DISCLAIMER: Naruto © Masashi Kishimoto.

RATE: M

WARNING: TYPO, AU, OOC, DRAMA DAN YANG PENTING, JANGAN PERNAH MEMBACA APAPUN ITU YANG MEMBUAT MATA ANDA IRITASI. TETAPLAH PADA JALUR MASING-MASING, KARENA AKU HANYA MENCOBA MELESTARIKAN APA YANG AKU CINTAI DAN AKAN SELALU MENCINTAI APA YANG MEMBUATKU SENANG. ^_^

.

.

~Complications~

.

.

"Anggap saja aku dinding."

Tak lama sebuah mobil berhenti diantara dua gadis yang sudah saling memandang tajam dengan mata yang sembab oleh air mata. Mobil yang dikendarai cukup kencang itu benhenti dengan tiba-tiba sampai terdengar dencitan ban mobil dengan aspal.

Terlihat keluar dari sana, sosok tinggi, rambut yang melawan gravitasi dan setelah jeans dengan kaos dan jaket hoodie berwarna gelap. Melangkah cepat menuju dua gadis yang sama-sama menatap kearahnya.

Mungkin mereka kaget dengan kedatangannya.

Mata hitamnya memicing tajam, melihat pemandangannya yang ia lihat, air mata kekasihnya, ditambah dengan penampilan gadisnya itu, yang hanya memakai bra tanpa penutup apapun. Tubuh yang menjadi konsumsi publik. Tentu saja hal itu membuatnya marah, pasti itu adalah ulah dari sosok yang berdiri tak jau dari kekasihnya itu.

Siapa lagi kalau buka Uzumaki Karin. Entah apa yang dilakukan gadis Uzumaki itu terhadap kekasihnya. Ia tak tau, karena ia telat menyaksika apa yang telah terjadi.

Tapi kenapa seolah semua diam atas tindakan Karin pada Ino? Bukankah disini juga ada kedua sahabatnya dan juga ada Naruto?

Mengabaikan semuanya sang Uchiha yang telah sampai didepan kedua gadis itu, langsung memberikan sebuah tamparan yang cukup keras pada pipi gadis bersurai merah. Sampai membuat gadis itu tersungkur.

"Apa yang kau lakukan? Aku sudah memperingatkanmu bukan?" Ucapnya lirih tapi penuh amarah memandang dengan sorot mata tajam.

Mengabaikan Karin yang masih tersungkur di aspal, kini Sasuke memutar tumitnya menuju kearah gadis yang masih berdiri diam.

Buru-buru melepas jaket hoodie-nya dan memakaikannya pada tubuh telajang sang kekasih. "Kau baik-baik saja?" Tanyanya lembut.

Melihat ini sama saja dengan saat melihat gadis ini mendapat pelecehat di bus beberapa waktu lalu. Sakit dan marah. Ingin membunuh siapapun yang melakukan ini pada gadisnya.

Namun kali ini Ino menolak pelukannya, ia melangkan mundur, mengambil jarak dari pemuda tinggi didepannya. Jaket yang telah berhasil menutupi tubuh atasnya ia tarik kembali dan membuangnya, sama seperti baju yang beberapa saat lalu ia buang.

"Kau tidak perlu menutupi tubuhku." Desisnya dengan masih sesegukan.

Menerima penolakan sang kekasih, kali ini Sasuke hanya bisa diam. Tapi kemarahannya tak mereda. Entah apa yang telah diperbuat Karin pada Ino. Kini ia hanya ingin membunuh gadis itu saja.

"Aku sudah melarangmu untuk tidak datangkan?" Lagi Sasuke bersuara.

"Kenapa kau takut aku mengetahui semuanya?"

"Dengar, akan aku jelaskan, tapi kita pulang sekarang." Sasuke memberi jeda sejenak dan mencoba mendekat lagi. Ia harus sabar. Kekasihnya ini mungkin sedang kecewa padanya. "Lihat keadaanmu, banyak yang melihat tubuh Ino."

Ino mendengus mendengarnya. "Aku tidak malu dengan tubuh telanjangku ini Sasuke, semua kelakuanmulah yang memuatku malu. Kau sudah menelanjangiku lebih dari ini Uchiha Sasuke brengsek." Mungkin ia bukan gadis kasar yang bar-bar, mengumpat atau tidak menambahkan suffix bukanlah kebiasaannya. Tapi sekarang mengkin pengecualinya dan untuk pertama kalinya.

Air mata yang tak kunjung berhenti, membuat gadis bermata aqua itu hanya diam sesegukan. Bertahan disini sama saja menambah kesakitanya, sosok pemuda yang menjadi kekasihnya beberapa waktu lalu, sebelum hari ini masih diam di depannya. Memandangnya dengan penuh luka yang terpancar dari onyx miliknya, tapi juga ada kemarahan disana.

Ino mengambil langkah mundur, mungkin ia kini sedang terjebak ditempat ini, tapi sekarang ia hanya ingin pergi dari semua orang yang ada disini, pergi dari pemuda di depannya, mengabaikan segala drama yang Sasuke buat.

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah mundur ia ambil, sebelum tumit dan badannya ia putar berbalik. Tanpa pikir dua kali ia membawa langkahnya untuk berlari, menjauh dari tempat Sasuke masih berdiri diam.

Mengabaikan kondisi tubuhnya yang telanjang, tubuh atasnya hanya tertutup bra. Angin malam musim panas yang semula hangat kini seolah menyelimutinya dengan kedinginan.

Pergi dari tempat itu secepatnya adalah tujuannya, sampai ke kamarnya adalah keinginanya, ia ingin menangis yang kecang disana. Tapi seolah dunia mengejeknya, seberapa berusaha berlari jarak rumahnya masih terlihat jauh.

Tapi paling tidak ia bisa menjauh dari ribuan mata yang menjoba menjatuhkannya lebih dari ini. Dijalanan sepi yang baru ia sadari, ia merasa takut dan khawatir dengan keadaannya. Tangan kecilnya ia gunakan untuk memeluk tubuh dinginnya. Lelah berlari ia memutuskan berjalan pelan, karena ia sadar dengan berlaripun ia tak dapat sampai ke rumahnya.

Sedangkan Sasuke, masih diam melihat kepergian gadis yang sangat ia cintai dari hadapannya dengan air mata. Jujur ia ingin sekali mengejarnya membawanya kedalam pelukannya dan menjelaskan semua akan baik-baik saja, tapi keinginnannya untuk tinggal lebih besar.

Memberi pelajaran pada gadis Uzumaki adalah keinginan terbesarnya. Setelah sosok Ino semakin jauh dari pandangannya Sasuke pun memutar tubuhnya menghadap sosok yang masih diam terduduk di aspal.

Rahang tegas sang Uchiha yang menunjukan kemarahannya terlihat jelas oleh mata yang memandang. Tanpa peringatan surai merah yang tergerai bebas ia tarik sampai sang empunya terpaksa berdiri.

Setelah berdiri tarikannya pun tak kunjung Sasuke lepas, ia malah lebih erat mencengkramnya. "Aku sudah memperingatkanmu kan brengsek?" Suara yang tegas mengalun berat.

Karin ingat, Sasuke memang sudah memperingatkannya, tapi masa bodoh tentang itu, semua sudah terjadi.

Lalu apa ia takut dengan kemarahan Sasuke? Tidak, ia ingin melihat seberapa besar kemarahan pemuda Uchiha itu.

Cengkraman pada rambut merah Karin, ia lepas hanya untuk memberi tamparan berkali-kali pada wajah ayu gadis itu. Sampai darah segar sedikit keluar dari sudut bibir merahnya. Tamparan keras membuat giginya merobek sudut bibirnya.

Sasuke tidak pernah semarah ini pada seorang wanita, apa lagi sampai mengunakan kekerasan berlebihan seperti ini. Ia lebih suka apa bila lawannya adalah seorang laki-laki dari pada gadis yang juga ia kenal sejak dulu. Tapi kelakuan Karinlah yang membuat ia marah besar.

Tamparannya masih berlanjut, tak peduli wanita itu sudah terluka, berdarah dan kembali tersungkur.

Kini rahang Karin yang ia cengkram kuat, "berdiri." Bentak Sasuke.

Karena tak mau lebih sakit lagi, Karin ikut berdiri karena tarikan dan cengkraman pada rahanya yang menyakitkan.

"Apa kau lupa dengan siapa kau membuat masalah?" Lagi, Sasuke bertanya dengan tekanan pada setiap katanya.

Sedangkan semua mata yang sejak tadi menyaksikan dengan diam, masih disana ingin melihat bagaimana kelanjutannya, berbeda dengan sepasang mata shapire, milik pemuda yang juga menjadi kakak sepupu dari gadis yang sedang Sasuke hajar.

Namikaze Naruto, mengabaikan gengaman tangan sang kekasih, ia berlari menuju kearah tengah, dimana sahabat dan adik sepupunya ada disana.

Tujuannya tentu saja menghentikan Sasuke berbuat lebih dari ini. Bagaimanapun juga Karin tak sepenuhnya salah.

"Sasuke sudah cukup, berhenti." Naruto mlepaskan cengkraman tangan Sasuke pada rahang Karin dengan paksa. "Kau bisa membunuhnya." Lagi ia memperingatkan, setelah tangan sang sahabat terlepas.

Kini sang adik ada pada jangkaunnya, ia berdiri diantar dua orang itu.

"Memang itu tujuanku, minggir." Desis Sasuke.

Namun Naruto tak menyingkir, juga tak bersuara. Ia hanya memberi tatapan yang sulit diartikan pada sahabatnya.

Diam dalam posisi seperti itu, Sasuke hanya bisa menghela napas panjang setelahnya. Karena ia tau, seberapa keras kepalanya Naruto. Jadi ia tak akan mau menyingkir dan menyerahkan sepupunya.

Sebuah senyum miring, Sasuke tunjukan sebagai ejekan pada sosok di depannya. Lalu ia mendengus sebelum berkata. "Beritau pada sijalang ini, siapa yang sedang ia lawan."

Jeda sebelum Sasuke melanjutkan, "Aku tak segan-segan membunuhnya disini, bila dia bukan adikmu."

Setelah menyelesaikan kalimatnya itu ia langsung pergi dengan kemarahan yang belum juga mereda.

Sebelum insiden penamparan Sasuke pada Karin, beberapa waktu lalu, setelah tak lama Ino pergi dari sana, ada sosok yang langsung mengejarnya karena ia tau Sasuke tak mengejar sosok gadis itu.

Sabaku Gaara memilih mengabaikan sosok lembut yang berdiri takut dibelakangnya tanpa suara. Ia kembali memasuki mobilnya dan mengendarai menjauh dari tempat itu meninggalkan Hinata yang tanpa berani mencegahnya pergi.

Tak perlu berkendara dengan kencang untuk dapat menyusul sosok yang kini telah berjalan pelan dengan keadaan mengenaskan. Gaara tak pernah berpikir bahwa ini adalah kesempatannya tapi ia hanya ingin memeluk sosok rapuhnya, ia tak pernah suka dengan sosok Ino yang seperti ini.

Tadi ia sempat bertanya dalam hati, kenapa Sasuke tak mengejarnya? Sekarang ia tau, mungkin ia yang harus mengejarnya.

Mobilnya ia berhentikan tepat di depan Ino yang juga langsung berhenti. Pandangan yang buram karena air mata, masih bisa membedakan bahwa mobil yang berhenti di depannya ini bukanlah milik Sasuke.

Tapat, saat ia melihat siapa yang keluar dari dalamnya. Sabaku Gaara keluar dari sisi kemudi dan berjalan mendekatinya.

Apa pemuda ini sedang mengasihaninya?

Atau apa Sasuke yang meminta sahabatnya ini mengejarnya? Kenapa bukan Sasuke sendiri yang mengejarnya, bukankah pemuda itu ingin memberi penjelasan? tapi itu tak penting sekarang, karena ia tak ingin mendengar penjelasan apapun.

Inginnya Ino mengabaikan sosok yang mendekatinya, dengan cara kembali berlari. Tapi Gaara melah menarik lengannya, mencegahnya untuk pergi.

"Aku antar pulang." Suara lirihnya menjelaskan maksudnya setelah Ino berada didepannya.

Tanganya masih tetap memberi cengkraman lembut pada lengan Ino.

Ino menariknya, namun tetap tak terlepas. "Lepas." Pintanyapun diabaikan oleh Gaara.

"Lepaskan Gaara, aku bisa pulang sendiri." Suara yang mengalun lirih masih dapat didengar Gaara meski terhalang oleh sesegukan.

Ino tak perlu seseorang mengasihani keadaanya sekarang.

Gaara menarik napas pendek, masih kukuh menahan lengan gadis depannya.

"Lihat keadaanmu, Orang tuamu akan khawatir melihatmu pulang keadaan seperti ini." Dengan sabar ia berkata panjang.

Bukan membual atau sekedar mecari kesempatan, tapi ia tau pasti kedua orang tua Ino akan khawatir melihat putri mereka dengan keadaan seperti ini, layaknya dirinya.

Ino diam, mencerna ucapan Gaara, ia ingat beberapa minggu lalu, ia pulang dengan keadaan yang juga mengenaskan, dan ia tau seberapa khawatirnya sang ibu.

Mengingat itu, air matanya yang mencoba ia cegah kembali mengalir dengan deras dan sesegukannya semakin menjadi.

Melihat hal itu, dada Gaara bertambah sakit meski tak berdarah. Apa ini? Tanyanya pada dirinya sendiri.

Kesakitan yang ia rasakan membuat ia lebih posesif pada sosok didepannya. Tarikan pada lengannya membuat Ino menubruk tubuh tegapnya.

Dengan melingkarkan kedua tangannya pada tubuh kecil itu sedikit menenangkan dadanya yang sesak. Sebuah pelukan yang menghangatkan tubuh yang dingin di musim panas.

Ino tentu saja ingin meronta, karena ia tak ingin terlihat rapuh di depan siapapun. Termasuk pemuda ini. Apa lagi terlihat menangis sesegukan seperti ini.

Rontahannya berhenti, setelah melihat ucapan pemuda itu yang terdengar seperti penenang baginya.

"Anggap saja aku dinding." Lirih Gaara.

Tangannya masih memeluk posesif tubuh yang hanya tertutup bra dibagian atasnya. Gadis itu mulai tenag dalam pelukannya.

Ucapannya itu untuk memberi kekbebasan untuk Ino menangis dalam pelukannya. Ia tak pernah mempermasalahkan kenyataan seberapa rapuh sosok kuat seperti Ino.

Tangisannya tak mudah mereda, dadanya malah semakin sesak. Disaat tadi tdak ada yang peduli padanya, sekarang pemuda ini datang dan peduli padanya.

Disaat semua orang menginginkan kehancurannya, sosok pemuda ini malah mengkwatirkannya.

Tangan Ino yang bebas berada di dada sang pemuda, ia gunakan untuk mencengkram kaos dan jaket pemuda itu. Sedangkan wajahnya yang menangis sudah membasahi kaos bagian depan Gaara tanpa ia peduli.

...

"Kenapa kau tidak memberitauku kalau kau datang?" setelah kepergian Sasuke dari hadapan kedua saudara itu, Naruto langsung meberondong dengan banyak pertanyaan pada sang sepupu.

Namun Karin masih diam menunduk.

"Kapan kau datang? Dan Dimana kau tinggal sekarang?" Masih pertanyaan yang sama, soal kedatangan dirinya ke Jepang yang tak ia beritaukan pada sang kakak sepupu.

Bukan rasa marah seorang kakak atas perbuatan adiknya yang baru saja dilakukannya, karena Karin tau, Naruto adalah sosok penyambar dan tak tau malu yang menjengkelkan.

Kadang tak tau tempat dimana dan pada siapa ia harus peduli.

Masih dalam diamnya, Karin enggan menjawab semua pertanyaan dari Naruto. Tapi apa pemuda itu menyerah dan lalu pergi meninggalkannya? Tidak.

Tatapan sepasang mata sapphire itu lekat mengarah padanya, masih menunggu jawaban dari salah satu gadis yang ia sayangi.

Tapi seolah bungkam enggan menjawab sama sekali, membuat ia harus menghela napas. Malam ini banyak yang dipermalukan di tempat ini. Karena itu ia hanya ingin segera pergi dari tempat ini.

Melihat sekeliling, masih ada banyak teman-temannya yang berkumpul disana, seolah semua yang terjadi tadi adalah pemandangan yang pantas untuk dilihat.

Kembali ia memandang adik sepupu yang masih diam. "Ayo kita pulang." Ajaknya halus.

Tetap tak ada respon. Kembali Naruto menghela napas. "Sebenarnya apa yang kau lakukan Karin? lihat aku." Kini suaranya memang lebih lirih, tapi terdengar menangkutkan ditelingga Karin. Mungkin karena selama ini Naruto tak pernah seserius ini. Karena itulah sepasang mata ruby langsung mendongak.

Naruto memang sabar, tapi jangan anggap ia tak bisa marah juga kan? Ia sudah jenuh menghadapi semua orang malam ini, ia hanya ingn segera pulang dan tidur.

"Apa?" Jelas terdengar nada tak suka yang keluar dari bibir Karin. "Jangan pedulikan aku." Masih tertinggal disana jejak air mata dan memar pada bibirnya kala wajah ayu itu mendongak.

Melihatnya hal itu tentu menyakiti hatinya. Namun Naruto tak bisa menyalahkan Sasuke atas perbuatannya pada Karin begitu saja, karena ia tau seperti apa sahabat kentalnya itu, dan seharusnya Karin pun sudah paham akan hal itu. Karena seberapa lama Karin mengenal sang sahabat?

"Lebih baik kau pedulikan kekasihmu yang berdiri disana." Tunjuknya pada sosok gadis merah jambu. "Dan tanyakan padanya apa dia pernah tidur dengan sahabatmu?" sebuah seringai yang ia paksa tunjukan. Ada nada tekanan pada akhir kalimat.

Arah pandang Naruto mengikuti gadis itu, ia bisa melihat sosok gadis yang ia cintai disana. Mungkin melihat sosoknya sekarang bisa membuat hatinya sakit, mungkin karena asumsi Karin pada kekasihnya itu.

Tapi, ia juga tak berani bertanya untuk memastikanya, ia takut akan lebih sakit dari ini setelah mendengar jawaban dari Sakura.

"Karin sudah, ayo kita pulang."

Tangan Naruto yang mencoba meraihnya, ia tepis kasar. "Jangan pedulikan aku." Tolak Karin akhirnya.

Setelah sang kakak sepupu diam, Karin berlari meninggalkannya. Menuju mobil yang ia parkir tak jauh dengan kembali menangis.

Setelah mobil gadis itu pergi melaju dengan cepat, Naruto masih disana memandang kepergian sang sepupu dengan diam. Lalu ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang ingin marah. Ia bukan seorang yang mudah marah.

Karena tak mau merenung disini, ia berbalik cepat menuju mobilnya berada. Setelah sampai didekat mobil yang juga tempat dimana sang kekasih berdiri, Naruto berhenti memberikan pandangan yang sulit diartikan pada gadis bersurai merah muda di depannya.

"Naruto?" Panggil Sakura lirih.

"Jangan bicara padaku." Mencoba mengabaikan apapun yang coba dijelaskan sang kekasih, meski itu sulit.

Pemuda dengan gaya rambut jabrik itu memutuskan melewati kekasihnya setelah mengatakan hal itu dengan berat hati.

Ia hanya ingin menenangkan hatinya, ditambah ia juga belum siap dengan semua jawaban yang diberikan oleh gadisnya. Tidak akan pernah siap bila memang jawabannya adalah pernah.

Membawa mobilnya, meninggalkan gadis yang masih diam menatap kepergiannya.

Disisi lain ada seorang gadis juga tengah ketakutan akan nasipnya. Hyuga Hinata ketakutan melihat kemarahan Naruto. Karena selama ini, ia mengetahui pemuda itu selalu ceria tak pernah marah atau kasar tapi malam ini, ia melihat kekecewaan pada diri pemuda itu.

Lalu bagaimana dengan Gaara yang notabene memang terkenal menakutkan? Beranikah ia menjelaskan pada Gaara?

...

Pelukan Gaara pada Ino melonggar, namun masih tak melepaskan tangannya pada tubuh gadis itu. Dengan jarak yang sedekat itu, sepasang jade bisa melihat wajah yang selalu ayu terlihat kusut malam ini. Masih tertinggal jejak air mata dan sesegukan yang masih terdengar.

"Ayo aku antar pulang?"

Aqua Ino menatap lekat wajah pemuda di depannya. "Hinata?" Sejak tau Gaara mengejarnya tadi ia bertanya kemana Hinata? Apa Gaara meninggalkannya?

Gaara tak langsung menjawab, atau malah enggan menjawab. Ia tak pandai memberikan alasan, jadi ia tak tau harus bagaimana memberikan jawaban pada gadis ini.

Ia lebih memilih melepas jaketnya, dan memakaikan pada tubuh yang hanya memakai bra gadis di depannya. Kali ini gadis itu tak menolak.

"Kenapa-?"

Sebelum Ino menyelesaikan ucapannya, Gaara langsung menotongnya. "Aku hanya tidak ingin ibumu khawatir melihatmu pulang dengan keadaan seperti ini."

Kalau seandainya Ino dalam mood yang baik mungkin ia akan terkekeh mendengar kalimat Gaara.

Memang tak ada yang lucu tapi pemuda stoik sepertinya bisa mengucapkan kalimat peduli seperti ini, rasanya terdengar asing.

Karena itu Ino tak menolak saat Gaara membawanya memasuki mobil yang hanya berjarak kurang lebih lima langkah dari tempat mereka berdiri. Dan ia juga tak banyak bertanya lagi.

...

Sesampanyai dikediaman minimalis milik keluarga Yamanaka, mobil sport Gaara merhenti. "Masuklah." Perintahnya.

Ino masih diam, duduk manis di bangku samping kemudi sang pemuda. "Arigatou."

Gaara menatapnya diam, begitu pun Ino yang juga langsung memandangnya setelah mengucapkan kata terimakasih pada pemuda itu untuk malam ini.

Kediamnya sudah sangat sepi, karena meski waktu masih menunjukan sekitar pukul sebelas malam. Kedua orang tuanya sudah tidur jadi tak heran apabila ia tak menjumpai keduanya saat ia pulang kali ini.

Segera setelah mengunci kembali pintu rumahnya, ia langsung menuju kamar miliknya yang ada di lantai dua rumahnya. Kamar yang tak besar dengan penerangan yang hanya dari cahanya bulan yang menerobos masuk lewat jendela kamar membuat hatinya kembali teriris. Sunyi yang menyambutnya kembali membuatnya menangis dibalik pintu kamar yang sudah kembali ia tutup.

Sesegukan dan air mata yang kembali jatuh membasahi wajah kusutnya. Menjadi temannya pada malam itu. Seolah tak kuat menumpuh tubuhnya dengan kedua kakinya, kini ia memutuskan merosot terduduk di lantai yang dingin.

Dari luar, Gaara belum juga beranjak dari sana. Ia memandang sudut bangunan yang ia tau adalah kamar gadis yang hatinya sedang terluka kali ini. Ada jendela besar disana dengan tirai yang tak tertutup.

Mungkin Ino sudah sampai di kamarnya, sejak beberapa menit lalu gadis itu masuk kedalam rumah. Tapi kenapa lampu kamarnya tak kunjung menyala?

Ia tak tau kalau gadis seperti Ino suka dengan suasana kamar yang gelap. Apa Ino sengaja tak menyalakan lampu kamarnya hanya untuk malam ini saja? Apa gadis itu baik-baik saja?

Banyak perrtanyaan dalam pikiran pemuda itu. Dengan apa yang sudah terjadi malam ini, bukan tidak mungkin ia tidak kecewa. Namun, bukan kenyataan bahwa sosok gadis yang menjadi kekasihnya telah mengkhianatinya penyebabnya, tapi kehancuran hati sosok gadis yang membuatnyanya jatuh cinta inilah.

Senyum yang selalu menghiasi wajahnya yang selalu membuatnya juga ikut tersenyum sebelum air matanya malam ini, sosok ceria, cantik dan baik hati.

Melihat kenyataan yang terjadi pada mereka dimalam musim panas kali ini, seolah menambah rumit pertemuan dan kisah mereka. Persahatan dan cinta yang saling mereka bangun ditambah dengan saling mengkhianati menjadikan merekan berada dalam lingkarang yang kusut.

Mungkin memang ia hanya mendengar dari cerita seorang gadis yang sedang kecewa dan marah tadi, Gaara belum mendengar kenyataannya langsung. Tapi bila memang itulah kenyataanya maka, Ino-lah hadiah yang ingin Gaara minta pada Sasuke.

Gaara memilih menyadarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil dan masih tak beranjak dari sana.

...

Sasuke memutuskan pulang ke basacame mereka, dan menenangkan diri disana. Ia sudah marah-marah dari tadi tapi kenapa kemarahannya belum juga reda. Waktu mengendara menuju basecame pun ia sudah melampiaskan kemarahannya pada setir mobilnya. Dan sesampainya ke basecame ia sudah menghabiskan banyak minuman yang memang selalu ada disana.

Bahkan kini botolnya sudah berceceran dan berserakan, ada yang sudah menjadi pecahan akibat lemparannya. Ada juga yang mengelinding jauh dari tempatnya. Dan ada yang sudah tumpah mengotori meja kaca yang ada disana.

Namun semua itu Sasuke abaikan. Pemuda Uchiha itu memilih merebahkan punggungnya pada sandaran sofa.

Sebenarnya berada disini, membuatnya tambah ingin marah, tapi ia malas pulang ke kediaman Uchiha, sebab ada kakaknya yang sedang ada di rumah.

Ia sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Tidak dengan kakaknya juga.

Malam ini banyak hati yang terluka, kesakitan mereka seolah berurutan membuat semuanya adil. Dimalam musim panas, bulan Agustus, dimana seharusnya menjadi bulan yang paling ditunggu sebelum-sebelumya setelah melewati musim yang sibuk.

Kenapa disaat mereka bisa bersantai, harus dengan kesakitan yang mereka dapatkan?

Tidak ada hati yang tak luka malam ini.

Complications

Matahari kembali bersinar menghangatkan dipagi bulan Agustus, meski tak mempuh menjangkau hati yang kecewa.

Ino memutuskan enggan keluar kamar, gadis itu masih meringkuk dengan selimut tebalnya pada ranjang. Meski waktu telah menunjukan lewat pagi hari, dan yang biasanya ia selalu bangun lebih awal di hari liburnya, dan langsung menyibukan diri di toko bunga keluarganya.

Tapi kali ini ia sengaja membebaskan diri dari rutinitasnya itu. Wajah ayunya masih kusut bahkan matanya yang sipit malah bertambah sipit karena bengkak. Kondisi tubuhnyapun masih sama, jaket pemuda Sabaku tadi malam masih melekat pada tubuh kecilnya.

Ia terlalu malas sekedar beranjak untuk merapikan penampilannya. Toh ia tak sedang ingin memperhatikan penampilannya hari ini.

Suara ketukan pintu kamarnya, hanya mampuh menganggunya sebentar. Dari baliknya terdengar suara sang mama. "Ino, kau baik-baik saja?"

Wajar kalau mamanya bertanya seperti itu, karena khawatir pada dirinya yang biasanya selalu semangat dihari libur untuk bangun pagi dan mengurusi toko bunganya selagi sang mama memasak.

Tapi kali ini, sampai sang mama selesai memasak, ia tak melihat putrinya itu keluar kamar.

"Apa kau sakit?" Kembali ia bertanya, dari balik pintu yang terkunci.

Karena tak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir lebih lagi, Ino segera menjawab. "Aku hanya ingin istirahat mama." Mencoba mengabaikan suaranya yang serak.

"Oh, Baiklah. Apa kau ingin mama membawa sarapanmu ke kamar?" Tanyanya lagi.

Ino menggeleng lemah, tapi setelah ia sadar bahwa mamanya tak bisa melihat jawaban non verbalnya itu ia segera bersuara. "Tidak usah."

Ia tau kedua orang tuanya itu sangat pengertian dan sangat peduli padanya. Setelah kepergian sang mama, ia kembali menutup wajahnya dengan selimut.

...

Gaara membawa langkahnya dengan malas menuju ruang makan keluarga besarnya. Tadi malam setelah berjam-jam menghabiskan waktunya di depan rumah Ino, seperti penguntit, ia memutuskan pulang. Namun baru beberapa jam ia memejamkan mata atau malah belum sama sekali, suara ibunya sudah membangunkannya. Yang menyuruhnya untuk segera bergabung ke meja makan.

Mata jade-nya menyimpit melihat pemandangan di ruang makan yang ia lihat. Disana ada keluarga lengkapnya pagi ini.

Kedua kakaknya yang hampir tak perna ada di rumah kini ada disana. Dan ayahnya yang super sibuk pun juga.

"Ada apa ini?" Tanyanya langsung setelah sampai, bukannya segera duduk disalah satu kursi yang memang tersedia untuknya.

"Kau tak suka melihat kami datang?" Sabaku Temari yang merespon terlebih dahulu.

Gaara hanya mendengus.

"Sudahlah Temari, Gaara ayo duduklah. Kita mulai sarapan." Lerai sang ayah.

Meski merasa tak puas dengan tanggapan sang kakak perempuan, namun bungsu Sabaku itu menurut. Segera setelah ia menempelkan pantatnya pada kursi makan, sebuah piring berisi nasi dan lauk kesukaannya telah tersodor dihadapannya.

Itu adalah ulah sang ibu, yang memang selalu tau apa yang ia sukai dan apa yang tidak ia sukai. Khususnya di meja makan.

"Arigatou." Balasnya.

Mungkin Gaara, tak pernah mengucapkan kata terimakasih di dalam rumanhnya selain hanya pada ibunya saja. karena betapa pengertiannya wanita itu memahaminya, sampai Gaara tak tega untuk sekedar membatah atau membentaknya.

Temari melirik keduanya. Ia mungkin anak tertua dan anak perempuan satu-satunya dikeluarganya, tapi kadang kasih sayang ibunya yang berlebihan malah jatuh pada si bungsu.

Entah karena ibunya takut atau memang benar-benar menyayangi si bungsu itu, Temari tak tau. Ia berdehem ringan untuk meringankan tenggorokannya yang mendadak menjadi sedikit gatal, hal itu tak membuat perhatian teralih padanya, meski hanya Gaara yang tak terganggu.

"Aku dengar Gaara akan di jodohkan, apa itu benar ayah?" Matanya sedikit melirik kesosok yang kini sedang terbatuk, karena tersedak mendengar kalimat darinya.

Gaara sedikit memukul dadanya untuk meringankan panas, karena makanan yang ia telan tak masuk dengan benar. Sialan Temari pikirnya.

Melihat hal itu sang ibu, segera menyodorkan gelas berisi air untuk Gaara yang memang duduk tak jauh darinya. "Kau baik-baik saja?" Katanya.

Hal itu membuat aktivitas diruangan itu terhenti, terutama sang ayah. Gaara pun sama, setelah panasnya mereda ia kembali datar memandang sang ayah, meminta penjelasan.

Sebelum memutuskan memberi penjelasan yang mungkin akan panjang, sang kepala Sabaku berdehem dua kali. Dan memandang sang bungsu.

Apa boleh buat menceritakan sekarang, ini karena ulah putri pertamanya yang tak bisa jaga rahasia. Padahal ia ingin membicarakan ini secara pribada dengan si bungsu.

"Gaara, dengar, kau tau ayah akan kembali mencalonkan diri menjadi perdana mentri lagi kan?" Jeda sejenak untu sedikit menarik napas.

Sedangkan Gaara masih diam meminta ayahnya melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

"Dan kau tau, itu tak muda." Rasa kembali menjedanya.

Ya, Gaara tau soal pencalonan ayahnya untuk ke dua kali ke kursi politik, setelah kurang lebih empat tahun menjabat. Dan tahun ini akan habis masanya.

"Keluarga Hyuga adalah salah satu keluarga yang memiliki pengaruh besar dalam politik di negara ini, jadi akan sulit untuk menolak usulnya disaat seperti ini."

Mungkin karena terlalu fokus keinti permasalahan perjodohannya, jadi Gaara tak terlalu memperhatikan nama Hyuga yang tersebut dalam kalimat sang ayah. Tok masa bodoh, siapapun itu yang akan dijodohkan denganya, yang pasti ia akan menolak.

"Jadi ayah akan mengorbankanku?" Tanyanya dingin pada sang ayah.

"Tentu saja tidak." Rasa menjawab dengan tenang, karena bukan itu tujuannya. "Akhir pekan nanti, Hiyashi mengudang kita makan malam, untuk membicarakan hal ini."

Jeda dari sang ayah membuat Gaara memicingkan mata jade-nya tajam. Akhir pekan ini? secepat itukah.

"Ayah harap kau bisa datang." Lanjutnya dengan berat.

"Tidak."

Keputusan yang spontan tanpa perlu berpikir membuat empat pasang mata menatapnya diam. Kicho wanita yang menjadi nyonyah Sabaku di rumah itu yang pertama kali membuka suara.

"Gaara-kun, apa kau sudah punya kekasih?" Tanyanya hati-hati.

Gaara memandang sang ibu. "Kalau aku sudah punya kekasih, apa perjodohan ini akan batal?"

Ibunya tak bisa menjawab. Sebab semua keputusan ada pada sang ayah. Meski Gaara sungguh berharap jawaban dari wanita yang selama ini ia panggil ibu itu adalah 'iya'.

"Ya." Bukan sang ibu yang menjawab, melainkan sang ayah. Dengan cepat Gaara menoleh pada sosoknya dengan kening berkerut. "Baguslah kalau kau sudah memiliki kekasih, jadi ayah tak perlu susah mencari alasan untuk menolaknya." Sebuah senyum yang jarang ketiga anaknya lihat terukir di wajah tegasnya.

"Tapi, tetaplah datang akhir pekan ini, dan bawa siapa itu kekasihmu." Kalimat sang ayah kembali membuatnya diam. "Kenalkan pada kami, agar Hiyashi tau bahwa putraku sudah memiliki calonnya sendiri." Diakhir kalimatnya ia kembali tersenyum.

Ia sedikit lega mendengar putranya telah memiliki kekasih, itu bisa ia jadikan alasan untuk menolak perjodohan dengan keluarga Hyuga. Bukan tak mau berbesan dengan keluarga kaya itu tapi yang diminta adalah pewarisnya, yaitu Gaara. Sedangkan Rasa sudah berjanji bahwa kebahagian Gaara adalah yang utama.

Bila ia menolak tanpa alasn yang jelas, makan sudah dipastikan bahwa Hyuga tidak akan berpihak padanya. Jadi dengan meminta Gaara datang dengan sang kekasih akan membuat Hyuga paham.

Ada senyum yang terukir disana, namun Gaara bukannya senang tapi malah bimbang. Ia diam, bagaimana harus membawa Hinata keacara makan malam keluarganya, sedangkan apa yang baru terjadi pada mereka kemarin.

Lalu ia harus minta tolong pada siapa?

...

Hari-hari berlalu, dan Gaara tak ada pilihan lain selain datang untuk meminta tolong pada seseorang yang memang ia tau cukup baik dan bisa diandalkan. Seseorang itu adalah Yamanaka Ino.

Dan ya, kini seorang Sabaku Gaara sudah berada di depan rumah bergaya minimalis itu pagi-pagi sekali. Bahkan sebelum toko bunga Yamanaka buka ia sudah bersandar pada body mobil menunggu seorang gadis keluar dari rumah didepannya.

Namun alisnya berkerut, kala yang ia lihat keluar dari toko bunga Yamanaka bukanlah gadis yang ia tunggu, melainkan seorang pria tua seumuran dengan ayahnya.

Mungkin itu adalah tuan Yamanaka, ayah Ino. Tumben bukan Ino yang membuka tokonya, apa gadis itu belum bangun. Itu adalah segala macam pertanyaan yang mengganjal pikirannya.

Karena tak mau menunggu lebih lama lagi, dan tak mau lebih penasaran dan bertanya-tanya sendiri, ia memutuskan untuk mendekat.

Sebuah deheman pelan untuk menjaga sikap gugupnya. "Permisi?" Sapanya lembut pada pria yang kini memandanganya dengan heran.

Pelangan kan? Pikir Yamanaka Inoichi.

"Saya ingin bertemu dengan Ino." Terang Gaara langsung pada intinya tanpa harus berbasa basi. Karena ia memang bukan tipe orang yang bisa berbasa basi.

"Oh." Sampai hanya itulah yang mampuh ditunjukan oleh kepala keluarga Yamanaka itu.

"Masuklah, dia belum bangun." Setelah cukup lama diam dalam pikirannya, Inoichi membawa Gaara kedalam dan mengatakan pada sang istri yang sedang sibuk di dapur.

"Tunggu sebentar, akhir-akhir ini dia memang suka bangun siang." Jelas Inoichi memberitau.

Gaara hanya menunjukan senyum kecil.

Sedangkan sang nyonya Yamanaka, segera naik ke kamar putrinya untuk membangunkan.

Ketukan pintu tiga kali, terdengar menganggu tidur sang gadis. Ia mengeliat pelan dalam selimut tebalnya. "Ya ma?" Suara paraunya.

"Ada temanmu yang datang, ayo bangun." Kata sang ibu.

Spontan ia langsung bangun. Teman? Siapa? Sasuke-kun kah? Tidak ia tidak mau menemui Uchiha Sasuke. Tapi mamanya tadi tidak mengatakan Sasuke kan yang datang tapi seorang teman. Siapa?

"Ya, aku akan turun."

Peduli setan dengan penampilan bangungidurnya, ia bahkan tak mau repot pergi ke kamar mandi untuk sekenar gosok gigi dan mencuci muka.

Dengan menggunakan piyama tidur bermotif hello kitty ia menemui tamu yang katanya sedang menunggunya. Dan alis platinanya bertaut saat tau siapa orangnya.

"Gaara?" Sulit dipercaya, pemuda berambut merah itulah yang datang pagi-pagi ke rumahnya. "Ada apa?" Dan ia sangat penasaran.

Gaara berdiri dari duduknya, melihat pemandangan yang asing dari seorang Yamanaka Ino pagi ini. Cantik dan ya, gadis itu memang selalu cantik dalam setiap kesempatan. Bahkan setelah bangun tidur seperti ini.

"Apa aku menganggumu?" Tanyanya datar.

Dan Ino menggeleng. Ia masih menatap Gaara penasaran.

"Bisakah kita bicara diluar, di mobilku." Pinta Gaara.

Alis Ino semakin bertambah mengerut. Namun ia mengangguk juga, setuju atas saran temannya itu.

"Jadi?" Ino yang telebih dahulu memecah keheningan didalam mobil yang tak berjalan itu.

Sejak beberapa menit yang lalu Gaara membawanya masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di depan toko bunganya, namun pemuda itu masih belum mengutarakan maksud kedatangannya.

"Ino, kau mau menolongku?"

Ino masih menatap wajah yang sedang berbicara namun seolah tak berani menatap wajahnya. Ya Gaara lebih memilih memandang setir mobilnya.

"Apa yang bisa ku tolong?" Karena menunggu Gaara melanjutkan maksud dari ucapanya itu terlalu lama, dan ia sudah keburu penasaran. Makanya ia buru-buru bertanya.

"Jadilah kekasihku."

Sepasang aquamarine membola, apa Gaara mengalami over dosis obat penenang sampai ia bicara seperti itu?

Kini, sepasang mata jade, memandangnya dalam. "Ayahku memintaku untuk membawa kekasihku akhir pekan ini. Dan aku tidak tau harus membawa siapa?"

Sepasang mata Ino berkedip. Ya mungkin kini ia tau sedikit maksud temannya ini. "Hinata, kenapa kau tidak membawa Hinata?"

"Kau tau, aku belum berbicara padanya setelah kejadian kemarin."

Ya, Ino sangat tau penyebabnya. Karena ia juga mengalami apa yang dialami Gaara. Meski kecil kemungkinan Hinata juga ikut dalam permainan Sasuke.

Apa hubungan Gaara juga berakhir seperti dirinya, jadi apa Hinata benar-benar pernah tidur dengan kekasihnya itu?

"Apa kau sudah bertanya pada Hinata?"

"Aku tidak akan bertanya apapun pada Hinata, sebelum dia sendiri yang berani menjelaskannya padaku."

Mereka diam dalam pikiran masing-masing.

Cukup lama sampai Ino kembali membuka suara.

"Gaara?"

Pemuda bersurai merah itu menoleh.

"Apa kau percaya, kalau Hinata juga pernah tidur dengan Sasuke?" Sedikit takut ia bertanya.

Dari pertanyaan Ino, Gaara tau seberapa terlukanya gadis ini. Sosok kekasih yang ia cintai dan teman yang ia sayangi menjadi penyebab masalah yang sama. Lalu bangaimana dengan hatinya? Apa ia juga sama terlukanya dengan Ino? Tidak.

Dari awal, yang ia sukai adalah gadis yang duduk disampingnya ini. bukan Hinata, menjadikan gadis pendiam itu kekasihnya adalah karena sebuah tantangan dan hadiahnya yang sangat menggiurkan.

Karena tak mau membuat Ino menunggu jawabanya terlalu lama, ia menjawab. "Yang aku tau, Hinata adalah tipe gadis yang tidak bisa membuat alasan. Jadi ia hanya akan mengatakan apa itu kenyataan." Jeda Gaara ambil untuk menatap lawan bicaranya. "Jadi kalau sejak kejadian kemarin ia belum berani mengatkan apapu padaku, itu karena ia takut dengan kenyataannya." Simpul Gaara dengan rapi.

Gaara tau, Ino bukan gadis bodoh yang tak mengerti maksud dari kalimatnya.

Ino memilih menunduk mendengar kesimpulan Gaara, tapi memang, Hinata tidak pandai berbohong. Tapi sulit dipercaya bila itu adalah kenyataan.

"Kau mau menolongku kan?" Gaara masih menatap gadis disampingnya berharap Ino mengabulkan keinginanya. "Aku tidak tau harus meminta tolong pada sapa lagi."

Sebelum ini Ino tak pernah melihat Sabaku Gaara memohon seperti ini, Gadis itu tersenyum. "Apa ayahmu ingin menjodohkanmu?" Tebaknya.

Dan Gaara malah mendengus. "Ya, dan aku menolak, aku tak bisa menghabiskan sisa hidupku dengan orang yang tidak aku cintai." Lawaknya yang tidak pernah ia keluarkan sebelum ini.

Ino terkekek kecil dibuatnya. Orang kaya dan orang penting memang selalu seperti itu bukan. Ingin mendapat kan apa yang sama seperti yang dimilikinya.

"Kau tau, ayahku berjanji tidak akan menjodohkanku apabila aku membawa kekasihku menemuinya akhir pekan ini." Sambung Gaara.

"Aku mohon." Lagi Gaara menambahkan.

"Hanya untuk menyelamatkanmu." Putus gadis bak barbie itu.

Yang langsung membuat bungsu Sabaku itu ikut tersenyum. Karena kalimat yang ia dengar itu artinya, Ino setuju menjadi kekasihnya.

Meski hanya pura-pura.

Sebuah permainan baru kembali mereka rangkai menjadi cerita yang lain. Yang mungkin bisa menjadi lebih rumit dari lingkaran yang tengah menjebak mereka.

Persetujuan dari sebuah perjanjian yang mereka buat, mungkinkah akan membawa kebahagian pada sisa hati yang luka?

~To be Continued~


A/N : Terimakasih atas RnR-nya dan atas semangat yang selalu kalian tulis untuku dan fic ini. Kalian yang tak bosan-bosannya mengingatkaku untuk update. Terimakasi atas segala apresiasinya, saya sangat terharu dan menjadi motivasi buat update. XD

Maaf karena lagi-lagi tak bisa membalas satu persatu review kalian tapi sungguh aku membacaya.

Fic ini akan selalu aku update sampai ending meski mungkin akan sangat lelet.