DISCLAIMER: Naruto © Masashi Kishimoto.
RATE: M
WARNING: TYPO, AU, OOC, DRAMA DAN YANG PENTING, JANGAN PERNAH MEMBACA APAPUN ITU YANG MEMBUAT MATA ANDA IRITASI. TETAPLAH PADA JALUR MASING-MASING, KARENA AKU HANYA MENCOBA MELESTARIKAN APA YANG AKU CINTAI DAN AKAN SELALU MENCINTAI APA YANG MEMBUATKU SENANG. ^_^
.
.
~Complications~
.
.
"Sweet lies"
Sejak tiga puluh menit ia bangun tidur, Namikaze Naruto sudah mondar mandi tak tenang di ruang tamu kediamannya. Ruangan yang menjadi penghubung antara tangga lantai dua dan ruang makan itu membuatnya menjadi pemuda yang kurang kerjaan dengan apa yang ia lakukan sejak tadi itu.
Mungkin bukan karena tanpa alasan, ia bangun pagi. Bahkan sebelum orang tuanya bangun. Biasanya ia lebih memilih tidak ikut sarapan disetiap hari liburnya. Mungkin hari ini menjadi pengecualian.
Sampai membuat ayah dan ibunya berpandangan satu sama lain dipertengah tangga saat melihat putra semata wayang mereka sudah bangun.
"Ada apa Naruto?" Tanya sosok ayah tampan itu.
Sedangkan yang ditanya hanya berhenti dari mondar-mandinya, lalu menatap seolah binggung pada kedua orang tuannya.
Sang ibu sudah lebih dulu melewati anaknya menuju ruang makan, meninggalkan suami dan anaknya yang masih berdiri disana.
Tanpa menunggu Naruto menjawab, sang ayah sudah lebih dulu mengajaknya menyusul sang ibu ke ruangan dimana makanan untuk sarapan mereka telah tersaji disana.
"Tumben kau sudah bangun Naruto?" Kini sang ibu yang bertanya.
Naruto hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal, terlihat mengatasi kebingunggannya untuk memulai. Ia harus memulai dari mana? Sebenarnya bukan tanpa alasan ia bangun pagi, dan mondar-mandi sejak tadi. Ia memang sengaja menunggu kedua orang tuanya bangun karena memang ada yang ingin ia katakan. Tapi ia tidak tau harus memulainya darimana.
Sampai kedua orang tuanya memulai menyantap sarapannya, ia masih bergeming mencari cara untuk menyampaikan kabar yang ia terima awal libur musim semi kemarin.
Sejak saat itu, ia hanya mengabiskan waktunya di rumah dengan bangun siang, karena itulah ibunya mengatakan ia tumben sekali bangun sepagi ini? Meski sebenarnya sekarang sudah tidak pagi lagi.
Kadang juga ia akan menghabiskan waktunya disebuah klub malam dan pulang menjelang fajar menyingsing.
"Kaa-chan?" Mulainya.
Wanita yang dipanggil kaachan itu menoleh pada anak satu-satunya.
"Kaa-chan tau kalau Karin, datang ke Jepang?" Dengan membulatkan tekatnya, ia akan mengatakannya hari ini. Naruto tau kalau Karin masih ada di Jepang dan tinggal di hotel yang ia tidak tau lokasinya.
Kushina mengeleng, sebelum ia bersuara. "Kapan ia datang?"
"Kurang lebih sudah satu minggu yang lalu."
Sang ibu, menghentikan makannya, dan berganti mengerutan kening.
"Lalu tinggal dimana dia sekarang?"
"Hotel." Jawab Naruto langsung.
"Hotel?" Beo Kushina.
Naruto mengangguk.
"Kenapa tidak kau ajak tinggal di rumah Naruto?" Kini sang kepala keluarga yang memberi tanggapan.
Mata sapphire Naruto melihat sang ayah.
"Aku sudah mengajaknya, tapi dia tidak mau."
"Hmmm, anak itu." Lagi Kushina berkomentar.
Setelah komentar dari Kushina, obrolan mereka kembali terjeda cukup lama. Jadi Naruto harus ekstra mencari cara yang tepat untuk menyampaikan berita berikutnya.
"Karin bilang, dia hamil."
Seketika Kushina menatapnya horor dan Minato yang langsung tersedak makanannya.
Melihat sang suami batuk-batuk, wanita bersurai scarlet itu memberi perhatian pada sang suami. "Minato kau tidak apa-apa?" Khawatirnya.
Sedangkan Minato langsung memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.
"Jangan bercanda Naruto." Tanggapan sang kepala keluarga Namikaze itu.
"Aku tidak tau dia bercanda atau tidak."
Mendengar nada keseriusan dari sang anak, kedua pasangan suami istri itu saling berpandangan. Namun masih diam untuk beberapa saat.
"Aku juga tidak yakin saat dia mengatakan, bahwa Sasuke-lah yang bertanggung jawab atas kehamilannya." Kini pewaris tunggal Namekaze itu tertunduk diam.
Mata ruby Kushina menyimpit mendengar nama anak dari sahabatnya itu disebut.
"Maksudmu, Uchiha Sasuke?" Namun Minato-lah yang bertanya terlebih dahulu, untuk memastikan.
Naruto menatap sang ayah, sebelum mengangguk lemah.
Disaat mereka masih saling diam, nyonyah Namikaze menarik napas panjang, yang membuat kedua pria itu menoleh padanya. Memang disini yang memiliki ikatan darah dengan Karin adalah Khusina, yang notabene kakak dari ayah gadis itu.
Jadi mereka berdua menunggu kalimat yang mungkin akan keluar dari bibir perempuan berambut panjang yang ada disana.
"Dimana Karin tinggal sekarang? Bawa kaa-chan menemuinya."
"Aku tidak tau Karin tinggal dimana. Mungkin Sasuke, dia tau."
"Kalau begitu kita akan ke rumah Uchiha, kita akan bertanya pada Sasuke." Putus sang nyonyah Namekaze.
"Kushina, apa itu tidak masalah? Maksudku," Minato masih terlihat mencari kalimat yang tepat untuk disapaikannya pada sang istri.
Dia tau bagaimana keluarga Uchiha itu, meski nyonya Uchiha adalah sahabat baik dari istrinya dan anak-anak mereka juga bersahabat, tapi tidak membuat Minato tidak segan pada keluarga pembisnis sukses itu.
Ditambah lagi, mereka datang membawa kabar yang tidak enak untuk mereka.
"Sudahlah, kalau kau tidak mau menemaniku, biar Naruto yang menemaniku.
"Aku tidak mau." Tungkas Naruto dengan cepat.
Sadar kedua pasang mata langsung menatapnya, Naruto menambahkan. "Biar Tou-chan saja yang menemani."
Baru saja sang ibu akan bersuara, kembali Naruto menambahkan dengan cepat. "Aku mau kembali ke kamar." Ia segera beranjak dari sana secepat ia bersuara.
Ia sedang tidak ingin berurusan dengan sahabat-sahabatnya untuk saat ini. Ya, karena alasan yang tentu saja tidak akan ia katakan pada kedua orang tuanya. Andaikan saja kedua orang tuanya itu tau.
~ Chapter 9 ~
Entah apa yang membuat Namikaze Minato, kepala keluarga Namekaze itu mau ikut sang istri bertandang di kediaman Uchiha. Dan sejak tadi ia hanya diam saat sang istri tercintanya, bercerita panjang lebar tentang kabar yang baru ia terima tadi pagi dari sang putra pada kedua orang Uchiha didepannya ini.
Reaksi dari kedua tuan rumah itu berbeda. Kepala keluarga Uchiha hanya diam, dengan memberi pandangan tegas seperti yang sudah dibayangangkan oleh Minato. Sedangkan sang nyonya terlihat kaget dengan menutup bibirnya dengan kedua tangan.
Sebenarnya Kushina mengajaknya sudah sejak pagi tadi, tapi ia menyarankan untuk datang sore hari. Dan ya, disinilah mereka sekarang disambut dengan cukup antusias tadi oleh sang nyonyah besar Uchiha, tapi sebelum ia mendengar kabar yang mereka bawa untuk mereka tentang putra bungsunya.
Tapi sejak mereka datang, mata sapphire Minato belum melihat Sasuke. Kalau Itachi, Minato paham, pasti pemuda itu sedang sibuk.
Namun tak selang beberapa waktu dalam kediaman ruang tamu yang diisi empat orang dewasa itu bunyar kala, terdengar langkah-langkah mendekat dengan sedikit perbincangan yang tak terlalu jelas.
Setelah langkahnya semakin mendekat dan kedua sosok itu terlihat jelas siapa, mereka adalah kedua putra Uchiha dengan pakaian kasualnya, dan jangan abaikan keringat keduanya. Entah apa yang baru kedua saudara itu lakukan. Olahraga mungkin.
Itachi dan Sasuke berhenti untuk menyapa mereka, sebenarnya Sasuke hanya mengikuti Itachi. Karena pemuda bersurai raven itu sudah cukup lelah.
"Paman Minato dan bibi Kushina, kapan datang?" Tanya si sulung.
Kedua orang yang disapa memberikan senyum, sebelum Minato menjawab. "Sudah sejak tadi, kalian darimana?"
"Berkuda." Jawab Itachi singkat, namun ia segera menambahkan. "Naruto tidak ikut?"
Minato menggeleng, "Tidak." Jawabnya.
Karena Sasuke pikir, sang kakak akan mengobrol lama dengan mereka, jadi ia memutuskan untuk melangkah meninggalkannya.
Namun belum genap tiga langkah, sang ayah sudah menahannya.
"Tetap disini ayah ingin bertanya." Tegasnya sang kepala Uchiha, yang langsung membuat pandangan Itachi beralih pada sang ayah.
Namun tidak pandangan Sasuke, si bungsu tetap diam ditempanya berdiri tanpa menoleh pada yang menahannya. Melihat siapa tamu mereka, sedikit banyak ia sudah tau apa yang akan ditanyakan oleh ayahnya.
Jadi dia memutuskan diam menunggu dengan raut yang dingin. Karena sudah ia pastikan ia tidak akan pernah suka dengan apapun yang akan ditanyakan oleh sang ayah.
Berbeda dengan sang adik, Itachi menunggu dengan wajah datar lembutnya apa yang akan ditanyakan sang ayah pada sang adik membuatnya sedikit penasaran.
"Dimana Karin sekarang?" Itulah pertanyaan sang ayah yang membuat Sasuke memilih menatapnya.
Itachi mengerutkan kening tidak mengerti dan menatap sang adik setelahnya.
Sebelum menjawab, Sasuke memilih merilekskan dirinya menjadi lebih tenang. "Aku tidak tau."
"Dia hamil, kau juga tidak tau?" Tambah sang ayah, yang seketika membuat atmosfir diruang tamu itu berubah. Khususnya untuk dua putra Uchiha yang baru datang itu.
Benar, Sasuke sudah menebaknya, jadi ia tidak terlalu kaget. Berbeda dengan Itachi, jelas ia kaget atas kehamilan gadis itu.
"Aku tidak tau." Jawab Sasuke dingin yang sudah menghadap sang ayah sepenuhnya.
Plak!
Sebuah tamparan sebagai tanda reaksi sang ayah terhadap kemarahannya.
"Apa yang kau lakukan itu sudah mencoreng nama baik Uchiha, Sasuke." Tegas sang ayah, setelah menamparnya.
"Ayah tunggu, ada apa ini?" Tanya Itachi.
Fugaku menoleh pada putra sulungnya itu. "Tanyakan pada adikmu." Jawabnya.
Itachi memilih menarik napas pendek. Bertanya pada Sasuke disaat seperti ini, ia tidak akan mendapatkan jawabannya. Jadi ia akan lebih memilih bertanya pada kedua pasangan Namikaze itu.
"Bibi, aku minta maaf sebelumnya. Jadi apa Karin hamil?" Tanya Itachi pelan.
Kushina menatap sulung Uchiha itu. "Aku tidak tau kalau Karin dan Sasuke-kun menjalin hubungan selama ini, tapi tadi pagi Naruto bilang begitu, bahwa Karin ada di Jepang, tapi dia tidak pulang ke rumah kami. Ditambah dengan katanya dia hamil." Sejenak ia memberi jeda.
Itachi masih menunggu.
"Kau tau kan selama Karin di Jepang dia adalah tanggung jawabku."
Itachi kembali menghela napas menenangkan diri. Kini ia beralih menatap pada sang adik. Mendengar jawaban dari bibi Kushina dan mendengar cerita yang ia ingat dari Sasuke beberapa waktu lalu, membuat ia harus bertanya tegas pada adiknya itu.
"Benar itu Sasuke, kau tidur dengan Karin? Dan itu penyebab kau putus dengan Ino?"
Sasuke masih diam, enggan menjawab pertanyaan sang kakak.
"Jawab aku Uchiha Sasuke?" Tekan Itachi pada namanya.
"Sasuke?" Lagi Itachi bertanya keras.
"Aku tau betul Karin itu gadis seperti apa, kemarin dia menghancurkan dan mempermalukan Ino, bahkan dia juga tega menghancurkan Naruto dan sekarang ia ingin menghancurkanku dengan bualannya?" Sasuke mulai menjawab dengan penuh sarkasme.
Namun bukan itu yang ingin didengar oleh Itachi.
"Aku bertanya apa kau pernah tidur dengannya?" Kali ini pelan namun penuh dengan tatapan intimidasi yang tak pernah sekalipun ia berikan pada adik kesayangannya itu sebelum ini.
"Karin tidur dengan banyak pria diluar sana, dan sekarang dia hamil dan menuduhku begitu?" Sasuke memberi seringai yang mengejek di akhir kalimat tanyanya.
"Dari banyak pria itu apa kau juga pernah tidur dengannya Uchiha Sasuke?" Mungkin kesabaran Itachi sudah habis sejak tadi kalau saja lawannya bukanlah sang adik. Bila jawabannya terlalu berbelit-belit seperti ini.
"Apapun yang akan dilakukannya, aku tidak akan bertanggung jawab." Setelah penegasannya, ia menatap kedua pasangan Namikaze itu bersamaan dan tanpa pamit ia melangkah pergi.
Melihat kepergiaan Sasuke, Itachi hanya menghela napas lagi.
"Aku minta maaf atas kelakuan Sasuke." Sambil berojigi Itachi menyampaikan permohonan maafnya pada kedua pasangan itu.
Minato menepuk pahu bidang sang Uchiha sulung dengan seutas senyum menawan dibibirnya. "Kami juga minta maaf telah menggau sore kalian."
Setelah berkata pada Itachi kini kepala keluarga Namikaze itu menatap kepada pasangan Uchiha. "Fugaku, Mikoto, kami permisi." Pungkas pria satu anak itu. Dan melangkah pergi diikuti oleh sang istri.
Dengan kepergian kedua tamunya, Fugaku segera beranjak juga dari sana. Menyisakan sepasang ibu dan anak, yang masih diam dengan pikiran masing-masing.
Sejak tadi Mikoto hanya diam, namun dalam diamnya itu ia menahan tangis atas apa yang baru mereka terima sore ini. Kini ia sudah tak sanggup lagi menahan genangan pada pelupuk matanya.
Si sulung yang melihat kerapuhan sang ibu, memutuskan mendekat dan memberikan pelukan menenangkan padanya. "Tenanglah bu, semua akan baik-baik saja." Ia tau sang ibu begitu menyayangi adiknya.
Namun tak lama ketenagan mereka pecah, karena dilantai atas terdengan teriakan sang ayah kembali.
Itachi dan Mikoto berpandangan sejenak sebelum berlari kesumber suara.
"Kelakuanmu itu mempermalukan nama baik Uchiha, kemarin kau menolak perjodohan dengan Hyuga, sekarang kau menolak bertanggung jawab atas ulahmu sendiri, lalu besok apa lagi?" Fukagu berkata keras.
"Aku sudah katakan, kalau Karin tidur dengan banyak pria di luar sana." Sasuke juga memberi jawaban dengan sama kerasnya.
Plak!
Kali ini Sasuke sampai tehuyung akibat tamparan sang ayah. Itachi yang baru datang dengan sang ibu langsung menahan adiknya itu agar tak sampai jatuh.
"Sayang sudah." Mikoto menenangkan sang suami.
"Ini akibat kalian berdua terlalu memanjakannya." Tuduh Fugaku pada sang istri dan putra sulungnya.
"Aku yang akan bertanggung jawab." Kalimat Itachi membuat ketiga orang disana menatapnya.
Tak ada pilihan lain bukan? Adiknya itu keukeuh tak mau mengaku dan bertanggung jawab, sedangkan sang ayah pasti akan tambah marah karena itu.
"Nii-san?" Gumam Sasuke.
"Kalau memang Karin mengandung bayi Uchiha, dan ingin Uchiha bertanggung jawab, aku rasa akan sama saja disini. Jadi biar aku saja yang bertanggung jawab."
"Kalian berdua benar-benar mengecewakan." Kembali sang ayah meninggalkan mereka dan disusul sang ibu. Yang memang tak tau harus berkata apa.
~Chapter 9~
Baru saja Ino menginjakkan kakinya dilantai dasar rumahnya, seruan sang ibu yang menyuruhnya untuk membuka toko bunga terdengar.
"Ayahmu ada urusan diluar tadi, jadi bisakah kau membantu ibu?"
Sebelumnya untuk membuka toko bunga Ino tak perlu disuruh, tapi kali ini ibunya sampai memohon padanya untuk hal yang sebenarnya cukup ia sukai.
"Hmm..." Ia mengangguk setelah meminum susu hangat untuknya dimeja, yang sudah disiapkan oleh sang ibu. Ibunya tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan ini mungkin sudah jam delapan pagi
Toko yang dikelilingi oleh dinding kaca itu pintunya langsung ia buka, sebelum menata bunga-bunga yang ada didalam keluar, setelah membuka pintu ia menyempatkan diri untuk merenggangkan otot tubuhnya. Rasanya beberapa minggu ini ia merindukan bangun pagi seperti ini.
Setelah beberapa saat melewatkan waktu untuk kegiatannya, ia baru sadar bahwa ada sosok yang tengah menatapnya. Sosok yang tengah bersandar pada body mobil mahalnya itu berada tak jauh didepannya.
"Gaara?" Gumamnya pelan. Ino buru-buru menurunkan tangannya yang masih ia tarik keatas karena kegiatan merenggangkan otot tadi.
Dan merapikan tatanan rambutnya yang ia ikat asal. Namun sebelum ia menghampiri pemuda itu, Gaara sudah lebih dulu berjalan kearahnya.
"Aku harap, aku tidak mengganggu waktu liburmu." Ucap Gaara.
Gaara terlalu sadar, akan pesona sosok didepannya ini. begitu kuat sampai disaat bangun pagi seperti ini mampuh membuatnya merona. Mungkin semburat merah pada wajahnya akan terlihat andai saja ia tak pandai mengendalikannya. Namun semua itu Gaara tutupi dengan ketenangannya.
Dari pada menanggapi ucapan Gaara, Ino lebih memilih mengutarakan apa yang ada dibenaknya.
"Ada apa kau datang pagi-pagi sekali, dan sejak kapan kau ada disana?" Lirik Ino ketempat dimana sosok temannya itu tadi berdiri.
Gaara mengikuti arah pandang gadis didepannya. "Mungkin satu jam yang lalu." Lalu ia menjawab.
Ino mengerutkan kening. "Ada apa?" Tentu saja ia penasaran apa yang membawa sosok bersurai merah ini mendatangi rumahnya, bahkan disaat tokonya masih tutup.
"Apa kau sibuk hari ini?" Ia masih tidak menjawab pertanyaan Ino, tapi ia ingin memastikan terlebih dahulu apa gadis itu akan sibuk atau tidak hari ini. "Seperti menjaga toko mungkin?" Tambah pemuda itu.
Ino mengangguk sekilas, "Ya, aku baru saja akan membuka toko dan mungkin aku akan mengantikan mama sampai sore hari ini." Ia menjedanya sejenak dengan mengawasi wajah didepannya. "Kau ada perlu denganku?" Ia menambahkan dengan nada penasarannya yang kentara.
"Hn,"
Ino bersiap mendengar kalimat yang akan dikatakan oleh pemuda didepannya ini dengan diam.
"Kedua kakak-ku ada di rumah, mereka datang kemarin." Sungguh Gaara tak pernah segugup ini untuk mengutarakan sesuatu. Ia sampai harus menghela napas hanya untuk mengatakan maksud kedatangannya pada gadis ini.
Dalam pikiran Ino, ia tak pernah berpikir bahwa temannya ini memiliki kakak.
"Mereka ingin bertemu denganmu." Lanjut Sabaku Gaara.
Diakhir kalimat Gaara, Ino mendelengkan kepalanya untuk merespon kalimat yang keluar dari bibir pemuda itu. "Bertemu denganku? Untuk apa?" Tanyanya beruntun.
"Untuk melihat calon adik iparnya."
Ino seolah tersedak ludahnya sendiri, ia baru sadar apa yang tengah ia mainkan bersama pemuda ini didepan keluarganya.
"Ibu yang memberitau mereka." Lagi Gaara menambah penjelasan, bahwa bukan dirinya yang mengatakan pada kedua kakaknya yang menyebalkan itu. Tidak, Gaara tidak akan pernah bercerita apapun pada mereka.
"Maaf, telah membawamu dalam masalah keluargaku."
"Sekarang? Aku akan bilang pada mama dulu." Tanpa peduli ucapan maaf dari Gaara, Ino segera memotongnya dengan cepat. Karena ia tau perannya.
"Tidak, ibu ingin kau datang disaat makan malam nanti."
"Haa?" Kekagetannya ia buat-buat. "Lalu kau tidak perlu datang sepagi ini kan Gaara?"
"Karena aku tidak ingin memberitaumu mendadak, aku takut kau keberatan." Jelas sang pemuda.
Ino tersenyum. "Apa boleh buat, kita sudah terlanjur membuatnya seperti itu."
"Jadi kau tidak keberatan?"
Ino menggeleng. Sebelum mengajak Gaara masuk. "Ayo masuk." Ia sudah berbalik berjalan menuju kedalam toko bungannya dan diikuti dengan Gaara dibelakangnya.
"Kau bilang tadi akan membuka toko kan?" Gaara kembali bertanya.
"He'emm." Ino mengangguk.
"Kalau begitu aku akan membantumu." Tambah Gaara, yang langsung membuat Ino berbalik menatapnya.
Gaara hanya bertanya lewat tatapan matanya. Dan Ino tak menjawab, ia hanya kembali menunjukan senyum secerah fajar yang mendamaikan.
~Chapter 9~
Suara pintu yang terbuka mengalihkan sulung Uchiha itu dari novel yang tengah ia baca. Mata onyx-nya menangkap siapa sosok yang baru masuk kedalam kamarnya. Uchiha Sasuke, adik kesayangannya.
Tak heran kalau adiknya itu akhir-akhir ini lebih suka menghabiskan waktunya di rumah, semenjak ia mengatakan kalau hubungannya dengan Yamanaka Ino berakhir. Dan seharian ini adiknya ini ada di rumah.
Saat Sasuke mengatakan kalau dirinya telah putus dengan kekasihnya, Itachi tak pernah menyangka bahwa kejadiannya akan serumit ini. Dan semua ini adalah ulah sang adik yang paling ia sayangi itu.
"Apa aku menganggumu?" Ucap Sasuke yang kini telah duduk diranjang sang kakak.
Itachi yang telah kembali melanjutkan membaca novelnya tak menjawab tapi tidak sepenuhnya mengabaikan sosoknya.
"Kau tidak sungguh-sungguh saat mengatakan akan bertanggung jawab atas kehamilan Karin kan nii-san?"
Kedatangannya ke kamar sang kakak, adalah untuk membahas perihal yang negganjal pikirannya. Yaitu, tentang keputusan kakaknya itu.
Namun kalimatnya tak ada satupun yang Itachi jawab. Membuat Sasuke semakin kesal.
"Aku sedang bicara padamu, kau mendengarku kan nii-san?"
Sebuah helaan napas panjang dari Itachi sejenak sebelum ia menatap sang adik.
"Apa kau keberatan?" Sebuah pertanyaan sebagai respon Itachi.
Sasuke juga ikut menarik napas pendek. "Aku mengenal Karin, bukan pertanggung jawaban yang dia inginkan. Percayalah."
Itachi masih diam memperhatikan Sasuke bicara. Ia memang tak meragukan Sasuke yang begitu mengenal gadis Uzumaki itu.
"Dia hanya menginginkanku, merusak hubunganku dengan Ino. Dia tidak akan mau menerima pertanggung jawabanmu."
Itachi masih diam, bukan menunggu kelanjutan pejelasan Sasuke. melainkan ia tak tau harus menanggapinya seperti apa. Bukankan semua sudah terjadi karena ulah adiknya itu dan kalaupun Karin menolak tentu saja tak masalah baginya, karena paling tidak ada etiket baik keluarga Uchiha menerima kehamilannya.
Dan ia memang tak ingin membuat ayah mereka semakin marah akan kelakuan adiknya. Bagi Itachi adalah kebahagian Sasuke yang utama.
"Kalau kau tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan dengan Karin, lalu kenapa kau tidur dengannya? Kau bilang, kau mengenalnya dengan baikkan?"
Begitu panjang pertanyaan konyol yang pertama kali keluar dari mulut sang sulung Uchiha.
"Kenapa kau tidak memaksa Ino untuk tidur denganmu saja atau mungkin menghamilinya." Pertanyaan kedua yang tak kalah konyol kembali terdengar diruangan yang hanya diisi oleh dua orang pemuda itu.
Sasuke memang tak tertarik menjawab pertanyaan pertama sang kakak, maka dari itu ia membiarkan kakaknya itu melanjutkan. Tapi kali ini, kalimat kedua yang ia dengar berhasil membuat sepasang mata hitamnya menatap mata yang sama dengannya tajam.
"Jangan bercanda nii-san, kau pikir aku sebrengsek itu?" Jelas ada nada tak suka dari kalimatnya.
Ya mungkin ia memang brengsek telah mengkhianati Ino berkali-kali tapi jauh dalam hatinya ia sungguh tak ingin menyakiti gadis itu. Ia tak bisa menyakitinya secara terang-terangan.
Keputusan gadis itu adalah tujuannya, itulah prinsip Sasuke.
Mungkin saja semua akan baik-baik saja, andai saja Karin tak membuat semuanya jadi rumit.
Itachi memang tak pernah tau sebrengsek apa adiknya itu, jadi ia hanya menanggapinya dengan senyum.
"Kalau kau melakukannya untuk melindungiku, lebih baik lupakan. Aku bukan anak kecil lagi." Kembali Sasuke bicara dengan sarkas.
Senyum menawan dari seorang Uchiha Itachi tersaji disana. "Bukankah kita adalah partner in crime?"
Namun berbeda dengan sang kakak, Uchiha Sasuke meberikan pandangan datar. "Jangan bilang kau menyukai Karin?" Penasaran Sasuke, kenapa sang mau bertanggung jawab.
Sebuah tawa yang jarang diketahui banyak orang, dari sosok Itachi membahana di kamarnya saat itu.
"Aku malah lebih menyukai Ino." Tanggapannya, yang semakin membuat Sasuke mengerucutkan bibirnya.
Obrolan keduanya sudah tak lagi sekaku seperti diawal.
"Aku mau tidur disini." Putus Sasuke yang langsung seenaknya memonopoli ranjang sang kakak. Untuk membalas ucapan kakaknya itu.
.
.
Entah apa yang membuat Ino terlalu percaya diri mengikuti setiap rencana seorang Sabaku Gaara, menjadikannya sebagai kekasih palsunya. Dan yang lebih membuatnya tak mengerti kenapa ia bisa mengiyakan ajakan pemuda itu untuk bertemu dengan kedua kakak pemuda itu malam ini.
Tapi ia tak ingin membuat Gaara kualaan seorang diri, karena dari awal mereka telah sepakat. Ya, anggap saja Ino butuh sesuatu untuk dapat melupakan masalah hubungannya dengan Sasuke saat ini.
Dan sekarang, ia sudah merasa ingin segera pulang. Padahal baru saja ia sampai dan langsung disambut hangat oleh nyoyah Sabaku, membawanya bertemu ayah dari Gaara yang sudah menunggu mereka diruang makan.
Namun disana tak hanya ayahnya saja, melainkan ada sosok pria yang mirip dengannya namun terlihat jauh lebih muda. Ya, mungkin pria itu adalah kakak Gaara yang dimaksud.
Tunggu bukankah Gaara bilang, bahwa ia memiliki dua orang kakak? Jadi dimana yang satunya?
"Wah... tamu kita sudah datang ya?"
Baru saja Ino memikirkannya dan mencari keberadaannya, ia sudah muncul dari arah tangga dengan pakaian yang jauh lebih santai dari yang ia kenakan malam ini.
Dan jangan lupakan wajah tanpa makeupnya yang terlihat familiar.
Belum sempat Ino berhasil mengingat wajahnya, sosok itu sudah lebih dulu mengingatkannya.
"Tunggu, kau...?" Temari berlaga mengingat. "Gadis yang aku temui di toko bunga Yamanaka kan?" Tebaknya yang sebenarnya ia sengaja.
Ino segera mungkin melebarkan mata birunya. "Kau Temari-san?" Setelah mengucapakan keterkejutannya ia langsung menoleh pada Gaara yang duduk disampingnya. "Jadi Temari-san, kakakmu Gaara?"
Tidak ada yang aneh dengan kenyataan Temari adalah kakaknya, meski mereka tak sepenuhnya mirip. Karena Gaara lebih mirip ke sosok ayahnya di fisik sedangkan kedua kakaknya itu lebih condong ke ibunya. Mungkin.
"Hn." Karena tak tertarik membahas lebih lanjut Gaara hanya menanggapi dengan sebuah deheman.
"Apa dia tidak pernah cerita padamu, bahwa dia mempunyai kakak seorang model yang terkenal?" Temari yang malah menanggapi dengan antusias.
Begitupun dengan Ino yang juga cukup antusias karena kembali bertemu dengan orang yang mungkin ia idolakan secara live.
Jadi kenapa tadi ia tak bisa langsung mengenali Temari, karena perempuan itu tampil tanpa make up seperti biasanya yang sering Ino liat pada setiap penampilannya.
"Sebenarnya aku tidak tau kalau Gaara mempunyai kakak."
Temari tersenyum. "Baiklah, sepertinya kita belum berkenalan, aku Temari. Seperti yang kau tau dan kau?"
"Yamanaka Ino, senang mengenalmu Temari-san." Gadis bermata biru itu tersenyum dengan tulus.
"Aku juga, dan ini adikku, kakaknya Gaara juga. Kankuro." Kali ini Temari menunjuk pria yang duduk disampingnya.
Keduanya sama-sama tersenyum.
"Ne, Ino apa kau tidak tertarik menjadi model?" Pertanyaan Temari didengar dengan jelas oleh Gaara meski pemuda itu masih tenang mengunyah makan malamnya.
Gaara juga penasaran menunggu jawaban gadis Yamanaka itu.
Ino menggeleng.
"Kenapa? Padahal tubuhmu cukup mendukung untuk itu." Tambah Temari.
"Aku rasa, aku tidak akan mampuh dan tidak seprofesional Temari-san." Terangnya yang langsung membuat Temari tertawa cukup keras.
Namun buru-buru ia mengendalikan tawanya dengan berdehem setelah melihat sang ayah yang pasti tidak akan suka bila ia tertawa sepenrti bar-bar.
"Kau bisa saja. Aku bisa membantumu, tapi sepertinya ada yang tak mengingikanmu menjadi model." Mata jade Temari melirik sosok adiknya yang masih tenang dengan makanannya.
Dengan seringai jahat, Temari tau kalau dalam hati Gaara tak setenang itu. Ia berani bersumpah.
Ia tak tau siapa yang tak menginginkannya menjadi model. Ino juga tidak peduli tentang itu. Toh setelah lulus sekolah nanti ia ingin segera menikah sebenarnya, mejalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga itu keinginan sederhananya. Tapi mengingat hubungannya yang kandas dengan kekasihnya yang sangat ingin ia nikahi membuatnya berpikir akan berkarir dulu setelah lulus nanti.
Ia tidak akan pernah kembali pada Uchiha Sasuke, ia memaafkan segalanya, semua kesalahan yang pemuda itu perbuat. Tapi tidak dengan perselingkuhan dan kebohongan sebesar ini. Apa lagi mantan sahabatnya telah mengandung bayi dari pemuda itu.
Sebrengsek apa sebenarnya Uchiha Sasuke itu dibelakangnya?
Obrolan dari kedua gadis itu tak sepenuhnya terabaikan oleh kedua orang tuanya. Dan Gaara juga cukup diam malam itu, bukan diam karena sifat alaminya yang memang pendiam dan tenang, melainkan dia berpikir tentang sejauh mana ia bisa berbohong pada keluarga tentang hubungan yang sebenarnya dengan gadis yang sepertinya telah disukai oleh keluarganya itu.
Diam-diam Gaara berpikir tentang pesona gadis itu yang langsung bisa mendapat tempat di keluarganya. Termasuk Temari yang Gaara tau, kakak perempuannya itu sangatlah angkuh menurut Gaara.
Tapi ia bisa langsung menyukai Ino, bahkan seperti begitu antusias dengan sosok kekasih palsunya itu membuat Gaara meresa lega.
Juga kecewa. Karena kenyataan Ino hanya menyelamatkannya dari perjodohan.
"Gaara?" Lamunanya pecah kala sang ayah memanggil namanya.
Ia menoleh pada sumber suara yang memanggilnya.
"Setelah makan, temui ayah di ruang kerja."
Setelah menyampaikan maksudnya, ia beranjak pergi. Kepala keluarga Sabaku itu memang sudah menyelesaikan makan malamnya. Begitu pun dengan yang lain. termasuk Gaara sendiri.
"Ino sebentar, aku akan menemui ayah dulu. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang." Pamitnya pada kekasih palsunya itu.
Ino menanggapi dengan sebuah anggukan. "Uh-uh."
Setelah kepergian kedua ayah dan anak itu, ruang makan hanya menyisikan empat pasang mata.
Kicho selaku nyonyah Sabaku berdiri lebih dulu. "Ino, tunggulah Gaara diruang keluarga bersama Temari dan Kankuro. Biar bibi membersihkan meja makannya."
Perempuan itu sudah mengangkat dua miring kotor miliknya dan sang suami, setelah mengatakannya. Namun Ino tak serta merta menurut, gadis itu malah mengikuti tindakan sang nyonyah besar.
"Biar aku bantu." Putus gadis itu.
Sedangkan Temari dan Kankuro langsung melenggang keruang keluarga dengan menikmati tanyangan televisi. Mengabaikan sang ibu dan tamunya.
Tapi memang mereka tak pernah sekalipun menyentuh pekerjaan rumah. Pikir mereka, kenapa harus repot disaat di ruamhmu memiliki banyak pembantu.
.
.
Diraung kerja dari seorang perdana menteri itu terlihat sunyi, meski kenyataanya diruangan itu ada dua orang disana. Ruangan yang cukup luas, dikelilingi oleh rak dengan isi banyak dokumen dan buku-buku.
Sebuah sofa dan meja kerja lengkap dengan kursi.
Dan sudah sejak kedatangan, menyusul sang ayah ke ruang kerjanya ini ia hanya melihat ayahnya itu fokus pada buku yang ada pada pangkuannya. Dan ia masih menunggu apa yang akan ayahnya bicarakan.
"Apa kau benar-benar mecintainya?" Kalimat dari ssang ayah memecah kesunyian diruangan itu.
Lalu pertanyaan itulah yang pertama kali keluar dari bibir sang ayah yang ia dengar. Meski fokus sang ayah tak lepas dari buka yang sedang ia baca.
Mata jade Gaara menatap pria yang mirip dengannya itu namun lebih tua darinya, lama sebelum memberi jawaban. "Ya." Cukup singkat.
Wajah tua itu masih datar, namun kini ia memandang sang putra. "Apa ini hanya perasaan sesaatmu untuk menolak perjodohan dengan keluarga Hyuga?" Tambah sang ayah yang langsung membuat perubahan pada raut pemuda stoik itu.
"Mungkin saja ini hanya perasaan sesaat. Dan aku juga tidak tau sampai kapan perasaan itu akan bertahan." Sebuah perubahan dari sudut bibirnya yang ditarik keatas menampakan sebuah senyum mengejek akan kalimatnya terlihat jelas pada wajah Sabaku Gaara.
Ia jarang berekspresi, hampir tak pernah bahkan. Tapi malam ini wajah stoik itu mudah sekali dikenali perubahannya.
"Tapi benar, aku menyukainya dan aku bahagia saat bersamanya." Ia masih melanjutkan. "Bukan sekedar alasan untuk menolak perjodohanku dengan Hyuga Hinata."
Mungkin status hubungannya adalah kebohongan, tapi tidak dengan perasaannya pada gadis itu.
"Kau berniat menikahinya?"
Pertanyaan itu Gaara rekam dalam otaknya. Tanpa perlu berpikir dalam, ia menjawab singkat. "Ya."
Kedua sudut bibir sang ayah tertarik simetris. Sepertinya ia puas dengan setiap jawaban dari putra bungsunya itu. "Maka pertahankan dia, dan segeralah menikah."
Gaara tak pernah merasa obrolannya dengan sang ayah semenyenangkan ini. Ia memiliki banyak obrolan berkwalitas tapi ia tak pernah benar-benar nyaman saat berbicara dengan ayahnya seperti saat ini.
"Hn." Tanpa perlu memperpanjang obrolan mereka. Karena ia masih harus mengantar Ino pulang. Gaara rasa cukup untuk malam ini dengan sang ayah, ia beranjak dari sofa yang ia duduki sejak tadi.
"Aku akan mengantar Ino pulang." Kalimat terakhir sebagai tanda usainya pembicaraan sepasang ayah dan anak itu.
Ia melangkah pergi meninggalkan ruang kerja sang ayah dengan perasaan campur aduk. Antara senang dan kecewa. Senang karena sang ayah mendukung pilihannya, meski ia tau hubungannya adalah kebohongan terbesarnya tapi tidak dengan perasaannya terhadap Ino. Gaara memang menyukainya.
Dan kecewa karena kenyataan yang ada. Gadis itu tak lebih hanya sebagai penolongnya dari perjodohan. Kecewa akan status palsu yang tengah mereka jalani.
Sejak kepergian sang putra dari ruangannya. Rasa mengambil ponselnya yang sejak tadi tergeletak pada meja didepannya, mencari kontak dan terlihat sedang mengubungi seseorang.
Tak lama sambungan telepone itu diangkat.
'Hallo?' Suara dari seberang.
"Hn, Bagaimana kabar nyonyah?" Ayah tiga orang anak itu langsung mengutarakan maksudnya setelah terdengar teleponenya tersambung.
'Nyonya sehat, apa Rasa-sama ingin bicara dengan nyonyah?' Lagi suara diseberang telepone menjawab dan bertanya.
"Tidak. Katanya saja padanya bahwa putranya telah mendapatkan kebahagiannya."
Setalah kalimat terakirnya obrolan melalui telepone itu ia akhiri.
.
Gaara sampai diruang keluarga, namun ia tak menemukan keberadaan gadis yang menjadi kekasihnya disana. Ruang keluarga dengan televisi menyala itu hanya ada dua orang, yaitu kedua kakaknya.
Lalu dimana gadis itu?
"Dimana Ino?" Segera ia menanyakan keberadaan gadis itu.
Kedua orang berbeda gender itu memperhatikan Gaara dari kegiatan awalnya. Kankuro yang asik dengan televisi dan Temari dengan majalah fashionnya. Kini keduanya menatap adik bungsu mereka.
"Di dapur." Jawab Temari singkat dan langsung kembali membukan majalah dipangkuannya lagi.
"Di dapur?" Beo Gaara dengan mengerutkan keningnya. "Sedang apa?" Tanyanya lagi.
Temari tak menjawab, melainkan hanya mengedikkan bahu.
Sedangkan Kankuro mau tak mau harus memberi penjelasan karena sifat kakak perempuannya itu. "Dia sedang membantu ibu."
Bertambah lagi kerutan pada kening bertato kanji ia itu, mendengar penjelasan dari kakak laki-lakinya.
Tak perlu bertanya lagi, Gaara memilih berjalan menuju ruang besar yang disebut dapur oleh kakaknya tadi.
Setibanya disana, ia bisa melihat gadis yang ia cari sedang mencuci piring, bekas makan malam keluarganya. Ia juga melihat ibunya telah merapikan meja makan dibantu oleh benbantunya.
Melihat itu tentu tak membuat Gaara senang. Ia marah.
"TEMARI?" Teriaknya cukup kencang.
Membuat telinga yang mendengarnya berkedut.
"Apa yang kau lakukan Ino?" Tanganya sudah menghentikan setiap kegiatan gadis itu.
Ino mengerutkan kedua alis pirangnya, kala tangan yang sedang memegang piring itu dihentikan mendadak. Bahkan hampir saja piring yang sedang ia cuci lolos dari gengamannya. Dengan berpikir apa ia melakukan kesalahan?
Sedangkan Temari yang merasa diteriaki cukup kencang saling berpandangan dengan sang adik yang duduk disampingnya seolah betanya, 'ada apa lagi sekarang dengan Gaara?' tapi karena tak mau semakin penasaran perempuan berumur dua pulu delapan tahunan itu bergegas menuju sember suara.
"Ada apa?" Dengan cukup tenang Temari bertanya, setelah sampai di dapur. Dan menarik perhatian sang ibu dan bembatu yang memang ada disana.
"Ada apa kau bilang?" Gaara kembali bertanya dengan sarkas, seakan kakaknya itu sudah tau maksudnya tapi pura-puta tolol. Karena Gaara yakin kakak modelnya itu tak sebodoh kelihatannya.
"Kau membiarkan ibu dan Ino sibuk di dapur, sedangkan kau bersantai seperti itu?"
Temari tak menjawab, ia hanya melipat tangannya didepan dada.
"Gaara-kun, sudah. Mungkin kakakmu lelah." Sang ibulah yang menengahinya.
Namun Gaara tak mengindahkan kalimat sang ibu. "Seharusnya kau yang membantu ibu, bukan malah tamu yang membantunya." Ia kembali menyuarakan keberatannya.
"Tidak ada yang menyuruh Ino, membantu disini." Temari mengklarifikasi.
"Iya Gaara, tidak ada yang menyuruhku. Aku sendiri yang ingin membatu bibi." Kali ini Ino yang membenarkan pernyataan Temari.
"Kau tamu disini Ino, sedangkan tuan rumahnya malah bersantai." Kini mata jadenya beralih kembali menatap kakak perempuannya. "Kau harus tau Temari, wanita malas sepertimu tidak akan berguna di Jepang. Dan ini Jepang bukan New York ataupun Paris."
Semua orang yang disana diam akan ucapan sang bungsu, termasuk Kicho.
Ino sedikit takut. Ia juga tidak terlalu mengerti kenapa Gaara bisa semarah ini, hanya karena ia memutuskan membantu ibunya?
"Kenapa ibu juga tidak melarang Ino melakukan pekerjaan pembantu seperti itu?" Kini Gaara menatap sang ibu yang masih diam. Pertanyaannya lebih halus, karena Gaara tak mau menyakiti hati sang ibu.
"Maafkan ibu Gaara-kun." Hanya itulah yang bisa diucapkan oleh nyonyah Sabaku.
"Gaara sudah, aku biasa melakukan ini di rumah, jadi aku rasa tak masalah membantu ibumu sambil menunggumu kan?"
Seharusnya Gaara bisa mengerti dengan penjelasan Ino itu. Ya, gadis itu memang selalu melakukan segalanya sendiri. Di rumahnya tidak memiliki pembantu jadi ia berkerja bergantian dengan san ibu. Lalu apa yang salah dengan ia membantu ibu dari pemuda itu?
Namun sepertinya pemuda itu tak mau tau dengan penjelasannya. Karena Gaara masih belum tenang.
"Aku tak mau melihat Ino melakukan pekerjaan pembantu di rumah ini, dan tidak ada yang boleh memperlakukan miliku seenaknya. Ini berlaku untukmu Temari."
Entah apa yang membuat Gaara sampai menekankan seperti itu. Mungkin ia hanya merasa kaget saat Ino menyibukan dirinya di dapur bersama para pelayannya, sedangkan sang kakak yang seharusnya memberi kenyamanan pada tamunya malah masa bodo dengan bersantai didepan televisi.
Apa lagi status Ino yang hanya sebagai penolongnya. Gaara tak mau membuat gadis itu repot dari ini. Gaara sudah mendapatkan status dari Ino secara gratis dan gadis itu malah diperlakukan seenaknya di rumahnya.
Karena merasa tak enak, juga tak sukanya terhadap apa yang ia lihat tadi membuatnya marah.
Padahal sebelumnya, saat melihat Temari dan Kankuro bersantai ia tak pernah mempermasalahkan ini. Tapi saat sosok kekasihnya yang malah membantu sang ibu di dapur membuatnya memuncak.
"Ada apa ini?" Sang ayah yang baru datang langsung bertanya.
Semua mata menoleh pada sosok tuan Sabaku itu, termasuk Gaara. Hanya sekilas, sebelum Gaara memegang pergelangan tangan gadis yang berdiri disampingnya itu. "Ayo aku antar pulang." Ucapnya kemudian menjadi pemecah kesunyian di dapur tersebut.
Tak ada yang mau menjawab pertanyaan sang ayah. Begitu pun Gaara yang langsung menyeret Ino melewati ayah dan kakaknya.
Ino berojigi sekilas, tanpa suara ia pamit. Mengikuti pemuda yang menyeretnya.
Perjalanan mereka hanya diisi kesunyian. Ino terlalu malas bertanya, karena dipikir Gaara keterlaluan. Bagaimana bisa temannya itu semarah itu hanya karena hal sepele.
Sibuk dengan pikirannya, sampai ia tak sadar kalau mobil yang membawanya itu telah berhenti didepan rumahnya.
"Maaf." Suara Gaara yang membuat Ino tersadar dari lamunannya.
Kepala bersurai pirang itu menoleh.
"Kau ini sebenarnya kenapa sih Gaara? Bagaimana kalau tadi piring-piring itu pecah?"
Ino rasa ia perlu penjelasan dari pemuda itu pada akhirnya.
Gaara memilih tak menatapnya.
"Lupakan piring-piring itu, aku tak peduli." Masih tetap memandang kearah depan. "Aku tak suka kau melakukan itu." Klarifikasinya.
Ino hanya menarik napas panjang. "Kenapa? Kau keberatan aku menyentuh barang-barangmu?"
Mendengar pertanyaan gadis disampingnya, Gaara langsung menoleh. Sepasang mata berbeda warna saling berpandangan.
Biru laut bertemu dengan hijaunya hutan terdalam. Menenangkan untuk Gaara, entah bisa membuat kemarahannya menguap. Ino sudah seperti mood boosternya. Ini terlalu berlebihan dan tak tau sejak kapan hal itu terjadi.
Ino-lah yang lebih dulu memutus kontak mata itu. "Apa kau takut aku mengacaukan barang-barang di rumahmu?"
Gaara berkedip sekali lalu kembali menatap kedepan. "Bukan seperti itu." Ucapnya kemudian, canggung akan perasaannya yang mudah sekali hanyut terhadap sosok disampinya ini.
"Aku rasa, aku sudah terlalu merepotkanmu Ino. Dan kau tak sepantasnya diperlakukan seperti itu oleh keluargaku." Terang Gaara panjang lebar.
Mendengarnya malah membuat Ino tertawa. "Kau berlebihan."
Komentar Ino yang cukup singkat itu membuat Gaara kembali menatapnya. Namun kali ini gadis itu tak balik menatapnya. Wajah ayu itu memandang kedepan dengan tangan yang ia silangkan pada dada.
"Keluargamu memperlakukanku dengan baik, kau tau?" Tambah Ino.
Ya, keluarga orang berpengaruh di Negaranya itu cukup baik memperlakukannya. Mengingat sosok perdana mentri yang banyak dihormati dan disegani. Namun Ino bisa dengan santai masuk kedalam keluarga itu. Dan tak ada perlakuan diskriminasi yang ia alami.
"Kau mengerikan saat marah." Komentar Ino setelah diam beberapa saat.
Gaara masih diam memperhatikan setiap kalimat yang keluar dari gadis Yamanaka. Ia benra-benar mengagumi sosok disampingnya ini.
"Terimakasih untuk malam ini." Balas Gaara yang cukup didengar oleh Ino.
Gadis itu hanya tersenyum lalu tak perlu berkata lagi, ia segera membuka pintu mobilnya dan turun dari sana.
Bergegas masuk kedalam rumah setelah melihat mobil temannya itu berjalan meninggalkannya.
Malam yang cukup berwarna yang ia dapat dimusim panasnya. Mengenal keluarga perdana menteri terpilih, melihat sosok lain dari seorang Sabaku Gaara dan yang paling mengejutkan Temari adalah kakak dari temannya itu.
Tak terlalu buruk, permainan yang tengah mereka mainkan. Apalagi sebagai obat pelupa akan masalahnya dengan Sasuke.
"T.B.C"
Maaf telah membuat menunggu dan see you next... X)
