∞ SAY SOMETHING ∞
Timeline:
Tahun ke-7 setelah perang usai.
Warning : Newbie Author, Sebagian OOC, Typo(s), Absurd, Whatever (-_-)
Disclaimer : J.K Rowling
The Story Owned By Me
-o0o-
So if this is my last night with you,
Hold me like I'm more than just a friend and give me a memory I can use,
Take me by the hand while we do what lovers do,
It matters how this ends,
'Cause what if I never love again?
-o0o-
Chapter 10 : Out of Expectations
"Too much drama."
"A-apa?" Aku bisa merasakan mulutku yang menganga terlalu berlebihan. Tapi bagaimana aku tak melakukannya? Maksudku tercengang mendengar satu kalimat yang terlalu santai keluar dari mulut seorang Ginny Weasley. Sungguh aku tak percaya mendengarnya.
"Ginny, apa maksudmu?" ia mengabaikanku dan malah kini beralih ke nampan berisi biskuit dan menyeruput teh hijau didepannya.
"Ginny Weasley, aku sudah menceritakan semuanya dan tanggapanmu hanya itu saja?" Aku menceritakan semuanya padanya. Mulai dari kegelisahanku untuk meminta maaf terlebih dahulu padanya, ciuman rindu itu, pelukan hangat, tangisan tersedu-sedu ku hingga berakhirnya kami diranjang melepaskan semua kerinduan yang ada(oke, ini sedikit berlebihan tapi…), hingga aku terbangun di pagi hari dengan pikiran yang masih menganggap bahwa semua itu adalah mimpi sampai aku menemukannya masih terlelap disebelahku tanpa sehelai benangpun dan akhirnya akupun meyakinkan diriku sendiri bahwa ini semua nyata. Terlalu kejam kalau semua itu hanya bagian dari bunga tidurku. Ya. Aku menceritakan semuanya hingga aku bisa merasakaan rasa lega di palung dadaku. Memangnya kepada siapa lagi aku akan bercerita kalau bukan padanya? Ah, ya… masih ada Harry. Setidaknya dengan bercerita pada Ginny secara tak langsung aku sudah bercerita juga pada Harry. Tentu saja kalian paham maksudku.
"Lantas tanggapan seperti apa yang kau harapkan, Hermione Granger?" aku mulai berang.
"Merlin, Ginny?!" mendengar suara renyahan dari biskuit yang di gigitnya saja sudah membuat emosiku semakin memuncak. Dengan secepat sapu terbang Harry aku merampas biskuit itu dari tangannya. Ekspresi menyebalkan khas Weasley pun seketika menempel diwajahnya.
"Fine. Aku akan menarik perkataanku tadi." Dengan santai ia kembali merampas biskuit yang ada ditanganku tadi, bahkan kini ia menyembunyikan kaleng biskuit itu dibalik punggungnya. Ada apa dengan gadis berambut merah ini? Apa mungkin ini adalah Ron yang meminum Polyjus dan menyamar menjadi adik perempuannya sendiri?
"So?" tanyaku berusaha dengan intonasi nada sabar yang terdengar seperti terpaksa untuk sabar itu. Dan aku masih berusaha meyakinkan diriku kalau wanita didepanku ini adalah Ronald Weasley yang meminum ramuan Polyjus.
Tapi Ron takkan berlaku sesantai ini apabila mendengar ceritaku…
Aku menggeleng pelan dan masih menunggu respon dari Ginny… atau Ron ini.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. 'So', hal apa selanjutnya yang akan kalian lakukan?"
Ternyata memang benar Ginny. Ha! Sudah ku duga.
Aku berdeham sedikit. Bahuku yang awalnya tegak dengan percaya dirinya namun perlahan merosot karena aku tak bisa menjawab pertanyaan Ginny.
"Sudah ku duga kau tak akan bisa menjawabnya, makanya sebelumnya aku hanya menanggapimu seperti itu, 'Mione."
"Sejujurnya aku juga menanyakan pertanyaan yang sama pada Draco, tapi ia tak membiarkanku mengetahui apa rencana selanjutnya dan ia memintaku hanya untuk menunggu 'aba-aba' darinya."
"Aba-aba?" aku mengangguk.
"Aba-aba apa? Tunggu… aba-aba yang ia katakan kalian tak bermaksud untuk kawin lari setelah pesta Hogwarts dan kalian akan hidup berpindah-pindah tempat dari suatu hutan ke hutan lainnya untuk bersembunyi dari mata-mata Lucius, bukan?"
"What?! Ginny, are you get high? Apa kau tadi meminum whisky atau semacamnya sebelum menemuiku?" kedua mataku tak henti-hentinya menatap Ginny dari ujung rambut hingga ujung kakinya.
"Hermione, aku tak mabuk. Aku serius dengan pertanyaanku. Benarkah kalian akan kawin la—"
"No, Gin. Absolutely big NO."
"Then what, what a code?" aku menghela napasku yang terdengar begitu berat dan lelah tentunya.
"Sudah kukatakan tadi, ia hanya menyuruhku untuk menunggu. Aku tak tahu pasti 'aba-aba' apa hingga ia memilih untuk tak memberitahuku yang jelas aku percaya padanya. Jadi aku memutuskan untuk tak menuntut ini itu darinya sampai ia memberikanku 'aba-aba' itu." Ekspresi wajahku yang mulanya muram seketika bingung saat aku menengadahkan kepalaku dan menatap Ginny. Wajahnya tampak kaget mendengarkan perkataanku. Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang salah?
"Ginny?"
"Hermione, maafkan ekspresiku tapi aku tak jadi menarik perkataanku sebelumnya. Kalian sungguh-sungguh terlalu banyak menonton serial drama atau apa hingga kau bisa berkata seperti itu tadi, huh?" seketika aku melemparkan bantal sofa kearahnya secara bertubi-tubi.
"Damn you, Gin. Pergilah aku mau beristirahat." Mungkin Ginny memang sedang mabuk, lebih baik aku beristirahat dan menunggu tanggapan darinya hingga ia benar-benar dalam keadaan sadar.
"Ta-tapi Hermione, kita belum selesai berbicara… kau belum mengeluarkan kue-kue yang hanya ada di menara ketua murid ini!" Aku hanya melambaikan tanganku dan terus berjalan dengan pasti menuju kamar tidurku tanpa mempedulikan ocehannya. Suara teriakan Ginny tak terdengar lagi saat aku menjatuhkan tubuhku diranjang.
Ginny yang sedang mabuk atau aku yang sedang tak waras?
-o0o-
"Damn you, Draco. Sejak kapan kau duduk disitu?" Ia duduk disebelah ranjang dengan wajahnya yang tepat berada didepan wajahku. Aku membetulkan posisiku agar bisa menatap wajahnya yang terlihat khawatir, ia pun menegakkan punggungnya. Ternyata aku tertidur cukup lama saat aku melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aku melewatkan makan malam ku.
"Kau melewatkan makan malammu dan aku mencarimu sedari siang." Aku tahu ia akan mengatakan hal itu. Tak perlu heran kenapa ia memasang ekspresi khawatir sebelumnya saat mendapatiku tertidur pulas disini dan sudah pasti ia mencariku karena aku tak hadir di rapat Prefect siang tadi.
"Merlin! Rapat Prefect…" kedua tanganku menutup mulutku yang masih tercengang lebar bersamaan dengan perkataan yang baru saja ku katakan.
"Draco, maafkan aku tak hadir di rapat tadi, aku hanya… aku… Apakah Kepala Sekolah hadir? Apa ia menanyai keberadaanku? Dan bagaimana hasil rapat tadi? Sungguh aku—" Omonganku terhenti saat Draco menghampiriku dan memeluk tubuhku.
"Draco…"
"Kau sakit? Suhu tubuhmu panas sekali padahal aku sudah mengkompres dahimu, apa aku perlu membawamu ke Hospital Wings?" Mendengar pertanyaannya seketika aku meletakkan punggung tanganku ke dahi dan benar saja suhu tubuhku sudah berada diatas rata-rata. Aku melihat handuk kecil yang basah dan semangkuk air di meja kecil sebelah ranjangku. Aku demam? Bagaimana bisa?
"Draco, aku hanya demam, aku tak apa-apa. Kau tak perlu membawaku ke Hospital Wings…" ia melepaskan pelukannya dan menatapku dalam seolah sedang me-legillimens-ku apakah aku benar-benar baik-baik saja atau tidak, sementara aku berusaha untuk tampak baik-baik saja dan menghalanginya untuk melakukan itu, me-legillimens-ku maksudnya. Tapi dari ekspresi wajahnya itu aku yakin kalau ia akan tetap bersikeras membawaku ke Hospital Wings.
"Kita harus ke Hospital Wings."
See?
"Draco, aku baik-baik saja. Lihat, aku hanya butuh istirahat dan suhu tubuhku pasti akan kembali seperti semula."
"Tapi wajahmu pucat sekali, Hermione." aku menggenggam tangannya mencoba untuk meyakinkannya sekali lagi.
"Draco…" Hanya namanya saja yang ku sebut hingga ia menghela napasnya pertanda kalau ia mengaku kalah berdebat denganku, walaupun butuh waktu beberapa menit untuk membuatnya yakin dengan perkataanku.
"Tapi aku akan tidur disini untuk memastikan kalau kau akan baik-baik saja."
Tentu saja ia akan berkata seperti itu.
Aku hanya menganggukkan kepalaku dan bergeser sedikit untuk memberinya tempat. Ia menelusup masuk ke dalam selimut dan langsung memeluk tubuhku erat.
"Draco, aku bau."
"Aku tahu itu. Dan aku suka." Aku sempat terkekeh saat mendengar perkataannya. Adakah manusia seromantis ini? Bahkan bau tubuhku saja ia suka. Well, sebenarnya aku tak terlalu bau hanya saja aku belum mandi sore ini. Tak lama berselang aku bisa mendengar suara dengkuran nafasnya.
"Draco? Oh Merlin, yang benar saja…"
Aku yang seharusnya tertidur, bukan dia.
-o0o-
"Konsep pesta kemarin sepertinya masih bisa kita gunakan. Aku ingin mengulang malam itu lagi untuk terakhir kalinya."
"Tidak. Kita tidak bisa menggunakan konsep itu lagi, Blaise."
"Tapi sampai saat ini kita belum menemukan konsep apapun yang cocok untuk acara kelulusan kita nanti. Lagipula kita masih bisa merubah konsep dresscode nya. Konsep busana jaman kerajaan Inggris, mungkin?"
"No way."
"Tidak, Blaise." Tentu saja semua orang menolak usulan Blaise yang menyarankan kami yang harus menggunakan busana jaman kerajaan Inggris itu. Yang benar saja.
"Well, kalian tak perlu seperti paduan suara begitu untuk menolak saranku. Bagaimana denganmu, Hermione?" Aku terkesiap saat Blaise menyebut namaku.
"Tentu saja aku juga menolak saranmu." Kini aku merasa kalau Blaise terlalu berlebihan dalam berekspresi.
"Aku menanyakan saranmu untuk acara kita bukan penolakan kejam atas saranku tadi, Hermione."
"Upss… sorry." Tampaknya Blaise seharian ini kurang sehat karena ia bertingkah serba berlebihan sejak rapat ini dimulai.
Tak lama berselang pintu ruangan rapat terbuka lebar dan menampilkan Kepala sekolah juga beberapa staf pengajar lainnya. Mereka langsung mengambil tempat duduk yang sudah disediakan. Kepala sekolah tampaknya jengah menunggu hasil keputusan rapat kami makanya ia ikut turun tangan dalam mengambil keputusan di rapat kali ini.
"Pendapat Mr. Zabini sepertinya bisa dicoba."
"Profesor…" Draco mencoba berbicara dengan Kepala Sekolah namun Kepala Sekolah melarangnya dengan tolakan halus khas McGonagall.
"3 hari lagi Mr. Malfoy. 3 hari lagi acara kelulusan kalian dan sampai saat ini kalian belum bisa menemukan konsep apa yang akan kalian gunakan."
"Tapi konsep pesta topeng sudah pernah kita gunakan, Profesor. Hanya saja kostum yang mungkin membedakan konsep ini. Tapi menggunakan kostum jaman kerajaan Inggris itu bukankah sangat menyulitkan para murid tingkat 7? Dan kalau kita kembali menggunakan konsep itu maka murid tingkat 7 akan kembali membuat masalah dengan mantera-mantera yang tak seharusnya mereka gunakan." Lanjutku masih berusaha untuk mencari harapan untuk konsep acara nanti.
"Maaf Ms. Granger, aku setuju dengan saran Mr. Zabini dengan konsep pesta topeng tapi tidak dengan dresscode nya."
Huh?
"Maaf Profesor?" Tanyaku ulang.
-o0o-
"Sibuk?"
"Lumayan…" Aku menyapa pria berambut pirang yang tengah memunggungiku ini. Perlahan aku menghampirinya yang tampak tengah menulis sesuatu diatas perkamen. Karena ia tak mempedulikan kehadiranku maka aku melakukan tur kecil dikamar khas Slytherinnya. Selama setahun terakhir ini aku sering berkunjung ke kamarnya, namun aku tak sempat mengagumi betapa indahnya ornamen dan lukisan yang terasa dingin khas Slytherin ini.
"Bagaimana kalau aku menggunakan gaun yang berbau Slytherin?" tampaknya ia mulai mempedulikanku. Pena bulunya berhenti bergerak saat aku berkata seperti itu.
"Hermione…"
"Mungkin dengan model yang sedikit terbuka dibagian atasnya. Atau gaun Backless yang berwarna gelap khas asramamu?"
"Hentikan. Aku sudah bisa membayangkannya jadi berhentilah menggodaku. Kemarilah…" akupun melipir duduk diranjang dekat meja belajarnya. Masih mencoba mengintip apa yang tengah menjadi pusat pikirannya sebelum aku datang.
"List of Invitation?" Entah kenapa kepalaku terasa panas.
"Apa aku masuk kedalam daftar tamu acara pertunanganmu?"
"Hermione…"
"Draco kau bekerja hingga selarut malam ini untuk membuat daftar tamu, seharusnya kau memanggilku untuk meminta bantuanku. Mungkin saja aku bisa mengundang kedua orangtuaku sekalian." Cecarku kesal walaupun dari lubuk hati yang terdalam aku enggan membantunya.
"Ya, Hermione. Aku memang akan mengundang kedua orangtuamu juga."
Merlin, dia benar-benar akan melakukannya?
Tega kah?!
Aku sudah hendak balik haluan namun yang ku dengar bukan ia mencoba meneriaki namaku, memanggilku maksudnya. Yang ku dengar malah suara tawanya yang tampak tak berdosa itu.
"Kau gila?" Aku berbalik badan menatapnya marah tapi ia masih saja tertawa.
"Hermione, apa kau tak bisa melihat dan membacanya sampai selesai?"
"Apa maksudmu?" Tanpa membuang-buang waktuku lagi menunggu jawabannya, tanganku langsung mengambil perkamen itu dan oh, shit…
"See?"
Aku harus apa?
Rasa maluku sudah melebihi rasa panas dikepalaku tadi.
"Hermione?"
"Aku akan menemui Kepala Sekolah."
"Semalam ini?"
"Besok maksudku," elak ku. "Bye…"
"Hermione? Hermione bagaimana dengan kedua orangtua mu?! Hermione?!" aku mengabaikan teriakannya. Dapat kudengar tawanya kembali menggelegar. Baru kali ini aku mendengarnya tertawa seberlebihan itu.
"Shit…" mulutku tak bisa berhenti mengumpat bahkan setelah aku bersembunyi dari balik pintu kamarku. Tak peduli bunyi ranjang yang terdengar menyedihkan karena aku merebahkan tubuhku terlalu berlebihan ke atasnya akupun langsung menutupi wajahku dengan selimutku.
-o0o-
"Apa?" tanyaku pada Ginny saat ia memandangiku dengan tatapan seakan-akan hidupku amat menyedihkan.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya setelah mendengar cerita tentang kebodohan ku tadi malam.
"Kau bertingkah bodoh hanya karena undangan itu? Dan sialnya undangan itu adalah undangan untuk acara kelulusan kalian nanti, bukan undangan pertunangannya." Aku mengangguk (mendengarkan omongannya yang terdengar lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan) yang membuat Ginny tampak menyesal melakukan hal itu. Melakukan pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan itu, maksudku. Aku tak menyalahkannya apabila setelah ini ia tak mau mendengarkan ceritaku lagi.
"Demi Merlin dan seluruh pengikutnya…" Ginny tampak memijat pelipis matanya, "…Seorang Hermione Granger? No way…" imbuhnya lagi sementara aku hanya mengedikkan bahuku sambil menghela napas yang terdengar berlebihan karena Ginny kembali menatapku dengan tatapan tak percayanya itu.
Trust me, I'm not trust myself too, Gin…
-o0o-
Setelah jam makan siang tadi dan bercerita dengan Ginny di asrama Gryffindor, aku tak berniat keluar kamarku lagi dan memutuskan untuk bergelung diranjang, bersembunyi dibawah selimut lebih tepatnya. Aku terlalu malu untuk menampakkan diri didepan pria gila itu. Oke, dia tidak gila, aku saja yang terlalu gila hingga bertingkah norak seperti semalam.
Kenyataannya menceritakan semuanya pada Ginny tak menghasilkan apa-apa, aku tahu itu namun setidaknya aku merasa puas telah menceritakan kenorakanku itu padanya, karena dengan begitu aku bisa kembali menginjak tanah lagi setelah mengkhayal tinggi hingga membenturkan kepalaku sendiri kelangit-langit kamarku dengan mendengarkan omongan pedas dan sadis yang keluar dari mulutnya.
Pandangan mataku teralih ke meja nakas disamping ranjang setelah aku menyibakkan selimut. Tanganku meraih amplop yang tertera stempel merah dengan lambang sekolahku ini ditutup amplopnya. Aku tahu perbuatanku ini termasuk lancang karena aku menyobek stempel amplop ini dan mengeluarkan isinya yang seharusnya bukan ditujukan padaku ini. Judul besar yang terpampang dilembaran perkamen yang ada didalam amplop ini kembali membuatku mual mengingat kebodohanku semalam.
"Bagaimana bisa aku bertingkah sebodoh itu?" barusan itu aku, yang sibuk bermonolog-ria.
Ini hanyalah undangan tamu untuk acara kelulusan kami nanti, dan didalamnya terdapat nama kedua orangtuaku. Dan aku berlagak melodramatis saat Draco mengatakan akan mengundang kedua orangtuaku juga.
Aku kembali menghempaskan tubuhku ke ranjang. Setelah aku lulus, aku akan meminta pengurus sekolah untuk mengganti ranjangku karena ia sudah sangat banyak berjasa telah menahan berat tubuhku yang akhir-akhir ini terlalu sering berlaku kasar terhadap ranjang ini.
"Aku tak pernah melihat orang sebimbang ini antara mengirimkan undangan acara kelulusan atau tidak." Tubuhku langsung merinding mendengar suara yang sangat ku kenal itu.
"Knock… knock…?" Sahutku. Ia mendengus sebelum mengetuk pintu kamarku tapi masih dengan pose menyandar dipintu dengan satu tangan disaku celananya, aku tak tahu kenapa aku begitu menyukai pose itu. Dan juga seringaiannya…
"I hate you." Tandasku. Aku terlalu gengsi untuk mengutarakan pemikiranku tadi tentang pose dan seringaian dirinya. Draco menghampiriku dan memilih duduk diranjang sementara aku memunggunginya.
"I know…" bisiknya tepat ditelingaku yang kembali berhasil membuat seluruh tubuhku merinding, tepat setelah itu aku bisa merasakan sebuah kecupan dikeningku. Aku masih tak bergeming (sebenarnya berusaha untuk tak segera berbalik dan membalas kecupannya karena aku sedang dalam mode kesal padanya), "…aku akan kembali menstempel amplop ini dan mengirimnya kerumahmu, jadi kau tak perlu membacanya berulang-ulang."
Ia masih bersikeras menggodaku?
Aku memutar balik tubuhku berusaha memberikan tatapan tajam seolah berkata bercandamu-tak-lucu-pirang tapi tepat setelah aku berpikir seperti itu ia malah meraih daguku dan melakukannya. Menciumku, tentu saja.
Terbuai selama beberapa menit oleh tingkah manisnya itu, ia pun melepaskan ciuman hangatnya, "…kita ada rapat jam 4, sampai jumpa, Dear…"
Aku masih belum bisa mengumpulkan kesadaranku saat ia mengecup keningku lagi dan melambaikan tangannya sebelum menutup pintu kamarku.
Perlahan jemariku menyentuh keningku, aku masih bisa merasakan bekas bibirnya yang hangat dikeningku.
"'Dear', katanya?" sekumpulan kupu-kupu yang mungkin jumlahnya berjuta-juta itu seolah bergejolak didalam perutku, wajahku memanas sehingga tanpa perlu berkaca pun aku tahu kalau pipiku tengah merona merah. Kembali aku sembunyikan diriku ke dalam selimut.
Apa-apaan ini?
Kenapa ia bertingkah begitu manis?
Dia tidak sedang melakukan hal bodoh, bukan?
Maksudku mungkin saja ia tengah menyiapkan rencana untuk mengerjaiku. Atau jangan-jangan ia berniat meng-crucio ku?
No way…
Aku pasti sudah gila!
Atau dia yang gila?
-o0o-
"Hermione, kau tak apa?" aku menoleh kearah Harry yang tampak tengah mengamatiku disela-sela rapat Prefect. Aku menatapnya bingung kemudian menggeleng, ia tampak tak yakin dengan jawabanku.
"Jadi semua undangan acara kelulusan untuk para orangtua murid sudah semuanya terkirim?" Perhatianku kini kualihkan ke suara Kepala Sekolah.
"Sudah, Profesor." Yang dijawab dengan santai oleh Draco. Aku bahkan tak menyadari kehadirannya sejak rapat ini dimulai, karena sedari awal rapat aku hanya menunduk saja memeriksa daftar nama orangtua murid tingkat tujuh yang harus aku periksa ulang apakah semua undangan itu sudah diberikan atau tidak. Draco sempat melirikku sejenak dan tanpa perlu menggunakan kata-kata aku sudah tahu kalau ia tengah meledekku.
Draco pasti berbohong ke Profesor McGonagall mengenai terkirim-nya semua undangan itu karena aku tahu yang ia lakukan dengan melirikku seperti itu tadi sudah pasti kalau ia bermaksud mengatakan bahwa hanya tinggal undangan untuk orangtuaku lah yang belum terkirim.
Kepala Sekolah tampak mengangguk puas, sementara aku kembali (berpura-pura) sibuk dengan perkamen-perkamen yang ada didepan mataku.
Rapat kembali dilanjutkan dengan membahas kostum acara kelulusan nanti. Pada rapat yang sebelumnya Kepala Sekolah memutuskan memakai ide dari Blaise untuk kembali menggunakan konsep pesta topeng, hanya konsepnya saja tapi tidak dengan kostumnya yang saat ini mengharuskan kami menggunakan kostum asrama masing-masing yang disesuaikan dengan konsep asrama juga.
Ribet? Tidak.
Tapi MAHARIBET.
Kostum sesuai asrama masing-masing itu justru lebih memusingkan daripada kostum ala Bangsawan Inggris yang pernah Blaise katakan. Tanganku saja nyaris putus saat mencoba segala jenis gaun yang mewakili asramaku. Untung saja aku tak menggunakan topi kepala singa seperti yang pernah dipakai Luna beberapa tahun yang lalu, bisa saja kepalaku menyusul putus.
"Semua persiapan harus dimulai besok sebelum jam makan siang dan harus selesai dalam waktu 12 jam, kalian tentu tahu efisiensi waktu berperan sangat penting dalam persiapan acara ini. Dan kami sangat senang mendengar tentang banyak murid yang merasa tak keberatan dengan dresscode yang sudah kita sepakati bersama. Jadi aku dan seluruh staf pengajar yakin kalian bisa melakukan semuanya tanpa bantuan kami lagi. Maka dari itu semua hak acara kelulusan kami serahkan kepada seluruh perangkat Ketua Murid dan Prefect." Semua mengangguk paham dan bersyukur karena Kepala Sekolah menyerahkan seluruh hak atur acara diserahkan seluruhnya kepada Ketua Murid dan para Prefect.
"Hermione, bisa kau berikan daftar tamunya?" Aku mendongak lantas refleks memberikan daftar nama tamu undangan yang sudah ku gulung rapi itu pada Draco. Sekilas ku lihat semua pandangan tertuju pada ku. Atau pada Draco?
Aku terkesiap dan segera sadar apa yang membuat mereka melakukan itu, maksudku kini bukan hanya pandangan mereka saja yang tertuju padaku dan Draco tentunya tapi ekspresi kaget sekaligus bingung kini terpahat jelas diwajah mereka. Aku segera beralih melirik Draco yang tampak tak menyadari perubahan suasana yang sedang terjadi diruangan rapat ini, ia malah tampak santai menggulung kembali perkamen yang sebelumnya iya minta dariku itu setelah ia selesai memeriksanya ulang.
Kelewat santai bahkan.
"Maaf, Profesor… ada apa?"
'ada apa' katanya?
Draco kini ikut berpartisipasi dalam pesta bingung ini.
Profesor McGonagall yang duluan tersadar dari pesta super canggung ini pun berdeham dan segera memberikan perintah pada Draco, "Mr. Malfoy, setelah ini tolong antar semua berkas ke ruanganku..." Walaupun aku yakin ia masih kaget dengan apa yang baru saja didengarnya tadi.
Seolah tak terjadi apa-apa Draco menyanggupi permintaan Kepala Sekolah sebelum akhirnya Kepala Sekolah dan para staf pengajar pamit undur diri dari rapat Prefect yang terakhir kalinya ini.
"Hua…" suara erangan Blaise mengambil alih perhatian, "sejujurnya aku ingin sekali menggunakan kostum khas Gryffindor dan menyusup ke asrama kalian lalu menculik Hermione untuk berdansa dengan mesra di aula nanti." Blaise yang duduk tepat disebelahku berlagak manis dengan mencoba berulang kali mengedipkan matanya padaku.
"Ewhh..." Balasku dingin yang malah disambut gelak tawa semua orang bahkan Draco tampak bahagia sekali mendengar erangan jijik ku melihat tingkah Blaise yang tidak seorang Blaise Zabini sekali tadi. Semua orang kecuali wanita yang duduk tepat didepanku, kakak dari Greengrass tunangan Draco yang kini malah tengah menatapku tajam seolah menilai diriku yang memang tak pantas untuk berdansa dengan teman seasramanya.
Awalnya aku berpikir sedikit ragu untuk membalas tatapannya tapi yang terjadi selalu tak sesuai dengan harapanku, nyatanya pikiran dengan gerak refleks mataku kini malah balas menatapnya dengan tatapan yang tak kalah tajam dari miliknya. Memangnya hanya Slytherin saja yang bisa melakukan tatapan mengintimidasi itu, huh?
Tiba-tiba saja pandanganku berubah menjadi berwarna cokelat.
Apa-apaan…?
"Kita harus menemui Kepala Sekolah…" ternyata ia menghalangi pandanganku dengan perkamen-perkamen yang ada ditangannya, sekilas Draco melirik kearah pandangan mataku yang masih bertahan membalas tatapan Greengrass Senior itu, "…Hermione?"
Tanpa membuang-buang waktu lagi aku yang setengah kaget dengan apa yang Draco lakukan-lagi langsung segera merapikan peralatan tulisku kemudian berjalan keluar mendahuluinya.
-o0o-
Aku bisa gila.
Atau aku memang sudah gila?
Maksudku, yang benar saja pria pirang ini selalu mengikutiku kemanapun aku melangkah except toilet.
Aku tak tahan lagi, aku harus segera mendampratnya dengan omelan-omelanku.
"Apa?"
Lihatlah, ia bahkan tak merasa bersalah setelah seharian ini mempersulit pergerakanku. Saat ini aku tengah berada diperpustakaan dan menatapnya dengan tatapan super-kesal karena ia sama sekali tak membantuku disini, jadi untuk apa ia duduk didepanku?
"Stop starring at me!" bisikku berusaha sepelan mungkin agar tak menganggu para warga perpustakaan.
"Sorry, I can't help it…" jawabnya santai yang semakin membuatku murka. Aku murka, namun tak bisa melakukan apapun karena kalau aku meng-crucio Draco saat ini juga, yang ada Madam Pince malah akan meng-Avada ku terlebih dahulu.
"Orang-orang akan mencurigai kita, Draco…"
"Aku tahu, dan itu akan sangat bagus." Kali ini jawabannya kelewat santai. Aku yang tak bisa santai. Jadi aku memutuskan mengakhiri pertengkaran batin ini dan segera enyah dari hadapannya.
"Kau mau kemana?"
"Malfoy Manor." Draco tampak berjengit dari kursinya dan segera menarik tanganku hingga aku menatapnya. Ia menatapku tak percaya setelah mendengar apa yang baru saja ku katakan. Wajah pucatnya malah terlihat semakin pucat, jadi aku tak sampai hati untuk membuatnya mati kehabisan darah. "Bercanda…" lanjutku yang membuat Draco menghembuskan napasnya kelewat lega.
Draco mendengus sejenak sebelum berkata, "Beberapa hari lagi kau akan benar-benar berada di Manor ku, Hermione."
Apa-apaan dia? Mencoba mengingatkanku akan pertunangannya?
Menusuk hatiku lagi, huh?
"Ya… terima kasih sudah mengingatkanku akan hal itu, aku akan berada di Manor mu untuk menghadiri acara pertunanganmu. Thanks a lot, brath…" Imbuhku dingin.
"Pertunangan kita, lebih tepatnya." Ia meralat perkataanku.
Well, ya… aku tahu. Pertunangan kita…
"A-apa?"
"Aku tahu kau berharap kalau kau salah dengar, tapi kupingmu tak bermasalah, Hermione." mataku menatapnya nyalang yang malah ditanggapinya dengan tatapan lekat yang tampak serius.
Sepersekian menit aku menunggu mulutnya berbicara menambahkan kata 'aku bercanda…´ atau apa saja seperti aku tadi, namun ia masih tampak sama seperti beberapa menit sebelumnya. Malah kini ia tersenyum hangat padaku. Aku menepis tangannya yang masih menggenggam tanganku tadi. "Jangan bercanda."
Setelah mengatakan kalimat itu akupun pergi meninggalkannya. Sekilas aku sempat melirik ke tempat duduk ku tadi saat aku keluar ruangan dan aku bisa melihat Draco masih menatapku sambil tersenyum simpul dari jendela tua ini.
Aku menggelengkan kepalaku cepat dan segera berlari menuju aula besar. Aku harus mengisi perutku agar bisa tetap berpikir waras sebelum Draco akhirnya mengaku kalau ia melakukan hal itu tadi dengan maksud menghiburku. Mengaku ia khilaf malah terdengar lebih baik.
-o0o-
"Sejujurnya konsep ini lebih sulit daripada konsep yang Blaise katakan sebelumnya."
"Setuju." Aku mengamini perkataan Harry disela-sela waktu makan malam kami. Ginny terlihat mengangguk paham. Ketika aku merasakan ada sesuatu yang terasa kurang saat ini, tanpa sengaja mataku bersirobok dengan Ron yang ternyata sedang menatapku juga, ia duduk jauh di ujung meja makan bersama Neville dan yang lainnya.
Tatapan Ron membuat mataku perih karena saat ia menyadari tatapan kami bertemu ia menatapku seolah aku ini lebih menjijikkan dari liur Troll. Entahlah, sejujurnya aku tak bisa mengartikan tatapannya. Hatiku terasa semakin sakit ketika aku menyadari kalau aku sama sekali belum menyelesaikan masalahku dengannya hingga beberapa hari menuju kelulusan kami.
Saat aku mencoba tersenyum padanya, ia malah membuang pandangannya dan beralih pada mangkuk makanannya. Senyum ku pun lenyap seketika. Sebelum aku menitikkan air mataku akupun mengalihkan pikiranku pada makananku yang terasa hambar.
Aku harus segera menyelesaikan masalahku dengan Ron. Setidaknya aku masih berharap aku tak akan kehilangan sahabatku setelah memberinya beberapa penjelasan, mungkin.
-o0o-
Aku meminta Harry menggantikan dirinya berpatroli dengan Ron malam ini. Dan syukurnya Harry menyanggupinya tanpa bertanya apapun dariku. Aku tak tahu harus menjawab apa kalau saja ia melakukannya.
"Kenapa kau disini?" kepalaku mendongak dan mendapati Ron di depan pintu ruang kelas. "Dimana Harry?"
"Ia sedang mengurus beberapa hal untuk persiapan besok. Ia memintaku untuk menggantikannya malam ini." Jawabku berusaha setenang mungkin.
"Harry atau kau?" Tanyanya.
"Maksudmu?"
"Harry atau kau yang meminta?" Tanyanya lagi yang berhasil membuatku membuka-tutup mulutku.
"Se-sebenarnya… aku yang memintanya." Lama aku menunggu reaksi darinya namun ia diam saja lalu melangkah duluan meninggalkanku.
Tampaknya ini akan memakan waktu yang lama.
Selama berpatroli ia tak seberisik yang biasanya. Aku tahu itu karena ia marah padaku. Ron pasti berpikir tenaganya terlalu sia-sia kalau ia habiskan untuk berceloteh dengan orang semenyedihkan diriku ini.
"Ron…" aku memberanikan diriku untuk memulai pembicaraan saat kami sudah berada di menara Astronomi. Ia tak bergeming. Masih memunggungiku. "Ron, aku minta maaf atas apa yang terjadi antara aku dan Draco. Aku—"
"Draco? Huh…" Ron mendengus. Ia berbalik menghadapku, aku tak bisa membaca raut wajahnya saat ini.
Memangnya kapan aku bisa memahami air mukanya?
"Dengar, Ron aku tahu kau marah padaku…"
"Kau tahu? Kau tahu apa tentangku?"
"Ron…"
"Kau berpacaran dengannya, kau tidur dengannya Hermione!"
"Iya aku tahu itu, aku ingin menjelaskan semuanya padamu, Ron…" aku mencoba membela diriku namun tampaknya Ron tak peduli, matanya menerawang seolah sedang mengenang sesuatu.
"Kita pernah bersama, kita pernah saling mencintai. Dan kini aku harus menerima kenyataan kau bersamanya? Kau ingin menjelaskannya padaku? Apalagi yang mau kau jelaskan, huh?! Penjelasan kalau kau sedang menjalankan misi lain Dumbledore? Penjelasan tentang cara mengelabui musuh? Kalau kau berdamai dengan para pelahap maut itu dengan cara menjijikkan seperti ini?!"
"Enough!" Aku tak tahan.
Sungguh racauan Ron sudah diluar batas kesabaranku. Dan apa katanya? 'Menjijikkan', ia bilang?
"Aku tak sedang menjalankan misi apapun dan aku juga tak melakukan hal yang kau bilang menjijikkan itu, Ron!" aku menekankan bagian kata menjijikkan itu yang sempat membuat emosiku meledak tadi. Sejenak aku mengambil napas yang dalam untuk mengurai kata perkata agar Ron paham maksudku. "Aku berusaha untuk membuatmu mengerti kalau kita sudah tidak berperang, dan Draco bukanlah pelahap maut lagi. Draco juga sudah berubah, ia tak seperti dulu, Ron. Dan… aku mencintainya." Ron masih diam tak meresponku, aku mencoba menenangkan diri agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan segera.
"Aku mencintainya. Aku mencintainya meskipun kau bilang ini menjijikkan tapi aku tak bisa memungkirinya lagi."
"Tapi dia akan bertunangan dengan darah murni sialan itu, Hermione." ku dengar suara Ron sedikit memelas agar aku memahami maksudnya.
"Aku tahu, Ron. Meskipun aku tahu ia akan segera bertunangan dengan gadis lain tapi aku masih percaya padanya kalau ia akan segera mengakhiri pertunangan itu." Sejujurnya aku sendiri tak percaya dengan apa yang baru saja ku katakan.
"Apa yang ia janjikan padamu hingga kau begitu membelanya?" Ron masih berusaha mencari celah untuk menghentikanku.
Aku menggeleng pelan, "Aku tak membelanya. Aku membela diriku. Aku membela perasaanku sendiri, Ron. Dan ia tak menjanjikan apapun padaku, dan aku pun tak berharap banyak padanya. Selama aku masih merasakan perasaan ini, aku akan tetap percaya padanya kalau kami bisa bahagia bersama meskipun aku sendiri tak yakin sampai kapan kebahagiaan itu akan bertahan." Aku tak tahu entah sejak kapan air mata ini mengalir, Ron tampak samar dari pandanganku namun begitu aku masih bisa merasakan kalau kini ia menghampiriku. Kepalaku tertunduk mencoba menutupi tangisanku.
"Aku masih berharap kalau ini tidaklah nyata. Sejujurnya aku senang kau sudah menemukan penggantiku tapi hanya saja kenapa harus dia. Itu yang membuatku masih tidak bisa menerima keadaan."
"Ron, maafkan aku…" ucapanku tak terdengar jelas karena beriringan dengan isakan tangisku yang semakin sulit ku kendalikan.
"Kau tak akan menyesal telah mengambil keputusan seperti ini?" aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Ia menghela napasnya yang terdengar berat. "Aku butuh waktu…" ucapnya, membuat isakanku tertahan. Aku kembali menatapnya yang kini balas menatapku. "Aku butuh waktu untuk memahami semua penjelasanmu, mungkin aku akan menghindarimu selama beberapa saat tapi percayalah aku melakukan itu hanya untuk mencegah mulutku merapalkan mantera kearah pelahap maut itu." Aku mengangguk memahami perkataannya, aku pun akan melakukan hal yang sama jika aku berada diposisinya.
"Tapi kau masih tetap sahabatku, bukan?" lama aku menunggu jawaban darinya. Dari pandangannya yang tampak berpikir keras itu aku masih belum siap mendengar jawaban darinya kalau ia akan mengakhiri semua pertemanan kami.
"Saat melihatmu bahagia bersamanya, kupikir aku terlalu egois apabila aku hanya memikirkan perasaanku saja." Tangan besarnya itu menghapus airmata ku dengan lembut. "Aku masih sahabatmu."
Tangisanku kembali pecah. Meski Ron tak memelukku seperti biasanya ketika aku menangis, tapi aku bisa merasakan kehangatannya hanya dengan sentuhan tangannya saja. "Maafkan aku, Ron…"
Hanya kalimat itu saja yang mampu ku ucapkan. Ron benar. Ia pasti sangat berat menerima keputusanku ini, dan dia butuh waktu. Aku akan memberikannya meski ia butuh bertahun-tahun tidak berhari-hari saja sudah cukup. Aku tak tahan kalau harus berdiam-diaman dengannya selama itu.
Setidaknya Ron sudah percaya padaku kalau aku tak sedang menjalankan misi apapun dari Dumbledore.
-o0o-
Draco tampak terlelap dengan perkamen-perkamen berserakan dilantai. Meskipun Harry menggantikanku tadi aku yakin Harry tak membantu banyak. Ia pasti sangat lelah menyelesaikan semua ini sendirian.
Aku menutupi tubuhnya dengan selimut yang sebelumnya ku ambil dari kamarnya. Sembari membereskan perkamen-perkamen tadi pikiranku menerawang saat melihat nama keluarga Greengrass didaftar tamu undangan.
2 hari lagi acara kelulusan kami akan berlangsung. Setelah acara itu…
Suara batuk Draco membuyarkan lamunanku. Aku menghampirinya yang masih terlelap namun terlihat kesakitan. "Draco? Draco kau sakit?" ia menggeleng dan kembali berusaha mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Keringat sebesar biji jagung berkeluaran di keningnya. Dingin. Meskipun aku sudah menyelimutinya dan perapian diruangan ini menyala, tapi tubuhnya terasa dingin. "Draco, bangunlah… kita harus ke Hospital Wings…" Tak ada sahutan darinya. Setengah panik aku berlari keluar menuju asramaku mencari pertolongan, ku lihat Ron masih berdiri di ambang pintu masuk.
"Ron! Ronald!" dengan napas tersengal-sengal aku menceritakannya secara singkat. Ron segera berlari menuju menara Ketua Murid sementara aku masih berusaha mengatur napasku.
Singkatnya, saat aku tinggal beberapa langkah lagi sampai di menara ketua murid aku sudah di kagetkan dengan teriakan Ron yang memanggil namaku.
"Hermione! Her—"
"Ada apa Ron… astaga! Draco?!" Tanganku menutup mulutku yang menganga kaget melihat buih putih yang keluar dari mulut Draco, wajahnya terlihat semakin pucat. "Ron bagaimana…"
"Cepat bangunkan Madam Pomfrey!"
-o0o-
Keracunan makanan?
Tidak mungkin.
Draco bukan sembarangan orang yang dengan mudahnya terkecoh dengan makanan enak namun beracun, seperti 2 rekan Slytherinnya dulu.
Ia juga terakhir makan bersamaku dan Harry sebelum aku pergi berpatroli, ia tampak baik-baik saja karena makanan itu adalah beberapa makanan yang dibawa Harry dari asrama kami dan setelah aku kembali ke menara tidak ada nampan makanan lain di meja, remah-remahnya saja pun tak ada.
"Dia akan sadar saat kadar racun dalam tubuhnya menghilang. Panggil saja aku kalau kalian membutuhkan sesuatu." Aku pun mengangguk. Setelah pamit undur diri aku masih menatap tubuh Draco yang terbaring lemah di brankar Hospital Wings.
"Ini bukan perbuatanku." Ucap Ron diseberang ku.
"Aku tahu." Miris rasanya bahwa Ron mengira aku akan menuduhnya seperti itu. Seemosinya ia dengan keputusanku, aku pun yakin ia tak akan sekejam ini.
"Menurutmu…" tiba-tiba Harry sudah ada dibelakangku. Aku tahu ia menyusul setelah Ron mencarinya tapi aku tak menyadari kehadirannya hingga ia muncul, "siapa yang melakukan ini?" ia menepuk pundakku seolah sedang mentransferkan tenaga agar aku tegar.
"Entahlah… " aku menghela napas sembari mengelus punggung tangan Draco yang masih terasa dingin. "aku akan bertanya padanya setelah ia sadar."
"Kau istirahatlah. Beberapa jam lagi kita akan menghias Hogwarts untuk acara kelulusan, aku tak mau kau menyusul berbaring di sebelahnya." Saran Harry benar namun aku menolaknya, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Draco kalau saja aku lengah meninggalkannya barang sedetik pun.
"Aku akan istirahat disini, tak ada yang menjaganya kalau aku—"
"Aku saja." Kepalaku dan Harry menoleh berbarengan ke arah Ron. Semenit saja kami mengabaikan kehadirannya yang masih menatap Draco tanpa ekspresi. "Aku saja yang menemaninya disini. Kalian tak perlu tahu alasanku kenapa aku mau, bukan?"
Aku dan Harry bertukar pandangan sejenak sebelum akhirnya Harry menyetujuinya dan menarikku paksa untuk kembali ke menara ketua murid.
"Tapi Harry…" aku masih berusaha membantah Harry saat mataku tanpa sengaja melihat sekelebat bayangan. Aku menepis pegangan tangan Harry dan mengikuti sosok itu.
"Hermione, ada apa?"
"Ssttt…"
"'Ssttt' apa?"
"Ikuti aku saja." Harry tampak bingung sehingga ia tak bisa menutupi rasa penasarannya. Di ujung lorong aku membekap mulutnya sebelum akhirnya aku menyadari sesuatu. Mataku nyaris lepas saat ternyata aku sudah berada didepan pintu asrama Slytherin. Sosok itu sempat menoleh kebelakang dan aku berhasil menyembunyikan diri dibalik tembok sebelum ia mengetahui kehadiranku.
"Harry, kau melihatnya juga bukan?" Harry mengangguk mengiyakan pertanyaanku dengan mulut yang masih tertutup tanganku. Aku segera melepaskan tanganku begitu menyadarinya. Harry tampak menghirup dan membuang napas kelewat berlebihan. Kami kembali mengamatinya yang merapalkan password pintu masuk asrama. Aku tak dapat mendengarkan suaranya karena jarakku dengan sosok itu terlampau jauh. Ia kembali menoleh ke belakang dan aku pun kembali melakukan hal yang sama, saat aku merasa sudah cukup aman aku kembali mengintip namun aku tak menemukan sosok itu, yang ku lihat hanya pintu batu Slytherin yang perlahan menutup. Aku berlari mencoba mengejar sosok itu namun terlambat. Pintu itu sudah menutup rapat.
"Siapa? Siapa itu Harry?" Tanyaku memburu yang membuat Harry menatapku bingung.
"Hermione, aku juga mau menanyakan hal yang sama padamu. Mana aku tahu ia siapa sementara aku baru melihatnya."
"Aku dan Ron sudah memastikan semua lorong kosong dan aman saat kami berpatroli," jelasku. Harry tampak berpikir keras.
"Apa ini ada hubungannya dengan Draco?" pertanyaannya itu membuat jantungku tertohok. Kenapa aku tak berpikir begitu? Apa saja yang ada dipikiranku sampai-sampai perkataan Harry pun terasa begitu menakjubkan ditelingaku.
"Harry, bantu aku memeriksa asrama Slytherin."
"Tidak, tidak sekarang Hermione. Kita bisa terkena hukuman jam malam."
"Siapa peduli? Lusa kita sudah lulus dan tak ada hukuman jam malam untuk Prefect yang berpatroli." aku mengalihkan pandanganku dari Harry yang masih tampak takjub mendengar ucapanku. Aku tak tahu apa kata kunci asrama ini. Draco tak pernah memberitahuku.
"Hermione, kita bisa memeriksanya besok dan menanyakan passwordnya ke Blaise atau Draco." Harry masih tampak berusaha mencegahku, namun aku tahu resiko apa yang kemungkinannya akan ku dapatkan kalau aku memeriksanya besok. Aku tak berani membayangkan berbagai macam kemungkinan itu.
"Apa yang akan terjadi kalau aku salah menyebutkan password?"
"Kau serius tak tahu?" Harry malah bertanya balik. Sebenarnya aku tahu, hanya saja aku mencoba memancing Harry untuk berpikir juga mengenai kata kunci pintu asrama Slytherin.
"Well… umm…" seseorang menginterupsiku saat aku hendak mengucapkan kata kunci pintu batu di depanku ini.
"Kalian sedang apa?" Mulutku langsung terkatup mendengar pertanyaan itu.
"Ginny?" Ujar Harry tak percaya ketika melihat sosok Ginny keluar dari lorong gelap.
"Ginny apa yang kau lakukan disini?"
"Aku mendengar kegaduhan diluar sesaat sebelum Ron masuk ke asrama mencari Harry, dan mereka keluar tergesa-gesa. Karena Harry tak kunjung kembali aku memutuskan untuk mencarinya dan aku melihat kalian berdua disini, jadi aku mengikuti kalian. Kalian sendiri sedang apa mengendap-endap didepan pintu asrama Slytherin?" Saat Harry hendak menjawab pertanyaan Ginny aku menarik lengan bajunya tanpa kentara, entah mengapa aku hanya ingin merahasiakan hal ini dari orang-orang. Jadi aku mencegahnya untuk tak menceritakannya pada Ginny sekalipun.
"Kami sedang berpatroli…" ujarku cepat sebelum Harry mengatakan apapun, "well, ada murid Slytherin yang masih berkeliaran, jadi aku meminta bantuan Harry dan Ron." seperti dugaanku Ginny tak mungkin termakan kata-kataku begitu saja.
"Tapi dimana Ron?" belum sempat aku menjawab Ron sudah ada tepat dibelakang Ginny dan memandang kami bingung sekaligus… curiga?
"Aku disini. Kenapa mencariku?" Ginny tampak kaget dan tak berkata-kata lagi jadi aku memutuskan untuk mengambil alih suasana dengan berkata untuk beristirahat. Harry tampak menarik Ron beralasan untuk berpatroli lagi sementara Ginny tampak bingung dan memilih kembali ke asramanya. Setelah Ginny tak terlihat lagi di belokan lorong aku menghampiri Ron dan Harry yang masih bersembunyi dibalik tiang batu.
"Jangan menceritakan hal ini pada siapapun." Ron dan Harry mengangguk menyanggupi permintaanku tanpa bertanya lagi.
Seolah menyadari apa yang tengah menjadi pikiranku, Harry menepuk bahuku pelan dan berkata, "Jangan berpikiran yang aneh dulu…" aku mengangguk walaupun masih ragu, Ron tampak tak mengerti dengan pembicaraan kami. Dengan isyarat mulut Ron mencoba memberitahukanku kalau ia akan kembali ke Hospital Wings, Harry pun mengikuti Ron tanpa berkata apapun lagi.
Benarkah?
-o0o-
Mentari masih belum menampakkan wujudnya tapi aku sudah bergegas keluar menara untuk segera ke Hospital Wings. Semalaman aku tak bisa tidur. Kejadian aneh seharian ini terus bermain-main di kepalaku.
"Ron…" Ron tampak masih terjaga mengamati Draco. Mataku sempat berair terharu melihat perlakuannya. Ia bisa saja melakukan segala hal buruk dengan segala kesempatan yang ada seperti ini pada Draco, tapi ia tak melakukannya. Ia benar-benar menjaga Draco disini.
"Kenapa kau kesini?"
"Aku sudah berbicara dengan Madam Pomfrey untuk segera memindahkannya ke menara ketua murid, aku tak ingin seluruh Hogwarts tahu dengan kejadian yang baru saja menimpanya." Ron mengangguk paham. Aku menghampirinya membawa kursi roda.
"Kita gunakan perapian…" Tiba-tiba saja Madam Pomfrey sudah berada didekat perapian bangsal. Ron dengan segera memindahkan tubuh Draco ke kursi roda yang kubawa tadi, tubuhnya masih terkulai lemas dan masih tak sadarkan diri juga. Mataku semakin perih melihatnya seperti ini. Setelah asap hijau menghilang aku langsung membawanya ke kamar dan Ron tanpa banyak bicara masih setia menolongku. Madam Pomfrey memberikan beberapa botol ramuan dan memberikanku arahan kalau saja ada sesuatu terjadi, dan aku berharap tak terjadi apapun lagi padanya. Ron ikut mengantar Madam Pomfrey kembali ke perapian.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanganku menyapu wajahnya yang mulai terkena pias cahaya matahari pagi.
"Hermione…" suara Ron mengalihkan kesedihanku, "bisa bicara sebentar? Di luar?"
Aku mengangguk dan mengecup bibir Draco yang masih dingin sebelum akhirnya aku keluar mengikuti Ron duduk diruang rekreasi. Ron meraih tanganku dan mencoba mengalirkan kehangatannya namun aku tak bisa merasakan apapun setelah melihat keadaan Draco yang tampak tak ada perubahan seperti itu.
"Aku tahu ini gila. Awalnya aku juga tak percaya sampai aku menemukan ini," Ron melepaskan jubahnya yang sedari tadi tanpa kusadari dipakainya.
"Jubahmu?" Tanyaku bingung.
Namun Ron menggeleng, "Aku menemukan ini saat menyusul kalian didepan asrama Slytherin." Aku meraihnya. Meraih jubah itu, maksudku. Kalau ini bukan jubahnya dan ia bilang menemukan jubah ini saat menyusulku…
"Apa kau melihatnya juga?" Tanyaku tak sabar. Ron kembali menggeleng.
"Aku tak melihatnya namun Harry sudah cerita padaku. Dengar Hermione, seperti yang ku katakan sebelumnya mungkin ini akan terdengar gila, aku juga berusaha meyakinkan diriku kalau yang ku simpulkan itu salah, tapi…" tak sadar tanganku sudah meremas jubah itu.
"No way."
-TBC-
A/N : Thanks a lot to Irene Freesia Akinauntuk sharing ide cerita meski berujung plot twist. Thanks supportnya sesama author meski ente bukan dari fandom Harry Potter. Arigato!
Well, I hope you all still love and waiting for this weird story. Don't forget to leave your review, every single word from your review are meaningful for me. Thank you :)
