∞ SAY SOMETHING ∞
Timeline:
Tahun ke-7 setelah perang usai.
Warning : Newbie Author, Sebagian OOC, Typo(s), Absurd, Whatever (-_-)
Disclaimer : J.K Rowling
The Story Owned By Me
-o0o-
Unstoppable love the one who makes me live
The who more precious than myself
I can't send you away
Even it's hurt, i'm okay, because of the love
Even when i try to forget and turn around
My heart keep looking for you
Even i'm crying, i'm okay, because i love you
Even it's hurt, i will wait my last love
Because of you
-o0o-
Chapter 11 : Because of You
"Hiasan itu terlalu berlebihan. Seharusnya aku tak perlu membantumu lagi!" Suara sarkastis itu terdengar dari ujung aula besar. Daphne Greengrass tampak memarahi beberapa murid tingkat 5 yang tengah menggantungkan hiasan di pilar aula.
Mungkin ada sebuah sensor atau apalah di tubuhnya hingga ia menyadari kalau aku sedang menatapnya lekat.
Tak seperti biasanya, ia tak membalas tatapanku dan malah berusaha sibuk dengan gulungan hiasan yang ada di tangannya.
"Hei…" tubuhku sedikit terlonjak saat Ginny menghampiriku, "ada apa? Kenapa kau menatapnya seperti itu?"
"Oh… hai, nothing. Dia hanya terlalu kasar." Jawabku. Ginny mengangguk.
"Sepertinya semua darah murni memang selalu begitu, kecuali Blaise sepertinya…" Ginny mengedikkan dagunya menunjuk ke arah Blaise yang malah tengah sibuk menggoda murid tingkat 6. Kami mendengus geli melihat kelakuan gilanya itu. "Oh ya, mana Draco? Aku tak melihatnya seharian ini…"
Aku menatap Ginny canggung. Apakah sebaiknya ku ceritakan saja padanya?
"Ia… sibuk mengurus beberapa undangan untuk para orangtua yang belum terkirim." Jawabku berusaha sesantai mungkin dan kembali sibuk dengan pekerjaanku.
"Bukankah ia sudah mengirim undangan terakhir milik orang tuamu beberapa hari yang lalu?" jari ku tertusuk duri saat sedang sibuk merangkai bunga-bunga mawar untuk hiasan ini. "Hermione, kau tak apa?" refleks aku menghisap telunjuk ku dan mengangguk. Ginny tampak mendesah lega.
"Aku harus ke ruangan kepala sekolah untuk melaporkan kegiatan, kau bisa melanjutkan ini untukku?" Ginny menyanggupi permintaanku walaupun ia menambahkan beberapa omelan yang tak begitu ku dengarkan.
"Bilang saja kau mau kabur dari tugasmu. Kenapa aku harus merangkai tanaman berduri ini, sih?" racaunya.
Aku pun bergegas keluar ruangan, namun sesampainya di ujung jalan aku tak jadi berbelok ke kiri melainkan merubah haluanku ke arah menara ketua murid.
Draco…
Perasaanku tidak enak…
"Mawar Berduri…" pintu menara terbuka dan aku segera berlari ke dalam, membuka berlebihan pintu kamar Draco yang membuatnya menjeblak keras. Dan benar saja, aku melihatnya sedang mengerang kesakitan.
"Draco… Draco kau tak apa? Dear?"
"Hermione?"
"Ya, ini aku. Kau kesakitan? Apanya? Aku akan memanggil Madam Pomfrey ke—" Ucapanku terhenti saat Draco menarikku ke pelukannya.
"Aku belum mati, bukan?" sesaat aku merasa pendengaranku salah menangkap perkataannya namun ketika aku sadar kalau pendengaranku tak bermasalah aku langsung mendorong tubuhnya dan menatapnya marah.
"Apa-apaan kau ini? Kau belum mati dan tak akan mati seperti ini dihadapanku, kau paham?" Draco mengangguk lemah, aku kembali merengkuh dan memeluk tubuhnya. Suhu tubuhnya sudah kembali normal, perasaan lega menghampiriku.
"Aku merindukanmu…" ucapnya di sela-sela rintihannya.
"Aku tahu. Aku lebih merindukanmu." Balasku sembari membaui tubuhnya. Ia mencium kepalaku dan kehangatan itu kembali mengalir di seluruh tubuhku.
-o0o-
"Jadi kau tak ingat?" Aku menyuguhkannya teh hijau yang langsung diseruputnya seolah-olah ia telah lama tak merasakan hangatnya minuman itu. Ia mengangguk setelah hampir menghabiskan separuh teh yang baru saja ku berikan itu.
"Sudah belum?"
"Apanya?" Tanyaku balik yang di jawabnya malah dengan merentangkan kedua tangannya.
"Aku rindu kau, Hermione. Kemarilah…"
"…" ia merengek manja seolah-olah baru saja tak terjadi apapun padanya. Aku membalasnya dengan melemparkan bantal diranjang ke kepalanya. "Kau pasti berpura-pura sakit agar aku menyelesaikan semua dekorasi acara ini sendirian, bukan?" ia menggeleng berlebihan.
"Aku tak sekejam itu, Dear… aku benar-benar sakit…" ia kembali merengek sambil memegangi perutnya, keningnya dan segala macam bagian tubuh lainnya. Aku tahu kali ini ia berpura-pura dan aku tak bisa menahan tawaku melihat tingkah anehnya ini.
"Berhentilah bertingkah seperti itu, kau sudah tua…" aku bangkit meninggalkannya namun saat aku hendak membuka pintu kamar sebuah tangan dari belakangku menahan pintu itu hingga tertutup kembali, belum sempat aku memarahinya bibirku sudah dibungkam dengan bibirnya.
God…
Hanya Kau dan aku yang tahu betapa indahnya sensasi yang kurasakan saat ini.
Tangannya perlahan menjelajahi setiap lekuk tubuhku yang berhasil membuat kaki ku mati rasa.
Seolah menyadarinya Draco menggendong tubuhku dan merebahkan di ranjangnya. Aku tak tahu darimana tenaga yang didapatnya untuk melakukan semua ini setelah ia sakit.
"Aku tak akan membiarkanmu menyelesaikan persiapan acara kelulusan sendirian. Jadi lebih baik kau di sini bersamaku dan biarkan para Prefect yang bekerja keras." Ujarnya lagi sebelum mulai melucuti pakaianku.
Melihatnya seperti ini aku tak yakin kalau dia benar-benar sakit.
Bibirnya terus mengeksplor seluruh bagian tubuhku hingga desahan-desahan sialan yang tak bisa ku kendalikan itu keluar dengan mudahnya dari mulutku.
Merlin…
-o0o-
"Stop doing that…" Ia berhenti memainkan jemariku sebelum mengecupnya hangat, seolah ia sedang menghisap tenagaku ia menghela nafasnya lega setelah melakukan itu. Mencium jemariku, maksudku.
Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu, "Undangan untuk orang tuaku… kapan kau menyerahkannya?" Draco tampak bingung dengan pertanyaan tiba-tibaku.
"2 hari yang lalu." Jawabnya santai tampak tak perlu berpikir lagi. Aku membetulkan posisiku hingga menghadapnya.
"Ada yang tahu kau keluar? Maksudku, saat kau akan mengantarkan undangan itu… apakah ada yang tahu?" tanyaku lagi semakin penasaran.
"Entahlah… sepertinya tak ada. Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal ini?"
"Kau yakin?" Ia mengangguk, "lalu Ginny tahu darimana kau sudah menyerahkan undangan itu 2 hari yang lalu?" Draco kini tampak tertarik dengan pembicaraanku.
"Maksudmu?"
-o0o-
Aku terbangun dan melihat jam di meja nakas menunjukkan sudah pukul 2 dini hari. Kemana Draco? Kenapa ia meninggalkanku di kamarnya sendirian?
Aku menuruni ranjang, melilitkan selimut ke tubuhku, merapikan pakaianku yang berserakan dilantai. Sungguh aku tak tahu apa yang membuat senyumku begitu merekah hanya dengan melakukan hal yang baru saja ku lakukan. Normalnya orang pada umumnya akan merasa malas merapikan kamar apalagi di tengah dini hari begini. Aku membuka pintu kamar untuk mencari pria pirang yang baru saja membuatku 'berantakan' ini.
"Draco kau—"
"Hermione…" senyumku langsung lenyap berubah menjadi kaget saat menyaksikan apa yang sedang terjadi di ruang rekreasi.
"Apa yang kau…" ia tampak canggung karena aku memergoki dirinya sedang menyusun sesuatu di meja. Kaki ku menuruni tangga menghampirinya. "Kau…"
Tiba-tiba saja ia berlutut di depanku kemudian mengeluarkan sesuatu dari jubahnya.
Kalau aku tak sedang berpikir berlebihan, aku pasti mengira ia akan memungut kelopak mawar yang tampak berserakkan di lantai. Tapi saat ini pikiranku sedang sangat berlebihan! Sensitivitas kewanitaanku sedang sangat berlebihan!
Mungkin saja saat ini dia…
"Would you be mine?" sebuah kotak yang tadinya ia keluarkan dari jubahnya itu menampilkan sebuah cincin saat ia membuka tutup kotak beludru kecil itu.
Sedang sakit...
"Draco kau… Draco, kau tak sakit, bukan? Aku sudah memberimu ramuan sesuai yang Madam Pomfrey katakan… kau tak mungkin sakit lagi…" ku dengar Draco berdecak.
"Hermione… aku berniat melamarmu setelah acara kelulusan, tapi tampaknya lebih cepat lebih baik. Sebelum ayahku… maksudku sebelum aku menyesal tak sempat melihatmu mengenakannya."
"Maksudmu?" Air muka Draco tampak berubah dari serius jadi kesal karena aku tak kunjung memberinya respon.
"Hermione…" terdengar suaranya antara memelas dan sedikit menuntut jawabanku. Jangan tanya bagaimana, hanya Draco yang bisa melakukannya. "Aku serius…"
Aku tak menyangka ia berkata seperti itu. Aku berpikir ia hendak merayakan hari kesembuhannya, dan aku benar-benar tak menyangka ia berkata kalau ini serius.
Karena aku tak kunjung memberikan tanggapan Draco pun berinisiatif langsung mengenakan cincin yang ada di kotak ke jari manisku setelah ia kembali berdecak. Setelahnya ia mengayunkan tongkatnya hingga terdengar alunan piano berdenting seirama dengan penerangan di ruangan yang perlahan meredup hingga menciptakan suasana romantis yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.
Sementara aku…
"A-aku… Draco…" bicaraku mendadak gagap dan mulutku mati rasa!
AKU HARUS APA?
"Kau tak harus langsung menjadi istriku. Selama kau menerima cincin ini kau hanya perlu mengenakannya dan aku akan menunggumu sampai kau siap menjadi istriku," tunggu… aku tak paham maksud perkataannya… "So, would you be mine?"
Sembari otakku mencerna semua perkataannya tanpa sadar kepalaku mengangguk yang berhasil membuat senyuman Draco merekah, aku dapat melihatnya meskipun penerangan di ruangan ini sangat minim.
Aku menatap cincin yang baru kusadari kalau batu ruby yang berada di cincin ini bentuknya sama dengan kalung yang pernah Draco berikan padaku. "Kau tak perlu mengajukan pertanyaan seperti itu dan memberikanku cincin indah ini kalau kau ingin aku menjadi milikmu…" Ucapku sambil mengamati bentuk cincin yang sangat indah ini.
"Oke, fine…" tiba-tiba Draco hendak merampas cincin itu dari jemariku, "aku akan mengambilnya dan menyimpannya saja."
"Hey?!" Aku merampasnya balik dan segera mengenakannya lagi. "Ini milikku."
Dia gila?
Seenaknya saja ia mengambil kembali cincin yang sudah diberikannya untukku.
"Kau merusak suasana." Tambahku lagi. Tepat setelah aku mengatakan itu ia mengulurkan tangannya. Aku sempat berpikir ia bercanda dan ingin mengambil cincin ini lagi, namun saat alunan musik yang begitu indah itu terdengar lagi oleh telingaku aku sadar kalau ia benar-benar serius.
"Fine…" aku menyambut tangannya dan seketika ia merapatkan tubuhnya padaku. Melingkarkan satu lengannya di pinggangku, nyaris memelukku erat namun dalam posisi berdansa.
"Anggap saja ini latihan dansa untuk besok." Bisiknya. Aku terkekeh sesaat sebelum mengangguk.
Sejujurnya aku menyembunyikan airmata ku yang sudah mengalir deras. Aku tak pernah tahu ia bisa seromantis ini.
"Nocturne…" gumamku.
"Kau tahu?" aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Draco.
"Nocturne in E-flat major, Opus 9, No. 2. Ibuku sering memainkannya di ruang keluarga setiap kali kami berkumpul." Draco tampak takjub mendengarkan ucapanku. Tanpa sadar ia mengangguk seolah ia mengerti dengan apa yang baru saja ku katakan.
Draco kembali mengeratkan pelukannya dan menuntun tubuhku untuk mengikuti gerakannya yang perlahan-lahan mengikuti alunan dentingan piano.
"Aku akan memutar lagu ini untuk acara kelulusan kita…" ujarnya.
"Sudah ku duga."
-o0o-
SUDAH KU DUGA.
Aku kesiangan.
Seharusnya aku menghadiri rapat Prefect pagi ini. Tapi kenyataannya aku baru saja terbangun pukul 8, sementara rapat akan segera dimulai 30 menit lagi. Ini akan menjadi rapat terakhir karena besok acara kelulusan akan di mulai.
Draco tak ada disisiku saat aku bangun, hanya selembar post it di atas bantalnya.
-Tidur saja dan pikirkan gaun apa yang akan kau kenakan besok. Yours, DM-
Singkat, padat dan jelas. Namun aku tak bisa menuruti keinginannya. Mana bisa aku berleha-leha seperti yang diperintahkannya sementara para Prefect sedang mati-matian mempersiapkan dekorasi acara untuk besok. Ku sibakan selimutku, bergegas bangkit dari ranjang untuk berbenah diri. Beberapa menit kemudian aku keluar kamar hendak menghampiri kamar Draco, hanya sekedar memeriksa apakah ia masih berada di kamarnya.
Namun, jantungku nyaris saja copot saat melihat seseorang sedang berdiri membelakangiku di dapur dekat meja makan. Suara tertutup pintu kamarku yang lumayan keras memecah keheningan pagi ini, membuat sosok itu memutar tubuhnya hingga berjengit saat bertatapan langsung denganku. Sosok itu yang kini ku ketahui adalah Daphne Greengrass tampak lebih terkejut dibandingkan dengan diriku. Suara pecah yang ku duga adalah suara pecahan dari sebuah gelas pun menggema di seluruh ruangan menara ketua murid.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku yang di jawabnya dengan tatapan bingung sekaligus panik.
"Hermione, kau sudah bangun?" Panggilan Draco menginterupsi perhatianku saat ia muncul dari balik pintu masuk menara ketua murid.
"Kenapa kau balik lagi?" tanyaku.
"Ada perkamen yang tertinggal di kamarku dan… hey, bukankah sudah ku bilang untuk beristirahat saja?" karena aku tak kunjung memberinya jawaban ia menghampiriku dengan ekspresi bingung di wajahnya. Belum sempat ia bertanya apa yang terjadi padaku matanya mengikuti arah pandanganku dan langsung menangkap sosok yang sebelumnya sempat mengambil alih perhatianku sepagi ini. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Daphne tampak semakin kebingungan saat di berikan pertanyaan yang sama dengan intonasi nada yang nyaris sama juga.
"Bagaimana bisa kau masuk ke menara ketua murid? Dan apa itu?" mata Draco dan Daphne menatap pecahan gelas yang berisi cairan biru yang kini berserakan di lantai dapur. "Jawab aku, Greengrass?!"
Tepat setelah aku membentaknya ia pun mengacungkan tongkatnya ke arahku yang dengan segera dibalas Draco dengan mengeluarkan tongkatnya juga. Draco menarik tubuhku hingga aku melipir dibelakang tubuhnya. "Kau takjub mengetahui aku bisa masuk ke menara ketua murid bukan?"
"Daphne, letakkan tongkatmu. Kau tak berhak mengacungkan tongkatmu di lingkungan Hogwarts." Bukannya menuruti perintah rekan se asramanya Daphne malah tertawa.
"Tidur dengan seorang darah lumpur juga tak berhak saat kau sudah memiliki tunangan, Draco. Reducto!"
Draco sempat menangkis mantra penghancur itu sebelum mengenai tubuh kami. "Daphne! Kau sudah gila!"
"Aku tak gila Draco, tapi adik ku lah yang kini menggila di St. Mungo karena ulah kalian berdua! Tak seharusnya aku diam saat mendengar ceritanya tentang kau yang tidur bersama wanita jalang ini!"
"Daphne, jaga omonganmu!"
"Aku tak perlu menjaga omonganku, Draco. Aku di lahirkan di keluargaku memang untuk mengintimidasi Mudblood sepertinya. Aku tak tahu kalau hubungan kalian sudah sampai tahap menjijikkan seperti itu. Draco, mungkin kau ingin menceritakan semuanya versi dirimu? Ah… tapi sepertinya kau tak perlu melakukan itu." Tanpa ku sadari saat Daphne hendak melontarkan mantra ke arah kami lagi, tanganku sudah menggenggam tongkatku (mungkin ini karena aku veteran perang, sehingga aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini). Draco masih berusaha menepis semua mantra yang Daphne ucapkan hingga aku berhasil membuat tubuh Daphne kaku hingga ia terjatuh di lantai. Tak lama berselang Kepala Sekolah muncul dari perapian, mungkin ia menyadari kalau ada mantra terlarang yang sedang digunakan di sekolah.
"Ada apa in— oh, Merlin… Mr. Malfoy?" Kepala sekolah menghampiri kekacauan yang baru saja terjadi. "Apa yang terjadi?"
"Dia mencoba meracuniku, Profesor." Jawab Draco santai yang membuatku langsung menatapnya kaget. Tak jauh berbeda denganku Profesor McGonagall juga begitu kaget dengan jawaban Draco, "Dan dia juga berusaha melemparkan mantra kutukan ke arah kami." Tambahnya lagi.
Kali ini Kepala Sekolah menghampiri tubuh Daphne yang masih terbujur kaku di lantai. "Oh, Demi Merlin… bantu aku membawanya ke Hospital Wings, setelah ini kalian berdua, ah tidak… kau saja Mr. Malfoy, ikut denganku ke kantorku."
Draco menyanggupi permintaan kepala sekolah sementara aku masih bergeming di tempatku.
Ia tahu?
-o0o-
"Draco, kau tahu?" Tanya ku memburu sesaat setelah aku melihatnya keluar dari Hospital Wings, aku tak dapat menunggu diam saja di ruangan rapat. "Draco…"
Ia membalik badannya hingga menghadapku. "Aku harus ke ruangan kepala sekolah dulu, setelah itu aku akan menceritakan semuanya padamu."
"Draco…" dia berjalan mendahuluiku sementara aku masih mencoba mencerna semua perkataannya.
-o0o-
"Hermione, kenapa kau baru datang? Kau tak apa? Mana Draco?" aku mengangguk lalu menggeleng menjawab pertanyaan Blaise. Tapi tentu saja Blaise tidak puas hanya dengan gelengan kepalaku sebagai jawabannya. Ia berpindah tempat duduk di sebelah kananku dan sedikit membungkukkan badannya. "Apa yang terjadi? McGonagall tiba-tiba saja meninggalkan ruangan rapat setelah kilatan hijau menghiasi dinding Hogwarts. Aku tahu bahwa sebuah mantra terlarang sedang di rapalkan oleh tongkat seseorang. Apakah kau melemparkan kutukan tak termaafkan kepada kekasihmu?" Bisiknya(namun terdengar seperti tidak berbisik) yang membuatku mengernyitkan alis mataku.
"Blaise?" pekikkan ku tampaknya membuat para Prefect kini ikut tertarik dengan pembicaraan kami. Aku berdehem sebelum menjawab pertanyaan Blaise. "Mana Harry?"
"Potter? Ia menyusul Draco karena Draco terlalu lama sampai akhirnya McGonagall juga menghilang. Hermione sebenarnya apa yang terjadi? Apa Potter dan Draco berduel? Arghh!" Akhirnya. Aku bisa menutup mulutnya yang berisik itu dengan mendampratkan perkamen yang ada di meja ini padanya.
"Draco dan Harry tak kan melakukan itu meskipun aku yang memintanya, dan berhentilah membuat spekulasi yang aneh-aneh karena aku tak bisa membayangkannya apabila hal itu benar-benar terjadi, Mr. Zabini."
"Hermione?" Tepat setelah aku menyemprot Blaise dengan omelanku Harry membuka pintu ruangan sambil terengah-engah dan segera berlari menghampiriku. "Kau tak apa-apa?" Aku mengangguk mengiyakan. Harry memeriksa sekujur tubuhku dengan kacamatanya yang nyaris lepas karena begitu cepatnya ia menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki ku.
"Potter, kenapa kau terengah-engah seperti itu? Darimana saja kau? Mana Draco? Bukankah Kepala Sekolah menyuruhmu untuk menyusulnya?" Harry terduduk lemas setelah aku menjawab kekhawatirannya dan tak mempedulikan pertanyaan Blaise.
Sama dengan pertanyaan yang dilontarkan Blaise sebelumnya, aku yakin Harry memikirkan hal yang sama dengan Blaise karena kilatan hijau yang terjadi di dinding Hogwarts tadi.
"Ada apa dengan kalian? Kenapa kalian begitu heboh?" Tanya salah satu Prefect.
"Kenapa kalian begitu heboh dengan urusan kami?" Prefect yang ku ketahui dari asrama Ravenclaw itu terdiam mendapat sindiran dari Blaise, sehingga ia memutuskan untuk kembali sibuk dengan perkamennya. Blaise kini pun menuntut jawabanku, begitu juga dengan Harry yang sudah nyaris membuka mulutnya sampai tiba-tiba pintu ruangan kembali terbuka memunculkan sosok kepala sekolah dan pria yang sedari tadi aku, Blaise dan Harry khawatirkan.
"Kalian mau tahu apa yang baru saja terjadi?" Mereka berdua mengangguk layaknya bocah yang akan di berikan es krim. Aku sedikit menundukkan tubuhku hingga Harry dan Blaise harus berupaya menajamkan pendengaran mereka. "Kalian bisa menanyakan hal itu padanya langsung."
Pandangan mata Blaise dan Harry seketika mengikuti arah ibu jariku yang menunjuk pria di sebelah kiriku yang kini sudah duduk dengan tenang seolah tak terjadi apapun. Ia menoleh ke arah kami.
"Ada apa?" Tanyanya santai.
See?
Santai seolah tak terjadi apapun.
"Maafkan aku yang tiba-tiba meninggalkan ruangan rapat ini, sampai dimana kita tadi?" Rapat pun kembali di mulai setelah kepala sekolah pun berkata seolah tak terjadi apa-apa.
Aku benci dengan situasi ini.
Situasi dimana aku seolah-olah bukan bagian dari apa yang baru saja terjadi di menara ketua murid tadi. Seolah aku hanya sebuah lukisan hidup yang tak berhak tahu atau berhak mengatakan apapun.
Dan aku benci dengan situasi dimana aku harus terlalu banyak menggunakan kata 'seolah' di setiap spekulasi ku.
-o0o-
"Ginny,"
"Oh, Hermione apa yang membawamu kesini?" tanpa mengatakan apapun lagi aku segera memeluknya. "Apa yang terjadi?" tanyanya terdengar panik.
"Maafkan aku..." aku melepaskan pelukanku dan Ginny menggiringku duduk di sofa yang terasa hangat meskipun perapian tidak menyala di ruangan rekreasi asrama kesayanganku yang sebentar lagi akan ku tinggalkan selamanya.
"Ada apa Hermione?" Ginny merapalkan mantra Muffliato.
"Aku berbohong dan sempat berburuk sangka padamu." Ucapku yang berusaha menahan rasa bersalahku serta air mata yang tampaknya hendak mengalir keluar dari pelupuk mataku.
"Memangnya apalagi yang tengah kau sembunyikan dariku?" Tanya Ginny yang kini tampak menuntut penjelasan.
"Maafkan aku... saat kau mendapati aku dan Harry di depan pintu masuk asrama Slytherin sebenarnya kami sedang mengikuti seseorang berjubah hitam yang mencurigakan. Aku katakan mencurigakan karena sebelum aku... arghhh, bagaimana aku merangkainya?" aku menggigiti kuku ku dan bingung dengan pikiranku sendiri, sementara Ginny masih sabar menunggu kelanjutan ceritaku. "Begini, sebenarnya malam itu Draco hampir saja mati karena keracunan makanan dan mengeluarkan buih dari mulutnya,"
"Apa?!" Ginny menangkupkan kedua tangannya ke mulutnya yang menganga lebar karena begitu terkejutnya mendengar berita mengenai hampir tewasnya keturunan Malfoy itu.
"Aku akan melanjutkan, so aku sangat panik dan meminta bantuan Ron untuk membawanya ke Hospital Wings, kau pasti tahu kalau saat itu aku tengah berpatroli dengan Ron," Ginny mengangguk, "setelah Madam pomfrey berhasil menangani keadaan Draco, Harry pun menyusul Ron seperti yang kau katakan di lorong saat itu. Kami memutuskan untuk merahasiakan hal ini dari siapapun."
"Termasuk padaku?" aku mengangguk menjawab pertanyaan Ginny. "Blimey..." umpatnya yang sempat membuatku kaget tak percaya. Aku tahu Ginny pasti kecewa dengan keputusanku.
"Dengar, Ginny. Aku tak tahu harus berbuat apa saat itu. Draco keracunan makanan yang aku... tidak, bahkan Draco sendiri tak tahu darimana asalnya racun itu. Dan perlu kau tahu Draco keracunan makanan tepat setelah ia makan malam bersamaku dan Harry. Dan aku siap kalau kau marah padaku saat ini, aku sempat menaruh curiga menuduhmu sebagai pelakunya?"
"Apa?! Pelaku? Maksudmu... Oh, Merlin... Hermione? Dimana akal sehatmu?" Ginny seperti tampak tak terima dengan pemikiranku. Tentu saja ia bersikap seperti ini padaku sekarang, ia pasti tak percaya kalau aku yang sudah dianggapnya sebagai bagian dari keluarganya sendiri malah menganggap dirinyalah pelaku yang meracuni makanan Draco.
"Gin, maafkan aku..."
"Aku memaafkanmu selalu, Hermione. Tapi apakah kau tak pernah berpikir? Kau selalu menggunakan akal sehatmu dengan otak encer mu itu, seharusnya kau berpikir kalau aku tak mungkin melakukannya. Dan asal kau tahu Hermione, aku bisa saja meracuni Draco saat Bibi gilanya itu mencoba menyerangku dan Molly saat perang kegelapan." Ginny tampak kesulitan mengatur nafasnya yang kini tengah memburu.
"Aku... aku tahu itu, Gin..." wajah Ginny memerah karena terlalu sulit baginya menahan emosi agar tak meledak di depanku. Aku menggenggam tangannya yang membuat tatapan kami saling bertemu. "Maafkan aku Ginny, bukan hanya karena makanan itu saja. Tapi... jubah itu."
"Huh?"
"Sosok berjubah itu lebih dominan mengarah pada ciri-ciri dirimu." Lanjutku.
"APA?!" Kali ini keterkejutan Ginny lebih tak biasa lagi. Aku yakin kali ini ia akan mengira kalau aku benar-benar ingin menusuknya dari belakang.
"Haha... Hermione apa yang ada di pikiranmu hingga kau berpikir kalau akulah si sosok berjubah sialan itu?" Ginny tampak mulai tampak tak bisa membendung emosinya, aku ketakutan melihat dirinya saat ini hingga aku menciut di sofa.
"Ginny aku sudah meminta maaf padamu, aku kini tahu siapa pelakunya. Tapi sebelum Greengrass sialan itu mengaku aku selalu mawas diri terhadap dirimu. Maaf Gin, tapi itu hanya bentuk perlindungan diriku saja. Aku tahu kau tak mungkin melakukannya, aku hanya... saat itu pikiranku tentang ucapan Ron yang mengatakan kalau ia melihat kau tengah menghempaskan jubah di balik tiang sesaat sebelum kau menegurku dan Harry malam itu benar-benar membuatku frustasi. Di tambah lagi Ron berkata kalau kau sering keluar-masuk asrama Slytherin karena Blaise memberitahukan mu password untuk dengan mudahnya memberikan mu akses keluar-masuk kesana."
"Merlin..." Ginny tertawa. Bahkan wajah merah karena emosinya menghilang hanya dengan tawanya itu saja. Aku mengira Ginny mulai gila setelah mengetahui kalau aku orang yang paling dipercayanya mengkhianati dirinya. Ia menepuk lenganku kelewat kuat sampai aku menyembunyikan ringisan kesakitanku. "Soal jubah? Hahaha... aku justru ingin menanyakan jubah itu pada kalian yang tengah mengendap-endap di depan pintu masuk asrama Slytherin. Tapi karena aku tahu alasan kalian saat itu dan aku merasa ada yang tengah kalian sembunyikan dariku makanya aku mencoba untuk tak menanyakannya. Aku menunggu saat-saat kalian akan menceritakannya padaku, tapi hingga detik ini, hingga kau menceritakannya padaku, aku masih tak percaya kalau aku sudah seperti pemeran utama dalam drama yang tak tahu peranku sendiri di drama itu."
Aku seperti mengenali kalimat terakhirnya.
"Entahlah Gin, aku hanya ingin mengkonfirmasinya sendiri tanpa melibatkanmu, karena aku tahu kau akan semeledak ini apabila aku menanyakan hal itu langsung padamu."
"Lebih parah, mungkin." Ya, aku mengangguk setuju karena aku tahu itu. Ginny bisa saja meledak lebih parah dari saat ini kalau aku menanyakan soal jubah itu padanya langsung hanya sekedar untuk mengkonfirmasinya. Aku harus bersyukur karena ia masih bisa tertawa seperti saat ini di saat emosinya hampir meledak. Maksudku ia sudah meledak-ledak, tapi ah sudahlah.
"Jadi Greengrass pelakunya?" Aku mengangguk dan pundakku kembali merosot. Ginny menyadari perubahan sikapku. "Ada apa lagi?"
"Ia juga penyebab kilatan hijau di dinding Hogwarts pagi tadi." Ginny memelototkan matanya. "Ia, ingin menghancurkanku. Menghancurkan hubunganku dengan Draco." Lanjutku lemah dengan intonasi nada bicara yang semakin pelan dan tak bersemangat.
"Apa hubungan Greengrass gila itu dengan kalian berdua? Ah... adiknya..." Belum sempat aku membuka mulutku, Ginny malah menjawab pertanyaannya sendiri. Baguslah, karena aku sama sekali tak berniat mengatakannya.
"Greengrass senior itu bilang kalau adiknya kini tengah berada di St. Mungo karena masalah kejiwaan. Makanya Greengrass senior itu mencoba membunuhku walau ia tahu ia tak kan pernah berhasil." Aku dan Ginny terkekeh sejenak. Ku hela nafasku sebelum melanjutkan perkataanku. "Ia, adiknya maksudku... mengalami itu karena ia tak bisa menerima kenyataan kalau aku dan Draco memang memiliki hubungan yang lebih dari sekedar rekan sesama ketua murid saja. Akulah penyebab adiknya kini menggila di St. Mungo, Gin. Aku mengultimatumnya beberapa waktu lalu kalau aku tak pernah bermain-main dengan hubunganku dan Draco." Kedua tanganku menyibakkan rambutku kelewat frustasi. Ginny mengelus pelan punggungku.
"Draco milikmu." Ucapnya tiba-tiba yang membuat tubuhku tiba-tiba terasa kaku. "Dari awal ia memang milikmu. Pertahankan apa yang harus kau pertahankan. Aku yakin Draco benar-benar tengah mengusahakan sesuatu yang tak kan pernah kau duga."
Mendengar perkataannya dan tatapannya yang hangat seolah tengah membantuku mengisi tenaga agar bibirku saat ini berhasil melengkungkan senyuman.
"Aku senang menghabiskan seluruh waktuku untuk bercerita denganmu, Gin." Ginny merentangkan kedua tangannya yang langsung membuatku menyelusup ke tubuhnya dan di tutup dengan pelukan hangat darinya. Semua yang ia lakukan terasa hangat walaupun ia sempat marah padaku, aku pahami itu. "Ah... dan kau harus tahu, Ron memberikanku restu mengenai hubunganku dengan Draco meskipun ia berkata kalau ia butuh waktu." Aku teringat mengenai hal itu di tengah-tengah pelukan kami yang membuat Ginny mendorong bahuku pelan sebelum akhirnya memelukku lagi.
"Benarkah? Ah... senangnya..." Ginny tampak lebih excited dibanding diriku, ia melepaskan pelukan namun tiba-tiba senyumnya menghilang. "Walaupun begitu dia benar-benar ular, bagaimana bisa ia sempat beranggapan kalau akulah yang mencoba menghabisi nyawa Draco. Dia abangku? Huh! Yang benar saja... "
"Tentu saja ia abangmu Gin..." ia mendengus kesal namun aku malah tertawa melihat ekspresinya yang sangat mirip dengan Molly.
Aku tak kan pernah menyesal melepas sahabatku, Harry menghabiskan seluruh hidupnya bersama wanita ini.
"Aku menyayangimu, Gin."
"Aku tahu itu namun ucapanmu itu tak kan berhasil membuatku menghilangkan rasa kesalku padamu. Dan pada Ron juga tentunya, aku bersyukur dia tak menjadi suamimu kelak."
"Aku tahu... aku akan menjadi budakmu saat kau memiliki Potter Potter lain di kehidupanmu bersama Harry kelak." Godaku balik.
"Kau gila?" pekiknya yang ku balas dengan ledakan tawa tak terbendung.
Lega rasanya.
Lega memiliki Ginny di sisiku.
Lega karena aku dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi sekaligus mencintaiku. Dan aku juga lega karena Ginny menyadarkanku kembali kalau Draco benar-benar nyata dalam hidupku.
"Draco milikmu."
Ahhh...
Rasanya aku akan menyimpan memori ku berbincang bersama Ginny saat ini dan memutarnya kembali di Pensive saat aku menggila kelak.
-o0o-
"Done!" Ginny tampak riang dengan hiasan yang sudah berhasil di gantungnya secara sihir di langit-langit aula besar. Aneka bentuk juga warna-warni dari balon helium dan beberapa kristal buatan yang berbentuk wajah-wajah murid tingkat 7 pun kini mengambang di atas kepalaku. Hiasan yang di atas kepalaku itu adalah hasil dari sihir yang keluar dari tongkatnya dan beberapa tongkat Prefect tingkat 7 lainnya, walaupun ia masih murid tingkat 6 tapi kemampuan perapalan mantra nya sangat bagus. "Aku tak tahu kalau aku akan sebahagia ini hanya dengan menghias ruangan…"
"Tentu saja kau tak tahu, itu karena kau tak pernah membantu Molly menghias rumah di setiap acara Natal maupun acara-acara yang lainnya. Kalau kau melakukannya di rumah, aku yakin bukan cuma kau saja yang bahagia…" tandas Ron yang membuat Ginny mendengus kesal dan mengayunkan tongkatnya hingga menjatuhkan beberapa hiasan tepat di atas kepala kakaknya itu. Aku tak tahan melihat Weasley bersaudara ini dan mereka juga berhasil menghiburku sampai akhirnya sosok Draco yang sedang membantu Blaise menyingkirkan meja-meja tertangkap lagi dengan mataku.
Aku merutuki mataku yang terlalu cepat menyadari keberadaannya meski tanpa ku perintahkan. Seolah mataku sudah di takdirkan untuk mengetahui setiap keberadaan pria itu saja. Dan seolah(aku menggunakan kata ini lagi, bloody hell) ia memiliki sensor di tubuhnya yang memberitahukan kalau aku tengah menatapnya, Draco pun mengangkat pandangannya hingga bertatapan dengan pandanganku. Ia tersenyum. Terlalu merekah, senyumannya tampak terlalu berlebihan hingga aku merasakan pipi ku memanas.
Pikiranku meliar entah kemana karena aku teringat pembicaraanku dengan Ginny beberapa waktu lalu.
Panik.
Aku segera mengalihkan pandanganku pada bunga-bunga yang tengah ku susun untuk digantungkan di setiap sudut ruangan.
Tapi dengan bodohnya aku kembali melirik ke arahnya yang kini malah semakin intens menatapku. Aku semakin gerah seperti tengah berada di gurun hingga bisa ku rasakan pipiku yang siap meledak karena terlalu memerah dan panas saat tanganku mencoba meredakan rona di wajahku(seolah bisa saja), namun Blaise tampak tak senang melihat Draco yang diam saja tak membantunya mengangkat meja hingga Blaise pun memukul kepala Draco dengan tongkatnya, Draco terlihat mengeluh kesakitan. Namun aku yakin Draco hanya terlalu berlebihan karena tak mungkin Blaise memukul kepala Draco terlalu keras dengan tongkat sihir berharganya itu.
"Kau sakit?" Tiba-tiba Harry sudah berada di depanku dengan tangannya yang menempel di keningku. "Wajahmu memerah tapi suhu tubuhmu tampak normal. Apa kau baik-baik saja, Hermione?"
"Tentu saja ia tak baik-baik saja, Harry. Ia tengah menyusun bunga-bunga yang ku yakini beracun karena ia terus menerus tersenyum seperti pasien rumah sakit jiwa di St. Mungo itu." Ginny kini memonopoli pertanyaan Harry dan di jawabnya dengan jawaban yang tak pernah ku duga sebelumnya. Aku tak sadar kalau kini bibirku tengah melengkungkan senyuman. Dan hey…
"Aku bukan pasien rumah sakit jiwa, Mrs. Potter."
"Hey! Harry masih belum melamar adikku." Bantah Ron yang langsung membuat Ginny salah tingkah dan Harry yang kini mundur menjauhi kami. Aku dan Ron tertawa puas melihat ekspresi wajah Ginny dan Harry sebelum menghindar tadi.
"Ms. Granger? Adakah yang melihat Ms. Granger?"
"Profesor Slughorn?"
"Oh, there you are…" Ia tampak menyadari keberadaanku setelah aku mengacungkan tanganku dan dengan segera ia menghampiriku. "Kepala sekolah mencarimu dan menunggumu di ruangannya." Aku mengangguk lalu Profesor Slughorn pun berbalik. Aku tak tahu mengapa hanya untuk menyuruhku menemui kepala sekolah saja ia sampai repot-repot mencariku, padahal ia bisa menyuruh murid lain untuk menyampaikan perintah itu.
Tak lama setelah aku menyelesaikan 'monolog ria' dengan diriku sendiri itu tiba-tiba ia kembali menoleh dan berbicara lagi denganku. "Ah, aku hampir saja lupa… dan Ms. Granger setelah itu bisakah kau menemuiku di ruanganku? Ada yang ingin kutanyakan padamu."
Aku sedikit ragu untuk mengiyakan permintaannya, jadi aku memutuskan untuk mengetahui apa niatannya untuk menyuruhku menemuinya di kantornya. "Tapi Profesor, maaf kalau aku lancang bisakah aku tahu anda ingin menanyakan tentang apa padaku, Profesor?"
Ia tertawa sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. "Kuali meledak."
Hanya dengan mendengar dua kata itu saja isi perutku tampaknya sudah hendak keluar dari mulutku. "Ba-baiklah, Profesor."
Ia masih tersenyum. Bicaraku gagap seketika yang di tutup dengan lambaian tangan Profesor Slughorn kepadaku dan kepada murid-murid yang lainnya. Tubuhku lemas seketika hingga aku terduduk di meja panjang yang sebelumnya ku duduki.
Harry kembali menghampiri ku, begitu juga dengan Draco dan Blaise yang kini menatapku khawatir dari kejauhan sana.
"Hermione ada apa?" tanya Harry dan Ginny yang berusaha mengorek informasi dariku.
"'Kuali meledak' katanya?" kini ucapan Ron kembali membuat isi perutku bergejolak.
Apa jangan-jangan Profesor Slughorn sudah tahu kalau aku yang meledakkan kuali itu?
Apakah kepala sekolah memanggilku ke ruangannya hanya untuk membahas hal ini?
Dan apakah karena hal ini aku akan terancam tidak bisa lulus dari Hogwarts?!
Ya Lord!
Apakah aku harus mengulang satu tahun lagi di sini?!
Itu kalau nasibku bagus, bagaimana kalau aku tak bisa menyelesaikan sekolahku baik di Hogwarts maupun di sekolah sihir lainnya hanya karena kuali meledak sialan tempo hari itu?
"'Kuali meledak'?" ulang Harry yang entah mengapa aku ingin sekali menyumpali mulut mereka dengan bunga-bunga ini. "Apa hubungannya dengan Hermione?"
"Jangan tanya." Balasku sebelum akhirnya aku sadar dari monolog ria-ku dan berjalan dengan frustasi keluar dari aula besar.
"Ada apa dengannya?" pertanyaan Ron masih dapat terdengar jelas oleh telingaku.
"Jangan tanya." Jawaban Ginny dan Harry yang berbarengan itu pun masih bisa ku dengar hingga akhirnya aku tak mendengarkan percakapan mereka lagi.
Merlin, aku tak pernah menyangka kalau masalah kuali sialan itu bisa berakhir dengan didepaknya aku dari sekolah.
Arghhh!
-o0o-
Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu?
Haruskah aku lari saja dan tak pernah kembali ke Hogwarts?
Lantas bagaimana dengan kelulusanku?
Argh!
"Ms. Granger, kenapa kau masih berdiri? Silahkan..." kepala sekolah mempersilahkanku duduk yang tanpa kusadari ternyata ia sudah memandangiku bingung sedari tadi.
Ia meneguk minumannya begitu juga denganku. "Well Ms. Granger, apa kau tahu mengapa kau berada di ruanganku saat ini?"
Merlin...
Seolah aku tahu kemana arah pembicaraan ini aku berdehem dan sedikit merapikan rambutku yang aku sendiri tak tahu apa manfaatnya apabila aku melakukan itu.
"Emm... kuali meledak?" Tanyaku berhati-hati.
Saat ini aku sudah mempersiapkan imanku apabila kepala sekolah benar-benar berniat mengeluarkanku dari Hogwarts hanya karena insiden kuali meledak itu.
"Kuali meledak?" Ulangnya. Aku mengamati gerak-gerik Profesor McGonagall yang malah terlihat bingung. Bingung bukan karena itu jawaban yang ia harapkan dari pertanyaannya.
"Maksud anda..."
"Begini Profesor, saat awal semester aku melakukan kesalahan yang kini benar-benar sangat-sangat kusesali. Aku akan mengakuinya," sembari memejamkan mata aku menarik nafasku sebelum mengatakan yang sebenarnya pada kepala sekolah, "Kuali meledak itu, akulah penyebabnya Profesor. Aku menggunakan mantra untuk segera mengakhiri kelas Profesor Slughorn saat itu, dan aku tak tahu mengapa aku melakukannya, aku hanya..."
Ku beri jeda sedikit untuk menunggu tanggapan dari kepala sekolah, bahkan helaan nafasnya saja tak ku dengar saat ini. Jadi aku memicingan mataku untuk mengintip apa yang tengah kepala sekolah lakukan.
"Profesor?" Profesor McGonagall tampak shock setelah mendengar perkataanku.
Kenapa ia berekspresi seperti itu?
Bukankah ia sudah tahu kenyataannya bahwa yang penyebab kelas ramuan tingkat 7 tempo hari itu berakhir karena aku?
Tak seharusnya ia terkejut seperti itu untuk mendengarkan pengakuanku, bukan?
"Profesor?" panggil ku sekali lagi dan akhirnya ia bergeming.
"A-apa yang anda bicarakan tadi?"
Huh?
"Begini Profesor, aku tahu mungkin anda tengah berniat memberitahukan ku kalau anda akan mengeluarkanku ke sekolah karena insiden kuali meledak itu maka dari itu aku melakukan pengakuan saat ini juga agar kau tahu maksud dan tujuanku meledakkan kuali Profesor Slughorn saat itu." Jelas ku dalam satu tarikan nafas hingga saat ini nafasku tersengal-sengal.
"Maaf Ms. Granger..."
Selesai.
Selesai sudah.
Bahkan Profesor McGonagall meminta maaf padaku karena ia sudah tak mau mendengarkan penjelasanku lagi.
"Apa yang kau bicarakan? Mengeluarkanmu dari Hogwarts? Dan apa pula kuali meledak itu?"
"Ya?"
Ada apa ini?
Kenapa...
"Begini Ms. Granger, seharusnya kau memberikanku kesempatan tadi saat aku menanyakan apa maksudmu berbicara mengenai kuali meledak. Aku bertanya apa kau tahu kenapa kau berada di ruanganku saat ini adalah untuk membahas kejadian di menara ketua murid tadi pagi. Bukan kuali meledak." Oh, sial. Ternyata ia tak bermaksud membahas hal itu. Malunya aku... "Sekarang, kau harus menjelaskannya padaku... tapi aku tak ingin mendengar penjelasan mengenai kuali meledak itu."
Merlin di saat-saat seperti ini bahkan Profesor McGonagall mencoba menggodaku.
Mungkin urat malu ku benar-benar sudah putus.
"Beberapa malam lalu aku menemukan Draco sedang berbaring di sofa ruangan rekreasi menara ketua murid. Saat itu aku baru saja selesai berpatroli dengan Ron, aku tak berpikir apapun selain mengira kalau ia hanya kelelahan, Draco maksudku. Sampai akhirnya aku melihat buih putih keluar dari mulutnya saat ia terbatuk. Aku panik, Ron yang saat itu tengah kembali ke asramanya pun ku teriaki agar membantuku membawa Draco ke Hospital Wings. Dan Madam Pomfrey mengatakan kalau Draco keracunan makanan. Aku sangat bingung, Profesor. Maksudku, Draco bukanlah sembarang orang yang dengan bodohnya memakan makanan tak lazim. Dan terakhir kali ia makan malam juga bersamaku dan Harry sebelum aku pergi berpatroli, ia tampak baik-baik saja karena makanan itu adalah beberapa makanan yang dibawa Harry dari asrama kami dan setelah aku kembali ke menara tidak ada nampan makanan lain di meja. Maka dari itu aku memutuskan untuk merahasiakan hal ini sampai aku mengetahui penyebab pastinya apa." Kepala sekolah tampak mengangguk paham mendengar penjelasanku, dan kepala sekolah juga tak terlalu mempermasalahkan keputusanku untuk menyembunyikan masalah ini darinya.
"Lantas apa yang terjadi dengan Ms. Greengrass? Mengapa aku harus menemukannya dengan keadaan terikat mantra dan kaku seperti itu?"
"Dia lah pelakunya, Profesor. Maksudku, di malam saat aku hendak kembali menuju menara ketua murid setelah aku membawa Draco ke Hospital Wings, tanpa sengaja aku melihat seseorang berjubah sedang berjalan dengan cepatnya. Aku mengikutinya dalam diam sampai akhirnya kusadari kalau aku tengah berada di depan pintu asrama Slytherin, saat itu Harry juga bersamaku. Dan ia melihatnya juga. Harry melihat sosok itu berakhir di asrama Slytherin ketika pintu itu akhirnya menutup rapat. Karena aku tak mau berakhir di Azkaban hanya karena mem-bombarda pintu asrama Slytherin-dan berkat saran Harry juga-akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke menara masih dengan rasa penasaran. Sampai beberapa hari kemudian saat aku terlambat bangun untuk rapat prefect saat itu..." aku agak memberi jeda pada bagian itu, hanya sekedar untuk memastikan ekspresi kepala sekolah saat ia tahu aku terlambat datang ke rapat hanya karena diriku yang terlambat bangun, "aku mendapati Greengrass yang sedang sibuk melakukan sesuatu dan memunggungiku di pantry. Greengrass kaget dengan kehadiranku dan menjatuhkan botol yang berisi cairan berwarna biru, dan aku sempat membawa cairan itu ke Madam Pomfrey saat aku membantu Draco membawa Greengrass ke Hospital Wings. Sesuai dugaanku, benar saja kalau cairan itulah yang sempat membuat Draco antara hidup dan mati. Dan juga, Greengrass sempat mengaku kalau ialah pelakunya sebelum ia melemparkan mantra penghancur ke arahku yang berhasil di tangkis oleh Draco."
"Dan kau memantrainya dengan mantra pengikat tubuh untuk mencegahnya merapalkan mantra kutukan tak termaafkan lainnya." Angguk ku setuju dengan kesimpulan penutup dari kepala sekolah setelah ia mendengarkan penjelasanku. Tapi...
"Maaf, Profesor. Tapi... bukankah Draco sudah menjelaskan semuanya padamu? Draco juga sudah bilang padamu kalau Greengrass itu mencoba untuk meracuninya saat kau muncul di menara ketua murid."
"Aku tahu itu, benar Mr. Malfoy sempat mengatakannya saat di menara ketua murid. Tapi saat aku meminta penjelasannya di ruanganku setelah kalian mengantarkan Ms. Greengrass ke Hospital Wings, Mr. Malfoy tak mengatakan apapun mengenai hal itu. Dia menyarankanku untuk menanyakan hal itu padamu saja, sementara ia menjelaskan yang lainnya."
"Menjelaskan yang lainnya?" ulang ku tak paham sementara kepala sekolah mengangguk. "Apa yang Draco katakan pada anda, Profesor?" tanyaku yang semakin bingung tak mengerti akan jalan pemikirannya Profesor McGonagall.
Ia menatapku intens.
"Semuanya."
Hanya dengan satu kalimat itu seolah aku sudah tahu apa saja yang sudah Draco katakan pada kepala sekolah.
Mataku mengerjap kelewat berlebihan.
"Semuanya?" tanyaku lagi.
"Semuanya kecuali penjelasan yang baru saja kau katakan tadi, Ms. Granger." Jawab Profesor McGonagall mantap.
-o0o-
Aku tak tahu apa lagi yang harus ku katakan. Apa lagi yang harus ku lakukan pun, aku tak tahu.
Kini aku tengah berada di bilik toilet wanita dan duduk di atas toilet duduk. Tentu saja toilet wanita, mana mungkin aku ke toilet pria. Suara Myrtle Merana yang sedang bersenandung dengan suara khas sumbangnya itu pun kini menggema di seluruh ruangan seolah ia tengah mengejekku.
Frustasi.
Kedua tanganku menangkup wajahku.
Tiba-tiba saja aku teringat akan janjiku untuk bertemu Profesor Slughorn di ruangannya.
Ku tekan flash button. Sengaja saja, agar Myrtle menghentikan senandungnya yang memekakan telinga itu. Ia mengumpat saat aku keluar dari toiletnya dan aku benar-benar tak memperdulikan hal itu.
Rasanya seperti hidupku akan berakhir tepat sehari sebelum acara kelulusanku saja.
"Semuanya."
"Semuanya kecuali penjelasan yang baru saja kau katakan tadi, Ms. Granger."
Percakapanku dengan kepala sekolah masih terngiang di kepalaku, belum lagi ditambah spekulasi ku dengan apa yang akan Profesor Slughorn katakan ketika ia membahas tentang kuali meledak itu. Seolah aku sudah bisa menebak bagaimana hasil akhirnya saat aku membahas masalah kuali meledak itu dengan Profesor Slughorn. Hal yang sama pasti akan terjadi seperti saat aku menjelaskan masalah tadi ke kepala sekolah.
-o0o-
"Oh, Ms. Granger... come in..."
Ia masih bersikap ramah padaku saat ia hendak mengeluarkanku dari sekolah?
"Good Actor, Profesor."
"Ya?" tanyanya yang tak ku sadari kalau baru saja aku mengucapkan isi kepalaku. Lucky me, ia tak mendengarnya begitu jelas karena aku hanya bergumam saja. Aku segera menggeleng dan Profesor Slughorn pun kembali ke pantry ruangannya sebelum kembali ke meja dan menyuguhkan secangkir teh hangat. Dari aromanya saja aku benar-benar yakin kalau ia baru saja memetiknya langsung dari kebun teh.
"Ms. Granger, aku ingin menanyakan sesuatu padamu, ku harap kau tak keberatan."
"Uh, baiklah Profesor." Tak ingin mengulangi kejadian di ruangan kepala sekolah tadi aku memilih diam saja sebelum Profesor Slughorn menyuruhku berbicara.
Merlin!
Apa teh ini mengandung cairan kejujuran?
Bagaimana kalau ia benar-benar ingin menguji kejujuranku?
Ya Lord!
"Ms. Granger, apa kau bisa membantuku mencari bahan praktek untuk kelasku?"
Tamat sudah!
Ia memintaku untuk mencari... eh?
"Y-ya Profesor? Mencari bahan praktek?" tanyaku ulang mencoba meyakinkan.
"Ya, bahan praktek. Maksudku saat kelas ramuan pada awal semester saat itu aku gagal membuat ramuan penumbuh rambut sehingga menyebabkan kualiku meledak. Aku tak tahu apalagi bahan yang harus ku lengkapi, aku terlalu tua untuk melakukan penelitian lagi."
Ramuan penumbuh rambut?
Merlin!
Rahangku nyaris saja lepas dari tempatnya!
Ramuan penumbuh rambut katanya?
"Eumm... itu... apakah Profesor, sepertinya anda salah orang kalau bertanya tentang ramuan, itu... a-apa sebaiknya aku memanggil Harry saja? Atau..."
Arghhh! Aku tak bisa berpikir jernih!
"Ms. Granger, aku sudah tahu kalau Harry jenius dalam kelas ramuan karena buku catatan Severus. Aku tak bisa mengandalkannya saat ini, hanya kau yang ada di pikiranku untuk membantuku menyelesaikan ramuan ini sebelum The Greatest Witches in Her Ages pergi meninggalkan Hogwarts." Entah harus terharu atau apa mendengarkan pernyataannya, aku benar-benar tak bisa mengutarakan apa yang ada di pikiranku saat ini. Ia kemudian menyerahkan perkamen berisi daftar nama bahan-bahan yang terkandung dalam ramuan penumbuh rambut sialan itu.
Tanganku begitu ragu untuk menerima perkamen itu. Namun aku tak sanggup melihat wajah Profesor Slughorn yang benar-benar mengharapkan bantuanku.
Akhirnya aku menerima perkamen itu dan mencoba menyanggupi permintaannya. "Akan aku periksa terlebih dahulu informasi mengenai bahan-bahan ramuan ini di perpustakaan, aku akan menyerahkan perkamen ini lagi kepada anda sebelum tengah malam." Wajah Profesor Slughorn seketika berseri mendengar jawabanku, ia hanya mengangguk menyetujuiku dan berterima kasih banyak padaku.
"Dan ada sesuatu hal juga yang ingin ku ceritakan pada anda saat ini, Profesor."
-o0o-
"Tidak ada yang salah dengan daftar bahan-bahan ramuannya... hanya akulah penyebab kekacauan saat itu." Desahan berat keluar dari mulutku saat aku merutuki diriku sendiri tentang kebodohanku saat meledakkan kuali ramuan Profesor Slughorn.
Perpustakaan tampak sepi karena semua murid pada sibuk dengan persiapan acara kelulusan esok, hanya aku dan Madam Pince sajalah yang berada di sini. Harry mengijinkanku absen dari kegiatan persiapan acara karena Profesor Slughorn yang meminta bantuanku. Maka aku dengan segenap perasaan bersalahku pun pasrah dengan permintaan Profesor Slughorn untuk membantunya menyelesaikan ramuan penumbuh rambut yang diidam-idamkannya itu.
Padahal aku sudah mengakui kesalahanku saat itu padanya, tapi ia sama sekali tidak berpikiran untuk mendepakku dari Hogwarts sebelum acara kelulusanku. Aku saja yang terlalu berlebihan hingga berpikiran seperti itu.
Kulirik jam besar di ujung ruangan dekat meja Madam Pince yang kini sudah menunjukkan pukul 6 sore. Sedari siang aku belum ada menyentuh makanan apapun, aku harus mengisi tenagaku sebelum melanjutkan kegiatan mencari bahan-bahan ramuan ini.
"Selamat sore, Madam Pince." Sapaku pada Madam Pince yang tampak serius membaca bukunya, ia hanya menurunkan kacamata bacanya sedikit dan membalas sapaanku.
"Sore, Ms. Granger. Apa kau akan kembali ke sini setelah makan malam?" aku mengangguk. "Baiklah, tapi kau harus tahu malam ini perpustakaan akan tutup lebih awal karena aku mencegah kemungkinan adanya murid-murid yang mencoba menerobos area baca terlarang untuk mencari tahu perapalan mantra terlarang untuk memeriahkan acara kelulusan kalian besok."
Aku meneguk ludah ku mendengar ucapannya yang terdengar seperti ancaman itu, padahal ia hanya memberitahukan ku saja. "Oh, baiklah Madam. Aku akan mengingat pemberitahuanmu, selamat sore." Kembali Madam Pince hanya menurunkan sedikit kacamatanya lalu kembali fokus dengan buku bacaannya.
Sepanjang jalan menuju aula besar langkahku semakin ku percepat agar aku bisa dengan cepat menyelesaikan makan malamku dan segera kembali ke perpustakaan, mengingat perpustakaan akan tutup lebih cepat kali ini.
"Oh, Ms. Granger..." langkahku terhenti tepat saat Madam Pomfrey baru saja menutup pintu Hospital Wings.
"Sore, Madam." Sapaku cepat lalu hendak berjalan kembali namun Madam Pomfrey menghentikan langkahku.
"Selamat sore juga Ms. Granger, apa yang membuatmu terburu-buru?" ia tampak penasaran dan aku hanya bisa menjelaskannya secara singkat. "Oh, begitukah?"
Aku mengangguk, "Kalau begitu aku pamit terlebih dahulu," lanjutku. Madam Pomfrey pun tersenyum dan berjalan berlawanan arah denganku. "Uh, Madam Pomfrey..."
"Ya Ms. Granger?" ia kembali menghentikan langkahnya dan menungguku melanjutkan berbicara.
"Bagaimana keadaannya?" Seolah sudah tahu aku menanyakan tentang keadaan siapa Madam pomfrey pun menghampiriku agar tak ada yang mendengar pembicaraan kami.
"Ia baik-baik saja."
"Bolehkah aku menjenguknya?" Madam Pomfrey menggeleng pelan.
"Ia sudah dibawa pulang oleh orang tuanya beberapa jam yang lalu saat Minerva memberikan surat peringatan pada orangtua gadis itu." Setelah mengatakan itu Madam Pomfrey menggenggam tanganku, "Kau tak perlu khawatir lagi Ms. Granger. Minerva sudah menyelesaikan urusanmu dengan gadis itu, bahkan dengan keluarganya juga."
"Anda sudah tahu?" Tanyaku kaget karena ia mengetahui semua permasalahanku dengan Greengrass.
"Aku healer di sini, apa yang tak ku ketahui tentang seorang murid yang tiba-tiba berada di Hospital Wings tanpa penyebab yang jelas?" Madam Pomfrey lalu tersenyum dan mengelus lenganku pelan.
"Maaf selalu merepotkanmu..." ujarku sambil tertunduk merasa bersalah.
"Oh, apakah ini waktunya mengucapkan kata perpisahan untukku? Bukankah acara kelulusan kalian besok?" Aku terkekeh pelan. Rasanya aku benar-benar berhutang banyak padanya. "Pergilah, kau bisa ketinggalan makan malam terakhirmu di Hogwarts."
Mendengar kata 'terakhir' selalu membuatku merasakan hal yang bercampur aduk di diriku. Aku menghambur memeluknya setelah mengucapkan kata terima kasih. Ia melambai saat aku mulai berjalan menjauhi Hospital Wings.
Aku benar-benar akan merindukan suasana seperti ini kelak.
Hogwarts, dan seluruh isinya...
-o0o-
"Ah... jadi Slughorn memintamu membantunya menyelesaikan ramuan penumbuh rambut? Blimey, aku yakin ramuan itu untuk dirinya sendiri." Kami terkekeh mendengar lelucon Ron sambil berjalan menuju asrama.
Karena semua meja panjang di aula besar sudah disingkirkan, jadilah hanya ada dua meja yang sangat panjang yang menyediakan makanan secara prasmanan di sisi kanan dan kiri aula, maka dari itu kami berjalan kembali menuju asrama masing-masing untuk makan malam sembari membawa makanan-makanan ini.
"Hermione..." panggil Draco yang kini berada di belakangku dengan tangan membawa nampan yang penuh makanan, "kau akan makan di asrama mu?"
"Tentu saja." Jawab Ron lantang yang alih-alih dijawab oleh ku. Draco tak memperdulikan jawaban Ron dan masih fokus menanyai ku.
"Tak bisakah kau makan di menara ketua murid saja?" tanya Draco lagi kali ini dengan wajah yang sangat serius. Aku tahu ini sangat aneh mengingat Draco sudah tak begitu canggung lagi mengajakku secara terang-terangan makan bersamanya di menara ketua murid di depan seluruh murid Hogwarts, bahkan beberapa dari mereka kembali sibuk berbisik di belakang ku.
"Aku akan kembali ke menara ketua murid setelah menyelesaikan makan malamku bersama mereka."
"Tapi ada yang ingin kubicarakan denganmu." Draco masih berusaha mengajakku makan bersamanya.
"Aku akan kembali. Kau duluan saja." Aku pun berusaha juga untuk memberinya pengertian dan mengijinkan aku menghabiskan waktu makan malam terakhirku di Hogwarts bersama rekan-rekan se asramaku.
"Kami tak kan menahannya kalau dia sudah selesai dengan kami. Kau tenang saja." Setelah Harry mengatakan itu wajah Draco pun akhirnya melunak.
"Kau―"
"Ya Draco, as soon as possible."
"Ok." Draco pun berbalik berjalan sendirian kembali ke menara ketua murid.
"Dia semakin posesif padamu meski kau hanya makan malam bersama sahabatmu." Sindir Ginny yang membuat Ron mengangguk setuju.
"Tapi sialnya aku suka itu."
Kini Ron menghentikan anggukan kepalanya dan menatapku ngeri.
"Kalian memang gila..." racaunya sepanjang jalan yang hanya bisa ku balas dengan kekehanku saja.
-o0o-
"Hermione, bagaimana dengan keadaan Greengrass bersaudara itu?" Tanya Ginny di tengah-tengah makan malam kami. Ron dan Harry pun menatapku tak sabar untuk mendengar jawabanku.
Sungguh, apakah mereka tidak punya pertanyaan lain selain itu?
Makan malamku benar-benar terasa hambar gara-gara pertanyaan itu.
Ku letakkan sendok makan ku sebelum menjawab, "Daphne, sebut saja namanya Daphne karena akan terlalu banyak Greengrass kalau kita hanya menyebutkan nama keluarganya saja. Kepala Sekolah sudah mengirimkan surat pemberhentian sekolah Daphne dari Hogwarts ke orangtuanya."
"Apa? Dia di keluarkan begitu saja?" tanya Harry tak percaya.
"Ia tak di keluarkan begitu saja, Harry... ada beberapa proses yang harus dilakukan dan karena bukti juga aksi sudah begitu kuat maka resmilah ia dikeluarkan dari Hogwarts. Setelah aku dan Draco membawa Daphne ke Hospital Wings, saat itu juga kepala sekolah meminta Draco menemuinya di ruangannya, dan mereka pergi ke kementerian sihir untuk meminta izin mengeluarkan surat pemberhentian sekolah itu. Surat itu langsung saja di setujui oleh para dewan menteri pendidikan sihir karena Daphne merencanakan pembunuhan dengan mencoba meracuni Draco, lalu ia juga menggunakan kutukan tak termaafkan di area sekolah dan merapalkan mantra itu ke arah ku dan Draco. Intinya dia menggunakan berbagai cara untuk membunuh rekan sesama murid di sekolahnya." Jelasku yang membuat Ginny dan Ron mengangguk paham.
"Percobaan Pembunuhan." Ujar Harry.
"Ya, seperti itu." Benar kata Harry. Kalau di dunia Muggle hal tersebut dikatakan sebagai percobaan pembunuhan.
"Lalu apa yang terjadi setelah mereka menerima surat itu?" lanjut Ginny yang masih mengorek informasi lebih dalam dariku.
"Sesaat setelah kepala sekolah mengirimkan surat itu orangtua Daphne langsung menjemputnya saat itu juga. Tak banyak yang tahu akan hal ini, awalnya aku hanya tahu soal surat pemberhentian itu saja sampai tadi sebelum aku menuju aula besar, aku tak sengaja berpapasan dengan Madam Pomfrey dan dia pun menjelaskan semuanya padaku kalau Daphne benar-benar telah di depak dari Hogwarts."
"Whoa... aku tak menyangka akan secepat itu mereka menjemput anak mereka."
"Dan kau juga harus tahu, Ron. Mereka sudah terlalu malu memiliki dua anak yang bermasalah. Ada anak kedua yang sedang di rawat di bangsal kejiwaan di St. Mungo, ditambah lagi masalah anak pertama mereka kali ini yang diusir dari Hogwarts karena melakukan apa yang kau katakan tadi Harry? Percobaan pembunuhan?" Harry mengangguk, "tentu saja mereka menjemputnya secepat itu untuk mencegah semakin banyaknya orang yang tahu dengan keadaan keluarga mereka." Aku mengangguk menyetujui penjelasan tambahan dari Ginny.
"Bloody hell, sepertinya hanya aku yang tak tahu kalau Greengrass kecil berada di St. Mungo."
"Kau memang selalu tak tahu apapun, Ron." Timpalku yang berhasil membuatnya merasa terintimidasi.
"Dan bagaimana hubunganmu dengan keluarganya? Bukankah pertunangan Draco dengan adik Daphne masih akan berlangsung?"
"Ginny, pertanyaanmu sungguh merusak selera makanku. Aku sudah selesai." Aku segera menyelesaikan makan malamku dan segera merapikan piringku.
"Kau mau kemana? Kita baru saja berkumpul..."
"Perpustakaan. Menyelesaikan permintaan Profesor Slughorn." Jawabku cepat setelah melambaikan tangan pada mereka yang masih menatapku kesal karena meninggalkan mereka begitu cepat.
"Bagaimana dengan Draco-mu?" teriak Ginny saat aku sudah hendak membuka pintu asrama.
"Ah ya benar... thanks Gin!"
Aku akan menemui Draco sebentar lalu kembali ke perpustakaan.
-o0o-
Ternyata aku tak bisa dengan cepat kembali ke perpustakaan.
Sesampainya aku di menara ketua murid Draco langsung berhambur memelukku seolah tak melihatku sekian ribu tahun lamanya.
"Ada apa?" aku membalas pelukannya.
"Selesai sudah..." gumamnya di balik rambutku.
"Apanya?" tanyaku lagi bingung dengan kelakuan dan ucapannya yang sepenggal-sepenggal itu.
"Menata aula besar untuk besok." Jawabnya akhirnya. Namun aku merasa tak puas dengan jawabannya yang terdengar aneh itu. Jadi aku melepas pelukan dan menatap mata kelabunya yang terlihat lelah itu.
"Ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?" bukannya menjawabku jemarinya malah menarik daguku hingga bibirnya pun melumat bibirku. Kurasa ia tengah mencoba menyerap energi ku dengan menciumku, karena kini tampaknya ia sangat bertenaga setelah seharian menata aula besar. Ia menuntun tubuhku hingga tertidur di sofa. Perlahan tangannya menelusup memasuki rok ku, jemarinya bermain di bagian tersensitif di tubuhku.
"Draco..." desahan kenikmatan pun tak bisa ku hindari. "Sehari saja kau tak melakukan ini padaku apakah kau akan mati?" godaku setelah ia berhasil mempermainkanku tadi dan kini tengah sibuk dengan kancing kemejaku.
"Tentu saja..." bisiknya menggoda di telingaku, "...karena kau lah aku bisa merasakan hidup."
Kini bibirnya menjelajah di setiap lekuk tubuhku, mencium leherku seolah tengah menghisap darahku, sementara tangannya kini dengan bebasnya bermain di dadaku.
Aku tak pernah sekalipun berpikir akan melakukan hal ini dengannya, dengan Draco. Tapi kini, Draco membawaku ke dimensi lain dimana aku juga merasakan kehidupan baru setelah bersamanya selama setahun terakhir ini.
"Hermione? Ada apa?" ia tiba-tiba menghentikan kegiatannya setelah mendapatiku tengah berlinangan air mata. "Hermione, apa aku melukaimu?"
Suaranya terdengar panik jadi aku terkekeh pelan mencoba menenangkannya, "kau selalu melukaiku, Draco." Ku kecup singkat bibirnya lalu ku kancingkan kembali bajuku. Draco mundur mengikuti posisiku yang kini sudah duduk di sofa.
"Hermione ada apa?" ia masih tak puas mendengar jawabanku, "Hermione?"
"Aku harus kembali ke perpustakaan. Profesor Slughorn benar-benar akan mengeluarkanku dari sekolah kalau saja aku tak segera menyerahkan perkamen ini padanya sebelum tengah malam." Draco memperhatikanku yang sibuk merapikan barang-barangku masuk ke dalam tas ku.
"Aku akan menemanimu."
"Aku hanya ke perpustakaan, Draco. Setelah menyerahkan tugas dari Profesor Slughorn itu aku akan segera kembali padamu."
"Tapi..."
"Sstt... istirahatlah. Besok hari yang sangat melelahkan, kau harus menyiapkan tenaga untuk acara besok." Tak ada sanggahan lagi darinya, maka aku memutuskan untuk segera bergegas ke perpustakaan karena jam sudah menunjukkan pukul delapan. Seperti yang dikatakan Madam Pince sebelumnya, perpustakaan pasti akan tutup dalam sejam lagi.
"Aku harus cepat..."
"Hermione? Kau..."
"Nanti saja, Blaise. Aku sedang terburu-buru." Blaise menatapku tercengang. Aku melambai padanya dan segera berlari bahkan sebelum ia menyelesaikan perkataannya.
Aku tahu Blaise pasti hanya akan menanyakan gaun apa yang akan ku kenakan besok atau berbagai macam pertanyaan tak penting lainnya. Dan aku sangat tahu itu tidaklah baik untukku karena menjawab atau melayani perkataannya hanya akan membuang-buang waktuku saja.
"Padahal aku ingin memberikannya ini..." gumam Blaise sembari mengangkat kantong kertas besar di tangannya.
-o0o-
"Selamat malam Profesor."
Akhirnya, setelah menyerahkan perkamen berisi daftar bahan-bahan ramuan penemu rambut itu aku bisa bernapas lega. Aku harus segera kembali ke menara ketua murid, kalau tidak Blaise yang sedang berpatroli malam ini pasti akan dengan senang hati memotong poin asramaku di akhir masa-masa kelulusanku.
Sesampainya di menara ketua murid, aku tak mendapati Draco di ruang rekreasi. Perapian masih menyala jadi aku melangkah ke perapian untuk memadamkan apinya lalu mataku menemukan sebuah post it (untuk kesekian kalinya) bertuliskan pesan yang sudah ku ketahui dari mana asalnya post it ini.
-Aku harus kembali ke Manor untuk menyelesaikan beberapa hal. Kau tak perlu berpikiran yang aneh-aneh lagi karena kali ini aku hanya pulang untuk mengambil Tuxedo ku dan jangan coba-coba untuk menyusulku ke Manor. Tidurlah. Sampai jumpa besok. Yours-
Well...
Walaupun ia menuliskannya dengan jelas di pesannya kalau ia hanya ingin mengambil Tuxedo-nya, entah mengapa aku masih tak bisa untuk tak berpikiran yang aneh-aneh.
Kuhela nafasku sebelum berjalan menuju kamar mandi. Berendam di air hangat mungkin akan menenangkan pikiranku.
Sembari menenggelamkan seperdelapan tubuhku di kolam pemandian ketua murid (yang sudah pasti akan ku rindukan nantinya selepas ku pergi) otakku terus berpikir.
Aroma bunga mawar pun membaui indra penciumanku.
"Hhh..."
Entah sudah keberapa kalinya aku menghela.
Ini semua karena pria gila itu yang terus-terusan membuatku berpikir.
Aku yakin sekali ada yang ingin dibicarakannya denganku kalau saja aku tak bergegas keluar menuju perpustakaan demi menyelesaikan permintaan Profesor Slughorn.
Apa ia benar-benar hanya akan mengambil Tuxedo-nya?
Bagaimana kalau Lucius menahannya di Manor mengingat hari peresmian pertunangan putranya sudah semakin dekat?
Atau bagaimana kalau Lucius kembali menyiksanya seperti saat aku melihatnya terluka parah untuk pertama kalinya saat di Hogwarts Express beberapa waktu yang lalu?
Bagaimana kalau kali ini Lucius tak memberinya ampun karena telah menyebabkan calon tunangannya berada di St. Mungo dan saudara calon tunangannya juga berada di Azkaban?
Dan yang lebih parahnya bagaimana kalau aku takkan pernah mendengar kabarnya lagi?
"Argghhh!"
Semua pertanyaan yang sudah pastinya Draco khawatirkan seperti yang ada di post it nya memang tak pernah bisa ku hindari.
Pikiran aneh-aneh ku segera memenuhi isi kepalaku sehingga semua pertanyaan itu pun muncul.
Hampir satu jam lebih aku berendam sembari berusaha untuk tak memikirkan hal-hal yang bisa merusak kejiwaan ku kalau seandainya semua pemikiranku itu terjadi.
"Aku harus apa?" racauku.
Aku sudah hendak menenggelamkan seluruh tubuhku ke air hingga sebuah kilatan yang hanya ada dalam pikiranku itu menyambar otakku.
"GAUNKU?!" susah payah aku bangkit keluar dari bak pemandian. Tanganku segera menggapai jubah mandiku setelah memastikan tubuhku sudah kering aku langsung bergegas menuju kamarku.
"Merlin, tak pernah sedetikpun aku berpikir mengenai gaun apa yang akan kukenakan besok!" dengan rambut yang masih setengah basah aku mengeluarkan semua isi lemari ku.
NIHIL!
Aku tak punya gaun apapun yang setidaknya memiliki warna merah atau emas yang mencerminkan jati diriku sebagai seorang Gryffindor.
Hanya sweater rajut yang memang dari Gryffindor-lah yang ku miliki. Sweater ini sangat Gryffindor sekali lengkap dengan lambang asramaku di bagian depannya, namun bisa ku pastikan aku memang pantas berada di St. Mungo kalau aku benar-benar mengenakan sweater ini ke acara kelulusanku besok.
"Kenapa aku tak pernah mengindahkan semua pesan Draco, huh?"
-o0o-
"Hermione? Hermione?! Merlin sadarlah..."
Suara yang ku yakini adalah suara Ginny Weasley itu benar-benar membuatku tersadar.
"Hermione, apa yang terjadi? Kenapa kau masih di sini?"
Di sini?
"Apa maksu―MERLIN!"
Belum selesai aku berbicara aku jugalah yang memotong perkataanku sendiri. Tubuhku terlonjak dari ranjang dan memperhatikan sekitarku dengan panik.
Aku ketiduran!
Bahkan jubah mandi masih melekat di tubuhku.
"Ini sudah pukul 10 pagi menjelang siang, Hermione. Apa kau tak berniat untuk lulus dari Hogwarts, huh?"
"Aku tahu itu dan kumohon jangan berkata seperti itu. Saat ini aku sedang panik karena aku belum menyiapkan gaun dan segala macamnya lagi untuk acara ini." Racauku sembari menuruni ranjang dan memasukkan kembali pakaian-pakaianku yang berserakan di lantai yang entah mengapa sekarang aku menyesal telah mengeluarkan semua isi lemariku.
"Apa maksudmu?" tiba-tiba Ginny bertanya seolah-olah ingin menambahi beban pikiranku saja. Aku menghela nafas ku dan menoleh ke arahnya.
"Aku belum menyiapkan gaunku, Gin."
"Lalu ini apa?" Ginny menyodorkan kantong kertas besar yang ternyata sedari tadi di pangkunya itu.
Aku berjalan menghampirinya dan meraih kantong kertas besar itu, "memangnya ini ap―" mulutku menganga seketika saat melihat ada sebuah kotak yang tak kalah besarnya di dalam kantong kertas ini. Ginny mengintip apa isi dari kotak besar itu dan ekspresinya tak sama denganku, ia cenderung terlihat biasa saja.
"Itu dari kekasihmu. Dia terlalu sibuk hanya untuk memberikanmu kejutan dan kau juga terlalu sibuk dengan urusanmu bersama Profesor Slughorn, maka dari itu Draco meminta bantuan Blaise untuk menyerahkan gaun itu tadi malam, namun kau malah mengabaikannya.
Aku merutuki diriku yang selalu saja terlalu cepat menyimpulkan suatu hal. Nyatanya Blaise malam itu tak berniat memperlambat urusanku untuk menemui Profesor Slughorn, justru ia berniat membantuku dan Draco.
"Kau harus meminta maaf padaku."
"Blimey! Blaise!" Beriringan dengan kalimat itu ternyata Blaise sudah bersandar di daun pintu kamarku dengan pose menyilangkan kedua tangannya. Ia tertawa melihat keterkejutanku.
"Kalau saat ini kau tak ingin meminta maaf padaku kau bisa melakukannya nanti saat pidato ketua murid di upacara pembukaan acara kelulusan nanti." Mataku mengerjap beberapa kali mendengar pernyataannya, "Saat ini kau benar-benar harus merapikan dirimu dan juga kamarmu, Hermione."
Mataku membelalak saat ia meraih sesuatu yang sangat ku kenali dari lantai kamarku. Bukannya membiarkan benda itu di lantai saja, Blaise malah memegang ujung benda itu dengan kedua ujung jarinya seolah benda itu adalah kantong kertas berisi sampah.
"Blaise! Enyah kau dari ruanganku!" teriakku malu setelah merampas benda yang dipegangnya tadi yang sialnya adalah bra ku. Tawa Blaise yang berlebihan masih bisa ku dengar bahkan setelah pintu kamarku tertutup rapat. "Kau juga, Gin... aku tak ingin mendengar tawa ledekanmu di sini."
Bukannya pergi Ginny malah membantuku merapikan ruangan, "Aku di sini untuk membantumu. Apa kau tak ingin bersiap-siap untuk acara kelulusanmu? Apa kau tak ingat harus menemui kepala sekolah untuk membicarakan pidato kelulusan kalian nanti?" aku termangu sejenak.
Ginny benar, kalau aku merapikan kamarku saat ini aku tak kan sempat lagi untuk menemui kepala sekolah.
"Baiklah, kali ini aku sangat butuh bantuanmu, selain itu aku juga butuh bantuanmu untuk gaunku nanti."
Aku tak tahu kalau aku baru saja meminta bantuan Ginny untuk berdandan.
Semoga saja ia tidak merusak riasan wajah ku nantinya.
-TBC-
A/N : Thanks a lot to all reviewer. Hai KRYSTAL (GUEST), salam kenal thanks buat reviewnya dan ya aku memang ambil beberapa kata-kata di keempat bukunya Orizuka, karena kalau kamu juga tahu karakter Rex sama Draco hampir sama untuk genre Fanfic seperti ini. Tbh aku koleksi ke semua buku dia, Orizuka Author-nim tentunya. Maka dari itu aku terinspirasi begitu banyak khayalan absurd untuk buat cerita versi fanfiction Harry Potter. Recommended beli dan baca buku karya Orizuka buat yang penasaran. Btw nice to know you Krystal, I know you so well.
Well, I hope you all still love and are waiting for this weird story in 1 more chapter to finale. Don't forget to leave your review, every single word from your review is meaningful for me. Thank you :)
