Aku atau si Granger itu duluan yang melontarkan mantera?"
"Man…t… maaf, apa?" Gadis yang bertanya tadi yang ku ketahui bernama Parkinson itu menatapku sinis.
"Dengar, tidak ada mantera apapun yang akan kita lontarkan disini. Mereka memiliki tujuan yang sama dengan kita. Pansy, jaga sikapmu." Ia hanya memutarkan bola matanya dengan malas saat Malfoy menegur kelakuan tak sopannya itu.
"Wow, jadi kalian belajar bersama disini? siapa tutor kalian?" Tanya Zabini dengan ramah pada teman-teman seasramaku, tapi sepertinya mereka tak mengerti maksud pertanyaannya.
"Tutor yang dimaksud dia itu adalah aku." Ujarku pelan dan teman-teman seasramaku serentak menunjukku. Zabini terkekeh geli setelah mengangguk paham.
"Kalau kami Draco…"
"Sungguh kami tak ada menanyakan hal itu padamu Zabini." Celetuk Ron sinis.
"Wow, wow… sabar, mate! Kenapa kau masih bersikap dingin padaku sementara adik perempuanmu itu sudah dekat dan akrab sekali denganku?"
"Ron, cukup." Ron sudah hendak membalas perkataan Zabini kalau aku tidak mencoba menengahi mereka.
Setelah beberapa menit tak ada sahutan atau ucapan apapun lagi diantara mereka, begitu juga dengan teman-teman seasramaku dengan anak-anak Slytherin. Masing-masing berinisiatif untuk mulai membuka buku pelajaran mereka. Aku hanya bisa terduduk lelah dan mulai menjawab berbagai pertanyaan dari teman-temanku tentang pelajaran yang tengah kami bahas saat ini.
Hening cukup lama selama beberapa jam. Maksudku, Mafloy dan teman-teman seasrama benar-benar tak mencoba mengganggu teman-temanku selama belajar, tidak seperti biasanya Gryffindor dan Slytherin tak pernah bisa akrab bukan? Sepertinya kali ini mereka benar-benar fokus untuk lulus dengan nilai terbaik selama NEWT nanti.
"Hermione, apa kau akan kembali ke asrama atau tidak?" Aku menengadah menatap Parvati saat aku tengah merapikan buku-bukuku.
"Aku akan kembali ke asrama setelah merapikan peralatanku, kalian duluan saja." Jawabku masih mengusahakan tersenyum.
"Kau yakin?" Tanya Harry ragu.
"Seharusnya kau menanyakan hal itu sejak Ron memutuskan ruang rekreasi ketua murid digunakan untuk belajar bersama, Harry." Ternyata suaraku sedikit meninggi hingga beberapa anak Slytherin yang masih membenahi peralatan tulis mereka kini menatapku heran.
"Maaf…" Ujar Harry pelan, ia tampak menyesal.
Memang seharusnya ia merasa menyesal.
Sejujurnya sedari tadi aku tak dapat memfokuskan diriku pada materi pelajaran yang sedang kami bahas. Itu semua karena Malfoy terus menatapku selama kami belajar bersama. Ia membagikan senampan biskuit pada teman-temanku yang berhasil membuat semua mata terperangah melihat kelakuannya. Terlebih lagi Ron, ia sampai menyumpahi Malfoy kalau saja saat itu Malfoy terbukti meracuni mereka dengan biskuit itu. Yang benar saja…
Aku kembali membereskan buku-buku dan peralatan tulisku dan membawanya ke kamar. Sekembalinya aku ke ruang rekreasi sudah tak ada seorang pun diruangan itu selain Malfoy, ia menatapku sembari aku menghampiri sofa mengambil tas ku.
"Bermalamlah disini." Aku menatapnya lama. "…kau, kau tak harus tidur di asramamu, kau tak perlu menghindariku hingga seperti itu, bukan?"
"Selamat Malam, Malfoy." Aku tak berniat menjawab pertanyaannya maka aku memutuskan untuk berlalu keluar dari menara dan kembali ke asramaku, beristirahat, dan kembali menjalani hari esokku seperti biasa.
Seperti biasa, menghindari Malfoy apapun caranya.
Seolah ku bisa saja.
-o0o-
"Apa yang terjadi?"
"Tak ada. Setelah aku menengahi Zabini dan Ron tak ada keributan apapun lagi yang terjadi." Ginny mengangguk paham setelah mendengar ceritaku. Sebenarnya ia yang memaksaku bercerita.
"Tapi bagaimana dengan Malfoy?"
"Aku sudah mengatakan padamu kalau tak terjadi apa-apa lagi, bukan?"
"Tapi aku tak yakin, Hermione. Pasti ia memintamu untuk tetap tinggal di menara." Aku menarik lengan Ginny saat ia hendak menenggak jus jeruk dari cangkirnya.
"Hermione?!"
"Kau tahu darimana? Siapa yang bercerita soal itu padamu? Parvati? Atau Harry? Apa Harry bersembunyi diruangan menggunakan jubah gaibnya demi menguping pembicaraanku dengan Malfoy?" Tanyaku tengah berbisik pada Ginny. Ia menggerutu sambil membersihkan tumpahan jus jeruk yang mengenai kemeja dan roknya.
"Kau merusak mood ku, Hermione. aku hanya menebak-nebak saja. Insting, kau tahu?"
"Aku tak tahu mengenai insting Ibu-ibu penggosipmu itu dan kini kita impas, Gin." Ginny melemparkan biskuit-biskuit kearahku dengan kesal.
"Bloody hell, mau apa dia kemari? Malfoy arah jam 8." Aku melirik ke arah yang Ginny tunjukkan aku tak menemukan Malfoy. Ia mendecih. "Bukan jam 8 itu… arghh, arah jam 1."
"Ah…" Setelah menjawab dengan kata 'Ah' panjang itu pun aku menoleh kebelakang dan tepat pada saat itu juga Malfoy berdiri dibelakangku menatapku seolah ingin menerkamku.
"Kau tak ingat ini jam berapa?" Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan pukul 01.45pm. Aku tak menjawab pertanyaannya. Apa yang salah hingga ia bertanya dengan nada marah seperti itu?
"Merlin, kita ada rapat Prefect, Hermione!" Ujarnya dengan sedikit emosi, mungkin emosinya hanya sesaat karena kini ia sadar aku menatapnya dengan mata yang membelalak. Tanpa sadar ia segera menutup mulutnya dengan tangan kirinya sebelum ia memijat pelipis matanya.
"Hermione?"
"Malfoy tahu nama mantan musuh mereka itu?"
"Ia menyebutkan nama gadis itu dengan santai, bagaimana bisa Draco seperti itu?"
"Bukankah Malfoy selalu memanggilnya dengan makian merendahkan darah tanpa sihir itu?"
"Mudblood, maksudmu?"
"Aku tak pernah mendengar Draco menyebut namanya."
"Sama…"
"Apa ada sesuatu diantara mereka?"
"Draco tak mungkin segila itu, Pans."
Aku mengatupkan mulutku setelah mendengar bisikan-bisikan (yang sebenarnya aku tak bisa menyebutnya 'bisikan' karena mereka berbicara dengan nada normal) dari murid-murid yang sebagian masih berada di aula besar. Pantas saja aula besar tampak lengang, aku tak menyadari kehadiran para staf pengajar dan kepala sekolah di jam makan siang ini. Harry dan Ron juga tak ada disini, mereka pasti sedang berada diruang rapat. Ginny tentu saja masih ada disini karena ia takkan ikut rapat kalau Prefect angkatannya tak berhalangan hadir.
"Hermione, cepatlah pergi sebelum mereka melemparkan mantera pada kalian." Ginny berbisik sembari menendang-nendang kakiku agar segera tersadar dari lamunanku. Malfoy saja sampai saat ini masih diam mematung.
Aku tak tahu kenapa dadaku terasa sesak.
Bukan…
Bukan karena bisikan-bisikan itu tapi…
"Bisakah kalian tak membicarakanku dan Hermione Granger selama kami masih berada disini?"
"Apa maksudnya?"
"Kenapa Malfoy berkata seperti itu?" Bisikan-bisikan itu terdengar lagi.
"Draco, apa kau gila?! Bagaimana bisa kau memanggil mudblood itu dengan nama depannya?!"
"Jaga ucapanmu, Daphne."
"Aku tak bisa menjaga ucapanku apabila aku melihat adikku menangis karena ulahmu!"
"Hermione, cepat pergilah…" Ginny mencubit lenganku yang berhasil membuatku tersadar, dengan cepat aku meraih tangan Malfoy dan menyeretnya keluar ruangan sebelum ia melemparkan mantera ke temannya sendiri.
"Hermione…"
"Sudah pernah ku katakan padamu sebelumnya, bukan? Jangan pernah memanggil nama depanku saat berada di depan umum. Apa kau lupa?" Ia menepis tanganku kasar. Aku menatapnya tak percaya. Ini adalah pertama kalinya ia bertingkah kasar padaku dari sekian bulan kami saling menjaga jarak.
"Memangnya kenapa? Kenapa kalau aku memanggil nama depanmu, huh?! Kau malu kalau seisi Hogwarts tahu aku memanggilmu dengan nama depanmu?! Atau kau lebih suka aku memanggilmu dengan hinaan kasar? Apa kau malu mengakui hubungan yang pernah kita jalin? Hermione, kita pernah bersama. Walau kini hanya karena pertunangan bodoh itu kau menjauhiku aku akan tetap memperlakukanmu layaknya orang yang dulu pernah mengatakan cinta padaku." Malfoy pun berlalu meninggalkanku yang masih termanggu tak percaya.
Ia masih menganggapku?
-o0o-
Aku tak melihatnya selama aku dan teman-temanku belajar di menara ketua murid. Hanya ada Zabini dan Nott dari asrama Slytherin yang dengan santainya ikut bergabung belajar bersama dengan teman-teman asramaku. Aku sempat berpapasan dengannya di depan kantor kepala sekolah, hanya saja ia seperti tak melihat kehadiranku, ia berlalu begitu saja. Begitu seterusnya sampai hari ini. Entahlah… ini adalah hari terakhir kami belajar bersama, lebih baik aku memfokuskan diriku mengulangi pelajaran terakhirku.
"Hermione, bisakah kita bicara?" aku menoleh kebelakang dan mendapati Zabini yang mencoba membantuku membawakan buku-buku pelajaranku.
"Thanks." Ucapku setelah ia meletakkan buku-buku itu di rak buku kamarku. Ia mengangguk tersenyum. Kini kami tengah duduk disofa ruang rekreasi, ia masih menyesapi teh yang ku suguhkan untuknya.
"Aku mendengar soal pertengkaranmu dengan Draco saat di aula besar." Tanganku tak jadi mengambil cangkir teh ku. "Aku tak menyangka ia akan seberani itu mengakui hubungan kalian didepan umum."
"Maaf, aku ralat. Tidak didepan umum. Saat ia meneriakiku itu ia melakukannya di lorong sekolah yang sepi."
"Lalu bagaimana dengan Astoria? Apa ia tidak kalian anggap orang?"
"A-apa? Astoria… maksudmu…" ia mengangguk sementara aku…
Bagaimana ini?
Gadis itu mendengarnya?
Apa yang akan terjadi dengan Malfoy kalau seandainya gadis itu menceritakan hal itu pada Lucius?
Jangan-jangan…
"Sekarang mungkin kau bisa menjenguknya di Manornya." Perkataan Zabini barusan benar-benar membuatku tak bisa berpikir jernih.
"Apa maksudmu?!" Tanyaku panik yang hampir berteriak. Zabini sendiri terlihat kaget dengan reaksiku.
"Bukankah kau mencarinya selama beberapa hari terakhir ini? 2 hari terakhir ini ia berada di Manor untuk mempertanggungjawabkan apa yang kalian pertengkarkan di lorong beberapa hari yang lalu. Lucius mengurungnya, ia hanya akan kembali ke Hogwarts saat NEWT saja, setelah itu ia kembali ke Manor, kau tentu tak lupa tentang peresmian pertunangannya itu kan?" Aku membelalakkan mataku. Tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengarkan. Bayangan keadaan Malfoy yang tengah sekarat saat di Hogwarts Express saat itu kembali menghantui pikiranku.
"Apa Lucius mengutuknya dengan beberapa mantera? Apa kau yakin Lucius hanya mengurungnya saja? Bagaimana dengan Narcissa?" Zabini tampak berpikir sesaat untuk menanggapi pertanyaan beruntunku.
"Sepertinya tidak. Lucius takkan melakukan itu di saat putranya akan ujian dan apabila Draco mendapat lebam diwajahnya, mungkin hal itu akan menjadi berita besar saat acara pertunangannya disaksikan secara langsung oleh seluruh warga dunia sihir. Lucius bisa mati malu apabila hal itu sampai terjadi. Dan soal Narcissa, ia masih baik-baik saja. Ia memintaku untuk menemuinya setelah NEWT, aku tak tahu perihal apa tapi mungkin membahas pertunangan putranya." Aku setidaknya bisa bernapas lega. Keadaan mereka berdua masih dalam kategori aman, walaupun Malfoy harus dikurung di rumahnya sendiri.
"Hermione?" Zabini melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku.
"Sudah berapa kali aku berterima kasih padamu?" Ucapku mencoba mencairkan suasana. Ia menatapku dengan senyuman meledek.
"Kau ingin berterima kasih lagi? Kemungkinan uang muggle mu itu pun takkan cukup membayar semua apa yang telah aku lakukan untukmu dan Draco." Aku mendengus kesal karena ia masih bisa menggodaku disaat-saat seperti ini. "Well… kalau kau ingin berterima kasih lagi, cukup dengan memanggil nama depanku saja."
"Baiklah, Blaise." Ia mengacungkan jempolnya. Kini aku tahu bagaimana Ginny bisa berteman dengan pria ini, ia tak mempermasalahkan status darah atau status perbedaan asrama.
"Lantas, sekarang apa yang akan kau lakukan?" aku berpikir sejenak.
"Entahlah, untuk saat ini mungkin aku akan tidur di menara ketua murid karena sebentar lagi aku harus berpatroli."
"Merlin Hermione, bukan itu maksud pertanyaanku. Ku kira dengan gelar penyihir terpintar di usia kami itu kau akan langsung mengerti kemana arah pertanyaanku."
"Damn you, Blaise. Aku tahu, hanya saja aku tak tahu apa yang akan aku lakukan saat ini." Blaise mengangguk sambil menahan tawanya.
"Kau akan berpatroli sendiri?"
"Yup…"
"Kau pasti kesepian tanpa Draco…"
"Kesepian?" Tanyaku mengulangi kata itu.
Apa aku terlihat semenyedihkan itu?
Ia mengangguk lalu berkata, "Aku ingin kau tegar. Tegakkan dagumu dan hadapilah masalahmu ini dengan tenang, kau memiliki banyak orang yang mencintaimu disekitarmu, aku misalnya…" Ia terkekeh sesaat yang berhasil membuatku mendecih meremehkan ucapannya. "…Aku berharap kalian bisa menemukan jalan yang terbaik untuk kalian berdua. Aku juga sangat berharap kalian bisa bahagia bersama. Jadi, apa yang kau harapkan untuk hubungan kalian selanjutnya?"
"Terkadang aku juga mengharapkan hal yang sama dengan yang kau ucapkan, walaupun disaat yang sama, aku berpikiran sebaliknya untuk menghindari rasa sakit yang mungkin timbul jika aku tidak mendapatkannya. Seringnya, aku tetap akan merasa sakit tanpa mengetahui bagaimana rasanya jika aku berpikiran positif. Maka dari itu, aku tak pernah mengharapkan hal besar yang mustahil seperti itu terjadi." Ujarku tertunduk. Mungkin saat ini, bisa dibilang aku sudah patah semangat tapi hal itu sepertinya tidak terjadi lagi saat Blaise berkata…
"Apa salahnya berharap? Berharap membuat kita lebih bersemangat hidup, bukan? Well… tentunya sambil disertai usaha yang konkret. Maka dari itu aku tetap berharap kalian akan mendapatkan yang terbaik demi kebahagiaan kalian."*)
Apa salahnya berharap?
Pikiranku masih melayang-layang dengan perkataan Blaise yang hampir sama dengan perkataan Profesor Trelawney sebelumnya.
"Karena masih ada harapan."
-o0o-
Sudah 3 hari berlalu dan aku masih tak melihatnya disekolah. Aku tak tahu apa yang ada dikepala Lucius hingga ia menyiksa anak dan istrinya sendiri. Ujian NEWT tinggal beberapa hari lagi, aku tahu Malfoy dengan otaknya yang lumayan itu pasti tak memerlukan belajar ulang tentang materi ujian, hanya saja…
"Arrghh! Kenapa aku selalu memikirkan orang yang belum tentu memikirkanku, huh?!" aku meracau tak jelas pada diriku sendiri.
Cahaya dari tongkat sihirku menerangi lorong terakhir yang tengah ku periksa malam ini. Sudah beberapa hari ini aku harus berpatroli sendirian, tak ada prefect yang dengan sukarela menggantikan Malfoy, kebanyakan dari mereka selalu beralasan lebih memilih mengulangi materi pelajaran di asrama mereka masing-masing. Aku benci alasan klasik seperti itu. Kenapa mereka selalu baru mengulangi materi pelajaran disaat-saat menjelang NEWT begini? Tidak efisien sekali.
"Kau pasti kesepian tanpa Draco…"
Aku menggeleng.
Aku tak kesepian. Aku sering melakukan patroli tanpanya. Aku sudah biasa. Sejak pengumuman pertunangannya itu, aku selalu menghindarinya dengan merubah jadwal patroliku, terkadang Harry ataupun Ron akan menggantikan posisiku. Dan apabila aku dengannya terpaksa memiliki jadwal wajib berpatroli bersama dengannya di akhir pekan, aku akan memastikan kehadirannya terlebih dahulu. Apabila setelah 10 menit ia tak kunjung hadir di aula besar, itu pertanda kalau aku akan berpatroli tanpanya. Begitu juga sebaliknya, aku akan menghabiskan malamku di asrama dan membiarkannya bertugas sendirian. Bisa dibilang selama beberapa bulan di tahun terakhirku di Hogwarts, kebanyakan aku melakukan tugasku sendirian sebagai ketua murid. Tak seperti awal tahun ketujuh ku yang selalu ditemani olehnya. Jadi…
Aku tak kesepian.
Aku sering melakukan patroli tanpanya.
Aku sudah biasa.
Ulang ku dalam hati.
Tapi…
Mungkinkah Malfoy mengalami hal yang sama denganku selama aku menghindarinya?
Apakah ia juga kesepian?
Aku mendesah menyesali perbuatanku. Aku… terlalu kekanakan.
"Memikirkan apa, Granger?"
"Ah! Kaget aku…" Aku mengelus-elus dadaku yang baru saja dikagetkan oleh orang yang tak pernah ku harapkan untuk melihatnya lagi.
Gadis itu, tunangan Malfoy tentunya kini tengah bersedekap didepan pintu asramanya, menatapku dengan tatapan khas Slytherinnya itu. Aku mendecih.
"Kau sudah melewati jam malam, potong 10 point dari Slytherin." Ujarku lalu berbalik namun gadis itu bersuara lagi.
"Kau pasti tengah memikirkannya, bukan?" Kakiku membatu ditempat. Dari nada suaranya yang dingin itu tampaknya ia ingin melemparkan mantera padaku, jadi dengan perlahan aku membalikkan badanku menghadapnya.
"Apa yang kau bicarakan?"
"Kau tentu tahu maksud perkataanku. Kau pasti tengah memikirkannya. Tunanganku. Draco Malfoy." Aku merapatkan gigiku mencoba untuk tak menjawabnya. Ia menghampiriku dan wajahnya hanya berjarak kurang dari 1 meter dariku. Tak ada kata-kata lanjutan lagi darinya hingga aku merasakan panas di pipi kiriku.
"Kau?!" ia menyeringai setelah menamparku. Aku kalah cepat, seharusnya aku bisa menghadang tangannya.
"Memikirkan pria yang sudah memiliki tunangan. Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu?"
"Memi… argghh!" ia melakukannya lagi bahkan aku belum sempat menjawab pertanyaannya.
"Sakit, bukan?" Mulutku masih tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Tapi pertanyaan terakhirnya itu, aku memang tak perlu menjawabnya, kini aku tahu apa yang ia rasakan saat aku menamparnya di menara astronomi saat itu. Ia kembali ke tempatnya semula, aku enggan untuk menatapnya.
"Kau mungkin kaget karena aku menanyakanmu hal itu. Aku mendengar pembicaraanmu dengan Draco sesaat setelah kalian keluar dari aula besar. Dari awal aku sudah curiga kenapa Draco memanggil nama depanmu saat ia pertama kali kembali setelah seminggu lebih ia tak hadir di sekolah dan mendapatimu di menara ketua murid. Bukan aku orang pertama yang ditemuinya, tapi kau. Dan cara ia memandangmu itu… seolah ia setengah mati menahan rasa rindunya selama ia tak berada di sekolah. Bukan hanya saat itu saja, selama ini ia selalu menatapmu seperti itu, aku saja yang baru menyadari arti tatapan matanya itu. Ternyata kalian bermain dibelakangku. Kau merebutnya dariku!" Ia tertawa bak Bellatrix. Aku tak setuju dengan kalimat terakhirnya maka aku pun mendecih.
"Bermain dibelakangmu? Kau tidak salah?" Ia tampak kaget dengan reaksiku. "Kalau kau memang mendengar pembicaraanku dengannya saat dilorong seharusnya kau tahu bagaimana meletakkan kalimat 'bermain dibelakangku' itu. Ah… atau kau terlalu bodoh untuk menggunakan kalimat itu?"
"Mulutmu—"
"Kau tak berhak menamparku. Kau tak berhak membentakku. Kau juga tak berhak berbicara seperti ini denganku setelah kau merebutnya dariku!" Perkataannya yang terpotong oleh perkataanku itu pun mengambang begitu saja. Wajahnya terlihat bingung. Tentu saja, ia pasti tak tahu kenapa aku berbalik menyalahkannya. Gadis manja didepanku ini terlalu bodoh untuk memahami perasaan orang lain.
"Kau mencoba membalikkan fakta, heh?"
"Cih, ternyata kau memang bodoh. Apa kau yakin kau mendengarkan percakapanku dengan Malfoy? Bukankah diantara pembicaraan kami itu ia ada berkata walau kini hanya karena pertunangan bodoh itu aku menjauhinya ia akan tetap memperlakukanku layaknya orang yang dulu pernah mengatakan cinta padanya?" Ia tak menjawabku, dari air mukanya bisa ku lihat ia tengah berpikir keras. Terlalu keras bahkan, hingga bisa kulihat beberapa kerutan didahinya. Aku berjalan mendekatinya yang masih berpikir keras itu, setenang mungkin aku menatapnya dingin.
"Aku tak pernah bermain dibelakangmu. Kau lah yang dengan liciknya bermain dibelakangku dan merebut apa yang sudah menjadi milikku. Aku dan Malfoy… ah, haruskah aku memanggilnya Draco?" Matanya membelalak saat mendengar aku menyebut nama pria yang saat ini tengah diperebutkan itu. Aku menyeringai. "Aku dan Draco memiliki hubungan sejak awal tahun ketujuh kami, jadi perkataanku tak salah kalau sebenarnya kau lah yang merebutnya dariku. Kau pernah berkata padaku kalau ia marah padamu hanya karena kalung itu, bukan? Tentu saja ia marah, kalung itu pemberian darinya untukku dan kau mencurinya! Disaat yang sama kau juga berkata kalau Draco setengah mati menolak pertunangan kalian. Kalau kau tahu Draco menolak pertunangan itu, seharusnya kau tak merengek didepan kedua orangtuamu untuk melanjutkan pertunangan itu, tentu bisa kau merasakan bagaimana perlakuan Draco padamu semenjak pertemuan kedua keluarga kalian, ia selalu bersikap dingin padamu dan hanya melihatmu saat Lucius sudah mengancamnya dari rumah. Seharusnya kau sadar bahwa Draco tak menginginkanmu!"
"Dan seharusnya kau tahu keluarga Malfoy tak kan mungkin menginginkan seorang menantu berdarah lumpur sepertimu!"
"Kau dan keluarga darah murnimu itu adalah perusak semua kebahagiaanku bersamanya! Kau merusak kebahagiaan Draco! Kau tak tahu betapa tersiksanya ia saat mencoba melawan Ayahnya demi melindungi Ibu yang dicintainya itu. Bahkan ia hampir mati kalau saja aku tak menolongnya saat ia mencoba memberitahukan hubungan kami di depan Ayahnya. Tentu kau tak tahu itu! Kau hanyalah anak manja yang semua keinginanmu harus dipenuhi!"
"Kau… kau mencoba membalikkan fakta. Kau darah lumpur jalang! Argghh!" Tanganku langsung mendarat dipipinya sebelum ia sempat mencoba menamparku lagi.
"Ketahuilah kalau kau lah sesungguhnya wanita jalang itu. Kau bahkan tak tahu bagaimana cocoknya kata itu untuk dirimu. Kau lah wanita jalang yang telah merusak hidup Draco dan Narcissa. Kau tak kan pernah tahu betapa tersiksanya Narcissa dengan segala macam kegilaan dari Lucius karena perlawanan Draco tentang pertunangan kalian itu. Kau hadir ditengah-tengah hubungan ku dengannya, kau bergelayut mesra dilengannya sementara kami hanya bisa menyembunyikan hubungan kami selama di sekolah. Kau tak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Kau juga tak tahu bagaimana perasaannya, yang kau pikirkan hanyalah kebahagiaanmu saja. Saat aku mengetahui pengumuman pertunangan kalian, aku masih mencoba menghargaimu dengan menjauhinya tapi kau tentu tahu Draco sangat mencintaiku, bukan?"
"Kau… kau tak kan bisa merebutnya dariku. Peresmian pertunangan kami akan segera dilaksanakan setelah acara kelulusan kalian. Kau tak kan bisa merebutnya. Tidak. Lucius pasti tak kan pernah mengijinkanmu menjadi bagian dari keluarganya." Ia mencoba tersenyum sombong di balik wajah ketakutannya itu. Aku mendekatkan wajahku dengannya dan menatapnya dengan sisi jahat ku yang selama ini tak pernah ku keluarkan.
"Mungkin saat ini kau merasa menang karena Lucius memihak padamu. Dan mungkin kau senang kalau kau tahu aku pernah menyerah dengan hubungan kami, tapi sekedar informasi saja untukmu…" Tanganku menyibakkan rambut cokelat gelapnya yang sialnya sangat lembut itu.
"Mau apa kau?!" Aku tak menjawab pertanyaannya, tubuhnya sedikit berjengit saat bibirku berbisik ditelinganya.
"Mulai detik ini, aku akan memperjuangkannya juga. Berhati-hatilah…"
Aku menarik tubuhku menjahuinya dan mendapatinya tengah termanggu tak percaya dengan ucapanku. Aku kembali menyeringai. Ku harap kali ini seringaianku menjadi seringaian kemenangan.
"Sejujurnya aku merasa kasihan melihat kau yang hanya mengalami cinta sepihak itu." Lanjutku lagi. Selama beberapa menit ia masih terdiam menatapku seolah aku tengah memanterainya, seringaianku kembali lagi akibat ekspresi bodohnya itu, karena ia tak memberikan respon lagi mengenai ucapanku maka aku pun berbalik membelakanginya dan berjalan kembali ke menara ketua murid.
Perasaan lega kembali ku rasakan.
"Ia tengah memperjuangkan apa yang pantas diperjuangkannya itu karena ia benar-benar berharap kalau kau adalah sumber kebahagiaannya selain keselamatan Ibunya, jadi… Ms. Granger, perjuangkan jugalah pria itu sampai kalian tak bisa berharap lagi. Saling memperjuangkan satu sama lain. Cinta… seperti itu, bukan?"
"Kenapa?"
"Karena masih ada harapan."
"Harapan?"
"Apa salahnya berharap? Berharap membuat kita lebih bersemangat hidup, bukan? Well… tentunya sambil disertai usaha yang konkret. Maka dari itu aku tetap berharap kalian akan mendapatkan yang terbaik demi kebahagiaan kalian."
Karena masih adanya 'Harapan' itulah aku bisa melakukan hal seperti ini didepan tunangan pria itu.
Aku akan memperjuangkan ia yang tengah memperjuangkanku juga. Karena yang terjadi diantara kami selama ini, memang pantas untuk diperjuangkan.
Aku tak kan berhenti berharap sambil terus berusaha memperbaiki semua yang telah terjadi dengan kami selama ini.
-o0o-
Papan peringatan menunjukkan pemberitahuan kalau NEWT sedang berlangsung.
Bisa ku rasakan hening panjang disetiap sudut Hogwarts karena hanya ada murid tingkat terakhir yang berada di sekolah, murid tingkat 1 sampai 6 dirumahkan untuk sementara selama kami ujian.
Aku tak bisa tenang karena ujian selanjutnya adalah kelas ramalan. Mulutku berkomat-kamit mencoba menghapal kembali semua materi pelajaran. Aku mengabaikan kepanikan Ron yang selalu saja heboh disaat-saat seperti ini.
Semilir aroma wewangian yang ku kenal membuyarkan kegiatanku. Kepalaku menoleh mengikuti si pemilik aroma yang ku kenali itu.
"Aku tak tahu kalau Theo bisa sebodoh itu…"
"Mungkin kau akan tertawa terbahak-bahak lagi saat menyaksikannya langsung kalau saja kau hadir kemarin, Mate…"
Ia tengah bercengkrama dengan Blaise di sudut ruangan. Sebelumnya ia berlalu melewatiku. Tak seperti biasanya. Sejak pertengkaran ku dengannya seminggu yang lalu itu ia seperti mengabaikanku.
Ia mengabaikanku?!
Ku alihkan pandanganku kembali ke buku tebal yang tengah terbuka di depan wajahku. Sudut bibirku tertarik ke atas membentuk seringaian yang membuat Harry menatapku bingung.
"Hermione, kenapa tiba-tiba wajahmu seperti itu?"
"Kau… menyeramkan…"
Mengabaikanku?
Begitu kah?
"Aku akan keluar sebentar." Aku menutup bukuku kasar dan keluar ruangan tanpa mempedulikan teriakan Ron yang tengah memperingatkanku tentang waktu ujian yang akan dimulai 10 menit lagi.
Aku butuh udara yang tak beraroma tubuhnya…
1… 2… 3… 4… 5…
1… 2… 3… 4… 5…
1… 2… 3… 4… 5…
Aku merasa diriku cukup tenang setelah melakukan terapi menenangkan diriku sendiri.
"Kenapa ia mengabaikanku?"
"Ia tak merindukanku?"
"Biasanya ia akan menghampiriku ataupun me-legillimens ku hanya untuk mengatakan kalau ia merindukanku."
"Apa ia sudah berubah pikiran?"
"Merlin, aku… aku tak tahu apa yang ada dipikiran pria itu!"
"Bagaimana kalau ia menyerah padaku sementara saat ini aku tengah berusaha membantunya memperjuangkan hubungan kami?"
"Tidak mungkin."
"Ia tak mungkin menyerah."
"Tapi abaiannya tadi tampaknya pertanda kalau ia mulai melepaskanku secara perlahan."
"Aku benar-benar tak berani berharap lagi apabila ia benar-benar menyerah mempertahankanku."
"Aku akan mengutuk Blaise karena ceramahnya tentang 'Berharap' itu."
"Aarrghhh! Ini benar-benar tak masuk akal. Cinta bisa membuat orang terjenius sepertiku sekalipun jadi gila!"
Setelah merasa puas berteriak-teriak tak jelas dan bermonolog-ria di pinggiran danau hitam, aku pun memutuskan untuk kembali ke dalam. 5 menit lagi ujian akan dimulai, jadi aku mempercepat langkahku sambil memperhatikan sekitarku. Kaki ku mendadak terhenti.
"Malfoy…"
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Huh?"
Mati aku. Apa ia mendengarkan racauan tak jelasku tadi?
"Ujian akan dimulai dan kau masih disini? Apa kau berniat tak lulus di ujian kelas ramalan?"
Aku berniat. Sangat berniat bahkan. Tapi…
"Apa kau mendengar apa yang tadi ku katakan?"
"Memangnya apa yang kau katakan?" Aku menghela napasku lega. Ternyata ia tak mendengarnya, mungkin ia baru saja sampai disini saat aku hendak berbalik ke dalam sekolah. "Tentang cinta bisa membuat orang terjenius sepertimu sekalipun jadi gila?"
"Iya… A-APA?!"
"Berhentilah berteriak seperti orang gila, cepatlah kembali ke ruangan, ujian akan segera dimulai." Ia berbalik lalu berjalan duluan meninggalkanku yang masih diam ditempat.
MERLIN!
IA MENDENGARNYA!
BAGAIMANA INI?!
IA BENAR-BENAR MENDENGARNYA!
INI MEMALUKAN!
-o0o-
"Aku benar-benar menyerah dengan kelas ramalan." Ujarku lemas sambil merebahkan kepalaku diatas meja aula besar.
"Bukankah kau sudah berulang kali menghapal ulang pelajaran itu, 'Mione?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Ron.
"Aku memang sudah menghapal materi pelajaran ramalan, hanya saja semua materi yang ada dikepalaku itu hilang ketika negara api menyerang."
"Negara api… Negara api apa? Hermione, apa yang kau bicarakan?" Aku tak berselera lagi menjawab pertanyaan Ron dan memutar kepalaku ke arah yang berlawanan dan aku mendapati Harry yang tengah mengamatiku, ia mendengus geli melihat ekspresi kusam diwajahku.
"Harry, ia bertingkah aneh lagi…" bisik Ron.
"Harry bisakah kau ambilkan jus itu untukku?" Tanpa banyak tanya lagi Harry mengangguk sambil berusaha menahan tawanya dan mengambilkan jus jeruk nan segar itu. Aku bersyukur Harry tak bertanya apa-apa lagi saat ku suruh seperti itu tadi, kalau saja sebelumnya aku menyuruh Ron untuk melakukan itu ia pasti takkan mau melakukannya dan ia pasti lebih memilih menikmati hidangannya ketimbang menuruti permintaanku.
Dengan segera aku membenarkan posisi dudukku dan meneguk minumanku. Tanpa sengaja dari balik cangkir minuman mataku bertemu dengan matanya. Malfoy…
"Hermione?! bisakah kau lebih berhati-hati lagi?" Aku melemparkan serbetku ke arah Ron. Ia masih sempat memarahiku setelah aku tersedak minumanku sendiri.
"Ron…" Harry mencoba memarahi Ron namun wajah Harry malah semakin merah karena ia tengah mencoba menahan tawanya.
"Kau selalu memperingatiku untuk makan dan minum dengan hati-hati tapi hari ini kau sendiri melakukannya, Hermione." Tawa mereka berdua pun pecah.
"Damn you, Boys…"
Hari apa ini?
Apa ini hari mempermalukan diri sendiri?
Aku terus mengumpat dalam hati sambil membersihkan seragamku yang basah ketumpahan jus jeruk.
"Aku mau ke menara ketua murid dulu mengganti seragamku, kalian tunggu aku disini sampai ujian selanjutnya dimulai. Paham?" Mereka masih tertawa saat menganggukkan kepala mereka untuk menjawab perintahku, kembali aku melempari mereka dengan biskuit yang salah satunya meleset saat ku lemparkan kearah Harry. Sepertinya mereka berdua tampak bahagia sekali dengan penderitaanku.
Sahabat-sahabat yang baik, bukan?
Sesampainya di menara aku langsung berhambur ke kamar mencari seragam bersihku.
Sebenarnya aku kenapa?
Kenapa aku bisa melakukan hal sebodoh itu?
Belum cukup bodoh kah perbuatanku saat di danau hitam tadi pagi?
Arrghhh!
"Kau kenapa?"
"Minggir." Aku mendorong tubuh Malfoy saat memasuki kamar mandi. Tak ada sahutan lagi darinya.
"Kau masih mengabaikanku?" Aku tak menjawab pertanyaannya saat aku keluar dari kamar mandi. Ternyata ia menungguiku didepan pintu sedari tadi.
Ini sejenis apa?
Tarik-ulur mempermainkanku atau apa?
Bukankah sebelumnya ia yang mengabaikanku sejak pertengkaranku dengannya?
Aku mengancingkan kemejaku dan mematut diriku sejenak didepan cermin besar dikamarku.
"Hermione, apa kau tak ingin menanyakan keadaanku selama tak hadir di sekolah? Kenapa kau mendiamkanku? Apa kau masih malu dengan kejadian di aula besar seminggu yang lalu?" Aku memutar tubuhku dan memberanikan diriku untuk menatapnya.
"Bukankah kau duluan yang mengabaikanku? Merlin, kau melakukannya lagi Malfoy, bahkan disaat-saat kita sudah tak memiliki hubungan apapun, kau kembali mengabaikanku. Seharusnya kau tak perlu berbaik-baik lagi padaku, acara peresmian pertunanganmu sudah dekat, kalau kau lupa." Lama tak ada sahutan darinya, aku berpikir ia tengah melamun atau apapun itu. Tapi tak lama berselang setelah aku berpikir seperti itu ia tersenyum masam.
"Aku tak menyangka kau akan bersikap kekanakan seperti ini. Baiklah kalau itu maumu, aku takkan melakukannya lagi." Ia pun pergi meninggalkanku.
Merlin…
Apa yang baru saja ia katakan?
Seperti baru saja dilempar batu oleh Merlin, ingatan di kepalaku tentang kalimat yang ku lontarkan pada Malfoy sebelumnya pun kembali berputar.
"Merlin…" Aku menangkupkan kedua tanganku dimulutku yang terbuka-tutup.
Sekarang aku yakin, ia benar-benar berhenti mengharapkanku.
Ia benar-benar berhenti memperjuangkanku.
-o0o-
Aku yang bersikap kekanakan atau ia yang sedang labil?
Malfoy benar-benar melakukannya. Maksudku, ia benar-benar mengabaikanku setelah NEWT berakhir. Blaise bilang ia tak dikurung kembali di Manor karena kepala sekolah mengirim surat kepada Lucius tentang memohon ijin memberikan anaknya itu waktu untuk menyelesaikan tugasnya sebagai ketua murid di tahun terakhirnya. Jadi disinilah ia, masih tetap di Hogwarts, dan di menara ketua murid juga tentunya. Aku pun kembali ke menara ketua murid karena kepala sekolah memberikanku peringatan tentang diriku yang sudah beberapa lama tak kembali ke menara ketua murid. Ah… aku malu sekali.
"Jadi bagaimana dengan acara kelulusan kita? Konsep apa yang akan kita buat kali ini?" Tanya salah seorang Prefect dari Ravenclaw. Aku tak berniat menjawab jadi aku hanya membolak-balikkan perkamen yang berada didepan mataku ini saja.
"Tak ada yang punya ide?" Tanya salah seorang Prefect lagi.
"Draco bagaimana menurutmu?" Cukup lama tak ada sahutan darinya maka aku pun melirik dan mendapatinya tengah memain-mainkan pena bulunya.
"Hermione?"
"Huh?" Aku tertegun saat Blaise melemparkan pertanyaannya padaku. Sungguh, aku tengah tak bisa berpikir apa-apa saat ini. Aku hanya sedang mengkhawatirkan hasil ujianku ketimbang membahas acara kelulusan yang belum tentu muridnya akan lulus itu. Jadi aku hanya mengedikkan bahuku saja dan kembali melakukan kegiatanku membolak-balikkan perkamen seperti sebelumnya.
"Bagaimana kalau kita membahas dresscode asrama untuk pesta pertunangan Draco saja, bagaimana munurut mu, Drake?" Aku tahu apa maksud dari usul itu. Tanganku langsung berhenti membolak-balik lembar perkamen itu.
"Tapi kita harus mengutamakan acara kelulusan ini dulu, Daph." Ujar Blaise.
"Terserah apa yang mau kau katakan Blaise, tapi hal itu benar-benar membosankan, acara peresmian pertunangan Draco pasti lebih seru dibandingkan acara kelulusan itu." Malfoy mendorong kursinya mundur dan keluar ruangan rapat tanpa berkata apapun. Semua mata yang ada diruangan memperhatikan kelakuannya dengan heran.
"Ada apa dengannya?"
"Entahlah…"
Aku terus mengamati pintu ruangan yang sudah tertutup sedari tadi. Aroma wangi tubuhnya masih tinggal diruangan, membuat perasaan sensitif di diriku kembali membuncah. Hening cukup lama sampai Harry akhirnya mengeluarkan pendapatnya.
"Maaf Greengrass kalau aku boleh menyela perkataanmu sebelumnya, acara kelulusan kita tinggal sepekan lagi kita tak mungkin mendahulukan acara pertunangan itu. Saranku kita harus mendahulukan acara kelulusan ini setelah itu kita bisa membicarakan acara pertunangan itu dengan seluruh murid dan staff pengajar karena ada beberapa peraturan dresscode yang kepala sekolah berikan. Jadi, aku harap kita semua lebih profesional lagi mendahulukan hal yang penting dan mengesampingkan acara tambahan itu." Beberapa Prefect mengangguk setuju dengan pendapat Harry yang mencoba menengahi perdebatan antara Blaise dan Greengrass.
Ah… menyebut nama keluarga itu membuat perutku tiba-tiba terasa mual.
"Aku setuju dengan saran Harry. Baiklah, mari kita mulai memikirkan konsep acara kelulusan kita." Seru Blaise bersemangat. Sebagian sibuk berbisik-bisik membuat diskusi kecil namun setelah setengah jam berlalu tak ada satupun saran yang bisa digunakan untuk konsep acara.
"Apa kalian benar-benar tak punya ide lain? Kalau aku saat ini berharap Granger memberikan solusi terbaik." Tanya Hannah.
Berharap?
Aku meliriknya dan meringis mengangkat kedua tanganku.
"Maaf tapi aku tak bisa berpikir dengan jernih disaat nilai ujian kelulusanku sedang dipertaruhkan." Semua Prefect terdengar mendesah kecewa.
Apa perkataanku barusan mengecewakan mereka?
Harapan yang tak sesuai dengan realita…
Aku berjengit dari kursiku.
"Maaf, bisakah kalian melanjutkan rapat ini tanpaku? Aku ada janji bertemu dengan guru."
"Tapi apa yang bisa kami lakukan disini tanpamu, Hermione?"
"Memangnya apa yang bisa ia berikan di rapat ini? Sedari tadi ia hanya melamun saja, jadi lebih baik biarkan saja ia keluar." Aku menatap bengis ke arah Greengrass yang seangkatan denganku itu, aku sudah hendak membalas perkataannya namun Harry menahan lenganku.
"Hermione, tenanglah… lebih baik kau keluar saja, benar kata Greengrass, tubuhmu disini tapi pikiranmu entah berada dimana. Kali ini aku tak tahu apa yang tengah kau alami lagi tapi sebaiknya kau menenangkan dirimu saja dulu." Aku menepis tangan Harry dengan kasar dan mengambil barang-barangku di meja.
Persetan dengan rapat ini!
Ku langkahkan kakiku lebar-lebar agar segera sampai ke ruangan Profesor Trelawney. Sebelumnya aku tengah berpikir tentang harapan yang tak sesuai dengan kenyataan entah kenapa namanya lah yang langsung terpikirkan olehku saat rapat tadi.
"Profesor?"
"Profesor Trelawney?" Setelah mengetuk pintu beberapa kali dan tak ada sahutan aku pun memutuskan untuk masuk kedalam ruangannya namun ia juga tak ada disana.
"Profesor?" masih tak ada sahutan juga darinya, aku menghela napasku kecewa.
Aku berharap ia ada diruangannya namun nyatanya ia tak ada.
Harapan tak sesuai dengan kenyataan, bukan?
Dengan perasaan kecewa aku pun keluar menuju asramaku, aku perlu ahli kejiwaanku.
-o0o-
"Jadi begitu?" aku mengangguk. "Hahh… aku seperti merasa dejavu dengan anggukkan kepalamu itu." Tentu saja, sebulan yang lalu aku menceritakan semua tentang hubunganku dengan Malfoy padamu dan aku hanya bisa mengangguk pasrah saja, sama seperti saat ini.
"Kau tak berniat mengakhiri semua ini? Maksudku bukan mengakhiri hubunganmu dengannya hanya saja seharusnya kau mengalah dan meminta maaf padanya."
"Percayalah Gin, aku tengah berusaha melakukannya…"
"Dan hasilnya?"
"Well…" aku tak dapat menjawab pertanyaan mudah itu. Pertanyaannya mudah memang tapi jawabannya… entahlah.
Aku menangkupkan wajahku dengan kedua tanganku.
"Kau benar-benar labil, kau tahu itu." Ucapan Ginny tak seperti ahli kejiwaan pribadiku sebelumnya. Ucapannya kali ini benar-benar tak membantuku.
"Aku tak labil."
"Kau tak mengenal dirimu sendiri." Kalau aku tak mengenalinya sebagai bagian dari Weasley, kalau saja Harry tak mencintainya, dan kalau saja dia bukan Ginny Weasley pasti saat ini aku sudah mendampratnya.
"Pergilah, aku ingin istirahat." Usirku sembari melemparinya dengan bantal.
"Merlin Hermione, kalau kau seperti ini urusanmu dengannya takkan pernah selesai."
"Tapi aku tak tahu lagi harus berbuat apa, Gin. Ia sudah terlanjur marah dengan ucapanku, aku sendiri mengakui kebodohanku saat mengatakan hal itu."
"Kalau kau memang mengakui kebodohanmu seharusnya kau meminta maaf padanya. Apalagi yang kau tunggu, huh? Kau takut harga dirimu jatuh hanya karena meminta maaf padanya? Atau kau memang tak berniat memperjelas hubungan kalian?"
"Aku ingin, Gin… aku ingin. Kau tak perlu berteriak ditelingaku."
"Ah, ya… salahku. Maaf."
Ginny benar. Apalagi yang ku tunggu?
Menunggunya kembali membujukku?
Tidak.
Selama ini aku hanya memikirkan harga diriku saja.
Merlin, aku ingin segera mengakhiri kelabilan diriku.
-o0o-
Seharian aku di asrama Gryffindor ditemani Ginny yang ucapannya sesekali membuat airmataku mengalir, tapi sesekali juga ucapannya malah membuatku ingin melemparkan mantera padanya. Dan sialnya lagi, semua ucapannya selalu benar. Aku merasa tengah digurui oleh anak kecil karena ia lebih muda dariku.
Aku kembali membaca buku itu setibanya di perpustakaan. Tanganku kembali membuka halaman terakhir dari buku itu.
Siapa yang tahu kemana jalan ini menuju?
Kemana hari mengalir?
Dan siapa yang tahu jika cintamu tumbuh
Seperti pilihan hatimu?
Siapa yang tahu mengapa hatimu mendesah saat cintamu terbang?
Dan siapa yang tahu mengapa hatimu menangis saat cintamu berdusta?
Siapa yang tahu kapan jalan-jalan itu bertemu menunjukkan bahwa cinta mungkin ada di hatimu?
Dan siapa yang tahu kapan hari tertidur jika malam selimuti hatimu?
Siapa yang tahu jika cintamu tumbuh seperti pilihan hatimu?
Dan siapa yang tahu kemana jalan ini menuju?
Kemana hari mengalir?
Siapa yang tahu
Hanya waktu...
Tulisan dihalaman terakhir buku ini kembali menarik perhatianku. Setelah mengembalikannya ke rak yang sebenarnya aku pun keluar dari perpustakaan.
Sebelumnya ketika membaca tulisan itu aku berpikir kalau aku butuh waktu untuk berbicara dengannya. Dan aku juga butuh waktu untuk mendengarkan jawaban-jawaban darinya. Aku berpikir seperti itu hanya karena tak siap dengan semua ekspetasi-ekspetasi berlebihanku.
Aku sudah lelah menangis hingga mungkin produksi air mataku sudah habis.
Kurasa kau takkan tahu apa yang kau miliki hingga yang kau miliki itu hilang.
Draco Malfoy. Dia bukanlah segalanya bagiku hingga tak ada apa-apa lagi diantara ku dengannya. Dan tak mudah bagiku untuk mengatakannya langsung padanya. Tapi karena sekarang dia tak pernah lagi menyapaku atau sekedar tersenyum padaku dikarenakan kesalahanku, hatiku merindukan sesuatu.Tak bisa kusangkal, aku sangat merindukannya.
Mungkin inilah saatnya aku mengesampingkan harga diriku.
"Malfoy…" Ia terkesiap kaget mendapati aku didepan pintu kamarnya. Jarakku dengannya cukup dekat hingga bisa ku dengar deru napasnya. Cukup lama ia memandangiku, begitu juga aku. Mungkin saat ini ia sedang berpikir kalau hal ini hanyalah mimpi.
Percayalah, akupun juga.
"Aku akan berpatroli untuk terakhir kalinya. Kalau kau sedang sibuk aku akan meminta Harry untuk menggantikanmu." Aku melanjutkan kata-kataku lagi sebelum ia berkata apapun.
"Si-sibuk? Tidak. Tidak… aku tak sibuk, tunggu sebentar aku akan mengambil jubahku." Tak perlu menunggu jawaban dariku ia pun bergegas melesat kedalam kamarnya, aku berjalan duluan menunggunya di depan pintu menara. Aku berjalan duluan menunggunya didepan menara.
"Ah! Kaget aku…" Aku mendapatinya tengah mengelus-elus dadanya. Kakiku melangkah duluan disusul dengannya yang berusaha menyamakan kakinya denganku.
Darimana aku harus memulainya?
Tak ada percakapan selama kami berpatroli, jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kami sudah berbalik arah menuju asrama ketua murid.
Damn, aku harus apa?
Meminta maaf?
Atau berkata kalau aku merindukannya?
"Malfoy…" aku memutuskan untuk memanggilnya terlebih dahulu. Ya, itu adalah hal pertama yang harus aku lakukan sebelum memulai pembicaraan ini. Arrgghh… aku terlalu takut. Saat ini aku tak mau berharap ia menerima maafku, aku takut harapanku akan tak sesuai dengan kenyataan lagi.
Tak ada sahutan darinya hanya saja ia sudah menghentikan langkahnya menatapku dan menunggu kalimatku selanjutnya. Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tak gatal sama sekali.
"Ada apa, Hermione?" Sesaat aku berpikir ini entah sudah ke berapa kalinya ia memanggil nama depanki selain saat kami hanya berada di menara ketua murid. Perlahan aku mengatur pernapasanku agar perkataanku selanjutnya tak berantakan. Dengan gugup aku mencoba menatap matanya.
Oh… aku merindukan melakukan hal seperti ini. Menatap matanya, maksudku.
"Malfoy, maksudku Draco… aku, akummh!"
Merlin…
Bisakah kau menghentikan waktu saat ini juga?
Aku benar-benar tak ingin melepaskan bibirnya. Aku teramat sangat merindukan… semua yangada pada dirinya.
Malfoy melumat bibirku dengan lembut. Tersirat kerinduan yang teramat dalam dari ciumannya. Perlahan udara hangat mengaliri tubuhku, sudah lama aku tak merasakan kehangatan ini.
God, aku menangis.
"Hermione, kau tak apa?" Ia melepaskan ciumannya dan menyeka airmataku. Aku mundur beberapa langkah agar bisa menatapnya secara keseluruhan. Masih dengan isakkan yang sekuat tenaga ku tahan, aku berusaha mengatakannya…
"Aku akan memperjuangkan hubungan kita."
"A-apa? Aku tak bisa mendengarmu dengan jelas." Aku melakukan terapi pernapasan agar aku tak perlu mengulangi kalimat selanjutnya karena sejujurnya hal ini memalukan.
"Aku… aku akan memperjuangkan hubungan kita. Maafkan aku yang terlalu lama membiarkanmu sendirian melakukannya selama ini. Aku akan berjuang bersamamu. Aku akan ikut denganmu menghadap Lucius, aku akan mengeluarkan Narcissa dari Manor menyeramkan kalian itu. Aku… aku… damn you aku teramat sangat merindukanmu…" Tangisku akhirnya pecah. Setelah sekian lama aku tak pernah menangis lagi karena pria didepanku ini, kini aku kembali menangis. Bukan menangis karena ia kembali menyakitiku tapi aku menangis lega karena aku sudah melakukan hal yang benar, aku sudah mengungkapkannya.
"Kumohon jangan minta aku mengulanginya lagi, aku sudah lupa." tambahku sembari menutupi wajahku dengan kedua tanganku.
"Aku tahu kau akan mengatakannya. Aku juga sangat merindukanmu. Kemarilah…" Perlahan aku berjalan ke dalam pelukannya.
"Merlin…" ucapku tanpa sadar.
Pelukannya…
Selama ia memelukku saat aku mengabaikannya aku tak pernah membalas pelukannya, aku tak tahu kalau aku akan segugup ini memeluk kembali orang yang selama ini selalu memelukku disetiap ada kesempatan.
"Maafkan aku…" lenganku semakin ku eratkan ditubuhnya. Aku tak ingin ia pergi lagi. Aku ingin selamanya seperti ini.
"Aku tahu kau akan kembali padaku walaupun aku harus menerima kata-kata pedas serta semua sikap dingin terlebih dahulu darimu sebelumnya. Aku tak pernah berhenti berharap kau akan kembali padaku."
Tak ada salahnya berharap, bukan?
Perkataan Blaise dan tentunya perkataan Profesor Trelawney sebelumnya terbukti benar.
"Maafkan aku…" aku terus mengulangi kalimat itu sampai ia terkekeh geli.
-o0o-
"Kau akan menyesal seumur hidupmu karena telah melakukan ini padaku."
-TBC-
Thanks to : saia shiki, Ein mikara, agathasaraswatijk, swift, ElectraMalfoy, GrangerBrOwN, aurora, Irene Fressia Akina (What a code? -_-), Miya Maretha GaaIno, Octaviadwins, Unknown, Yellowers, Guest1, Lippy Candy, dewazz, Aquadewi, Guest2, Staecia, ZeZorena, Riska662
A/N : Maaf kalau ada typo(s), OOC, EYD yang berantakan dan rekan-rekannya. Maaf juga telat update, aku lupa password akun ffnet ku -_-
Well, I hope you all still love and waiting for this weird story. Don't forget to leave your review, every single word from your review are meaningful for me. Thank you :)
