SAY SOMETHING ∞

Timeline:

Tahun ke-7 setelah perang usai.

Warning : After Hiatus, Newbie Author, Sebagian OOC, Typo(s), Absurd. Sorry for waiting too long. Do you miss me guys?

Disclaimer : J.K Rowling

The Story Owned By Me

-o0o-

I know you haven't made your mind up yet

But I would never do you wrong

I've known it from the moment that we met

No doubt in my mind where you belong

(Adele - Make You Feel My Love)

-o0o-

Chapter 12 : Because of Us

Draco's POV

"Selamat sore Mrs. Granger…" sapaku setelah pintu putih besar didepanku terbuka. Ku lihat mata Mrs. Granger membulat kaget.

"Malfoy, bukan?" tanyanya ragu, aku mengangguk.

"Yes Ma'am… Malfoy, Draco Malfoy…" aku mengulurkan tanganku namun Mrs. Granger langsung menarikku ke pelukannya. Hangat. Mengingatkanku pada Narcissa yang mungkin kini tengah menangis di Manor.

"Ah, maaf… masuklah…" ia segera melepaskan pelukannya dan mempersilahkanku masuk, "Hector sedang dalam perjalanan pulang, tea or coffee?" Mrs. Granger kini sibuk berkutat di dapur.

"Coffee…" jawabku sesopan mungkin sembari melihat foto-foto di dalam berbagai ukuran bingkai yang terpajang di salah satu dinding ruangan ini maupun di atas perapian, ruang tamu. Sebelumnya aku tak sempat untuk memperhatikan ruangan ini. Sangat rumah sekali. Aku tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata, yang jelas hal ini tak dapat ku rasakan saat berada di Manor.

Bibirku menyunggingkan senyuman saat memandang sebuah foto.

"Duduklah…" kaget lalu ku letakkan kembali bingkai foto itu di atas perapian, Mrs. Granger mempersilahkanku duduk sembari meletakkan 2 gelas cangkir kopi dengan asap mengepul. Ia duduk di seberangku dan mengamatiku dengan tatapan yang sangat mirip sekali dengan Hermione.

"Wow, ini enak sekali… thanks, Mrs. Granger…" aku tidak pernah merasakan kopi seenak ini bahkan di menara ketua murid.

"Jean, kau bisa memanggilku dengan Jean…" sahutnya masih dengan senyumannya yang indah. Tak lama ku dengar suara pintu mobil tertutup, "Ah… Hector…" Mrs. Granger berlari menuju arah pintu, tak lama ku lihat Mr. Granger memasuki rumah dan ekspresinya pun tak jauh berbeda dengan Mrs. Granger saat ia membukakan pintu untukku.

Aku bangkit dari duduk ku dan memberikan salam padanya.

"Malfoy?" tanyanya sambil menjabat tanganku.

"Rekan ketua murid putri kita, kau ingatkan?" Mr. Granger mengangguk sambil menyerahkan mantelnya ke istrinya.

"Selamat sore Mr. Granger…" sapaku.

"Sore, dimana Hermione?" tanyanya.

"Ah, aku datang sendirian. Hermione sedang sibuk dengan persiapan ujian NEWT, dan kebetulan ada yang ingin ku sampaikan kepada kalian." Mr. Granger mengangguk lagi namun ekspresi bingung terlihat jelas di wajahnya. Ia melirik jam tangannya lalu melihatku lagi.

"Kau ingin ikut makan malam bersama? Sepertinya pembahasan kita akan panjang…" aku melirik Mrs. Granger dan ia mengisyaratkan ku untuk menerima ajakan itu.

"Sure, Mr. Granger…" jawabku ragu yang malah membuat mereka berdua tertawa.

"Santai, young man… kau bisa memanggilku Hector…" Mr. Granger, atau kini aku hanya memanggilnya dengan nama depannya merangkulku dan menggiringku ke meja makan. Mrs. Granger yang juga kini ku panggil Jean mulai mengeluarkan piring-piring dan memanaskan menu makan malam.

Harus darimana aku memulainya?

Setelah cukup berbasa-basi, Hector mulai mempertanyakan kehadiranku yang tanpa diundang ini.

"Acara kelulusan Hogwarts, aku mengantarkan undangan ini secara langsung pada kalian…" aku menyerahkan amplop merah dengan lambang Hogwarts di depannya. Hector membuka dan membacanya sesaat yang langsung diteruskannya ke istrinya. "Aku juga ingin menyampaikan sesuatu, mungkin kalian akan membenciku setelah ini dan aku merasa itu pantas untukku…" lanjutku yang membuat wajah suami-istri ini semakin terlihat kebingungan.

"Apakah ini menyangkut putriku?" Tanya Hector.

"Apakah kau menghamilinya?" kali ini Jean yang bertanya dan aku benar-benar nyaris menyemburkan minumanku.

"Dear…" potong Hector tampak tak kalah terkejutnya dariku, "...Benarkah Malfoy?"

Merlin…

"Maaf, tidak seperti itu. Benar menyangkut Hermione, putri kalian. Tapi aku tidak menghamilinya. Aku masih punya prinsip sebagai pria." dapat ku dengar Jean menghelakan nafasnya lega. "Izinkan aku memulainya…"

"Silahkan…" aku menarik nafas panjang lalu menghelanya setelah Hector mempersilahkanku berbicara.

"Aku tahu kalian merasa tak asing dengan namaku. Aku tak tahu apakah Hermione sudah bercerita pada kalian tapi tampaknya kalian belum mendengar cerita apapun darinya. Malfoy, ayahku adalah Lucius Malfoy…" ku beri jeda sedikit dan mengamati reaksi mereka yang tentu saja masih bingung, "...kalau kalian ingat Voldemort, pasti kalian ingat insiden di tahun ke-7 Hogwarts putri kalian. Hermione pernah jadi buronan Voldemort karena membantu Harry Potter menghancurkan Horcrux, dan Hermione juga pernah disiksa oleh Bellatrix Lestrange yang sebenarnya ia adalah bibi ku."

Jean tak dapat menutupi keterkejutannya. Ia menangkupkan kedua tangannya untuk menutup mulutnya yang terbuka lebar.

"Apa maksudmu?" Nada bicara Hector mulai meninggi, aku tahu ia masih belum bisa mencerna penjelasan sepenggal ini dariku.

"Dari awal aku kembali ke Hogwarts untuk menyelesaikan tahun ke-7 ku dan sampai detik ini aku masih merasa bersalah akan hal itu. Aku sangat malu pada Potter dan yang lainnya, terutama pada putri kalian, Hermione. Aku bermaksud menebus kesalahanku dengan menghilangkan rasa gengsi ku untuk meminta maaf dan ampun dari Hermione, namun nyatanya aku malah jatuh padanya. Jatuh hati yang sangat tak ku duga. Aku pikir ini hanya perasaanku saja, sepihak. Nyatanya Hermione pun membalas perasaanku." Aku memberi jeda sejenak, mata Jean tampak berkaca-kaca tapi tidak dengan Hector.

"Sejak kapan? Sejak kapan kalian menjalin hubungan? Sejak libur natal kemarin?" Suara Hector masih dibalut emosi.

"Sejak awal tahun ke-7… sejak aku dan Hermione menjadi rekan ketua murid dan sering menghabiskan waktu bersama di ruangan ataupun di kegiatan yang sama. Awalnya aku hanya penasaran dengan isakan tangisnya di setiap malam, awalnya aku hanya ingin menjalin komunikasi yang baik dengannya, walaupun perang sudah usai tiap pagi dapat ku lihat wajahnya yang sangat lelah akibat kurangnya waktu tidur. Pada akhirnya aku tahu kalau Hermione belum bisa melupakan kejadian penyiksaan itu yang terjadi di Manor ku. Aku jadi lebih sering memperhatikannya, menunggunya di aula besar di jam makan siang ataupun di jam makan malam, tapi Hermione lebih sering menghabiskan waktunya di perpustakaan. Aku semakin dekat dengannya sejak acara ulang tahun Hogwarts. Aku sangat berterima kasih padamu Mrs. Granger-Jean… telah melahirkan Hermione ke dunia yang kejam ini, putri kalian… sangat cantik. Hangat. Aku terbuai. Aku ingin lebih dekat dengannya. Aku sadar kalau ini salah. Tapi perasaanku begitu besar padanya…" aku mulai mendengar isakan tangis dari Jean.

"Aku pikir hubungan kami direstui semesta, nyatanya di kencan pertama kami di Hogsmeade, ayahku Lucius memergoki kami yang sedang berduaan. Tubuh Hermione bergetar hebat, ia berusaha melarikan diri dari situasi. Kembali aku sadar kalau trauma itu masih ada. Lucius yang tahu mengenai kedekatanku dengan Hermione masih dengan pemikiran kolotnya ia pun langsung menjodohkanku dengan anak rekan se-darah murni-nya…"

"Da-darah murni? Maksudmu?" Aku tak tahu harus menjawab apa pada Hector, aku takut perkataanku akan semakin menyakitinya. Hector yang menyadari aku tergagap memberikanku waktu untuk menjelaskannya lagi, "…tak apa, katakan saja… kau tahu aku tak mempunyai kekuatan sihir untuk membunuh atau melenyapkan jasadmu…"

"Hector…" Jean mencoba menenangkan Hector yang semakin terlihat memerah, emosi itu, wajah itu…

"Maafkan aku Sir… dunia ini sangat kejam, begitu juga dengan dunia sihir. Bukan salah Hermione terlahir dari orang tua yang non-magic, tapi kebiasaan di dunia sihir yang memiliki berbagai golongan masih ada sampai akhirnya hal itu ditiadakan sejak kemusnahan Voldemort. Aku tahu Voldemort telah tiada tapi aku tak tahu jalan pikiran ayahku yang masih berpegang teguh pada kebiasaan meneruskan keturunan dengan kaum yang segolongan. Di hari itu juga saat ia memergoki dengan Hermione, aku dibawanya secara paksa pulang ke Manor dan di siksanya. Bahkan ibuku juga di siksa. Kalau Hermione dan Potter tidak menolongku, kurasa aku akan mati. Sekali lagi, putri kalian menolongku saat aku kabur dari Manor dan ber-apparate ke Hogwarts Express. Namun aku tahu, kepergianku ke Hogwarts tidak akan membatalkan pertunangan itu. Saat libur natal, aku berusaha menjelaskannya pada Hermione. Walau aku tahu itu berat untuk diterima oleh akal sehat manusia manapun, tapi aku benar-benar tak ingin mengakhiri hubunganku dengannya. Tapi disatu sisi pun aku tak dapat melawan Lucius karena ibuku menjadi tawanannya…" mengingat hal itu mataku mulai memanas, "…hubungan kami sempat renggang karena berita pertunangan itu. Hari demi hari kami lalui seperti masa-masa kegelapan, minim interaksi maupun komunikasi. Namun akhir-akhir ini aku juga lelah dengan perlakuan Lucius dan keluarga tunanganku, aku mencoba menyelesaikan urusanku di Manor hingga tanpa sadar aku mengabaikan Hermione. Aku tak tahu kalau karena perasaanku ini banyak pihak yang tersakiti…"

Tiba-tiba sebuah tangan merangkul bahuku,

"Ibumu… bagaimana keadaan ibumu saat ini?" Jean tiba-tiba menghampiri duduk disebelahku dengan air matanya yang beruraian mencoba menenangkanku. Hector masih terdiam di tempatnya dan menundukkan kepalanya.

"Sekarat…" jawabku singkat. Jean langsung memelukku. Tangisku pun pecah.

"Malfoy… tidak. Draco…" Aku kaget saat Hector memanggil namaku, ku hapus air mataku dan menatapnya tegar, "katakan… kami bisa apa untuk membantumu?"

Merlin…

Aku tak tahu kalau pertanyaan itu akan keluar dari mulut ayah dari wanita yang pernah disiksa oleh keluargaku.

"Sir…" ucapku terbata.

"Dear, perbuatan ayahmu itu salah. Kau juga korban. Trauma yang dialami Hermione tidak sepenuhnya salahmu. Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Kami tak tahu apa yang bisa kami lakukan untukmu dari sini, tapi demi putri kami… demi kebahagiaannya… apapun akan kami lakukan…" genggaman tangan Jean semakin menguat, hangat sekali.

Merlin kenapa keluarga ini diberkahi dengan penuh kehangatan?

Berbanding terbalik sekali dengan keluargaku…

"Kita harus menyelamatkan ibumu. Aku akan berbicara ke kepala sekolah kalian. Profesor McGonagall bukan? Bagaimana caraku menemuinya?" Hector bangkit dari kursinya lalu mengambil kunci mobilnya.

"Sir… a-aku…" ucapku masih bingung.

"Oh haruskah aku ke King's Cross? Apakah tiketnya masih ada?" Aku bingung. Masih tergagap.

"Honey…" Jean mencoba menenangkan Hector yang terlihat lebih panik daripada aku.

"Sir, aku akan mencoba membahas hal ini terlebih dahulu dengan kepala sekolah, aku juga akan meminta bantuan darinya. Sungguh bukan aku tak tahu bersyukur tapi aku berpikir bukan ini reaksi yang akan kudapatkan dari kalian…"

"Memangnya apa yang ingin kau dapatkan, young man?"

Wow…

Pertanyaan Hector pun tak mampu ku jawab. Untung Jean mampu menengahi suasana.

"Draco, apakah Hermione tahu kau akan menyelamatkan ibumu? Bukankah ini akan berdampak pada pertunanganmu dan keluarga lain?" Jean benar-benar berkepala dingin, pertanyaannya itulah yang kini menjadi fokusku.

"Ada beberapa hal mengenai perlakuan anak mereka yang seharusnya menjadi pertimbangan penting dalam mengakhiri pertunangan bodoh ini. Mungkin pihak Greengrass-keluarga-tunanganku bisa mempertimbangkan hal itu, sekarang masalah hanya ada di Lucius. Keselamatan ibuku dan kebahagiaan Hermione adalah fokus utamaku saat ini. Di acara kelulusan nanti, kemungkinan kalian akan bertemu dengannya, Lucius maksudku. Aku sedang memikirkan bagaimana caranya lepas dari kebodohan ini…"

Hector menghampiriku. Ia meletakkan tangannya di bahu kiri ku, tepukan tangannya…

"Jangan khawatir, Hermione-kami-bahkan pihak sekolah, pasti akan membantumu…" ujarnya sembari menepuk-nepuk bahuku. Jean di sisi kanan pun merangkulku.

Merlin, atau siapapun itu…

Aku harus menikahi Hermione agar bisa merasakan kehangatan seperti ini juga dari kedua orangtuanya…

-o0o-

Harus ku apakan daftar undangan pertunangan ini?

"Draco kau tak kembali ke menara ketua murid?" Pertanyaan Theo menyadarkanku kalau ini sudah hampir lewat jam malam. Ku rapikan perkamen dan beberapa peralatanku lalu beranjak pergi dari asramaku.

Padahal aku sudah makan, dan sempat istirahat sejenak tapi kenapa kepala ku pusing sekali?

Hermione belum balik patroli.

Kalau gitu aku akan menyelesaikan pekerjaanku sebentar disini.

Aku kembali mengeluarkan daftar undangan pertunangan bodoh itu dan perkamen-perkamen tentang acara kelulusan. Ku baca perlahan, dan aku masih berusaha memikirkan rencana apa yang harus ku lakukan nantinya. Langkahku sudah tepat. Menemui orang tua Hermione dan menjelaskannya secara langsung lebih meringankan beban di pundakku.

"Argh…"

Ada apa ini?

Kenapa pandanganku buyar?

"Eungh…" sesak, aku terbatuk.

"Draco? Draco kau sakit?" Suara Hermione membuatku membuka mataku sedikit, aku menggeleng pelan dan kembali berusaha mengistirahatkan tubuhku dan kepalaku yang terasa berat. "Draco bangunlah… kita harus ke Hospital Wings…"

"Hermione! Her—"

Weasley?

"Ada apa Ron… astaga! Draco?!"

Teriakan Hermione adalah hal terakhir yang bisa ku dengar. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi.

-o0o-

Apakah aku sudah mati?

Dimana aku?

Tidak mungkin di Manor karena ini sangat terang sekali.

Perlahan aku membuka mataku.

"Argh…"

Haus sekali.

Ternyata aku masih di menara ketua murid.

"Hermione?" Panggil ku yang ku tahu sia-sia karena aku tak sanggup menaikkan volume suaraku. Aku bahkan tak sanggup meraih gelas di atas meja nakas ku.

"Argh… kepalaku…" racau ku tak jelas.

"Draco… Draco kau tak apa? Dear?" Suara yang ku kenal…

"Hermione?"

"Ya, ini aku. Kau kesakitan? Apanya? Aku akan memanggil Madam Pomfrey ke—" saat aku berhasil meraih tangannya langsung saja aku menariknya ke pelukanku. Sungguh aku tak butuh Madam Pomfrey atau siapapun…

"Aku belum mati bukan?" Tanyaku lagi yang langsung mendapat dorongan dari Hermione dan ia menatapku marah.

"Apa-apaan kau ini?! Kau belum mati dan tak akan mati seperti ini dihadapanku, kau paham?!" Aku ingin tertawa tapi tak sanggup, aku hanya menganggukkan kepalaku dan mempererat pelukan.

"Aku merindukanmu…" ucapku.

"Aku tahu. Aku lebih merindukanmu…"

-o0o-

"Stop doing that…" aku terkekeh pelan dan berhenti memainkan jari jemarinya. Aku seperti terisi ulang kembali. Rasa sakit yang kurasakan sebelumnya pun hilang.

Benar.

Aku hanya butuh Hermione disisiku.

"Undangan untuk orang tuaku… kapan kau menyerahkannya?" Tiba-tiba saja ia melontarkan pertanyaan itu. Harus ku jawab apa?

"2 hari yang lalu." Damn… aku tak boleh sampai salah bicara.

"Ada yang tahu kau keluar?" Merlin apa lagi ini… "…maksudku, saat kau akan mengantarkan undangan itu… apakah ada yang tahu?"

Hermione dan segala keingintahuannya…

"Entahlah… sepertinya tak ada. Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal ini?" Tanyaku balik berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Kau yakin?" Tanyanya lagi… duh… aku menangguk saja, "…lalu Ginny tahu darimana kau sudah menyerahkan undangan itu 2 hari yang lalu?" Lanjutnya.

Damn… (lagi)

Sudah kuduga Little Weasley itu akan keceplosan. Aku harus berusaha terlihat sesantai mungkin.

"Maksudmu?" Kembali ku tanyakan agar ia tak curiga.

-o0o-

Hermione masih tertidur di sebelahku. Perlahan aku menuruni ranjang agar ia tak terbangun.

Setelah pertemuanku dengan kedua orang tuanya, dan setelah insiden keracunan kemarin aku semakin yakin kalau rencana ku untuk mengakhiri pertunangan ini akan berhasil. Terlebih lagi aku sudah meminta tolong Profesor McGonagall dan Mr Weasley. Lucius pasti tak bisa berbuat apa-apa lagi dan Narcissa pasti akan aman.

"Draco kau—" aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku itu.

Damn… aku ketahuan…

Hermione menuruni anak tangga dengan selimut yang melilit tubuhnya. Senyumannya memudar dan ekspresi kaget tak dapat ia sembunyikan dari wajahnya.

"Hermione…" sapaku canggung.

"Apa yang kau…" ia tidak menyelesaikan perkataannya, "...kau…"

Bagaimana ini?

Sudah aman 100% hanya saja aku masih belum siap merangkai kata-kata yang akan ku ucapkan padanya.

Aku memutar tubuhku hingga menghadapnya… berlutut, dan mengeluarkan kotak kecil dari saku jubahku.

"Would you be mine?" aku membuka kotak kecil itu hingga menampakkan sebuah cincin dengan bentuk yang sama dengan kalung yang pernah ku berikan padanya.

"Draco kau… Draco, kau tak sakit, bukan? Aku sudah memberimu ramuan sesuai yang Madam Pomfrey katakan… kau tak mungkin sakit lagi…" ujarnya tergagap.

ckck… bukan reaksi ini yang ku harapkan...

"Hermione… aku berniat melamarmu setelah acara kelulusan, tapi tampaknya lebih cepat lebih baik. Sebelum ayahku… maksudku sebelum aku menyesal tak sempat melihatmu mengenakannya..." nyaris saja aku keceplosan.

"Maksudmu?" tanyanya lagi.

"Hermione… aku serius…" lanjutku pasrah. Karena Hermione tak kunjung memberikan reaksi yang ku mau, aku pun berinisiatif langsung mengenakan cincin yang ada di kotak ke jari manisnya.

Ku ayunkan tongkatku hingga terdengar alunan piano berdenting seirama dengan penerangan di ruangan yang perlahan meredup.

"A-aku… Draco…" harusnya ia bereaksi seperti ini di awal.

"Kau tak harus langsung menjadi istriku. Selama kau menerima cincin ini kau hanya perlu mengenakannya dan aku akan menunggumu sampai kau siap menjadi istriku… so, would you be mine?" done! Harusnya aku mengucapkan kata-kata yang lebih romantis lagi. Tapi karena Hermione terbangun jadi lebih baik aku langsung mengatakan intinya saja.

Ditengah reaksi terperangahnya, Hermione menganggukan kepalanya perlahan lalu dapat ku lihat samar matanya mulai berkaca-kaca.

Ia menatap cincin itu lumayan lama.

"Kau tak perlu mengajukan pertanyaan seperti itu dan memberikanku cincin indah ini kalau kau ingin aku menjadi milikmu…" lanjutnya sambil mengamati bentuk cincin itu yang ku tahu ia kini menyadarinya kalau bentuknya sama dengan kalung pemberianku sebelumnya. Aku tak dapat menahan rasa usilku.

"Oke, fine…" tambahku sambil berpura-pura hendak merampas cincin itu dari jemarinya, "aku akan mengambilnya dan menyimpannya saja..."

"Hey?!" Hermione langsung merampasnya balik dan segera mengenakannya lagi. "Ini milikku. Kau merusak suasana." Tambahnya lagi dengan wajah cemberut.

Di momen yang tepat ini harusnya kami berdansa. Ku ulurkan tanganku yang sempat menanti sambutan dari tangannya juga selama beberapa menit.

"Fine…" sahutnya akhirnya.

"Anggap saja ini latihan dansa untuk besok." Bisikku yang dibalasnya dengan kekehan pelan.

"Nocturne…" gumamnya.

"Kau tahu?" ia mengangguk menjawab pertanyaanku.

"Nocturne in E-flat major, Opus 9, No. 2. Ibuku sering memainkannya di ruang keluarga setiap kali kami berkumpul..." aku takjub dengan jawabannya lagi. Keluarganya… keluarga Granger, sangat harmonis. Sepertinya aku tahu lagu apa yang cocok di acara kelulusan kami besok.

"Aku akan memutar lagu ini untuk acara kelulusan kita…"

"Sudah ku duga." lanjut Hermione. Sepertinya kami satu pemikiran.

-o0o-

Jam berapa ini?

Ku lirik jam di meja nakas.

06:55 am.

Kusibakkan selimut perlahan dan menutupi tubuh Hermione yang masih tertidur pulas. Aku menulis post it lalu mengecup keningnya lama sebelum meninggalkannya.

-Tidur saja dan pikirkan gaun apa yang akan kau kenakan besok. Yours, DM-

Aku harus bergegas untuk mempersiapkan rapat Prefects dan akan membangunkannya nanti.

-o0o-

Sial aku meninggalkan perkamen ku.

"Profesor, sepertinya aku meninggalkan beberapa perkamen untuk daftar acara, izinkan aku kembali ke menara ketua murid sekaligus mengecek apakah Ms Granger ingin bergabung dengan kita atau tidak…" ujarku sembari memundurkan kursi," Profesor McGonagall pun setuju dan mempersilahkanku keluar.

Aku bergegas lari menuju menara ketua murid dan langsung membuka pintu ruangan.

"Hermione, kau sudah bangun?" Teriakku sesampainya di ruangan rekreasi ketua murid.

"Kenapa kau balik lagi?" tanyanya yang dengan ekspresi tidak biasa. Ia berdiri mematung di depan dapur dan matanya tetap fokus ke arah lain.

"Ada perkamen yang tertinggal di kamarku dan… hey, bukankah sudah ku bilang untuk beristirahat saja?" jawabku sambil berjalan pelan menghampirinya. Belum sempat aku bertanya apa yang terjadi padanya mataku juga mengikuti arah pandangannya ke dapur. "Apa yang kau lakukan di sini?!"

Daphne?

Ia tampak kebingungan.

"Bagaimana bisa kau masuk ke menara ketua murid? Dan apa itu?" aku melihat pecahan gelas berisi cairan biru yang kini berserakan di lantai dapur.

"Jawab aku, Greengrass?!" Hermione berteriak padanya namun bukan jawaban yang didapat, Daphne malah mengacungkan tongkatnya ke arah Hermione. Langsung saja aku mengeluarkan tongkatku juga dan berlari ke arah Hermione. Kutarik tubuhnya untuk bersembunyi dibelakangku.

"Kau takjub mengetahui aku bisa masuk ke menara ketua murid bukan?" Daphne melontarkan pertanyaan yang tak masuk akal.

"Daphne, letakkan tongkatmu. Kau tak berhak mengacungkan tongkatmu di lingkungan Hogwarts." Bukannya menuruti perintah perintahku ia malah tertawa.

"Tidur dengan seorang darah lumpur juga tak berhak saat kau sudah memiliki tunangan, Draco. Reducto!"

Shit!

"Daphne! Kau sudah gila!" Aku berhasil menangkis mantranya. Tanganku masih tetap menodongkan tongkatku ke arahnya untuk berjaga saja setelah serangan mendadak yang baru saja dilakukannya. Aku tak ingin melawannya. Ini bisa menghancurkan rencanaku.

"Aku tak gila Draco, tapi adik ku lah yang kini menggila di St. Mungo karena ulah kalian berdua! Tak seharusnya aku diam saat mendengar ceritanya tentang kau yang tidur bersama wanita jalang ini!" Daphne masih meracau. Tangannya bergetar tapi aku tahu ia masih bersiaga untuk melontarkan mantra lainnya.

"Daphne, jaga omonganmu!" Balasku.

"Aku tak perlu menjaga omonganku, Draco. Aku di lahirkan di keluargaku memang untuk mengintimidasi Mudblood sepertinya. Aku tak tahu kalau hubungan kalian sudah sampai tahap menjijikkan seperti itu. Draco, mungkin kau ingin menceritakan semuanya versi dirimu? Ah… tapi sepertinya kau tak perlu melakukan itu." Aku mundur perlahan menggiring Hermione untuk bersembunyi namun hal selanjutnya diluar dugaanku. Daphne hendak melontarkan mantra tak termaafkan. Aku masih menangkis mantra itu sembari mendorong tubuh Hermione namun disaat yang bersamaan kulihat tubuh Daphne ambruk dan kaku. Apakah mantranya memantul?

Tak lama berselang Profesor McGonagall muncul dari perapian, disusul oleh beberapa staff guru. Pasti ia menyadarinya saat cahaya hijau berpendar di sekitar kastil.

"Ada apa in— oh, Merlin… Mr. Malfoy?" Kepala sekolah menghampiri kekacauan yang baru saja terjadi. "Apa yang terjadi?"

"Dia mencoba meracuniku, Profesor..." Jawabku berusaha setenang mungkin. Aku menghampiri Hermione dan membantunya berdiri, ia terlihat sangat kaget. "...dan dia juga berusaha melemparkan mantra kutukan ke arah kami."

Kali ini Kepala Sekolah menghampiri tubuh Daphne yang masih terbujur kaku di lantai. "Oh, Demi Merlin… bantu aku membawanya ke Hospital Wings, setelah ini kalian berdua, ah tidak… kau saja Mr. Malfoy, ikut denganku ke kantorku." aku mengangguk menyanggupi permintaan Profesor McGonagall.

"Hermione, dengar… semua akan baik-baik saja. Bergegaslah ke rapat Prefects, kita bertemu disana…" Hermione masih diam mematung menatapku, "...Hermione? Dear? Kau mendengarku?" Aku memegang kedua lengannya dan akhirnya ia mengangguk dan berjalan linglung keluar ruangan mengikuti Profesor Sinistra.

Aku langsung mengikuti Profesor McGonagall ke perapian yang langsung menuju ke Hospital Wings.

"Profesor... dia masih hidup, bukan?" Tanyaku yang membuat Profesor McGonagall memberikan tatapan yang luar biasa kaget.

"Tentu saja Mr. Malfoy… kau tidak melontarkan mantra tak termaafkan apapun padanya bukan?" Tanyanya balik berusaha memastikan kalau aku tak membunuh rekan seasramaku.

"No Profesor… aku hanya takut kalau aku memantulkan mantra itu padanya."

"Oh… Mr. Malfoy, Ms. Greengrass hanya terkena mantra yang melumpuhkan tubuhnya sesaat. Sepertinya Ms. Granger yang berusaha menghentikan peperangan ketiga ini…" aku tak tahu kalau Hermione sempat melindungiku. Profesor McGonagall menepuk pundakku pelan, "you did well, Mr. Malfoy…"

Aku tertegun beberapa saat.

Aku melihat Madam Pomfrey sedang menangani Daphne. Profesor McGonagall merapalkan mantra ke tangan dan kakinya. Mungkin pencegahan agar Daphne tidak melontarkan mantra apapun lagi.

"Profesor…" Profesor McGonagall menoleh dan menungguku melanjutkan perkataanku, "...bisakah kita berbicara sebentar?"

-o0o-

"Draco, kau tahu?" Hermione langsung menghampiriku setelah aku keluar dari Hospital Wings. Aku tak bisa menjawabnya. Aku harus menjelaskan semuanya terlebih dahulu ke Profesor McGonagall. "Draco…"

"Aku harus ke ruangan kepala sekolah dulu, setelah itu aku akan menceritakan semuanya padamu." aku mengecup keningnya singkat lalu berjalan mendahuluinya.

"Draco…" panggilnya lagi.

Bersabarlah Hermione…

-o0o-

Aku tak menyangka Profesor McGonagall menangis.

Ia menangis setelah mendengar ceritaku.

"Malangnya kau, Mr. Malfoy…" ucapnya lagi sambil menyeka air matanya.

"Aku tahu. Sepertinya ini balasan untukku yang pernah menjadi penghianat…" ia menghampiriku dan menggenggam kedua tanganku.

"Help will always be given at Hogwarts to those who ask for it, Mr. Malfoy…"

-o0o-

30 menit cukup untuk menjelaskan segalanya pada kepala sekolah Hogwarts ini. Aku tak menyangka. Kenapa tidak dari awal saja aku melakukannya?

Mom, Hermione… bersabarlah…

-o0o-

Mataku langsung bertemu dengan mata Hermione saat memasuki ruang rapat. Segera aku duduk disebelahnya. Ia tampak berbisik lalu menunjukkan jarinya hingga membuat Blaise dan Potter melihat ke arahku juga.

"Ada apa?" tanyaku berusaha setenang mungkin. Tak ada sahutan dari mereka hingga ku dengar Profesor McGonagall bersuara untuk memulai rapat.

Bisa kurasakan Hermione masih menatapku menuntut jawaban. Aku meliriknya sesekali memastikan kalau ia baik-baik saja. Dari kerutan di dahinya, jemarinya yang sibuk menggoyang-goyangkan pena bulu, dapat kupastikan kalau ia baik-baik saja.

-o0o-

Aku berusaha menjelaskan segalanya padanya, namun ia terlihat sibuk dengan teman-temannya. Aku tahu besok adalah hari kelulusan kami, tapi Merlin… Potter dan keluarga Weasley tak kan kemana-mana. Ia masih bisa menemui mereka esoknya setelah kelulusan.

Bukan berarti ia tak bisa bertemu lagi denganku, tapi…

"Mawar Berduri…" aku mendengar suaranya dari balik pintu menara ketua murid. Langsung saja ku campakkan perkamen-perkamen tak penting ini dan berlari memeluknya.

"Ada apa?"

Ada apa katanya?

"Selesai sudah..." gumamku.

"Apanya?" tanyanya lagi bingung. Beberapa menit yang lalu aku ingin mengatakannya tapi sekarang menurutku waktunya belum tepat. Mungkin setelah acara kelulusan, bersama kedua orang tuanya dan juga Profesor McGonagall.

"Menata aula besar untuk besok." Aku harus berbohong sebentar saja walaupun aku tahu jawabanku tak akan memuaskan si Miss Know-It-All, ia perlahan melepaskan pelukannya dan menatap dalam.

"Ada sesuatu yang ingin kau ceritakan padaku?" Lihatlah, ia masih berusaha mengorek informasi dariku. Ku sibakkan helaian rambut yang menutupi wajah indahnya, ku tarik dagunya hingga bibirku pun melumat bibirnya. Perlahan aku menuntun tubuhnya hingga tertidur di sofa tanpa melepaskan ciuman hangat ini.

"Draco..." desahannya saat tanganku mulai bermain di bagian tubuh bawahnya. "...sehari saja kau tak melakukan ini padaku apakah kau akan mati?" godanya setelah aku berhasil mempermainkannya tadi.

"Tentu saja..." bisikku di telinganya tak kalah menggodanya, "...karena kau lah aku bisa merasakan hidup..." aku mulai menjelajahi setiap lekuk tubuhnya, mencium lehernya, aroma khas dirinya membuatku candu, ia mengerang saat tanganku bermain di dadanya. Betapa menyesalnya aku tak memperlakukannya dengan baik sejak dulu. Tiba-tiba terasa sesuatu yang basah mengalir dari matanya.

"Hermione? Ada apa? Hermione, apa aku melukaimu?" bukannya menjawab pertanyaanku ia malah terkekeh pelan dan mencoba menenangkanku.

"Kau selalu melukaiku, Draco..." kecupnya singkat di bibirku lalu ia kembali mengancingkan bajunya, aku mundur sedikit dan mengikuti pergerakannya yang kembali duduk seperti semula.

"Hermione ada apa?" kenapa ia berkata seperti itu? Aku tahu aku memang sering menyakitinya tapi aku tak ingin hal itu terjadi lagi... "...Hermione?"

"Aku harus kembali ke perpustakaan. Profesor Slughorn benar-benar akan mengeluarkanku dari sekolah kalau saja aku tak segera menyerahkan perkamen ini padanya sebelum tengah malam." Aku masih memperhatikannya yang tengah sibuk merapikan barang-barangnya.

"Aku akan menemanimu." tawarku yang langsung ditolaknya.

"Aku hanya ke perpustakaan, Draco. Setelah menyerahkan tugas dari Profesor Slughorn itu aku akan segera kembali padamu."

"Tapi..."

"Sstt... istirahatlah. Besok hari yang sangat melelahkan, kau harus menyiapkan tenaga untuk acara besok." ia mencium bibirku lama sebelum akhirnya menghilang beriringan dengan suara pintu ruangan yang tertutup.

Aku harus menemui Blaise.

-o0o-

"Well, mate… kenapa kau tak memberikannya langsung saja, huh?" sudah kuduga ia akan bertanya seperti itu.

"Aku ingin. Hanya saja aku harus ke Manor saat ini juga." jawabku sambil menyesap minuman yang Blaise suguhkan padaku di ruang rekreasi asramaku. Sudah lama aku tidak bermain disini. Mungkin ini adalah hari terakhirku berada disini. Aku tak akan merindukan asrama ini. Terlalu banyak kenangan pahit.

"Apa yang akan kau lakukan? Drake, acara kelulusan besok. Daphne di depak dari sekolah, sementara itu tunanganmu… well mantan-calon-tunangan… how to say, huh?" Blaise tampak kebingungan sendiri, aku tahu maksudnya tapi aku tak berniat membantunya berbicara, dia sudah dewasa. "Berada di St. Mungo, keluarga mereka pasti benar-benar kacau sekarang…"

"Mereka pantas mendapatkannya." Ucapku sambil mencoba menerawang hal-hal yang telah terjadi beberapa hari belakangan ini.

"Setelah itu bagaimana?" lanjutnya lagi.

Aku bangkit dari duduk ku dan bersiap pergi.

"Sesuai dengan rencana." jawabku singkat yang dibalas Blaise dengan senyuman khasnya.

-o0o-

"Thank you, Profesor…" ucapku setelah Profesor McGonagall mempersilahkanku menggunakan perapiannya untuk aku pulang ke Manor.

Sesampainya di Manor aku tak melihat siapapun kecuali para peri rumah yang sibuk membersihkan apapun itu yang tampak berdebu. Narcissa pasti sedang berada dikamarnya.

"Good evening young master…" aku mengangguk pada salah satu peri rumah.

"Lucius?" tanyaku singkat, lalu peri rumah itu pun mempersilahkanku menemui Lucius diruang kerjanya.

Tak ada sahutan dari dalam ruangan saat aku mengetuk pintu, namun aku yakin ia tahu akan kehadiranku.

"Sudah puas dengan waktu bermainmu, Draco?" Lucius memutar kursi kerjanya. Gelas wine di tangan kiri dan tongkatnya selalu siap sedia di tangan kanannya. Entah siapa yang mau menyerang pria tua menyedihkan sepertinya. Selain aku, tentunya.

"Kau pasti sudah mendengarnya. Greengrass." ia mengayun-ayunkan gelas wine-nya sebelum menyesap isinya perlahan. "Aku tak akan melanjutkan pertunangan bodoh itu. Kau pasti tak ingin martabat keluarga ini rusak. Daphne di depak dari Hogwarts dan terancam tak bisa melanjutkan pendidikannya di sekolah sihir manapun, walaupun keluarga mereka kaya dan tak perlu bekerja tapi mereka tetap tak akan bisa bertahan 5 tahun kedepan untuk melanjutkan hidup tanpa menjadi parasit keluarga aristokrat lainnya. Sementara Astoria… dari awal kejiwaannya sudah terganggu. Kau tentu tak ingin memiliki menantu dengan kewarasan dibawahmu, bukan?"

Lucius menggebrak mejanya.

"Tutup, mulutmu." tak peduli dengan perkataannya aku kembali melanjutkan perkataanku.

"Tidak akan. Aku tidak akan menutup mulutku. C'mon, Dad… kau tahu kau sudah kalah. Keluarga kita juga nyaris bangkrut! Bayangkan bagaimana para relasimu melihat pertunangan ini? Mereka tak akan menolong kita."

"Aku, tak pernah ingin darah di keluarga ini terkontaminasi oleh darah siapapun selain para pure-blood… harga dir-"

"Tapi darah keluarga Greengrass pun kini sudah tidak murni! Anak yang gagal, keuangan yang gagal, keluarga yang gagal. Mereka sudah gagal bertahan, Dad. dan ku mohon singkirkan harga dirimu yang sudah lama hilang sejak kau memutuskan membuat keluargamu menjadi pengikut Voldemort, Dad!"

"Crucio!"

Aku berhasil menangkis mantra yang ia lontarkan.

"Expelliarmus! Dad, hentikan! Usahamu akan sia-sia!"

"Reducto! No! Aku akan tetap mempertahankan harga diriku!" ia pun menghilang dari hadapanku. Aku tahu ia ber-apparate untuk menyiksa Narcissa.

Sesampainya aku di kamar aku hanya melihat Lucius seorang diri yang terlihat kebingungan.

"Dimana dia?! Dimana ibumu?! Narcissa!"

Aku hanya tersenyum dari kejauhan, ia kembali mengacungkan tongkatnya.

"Good evening, Lucius…" Arthur Weasley, Shacklebolt, Profesor McGonagall dan juga beberapa auror kini memenuhi ruangan ibuku. Bahkan Lucius tak sadar ada 4 auror yang berdiri dibelakangnya. Kilatan cahaya yang baru saja terjadi menandakan kalau Profesor McGonagall telah melucuti tongkat Lucius.

Betapa kagetnya ia saat 4 auror di belakangnya mengikat tangannya dan membuatnya berlutut. Akupun menghampirinya.

"I love you, Dad. But I love mom and Hermione more than anything…"

"Draco… Dra- Draco, tunggu… dimana ibumu? Draco..." aku tahu ia sedang bersandiwara.

"Ini hanya sementara, Dad. Kau tak akan membusuk di Azkaban. Aku masih tetap anakmu. Aku hanya ingin kau mengakui kesalahanmu, aku ingin kau mengakui kekalahanmu. Masa kegelapan sudah berakhir. Masa pure-blood, half-blood, maupun mudblood sudah tidak ada. Terimalah hukumanmu. Ini tak seberapa dibandingkan rasa sakit yang Mom, Hermione dan keluarganya yang selama ini kau berikan…"

"Draco…" ia berusaha memotong perkataanku.

"Akupun tak suci, Dad. Aku akan bertaubat di sisa-sisa hidupku. Kumohon kau juga melakukannya." Aku sudah bersiap kembali ke Hogwarts namun Lucius masih tetap berusaha menanyakan keberadaan Narcissa.

"Draco… apakah ibumu aman? Draco… kumohon…" aku menatapnya nanar, aku tahu air mata ini tak ada artinya baginya.

"See you again, Dad…" aku berbalik meninggalkannya.

"Draco? Draco?! NO! LEPASKAN AKU! AKU INGIN MENEMUI ISTRIKU! DIMANA ANAKKU!"

Racauannya masih dapat ku dengar dibawah.

"Kau aman sekarang, Mr. Malfoy…" Profesor McGonagall berusaha menenangkan ku. Aku tahu itu sia-sia tapi mulai sekarang aku akan mempercayai apapun yang Profesor McGonagall katakan. Ia memegang tanganku untuk ber-apparate.

-o0o-

Aku mengamati diriku di depan cermin besar.

Benda bersinar yang melingkar di jari manisku, sepertinya sudah bisa ku lepaskan.

Sejam lagi acara kelulusan akan dimulai. Aku belum ada menyapa Hermione sejak balik dari Manor. Tiba-tiba ketukan di pintu kamar mengalihkan lamunanku.

"Hermione?" tanyaku sebelum akhirnya aku menyesali pertanyaan itu. "Potter…"

"Malfoy…" balasnya.

Ia menghampiriku yang masih sibuk merapikan tuxedo ku.

"Mau apa kau?" aku berusaha bertanya dengan intonasi nada sebersahabat mungkin.

"Wow, relax Malfoy… aku tak berniat mengajakmu berduel," aku mengerutkan dahi ku, padahal aku sudah berusaha untuk tidak emosi, bahkan aku mengatur intonasi berbicara ku. Aku berdecak kesal. "...baiklah, aku hanya ingin menanyakan kabarmu."

"Apa-apaan itu, Potter?" pertanyaannya membuat badanku bergidik ngeri, Potter memang tak normal.

"Aku sudah mendengar semuanya. Arthur memberitahukan ku soal Lucius." Aku menghentikan kegiatanku yang sedang membenarkan kancing kemejaku. "Aku akan meminta Kementerian untuk mengurangi hukuman untuknya kalau kau-"

"Tak perlu." Potongku cepat.

"Dengar, Malfoy…"

"Tak perlu, Potter. Dia pantas mendapatkannya." Lama tak ada balasan lagi darinya aku pun kembali mematut diriku didepan cermin. "Kalau kau sudah selesai, tolong keluar."

"Ku harap kau sudah memberitahukan hal ini pada Hermione. Happy Graduation, Malfoy." Potter pun melangkah keluar setelah itu.

Hermione…

-o0o-

Aku sudah mencarinya di perpustakaan namun ia tak ada. Sebelumnya aku memeriksa kamarnya dan aku hanya bertemu dengan peri rumah yang mengatakan kalau Hermione sudah keluar sejak pagi.

Aula besar belum dibuka, banyak para orang tua murid yang sudah hadir.

"Weasley…" panggilku pada little Weasley. Ia segera menoleh dan menghentikan langkahnya, aku mencoba menghampirinya namun ia langsung membuka mulutnya.

"Menara Astronomi…" seolah mengerti apa yang ia maksud akupun mengangguk dan segera menuju menara Astronomi.

Benar saja, dari kejauhan aku bisa melihat sebuah siluet yang sangat ku kenal. Gaun itu, sangat cocok dengannya.

Hermione menoleh saat mendengar langkah kaki ku.

"Draco…" senyumnya langsung merekah, sungguh indah.

"Beautiful…" ucapku tanpa sadar yang membuat pipinya mengeluarkan semburat merah, aku tertawa pelan. Aku segera menghampirinya, melingkarkan lenganku di pinggangnya dan kutarik dagunya untuk mencium hangat bibirnya.

"Bagaimana bisa kau tahu aku berada disini?" tanyanya setelah aku melepaskan bibirku dari bibirnya. Ia mengalungkan lengannya di leherku.

"Aku tahu segalanya tentangmu, Ms. Granger…" bisa ku tebak ia tak puas dengan jawabanku namun ia tetap tersenyum.

"Black Suits, huh?" tanyanya sambil menunjuk ke arah setelanku.

"Kau tak lihat lambang Slytherin ku?" aku mengedikkan bahu ku menunjukkan bros hijau emerald berbentuk khas asramaku.

"Sekecil itu? Harusnya tuxedo mu yang berwarna hijau emerald, atau kemejamu saja. Aku yakin Profesor McGonagall akan menegurmu..." protesnya.

"Well, Profesor McGonagall bilang kalau Ketua Murid bebas memakai warna apa saja selama pembukaan acara… aku bisa menyihirnya nanti saat acara kelulusan dimulai, atau aku bisa menutupinya dengan jubah kelulusan. Masalah selesai." ia menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar jawabanku, "seleraku bagus, bukan?" kali ini aku yang menunjuk gaunnya.

"Uh-huh, sangat Gryffindor… dan cocok dengan kalung ini..." ia memainkan liontin mawar merah yang benar-benar senada dengan warna gaunnya.

Aku tak tahu gaun jenis apa ini, Narcissa membantuku memilihkannya saat ia tahu aku mengencani wanita kebanggaan seluruh dunia sihir ini. Aku pernah melihatnya mengenakan gaun sebanyak 2 kali sebelumnya, tapi aku paling suka penampilannya saat ini. Warna burgundy ini sangat kontras dengan warna kulitnya. Riasan wajah yang sederhana. Rambutnya yang ia gulung rendah dengan hiasan bunga mawar. Ku dekap wajahnya sembari mengusapnya lembut.

Aku sangat mencintainya.

Sudah berapa kali aku mengatakannya?

Mungkin Merlin bisa membantuku menghitungnya.

Kembali ku lumat bibirnya, kali ini lebih bergairah. Ku belai punggungnya yang terekspos, satu kakinya melingkar di pinggangku. Akhirnya aku tahu gunanya belahan panjang di bagian bawah gaun itu. Aku nyaris membuka gaunnya kalau saja Hermione tidak segera menghentikannya. Nafas kami tersengal.

Jemarinya mengusap ujung bibirku.

"Lipstick ku…" ujarnya singkat lalu kami pun tertawa bersama. Ia merapikan helaian rambutku yang sedikit berantakan akibat tangannya.

Lama ku pandangi wajahnya, mata hazelnya, dan bibir tipisnya yang masih tersenyum indah.

"Kau, adalah segalanya bagiku. Setelah Narcissa tentunya…" ia terkekeh lagi, "Hermione…"

"Ya?"

"Lucius akan disidang besok. Ia akan mendekam di Azkaban untuk beberapa tahun yang ku tak tahu berapa lamanya." Tampak matanya menyalang kaget, ia menutup mulutnya dengan tangannya.

"Ma-maksudmu?"

"It's over, Hermione. Kau aman. Narcissa juga." Hermione masih tak percaya dengan perkataanku.

"Draco, aku—" tiba-tiba suara lonceng kastil menginterupsi perkataan Hermione.

"Ayo, kita turun." Kukecup keningnya singkat lalu menggandengnya. Banyak mata memandang. Hermione tampak risih namun ia masih betah disebelahku. Ia menggenggam erat lenganku.

"Draco, kita harus memakai topengnya…" ujarnya gusar dan terlihat panik. Bukannya menurutinya aku malah mengayunkan tongkat ku dan topeng emas yang sedari tadi menggantung di lengannya pun menghilang. "Dra-Draco, topengnya… apa-apaan ka-" protesannya ku potong dengan kecupan singkat di bibir, sudah jelas ia semakin panik dan melirik kesana-kemari, tapi aku semakin menikmati momen ini.

"Kau harus terbiasa. You are the center of the universe. You are my universe, Hermione." bisikku pelan yang membuat pipinya kembali merona.

Aku tak peduli dengan bisikan-bisikan yang tengah membicarakan kami. Sesekali kami saling berpandangan dan tersenyum.

I could make you happy

Make your dreams come true

Nothing that I wouldn't do

Go to the ends of the Earth for you

To make you feel my love

(Adele - Make You Feel My Love)

-o0o-

Hermione's POV

Aku berjalan menelusuri lorong kastil.

Aku tahu semua mata memandangku. Namun pria yang mengelus punggung tanganku yang sedang bergelayut di lengannya itu tampak santai dan terus tersenyum.

Seperti tak nyata.

Semua perkataannya di menara Astronomi tadi masih menggantung. Walaupun aku paham maksudnya tapi ia hanya mengatakan intinya saja. Ia tak menjelaskan proses bagaimana hal itu bisa terjadi. Beberapa bulan yang lalu ia nyaris mati di tangan ayahnya sendiri. Bagaimana bisa sekarang ayahnya berada di Kementerian menunggu jadwal sidang? Azkaban untuk beberapa tahun yang ia tak tahu berapa lamanya, katanya.

Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Namun aku tak ingin mendesaknya. Aku tahu ia tak akan melakukan hal yang aneh-aneh, aku tahu Draco tahu apa yang harus ia lakukan.

"Wow, Ms. Granger…" aku terkesiap dari pergulatan batin ku sendiri saat mendengar namaku disebut oleh Profesor Trelawney yang ternyata di sebelahnya juga banyak staf pengajar lainnya yang berdiri mengantri sedang memandangiku. Atau memandangi kami?

Aku tak tahu. Yang jelas suasananya canggung.

"Ms. Granger?" kalau suara itu aku kenal. Kini Profesor McGonagall menatapku dari atas sampai bawah berulang kali. Lalu matanya beralih ke tanganku yang masih bergelayut di lengan Draco. Aku menariknya namun Draco berusaha menahan, suasana sangat-sangat canggung namun Draco masih dengan santainya tersenyum dan menegur seluruh profesor. "Kalian… terlihat serasi…"

Perkataan terakhir Profesor McGonagall membuat semua staf pengajar mengangguk dan berbisik setuju.

"Thank you, Headmaster…" ucap Draco santai.

Apa-apaan anak ini?

Aku… malu sekali…

Profesor McGonagall kembali sibuk dengan profesor lainnya dan memanggil Draco untuk membahas beberapa susunan tata acara nanti.

Profesor Trelawney menghampiriku dan menggenggam tanganku.

"Ms. Granger, kau sangat bersinar…" aduh, aku harus menyikapinya bagaimana? "Kau berhak untuk bahagia."

"Thank you, Profesor…"

"Ah ya… sudahkah ku katakan kalau kau sangat magnificent?" wow, bisakah ia menggunakan kata yang lebih sederhana?

"Profesor, kau juga terlihat luar biasa…" ya, benar. Aku nyaris tak mengenalnya kalau saja aku tak tanda dengan suaranya. Rambutnya ia gulung rapi, kacamata tebalnya tak ada. Aku baru sadar kalau matanya juga sangat indah. "...Profesor, bolehkah aku memelukmu?"

Profesor Trelawney tampak kaget dengan permintaanku, sepersekian detik ia tampak berpikir untuk meresponku namun aku segera memeluknya dan berbisik,

"Aku percaya pada ramalan mu, dan aku tak membencimu, Profesor. Terima kasih, sudah memberikanku kesempatan untuk merasakannya…" aku melepaskan pelukanku dan kini Profesor Trelawney tampak membatu, air matanya mengalir perlahan lalu ia tersenyum.

"Happy Graduation, Ms. Granger…"

-o0o-

Blaise dan Harry menghampiriku. Entahlah aku rasa semua orang terlalu berlebihan memuji ku. Pipiku sudah terlalu memerah.

Ku akui, selera Draco tak pernah salah.

Gaun satin berwarna burgundy dengan bentuk off shoulder mermaid ini sangat indah. Walaupun aku sedikit risih dengan belahan sisi di bagian bawahnya yang terlalu tinggi, tapi aku masih menyukainya. Gaun ini maksudku. Dan tentu saja si pemberinya. Aku tak ingin riasan berlebihan untuk wajahku. Untuk rambut, ku biarkan anak rambutku membingkai wajahku dan masih dengan low bun andalanku yang ku kepang sebagian dan ku beri hiasan kecil berbentuk bunga mawar di belakangnya sangat serasi dengan kalung dan cincin pemberian Draco.

Para staf pengajar dan yang lainnya sudah berkumpul berbaris di depanku. Di ikuti para Prefects tiap asrama di belakangku dan Draco.

Dengan sekali ayunan tongkat aku, Draco dan para Prefects sudah memakai jubah Hogwarts.

Pintu aula besar terbuka perlahan. Dapat ku dengar dentingan piano memainkan lagu kebanggaan Hogwarts.

"Aku, deg-degan…" ku eratkan pegangan tanganku pada lengan Draco.

"Ini masih acara kelulusan, Hermione. Bukan acara pernikahan kita." ujarnya berbisik.

Aku mengangguk setuju.

Ya, ini hanya acara kelulusan, bukan acara-

"A-APA?" tanyaku kaget dengan intonasi yang lumayan tinggi hingga membuat para staf menoleh ke arahku. "Ma-maaf, Profesor…"

Aku menepuk lengannya pelan, sementara ia hanya mendengus geli dan masih mengelus pelan punggung tanganku.

Profesor McGonagall memasuki aula besar di ikuti oleh beberapa staf Kementerian, para staf pengajar, kepala asrama, staf Hospital Wings, staf perpustakaan, Hagrid dan Filch. Aku, Draco dan para Prefects pun menyusul di belakang.

Aula besar hari ini benar-benar terlihat sangat 'BESAR'. Bahkan ada tribun khusus para murid tahun ke-1 sampai tahun ke-6 di dalamnya. Aula besar lebih terlihat seperti gedung opera, lengkap dengan barisan paduan suara dan orkestra. Aku berusaha mengedarkan pandanganku mencari orang-orang yang ku kenal. Aku menemukan kedua orang tuaku yang sedang melambai dengan senyum bangga kepadaku, di sebelah mereka ada Narcissa yang duduk sendirian tengah menangkupkan tangannya ke mulut berusaha menahan tangis. Draco melambai padanya, aku menoleh memandangnya dan terlihat matanya yang berkaca-kaca. Ku elus lengannya yang dibalasnya dengan anggukan paham.

Duh… aku tak ingin merusak riasan wajah ku.

Walaupun aku hanya mengenakan riasan tipis tapi kalau aku menangis bagian bawah mataku akan berubah hitam. Aku tak mau itu.

Para Prefects duduk berdampingan dengan para kepala asrama, sementara ketua murid duduk bersebelahan dengan kepala sekolah.

"Selamat siang…" Profesor McGonagall maju ke depan langsung memulai pidatonya sesaat setelah para paduan suara selesai menyanyikan lagu Hogwarts. Ia berdiri di podium yang biasa Profesor Dumbledore gunakan. "...orang tua wali murid yang terhormat, murid-murid Hogwarts yang ku cintai dan seluruh tamu yang hadir di acara kelulusan ini. Rasanya aneh berdiri disini, menggantikan 2 kepala sekolah hebat yang telah mendahului kita. Salah satu kepala sekolah itu pernah berkata, 'To the well-organized mind, death is but next great adventure'. Aku yakin kini ia sedang berpetualang dengan pengalaman barunya…" seisi aula tertawa pelan, bisa ku dengar isakan tangis diantaranya.

"...sementara kepala sekolah yang satu lagi berkata, 'It may have escaped your notice, but life isn't fair…' kali ini aku setuju dengannya. Hidup ini tidak adil. Kenapa yang baik harus pergi sementara yang buruk tetap abadi? Well pengecualian untuk Voldemort, ia berhak untuk musnah…" suara tawa kembali terdengar, Profesor McGonagall tampak berusaha tegar mengenang para kepala sekolah sebelum dirinya. "...banyak luka yang membekas di antara kita semua akibat perang kegelapan yang lalu. Kita semua bisa hadir disini berkat Mr. Harry Potter, Mr. Ronald Weasley, dan Ms. Hermione Granger yang berhasil memenangkan peperangan itu. Tentu saja juga berkat bantuan yang diberikan dari seluruh staf pengajar, pihak Kementerian maupun para murid. Luka itu akan selalu ada, walaupun mengering tapi luka itu akan terus membekas di ingatan kita. Karena luka itu adalah bagian dari hidup ia akan membawa kita menjadi yang terbaik dan terburuknya untuk diri kita tergantung bagaimana cara kita mengatasinya. Untuk seluruh murid tahun ke-7, kalian telah berhasil melewati luka itu satu persatu, kalian bisa bertahan sampai di hari kelulusan ini berkat usaha dan kemampuan diri kalian sendiri. Kita semua akan terus berjuang dan seperti yang kalian tahu, bantuan akan selalu diberikan di Hogwarts kepada mereka yang memintanya. Untuk Profesor Albus Dumbledore, Profesor Severus Snape, para pejuang dan korban dari perang kegelapan, orang tua wali murid, dan seluruh murid Hogwarts… raise your wand…"

Mengikuti kata penutup Profesor McGonagall, cahaya berpendar dari seluruh pemilik tongkat menerangi aula besar, dilanjut dengan tepukan tangan meriah.

Setelah itu perwakilan staf pengajar dan Kementerian memberikan pidato mereka masing-masing.

Aku dan Draco mendapatkan bagian terakhir mewakili seluruh murid tahun ke-7.

Inilah bagian yang membuatku mual.

Aku sudah merangkai dan menghafal kata-kata itu sebelumnya, namun saat berdiri di podium itu membuat pikiranku buyar.

"Aku tahu kalian masih membenciku…" Draco mulai terlebih dahulu, ia tampak tenang walaupun bisa ku rasakan suaranya bergetar, "...membenci keluargaku, dan keluarga para mantan pelahap maut. Tak apa. Kami pantas hidup dengan rasa kebencian kalian. Awalnya aku sangat malu untuk mengulang kembali tahun ke-7 ku di Hogwarts, dan aku juga menolak hal itu karena aku tak tahu untuk apalagi sekolah ini? Setelah apa yang aku dan keluargaku lakukan, rasanya tak mungkin bagiku untuk bekerja di Kementerian. Melanjutkan usaha keluarga Malfoy yang nyaris bangkrut dengan cara menikahi keluarga berdarah murni lainnya juga tak membantu apapun. Ayahku dengan pemikiran kunonya nyaris mengorbankan perasaan anaknya sekali lagi untuk menghadapi dunia secara mandiri. Demi harga diri, katanya. Well seharusnya ia sadar kalau kami sudah tidak punya harga diri sejak memutuskan menjadi pelayan Voldemort. Walaupun perang itu sudah berakhir, perang di keluargaku masih berlanjut. Bodohnya aku menuruti semua perintah ayahku demi membangun harga dirinya hingga aku nyaris terbunuh oleh keluarga calon tunanganku, bodohnya aku membiarkan ibuku menjadi tawanannya hingga ibuku harus menerima berbagai macam siksaan darinya, dan bodohnya aku tak pernah berpikir untuk meminta bantuan Profesor McGonagall, Mr. Weasley dan tentunya Mr & Mrs. Granger…" Draco menggerakkan tangannya ke arah kedua orang tuaku dan keluarga Weasley membuat seluruh isi aula mengarah pada mereka. Betapa kagetnya aku mendengar perkataan Draco.

Ia, meminta bantuan ke orang tuaku? Kapan?

Draco berdehem lagi berusaha menahan air matanya sebelum melanjutkan pidatonya. "...seseorang pernah berkata padaku, kalau aku berhak bahagia. Dan aku bersyukur kalau kebahagiaanku berasal dari ibuku dan rekan ketua muridku, Ms. Granger. Ya beberapa rekan seasrama maupun se-Hogwarts juga berpartisipasi dalam menciptakan kebahagian untukku. Seperti yang dikatakan Profesor McGonagall luka ku perlahan menutup, dan meninggalkan pelajaran yang berharga untukku. Aku tak mau terpuruk selamanya dengan luka itu, aku berhak bahagia, aku berhak memilih, dan aku berhak mencintai dengan siapapun, kapanpun dan dimanapun. Persetan dengan pure-blood, half-blood dan mudblood karena semua darah itu sama saja tergantung bagaimana kau menjalani hidupmu. Menjadi manusia, atau menjadi sampah. Untuk tahun ke-7 yang berharga… raise your wand…" tepukan tangan meriah, siulan dan suara tawa meramaikan isi aula besar, beberapa murid meneriaki namanya. Draco berjalan menghampiriku, menyeka air mataku lalu mempersilahkanku untuk maju.

"Well, ehem…" ouch tenggorokanku tercekat, "...Sore, Hermione Jean Granger perwakilan ketua murid wanita kalian. Sebelumnya terima kasih untuk Profesor McGonagall dan Mr. Malfoy yang menyertakan namaku dalam pidatonya, itu sangat berarti bagiku. Seperti yang kalian tahu, sebutanku adalah 'veteran perang kegelapan'. Sama seperti yang Profesor McGonagall katakan banyak luka yang membekas di antara kita semua akibat perang kegelapan itu." aku menyibakkan lengan jubahku dan mengayunkan tongkat ku. Perlahan terlihat bekas luka yang kembali mengorek memori. "Mudblood. Tertulis begitu. Walaupun luka ini terlihat samar tapi ingatanku akan kejadian itu berbanding terbalik. Sangat-sangat jelas di ingatanku hingga masih sering mengusik tidurku. Dan kalian pasti tahu siapa yang memberikanku kenang-kenangan yang tak patut dikenang ini. Singkat cerita aku ingin berdamai dengan masa laluku. Ku mulai dengan cara berdamai dengan diri sendiri. Aku tak tahu bagaimana rasanya menjadi orang lain selama aku belum mengalami rasa itu secara pribadi. Aku selalu dikelilingi oleh orang-orang yang memberikanku rasa cinta dan nyaman sepenuh hati mereka. Terkadang aku lupa mensyukuri hal itu. Sejak tahun ke-7 ku disini, aku mulai memahami semuanya. Sebelum berdamai dengan diri sendiri aku berkali-kali dijatuhkan oleh harapan ku yang tinggi. Ah ya… berhubung membahas tentang harapan, aku menyesal pernah membenci kelas ramalan, Profesor Trelawney, maafkan aku…" aku menangkupkan kedua tanganku memohon maaf pada Profesor Trelawney yang terlihat bingung, tentu saja seisi aula tertawa melihat tingkahnya.

"Aku adalah orang yang terlalu gengsi untuk mengakui kekalahan. Dan dulu aku merasa kalah di pelajaran kelas ramalannya sehingga aku membenci kelas itu. Sejak insiden ramalan dari Profesor Trelawney untukku di awal tahun ajaran ke-7, logikaku tak pernah sejalan dengan hatiku lagi. Si gengsi tadi. Profesor Trelawney menyuruhku mengikuti kata hatiku. Ikuti kata hati untuk memperjuangkan hal yang membuatku bahagia. Bahagiakan diri sendiri sebelum membahagiakan orang lain tanpa harus menyakiti pihak manapun. Sejak saat itu aku menyingkirkan semua rasa gengsiku. Aku bersyukur memiliki keluarga, sahabat, dan lingkungan yang memberikan energi positif di sekitarku. Walaupun ini tahun terakhirku di Hogwarts, aku berharap dimanapun aku-kita berada, jangan pernah berhenti berharap, jangan pernah berhenti berjuang, jangan takut akan masa lalu, dan jangan pernah berhenti memanusiakan manusia. Untuk tahun yang indah, raise your wand…"

Akhir dari pidato ku juga disambut meriah. Aku kembali menyeka air mataku yang tanpa sadar sudah mengalir terjun bebas, Draco merangkul dan menepuk bahuku pelan saat aku menghampirinya.

Profesor Flitwick pun kembali memandu para paduan suara.

Acara kelulusan pun dimulai.

-o0o-

"Mom, Dad!" aku berlari kecil menghampiri kedua orang tuaku. Mereka tampak tersenyum bangga padaku.

"You did well, dear…" ucap mereka. Ron dan Harry kemudian bergantian menyalami kedua orang tuaku. Ku edarkan pandanganku ke seluruh penjuru aula besar untuk mencari pria berambut pirang yang kini tengah memeluk sesorang.

Dari balik tubuh ibuku dapat ku lihat Draco memeluk Narcissa lama. Tubuhnya bergetar, menangis didalam pelukan putra semata wayangnya. Tak lama mereka seperti menyadari pandanganku dan menghampiri ku.

"Mr. Granger, Mrs. Granger…" sapa Draco sopan namun ayahku segera terkekeh.

"Kau lupa kalau aku menyuruh memanggil nama depanku saja?" mereka tertawa bersama, terlihat akrab.

"Wow, kalian… terlihat sangat akrab. Apa yang sudah ku lewatkan?" tanyaku curiga dan dahi ku semakin mengkerut akibat ayahku merangkul Draco dengan santainya. Mereka saling lirik lalu mengangguk.

"Cerita yang panjang…" jawab mereka berbarengan dan berhasil membuat mulutku menganga lebar. Mungkin Hogwarts Express bisa melewatinya. Bercanda.

Aku sedikit kaget saat Narcissa menghampiriku dan menggenggam tanganku. Tatapannya terlihat sangat sendu namun bibirnya menyemburatkan senyuman yang tampak sangat hangat. Kami melipir sedikit ke pojok ruangan.

"Hermione…" ucapnya pelan, "...ah, bolehkah aku memanggilmu begitu?" aku segera mengangguk mengiyakan. Ia menatapku dari atas sampai bawah berulang kali dan berdecak kagum, "Kau terlihat sangat cantik, seperti yang ku harapkan..."

"Terima kasih… ah, kau… juga terlihat luar biasa..." canggung. Canggung sekali. Narcissa memakai pakaian lusuh pun akan tetap terlihat luar biasa. Ku akui itu. Ia terlihat mengatur nafasnya, aku yakin ia hendak mengatakan sesuatu yang lain padaku. Jadi aku menunggunya dengan sabar.

"Terima kasih. Terima kasih mau menerimaku dan putraku, Draco…" aku segera melirik ke arah Draco setelah mendengar ucapan Narcissa, menunggu reaksi darinya namun ia tak menyadari tatapanku dan masih sibuk berbincang dengan ayah ibuku, Profesor McGonagall, bahkan Harry dan Ron juga ikut dalam perbincangan itu.

"Mrs. Malfoy-"

"Narcissa. Kau boleh memanggilku begitu saja." potongnya cepat.

"Ah, well… Narcissa, aku juga ingin berterima kasih padamu. Terima kasih telah menyayangi dan melindungi Draco, dan juga… terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Kau, ibu yang hebat." ia semakin mengeratkan genggaman tangannya lalu menarikku ke pelukannya.

Kusadari banyak mata kini menatap kami berdua.

Bahkan perbincangan ayah ibuku dan yang lainnya terhenti.

"Maafkan perbuatan keluargaku…" suaranya tercekat, aku yakin ia tengah menangis.

"Tak apa. Itu sudah berlalu..." aku melepaskan pelukannya lalu menyeka air matanya pelan, "maafkan aku juga, karena ku kau dan Draco harus mengalami siksaan yang tak bisa ku bayangkan sakitnya…" lama mata kami saling memandang, aku tahu Narcissa sedang me-legilimens ku dan aku tak melarangnya karena aku pun begitu, menyelami pikiran satu sama lain. Menyampaikan hal-hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Narcissa tersenyum sangat indah, kini aku tahu senyuman indah di wajah Draco itu warisan dari siapa.

"Hermione…" Draco menghampiriku dan melingkarkan lengannya di pinggangku tanpa ragu. Kini Ron dan Harry berada di sebelahku juga. Keluarga Weasley pun kembali membuat percakapan meriah.

Semua orang kembali sibuk dengan perbincangan mereka. Saling melemparkan candaan hingga tertawa lepas.

mata yang sebelumnya memandangiku dan berbisik tentangku dan Narcissa juga kembali sibuk dengan urusannya masing-masing.

"Draco," bisik ku pelan hingga ia harus memiringkan kepalanya.

"Ya?"

"Ini… bukan mimpi, kan?" ia tampak bingung dengan pertanyaanku.

Didekatkannya kepalanya dengan posisi berbisik. Lama namun tak kunjung memberikan jawaban atas pertanyaanku. Aku menoleh hingga akhirnya bibirku dan bibirnya pun bertemu.

Ya, berciuman.

DI DEPAN UMUM.

Tanpa sadar aku mendorongnya dan ia meringis kesakitan. Aku tahu aku tak mendorongnya sekuat tenaga, ia hanya berlebihan saja. Lalu ia terkekeh geli dan kembali melingkarkan lengannya di pinggangku.

"Ini nyata, Hermione…"

"Kau berhutang penjelasan padaku." ujarku kesal yang dibalasnya dengan anggukan.

Semakin malam semakin meriah. Aula besar telah di isi dengan seluruh murid, tak hanya murid tahun ke-7 saja. Seluruh orang tua wali murid sudah di giring Profesor McGonagall menuju ruangan lain.

Tadi, dengan santainya Draco mengundang keluargaku, keluarga Weasley dan Harry ke rumahnya besok untuk merayakan acara kelulusan kami. Anehnya lagi, tak ada satupun yang membahas tentang acara peresmian pertunangan Draco. Lebih aneh lagi McGonagall juga ikut menerima ajakan itu. Semua tampak setuju saja.

Mari berpikir positif

Kami pun bergantian untuk mengambil foto bersama.

Sungguh masih seperti mimpi.

Draco berfoto dengan kedua orang tuaku di sisi kanan dan kirinya. Begitupun denganku. Berfoto dengan Narcissa.

Andai saja Lucius ada disini...

-o0o-

Langit sudah mengubah warnanya, gelap namun sangat indah. Aula besar juga sudah berubah menjadi ruangan berdansa. Lilin-lilin yang sebelumnya menerangi aula berubah menjadi lampu kerlap-kerlip, hiasan kelulusan entah sudah kemana, hanya ada foto-foto perjalanan murid tahun ke-7 dari awal masuk Hogwarts hingga kelulusan hari ini.

Semua murid memakai gaun dan setelan terbaik mengikuti warna asrama masing-masing. Tak ada lagi jubah Hogwarts. Sedari tadi Draco terus berada disisiku. Tak berjarak sedikitpun, seperti anak-anak yang takut hilang dari ibunya saat dibawa ke keramaian.

Tiba-tiba saja Draco mengulurkan tangannya.

Aku sadar posisi ia saat ini tengah mengajakku berdansa.

"Nocturne…" gumamku.

Seperti déjà vu.

"Pasangan Ketua Murid kita… silahkan!" Teriakan suara Blaise dengan pengeras suara itu muncul entah dari mana. Oh, itu dia. Di atas panggung.

Aku tak dapat menolak ajakan Draco dan aku juga tak ingin menolaknya.

Karena Draco menghilangkan topengku kini kami berdansa tanpa memakainya. Jelas saja lagi-lagi semua memandangi kami. Wajahku memerah tapi Draco tak peduli dan herannya aku tetap mengikuti gerakkan tubuhnya perlahan.

"Sudah pernah ku katakan bukan, kalau aku ingin menggandengmu, memelukmu, dan berdansa denganmu tanpa perlu bersembunyi-sembunyi?" tanyanya sembari menyunggingkan senyuman khasnya.

"Jadi sekarang waktunya?" godaku dan ia pun mengangguk setelah memutar tubuhku. "Bisakah kau beritahu aku, aku harus apa saat ini?" ia tampak berpikir sejenak namun aku tahu ia hanya berpura-pura.

"Tak ada. Kau tak harus berbuat apa-apa. Berdansa saja denganku, sampai acara ini berakhir."

"Dan besoknya aku harus menghadiri acara peresmian pertunanganmu?" air muka Draco berubah serius. Aku tahu aku salah memilih topik pembicaraan tapi demi Merlin aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku!

"Tak lucu, Hermione."

"Aku sedang tak melucu, Draco." ia memutar tubuhku kembali dan kini ku sadari banyak pasangan yang sudah turun ke lantai dansa. "Ok fine! Aku akan menunggu penjelasan darimu. Besok."

Buang ego dan gengsi mu Hermione. Ingat pidato mu tadi.

Aku masih tetap setia bermonolog ria.

Kini mukanya kembali normal. Atau tak normal?

Wajah Draco versi normal adalah wajah dingin tanpa ekspresi bukan?

Ia tersenyum lagi sebelum mengakhiri dansa dengan ending pose. Menarik tubuhku lagi dan tanpa menunggu persetujuan dariku ia pun mencium bibirku.

MATI AKU.

Ciuman kali ini tanpa topeng. Tanpa perubah wujud.

"That's my girl…" ucapnya dengan nafas tersengal.

"That's my girl…" kalau ini adalah ayahku. Ia muncul entah dari mana, mungkin pertemuan para orang tua wali murid sudah selesai. Ibuku dan Narcissa justru tersenyum-senyum tak jelas seperti remaja yang baru puber, melambai-lambaikan tangannya ke arah kami.

"HAVE FUN GUYS!" Teriak Blaise lagi dan kini musik pun berubah ke aliran lebih up beat.

Aku dan Draco melipir dari keramaian.

Jelas dia akan membawaku ke menara ketua murid.

"Hari terakhir di Hogwarts?" tanyanya dengan nada menggoda yang herannya ku jawab dengan anggukan seolah paham dengan pertanyaannya yang mengandung ajakan mesum itu.

Entah bagaimana aku sudah berada di depan pintu menara ketua murid.

"Mawar Berduri…" ucap kami berbarengan.

Draco malah menggendong tubuhku ala bridal style, membuatku terkekeh geli sekaligus aneh.

Ia meletakkan tubuhku perlahan di ranjangnya. Aku mengamatinya yang mulai melucuti pakaiannya satu persatu. Kecuali celananya. Ia bertelanjang dada. Menghampiriku untuk melepaskan sepatuku. Seringaian khasnya kembali muncul.

"Make a wish, Hermione…" suaranya membuatku merinding.

"Like what?" godaku balik yang perlahan mundur dari ranjangnya hingga terpojok di headboard ranjang.

"Anything…" ia langsung melumat bibirku dengan ganas. Tangannya mengelus kakiku dengan lembut dari ujung hingga pahaku, ia menurunkan panty ku perlahan dan tangannya mulai bermain di balik gaunku, membuatku mendesah saat ia menyentuh bagian terlemah di tubuhku ini. Ia gigit bibir bawahku agar bisa mengeksplor bibirku lebih dalam. Aku menghentikan tangannya saat hendak menyentuh dadaku.

"Jangan robek gaunku, please…" ia tertawa lalu mengangguk paham. Perlahan ia membuka resleting belakang gaunku, menciumi setiap lekuk leher dan bahuku. Hangat. Bibirnya sangat hangat. Meninggalkan bekas seolah membakar kulitku namun membuatku ketagihan. Kini aku tak memakai apapun, ia menatap tubuhku lama yang membuatku malu lalu menyilangkan lenganku untuk menutupi dadaku.

"Berhenti melihatku seperti itu…" aku yakin wajahku sangat merah saat ini. Ia melerai kedua lenganku, mendekatkan wajahnya dan membelai dengan lembut wajahku.

"Bagaimana bisa... dulu, aku melewatkanmu?" ia mengecup keningku, kedua mataku, hidung, pipi kanan dan kiri, dagu, terakhir bibirku. "Terima kasih, sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih, sudah menerimaku yang tentu saja selalu menyakitimu. Karenamu, aku bisa merasakan cinta. Karenamu, aku tahu apa arti perjuangan. Karenamu, aku kembali merasakan sebuah harapan. Karenamu, aku akhirnya bisa menentukan pilihan untuk diriku sendiri. Karenamu Hermione, aku merasa seperti manusia…"

Kusibakkan helaian rambut pirangnya yang menghalangi wajah tampannya itu.

"Draco, you light up my life... you give me hope to carry on, you light up my days and fill my nights with love. Ini semua bukan hanya karena ku, ini semua karena kita. Kita berjuang bersama. Bersama memperjuangkan apa yang pantas untuk diperjuangkan. It can't be wrong when it feels so right. Because you, Draco Malfoy... you light up my life. I love you." Aku menarik dagunya dan menciumnya.

"I love you more. More than anything." balasnya dan akupun mulai melucuti kain yang tersisa di tubuhnya.

-o0o-

Thank you for staying with me even though I'm so hard to deal with it.

Thank you for staying by my side even though I tried to push you away.

Thank you for staying even if you had every reason to leave.

Thank you for making it easier when life gets hard.

Thank you for being the reason I smile.

Thank you for always being beside me all this time.

I love you, always.

-Hermione Jean Granger.

-TBC-

A/N : Hai guys, long time no update. Do you miss me? Tenang, ini belum ending kok. Masih 'TBC'. Pengen buat banyak Draco's POV tapi 1 chapter khusus dia doang gak akan cukup. Aku harap kalian masih gak keberatan sama cerita ini, aku bakalan lanjut lagi disini. Dan aku juga sudah persiapkan beberapa cerita baru dengan genre yang berbeda-beda. Terima kasih buat yang rela membaca ulang. Sekali lagi, mohon reviewnya ya. Kritik dan saran sangat aku terima. Sampai jumpa di chapter berikutnya!

-A.R.M ❤