DISCLAIMER: Naruto © Masashi Kishimoto.

RATE: M

WARNING: TYPO, AU, OOC, DRAMA DAN YANG PENTING, JANGAN PERNAH MEMBACA APAPUN ITU YANG MEMBUAT MATA ANDA IRITASI. TETAPLAH PADA JALUR MASING-MASING, KARENA AKU HANYA MENCOBA MELESTARIKAN APA YANG AKU CINTAI DAN AKAN SELALU MENCINTAI APA YANG MEMBUATKU SENANG. ^_^

.

.

~Complications~

.

Every Hearts

.

Senin pagi dihari liburnya, Sabaku Gaara kali ini lebih memilih menikmati sajian berita pagi dengan ditemani secangkir kopi. Sebenarnya ia tak pernah sekalipun tertarik dengan segala macam berita. Apa lagi berita tentang politik, namun kali ini berita yang telah tersiar di televisi itu telah menarik perhatiannya.

Berita soal kemenangan sang ayah. Ya, Sabaku Rasa kembali terpilih menjadi perdana menteri Jepang.

Sebenarnya yang menarik perhatian bungsu Sabaku itu bukan kemenangan yang didapat sang ayah, melainkan pertanyaan dari seorang reporter dalam acara jumpa pers kemarin yang diadakan sang ayah.

Pertanyaan yang pernah ada yang tak pernah bisa dijawab oleh kejeniusannya.

Tentang kabar yang menyatakan bahwa ia pernah menikah, dimasa lalu?

Ia hanya menjawab 'semua punya masa lalu' dengan senyum sebelum mengakhiri acaranya.

'Hal ini memang sudah ia tebak akan terjadi, karena tak sedikit orang yang tidak menyukainya yang kembali terpilih. Pasti banyak musuhnya akan mencari berbagai skandal untuk menjatuhkannya.' Itu adalah yang dipikirkan oleh Rasa kemarin.

Berita yang tersaji itulah yang juga menyita perhatian sang bungsu. Ayahnya tidak mengklarifikasi apapun tentang pertanyaan itu selain hanya memberi jawaban yang ambigu. Itu adalah acara kemarin sore yang disiarkan langsung beberapa saluran televisi dan pagi ini telah menjadi topik hangat dibeberapa berita.

Ayahnya benar, semua orang mempunyai masa lalu. Termasuk ayahnya yang Gaara akaui sebagai sosok perfeksionis yang tegas. Namun ini juga menjadikan rasa penasarannya, tetang masa lalu itu.

Seolah mendukung recananya, sang ayah mendatanginya dengan sebuah koran ditangan. Rasa duduk pada sofa yang berbeda dengan Gaara.

"Kau sudah bangun?" Pertanyaan simple yang ayahnya ajukan sebelum memulai membuka koran hari ini dan membacanya.

Gaara tak langsung memjawab. Ia memang lagi-lagi tak bisa tidur tadi malam, jadi ia memutuskan bangun dan menikmati kopi. Namun keadaan rumahnya sepi pagi ini.

Ia tau kemana orang-orang yang ada di rumahnya itu sepagi ini. Ibunya sedang sibuk di dapur, karena beliaulah yang membuatkan kopi untuknya, sedangkan kedua kakaknya mungkin sedang sibung dengan dirinya masing-masing. Dan sang ayah, Gaara hapal, ayahnya pasti sedang jalan-jalan menikmati udara pagi, karena itula rutinitas sang ayah setiap pagi.

Rasa hanya memberi lirikan terhadap putranya, karena tak kunjung menjawab, namun pria dengan tiga anak itu kembali fokus kekoran pagi.

Gaara masih fokus pada televisi yang kini menyajikan berita lain, yang tidak lagi menarik untuknya.

"Ayah?" Panggilnya lirih.

Rasa kembali meliriknya.

Dan Gaara memandanganya. "Jadi bagaimana kebenaran dari masa lalu itu?"

Pertanyaan yang langsung membuat Rasa menoleh pada televisi yang sedang menyiarkan berita pagi. Seolah tau dari pertanyaan yang diajukan sang putra ia kembali menatap Gaara.

"Apa yang ingin kau tau?" Sebuah helaan napas sebelum menjawab dengan sebuah pertanyaan.

"Apa ayah memang pernah menikah? Dan apa ibu tau tentang ini?" rasa ingin taunya kini bertambah, saat melihat sang ayah masih tenang.

Apa ini hanya cara seseorang untuk menjatuh ayahnya?

Cukup lama tak ada jawaban dari sang ayah, membuat Gaara jenuh menunggu. Karena melihat sang ayah tak kunjung menjawab, malah tetap tenang dengan koran yang sedang ia baca, membuat Gaara melupakan pertanyaannya itu.

"Ya, dan dia adalah ibumu." Jawaban lirih dari bibir sang ayah yang masih tetap tak mengalihkan pandangannya dari koran, membuat Gaara menoleh cepat.

Sampai terasa lehernya sakit karena terlalu cepat ia menoleh saat mendengar jawaban sang ayah.

Complications

Suara dari muntahan yang kesekian kalinya, terdengar didalam kamar mandi sebuah kamar hotel yang sudah sejak awal musim panas ia sewa.

Uzumaki Karin telah mengalami morning sickness yang biasa dialami oleh wanita hamil disaat kandungannya berkembang dalam perut kecilnya.

"Shit."

Juga tak lupa dengan suara umpatan yang mengiringinya. Setelah membasuh mulutnya yang terasa tak enak dengan air pada wastafel, wanita berdarah Jepang-Amerika itu menatap pantulan dirinya pada cermin besar dihadapannya.

Raut cantik yang kacau itu terlihat air mata yang mengalir pada pipi tirusnya. Melihat kekacaunya sendiri Karin menarik sudut bibirnya, ia memberikan senyum mengejek untuk dirinya sendiri.

"Sekarang apa yang kau dapat setelah semua ini Karin?" Ia berbicara pada dirinya sendiri. "Setelah kau hamil dan memberitau tentang kehamilanmu pada semua orang, apa Uzumaki Karin, apa yang kau dapat?" Teriak frustasi dengan suara yang parau membahana dalam kamar mandi pagi itu.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan?" Suara selanjutnya adalah suara isakan darinya.

Tangisan yang tak pernah ia tunjukan pada siapa saja yang mengenalnya. Antara penyesalan dan lega dengan apa yang telah ia lakukan. Dalam semalam ia telah menghancurkan banyak hati, yang mungkin telah lama mereka bangun. Yang terasa tidak adil untuknya.

Kenapa seorang Yamanaka Ino mendapat banyak cinta dari Uchiha Sasuke?

Every hearts

"Hinata-chan kau baik-baik saja?"

Teguran dari ibunya, membuat Hinata mengangkat kepalanya.

Suasana pagi di kediaman Hyuga berlangsung hikmat beberapa waktu lalu. Kini hanya menyisakan sepasang ibu dan anak disana. Karena kepala keluarga Hyuga sudah pergi setelah sarapan.

Sebuah anggukan gadis bersurai indigo itu berikan pada sang ibu.

"Kemarin, ibu sudah bicara pada ayahmu." Sebuah senyum tulus ia berikan untuk sang putri sebelum memulai pembicaraan.

Hinata masih belum mengerti tentang apa yang sang ibu maksud dengan bicara pada ayahnya? Jadi hanya diam mendengarkan.

"Untuk tidak lagi menjodohkanmu Hinata."

Putri satu-satunya keluarga Hyuga itu, memberi pandangan lama pada sang ibu.

"Ibu mendukung ayahmu, karena ibu tau siapa yang akan dijodohkan denganmu. Tapi setelah melihat kejadian kemarin, mungkin kau tertekan. Maafkan ibu."

Tangan halus itu menyentuh tangan kecil putrinya. "Mungkin kau juga sudah memiliki orang yang kau sukai, maukah kau cerita pada ibu?" Kembali Hyuga Hana memberi senyum tulus.

Hinata hanya buru-buru menunduk mendengar kalimat terkahir yang ibunya ucapkan. Seseorang yang ia sukai? Tentu saja ada, bahkan seorang kekasih. Seandainya ibunya tau bahwa Sabaku Gaara adalah kekasihnya. Tapi bercerita pada ibunya? Tidak ia tidak ingin bercerita pada sang ibu.

Bagaimana ia bisa bercerita tentang, bagaimana dirinya menghancurkan hati dua orang, meski tidak semua adalah kesalahannya.

Dan tidak sepenuhnya yang diucapkan Karin itu benar, karena Hinata belum sepenuhnya tidur dengan Sasuke.

Semuanya ini adalah kesalahan Uchiha brengsek itu dan bagaimana ayahnya kemarin ingin menjodohkan Hinata dengannya? Karena image seorang Uchiha tidaklah sebaik itu.

Meski Hinata juga tidak bisa memungkin pesona yang dimiliki Uchiha Sasuke, karena ada rasa kecewa saat Sasuke malah meninggalkannya dan tidak meneruskan apa yang pemuda itu mulai dulu. Karena itulah ia membenci dirinya sendiri.

Ditambah ia tak berani menjelaskan pada Gaara apa yang terjadi, sampai saat ini, ia membiarkan masalahnya berlarut. Seolah membenarkan apa yang diucapkan oleh wanita itu.

Bagaimana ia berani mejelaskan pada Gaara, sedangkan menatap pemuda itu saja ia sudah takut. Ya, ia adalah seorang pencundang menyedihkan memang.

Complications

Haruno Sakura menghentikan langkahnya, saat melihat sang ibu masih di rumah. biasanya kedua orang tuanya itu sudah tidak ia temui saat bangun tidur. Kemana lagi kalau tidak sibuk berkerja.

"Mama masih di rumah?" Katanya.

Mebuki mengalihkan pandangannya dari majalah yang ia baca, dan menoleh pada putri semata wayangnya.

"Kau mau kemana?" Melihat penampilah Sakura yang sudah rapi. Dengan setelah kaos dan jeans dilengkapi dengan boot.

"Aku mau pergi." Jawabnya malas.

Tentu saja Mibuki tau, kalau putrinya itu akan pergi. Bukankah putrinya itu memang jarang bisa betah di rumah.

Karena ia sudah paham, kemana putrinya itu akan pergi, kalau tidak jalan-jalan, belanja atau menghabiskan waktunya di salon dengan para sahabatnya.

Haruno Sakura adalah putri tunggal dari keluarga kaya, jadi tak perlu khawatir dengan keuanganya.

Sebuah mobil mewah berwarna pink yang menjadi favoritenya telah berjalan halus meninggalkan garasi rumah mewahnya.

Bukan jalan-jalan, belanja atau menghabiskan uang lainnya, kali ini ada yang ingin ia temui. Ia harus bicara dengannya.

Namikaze Naruto harus mendengar penjelasannya.

Every Hearts

Entah seberapa besar rasa kecewa Gaara terhadap apa yang baru ia dengar. Kenyataan bahwa wanita yang paling ia hormati di dunia, ia sayangi dan yang ia panggil ibu adalah orang yang hanya berperan menggantikan status ibu kandungnya.

Entah mimpi apa ia semalam, tapi bukankah semalam ia tidak bisa tidur seperti malam-malam sebelumnya? Tapi kenapa ia seolah terbanggun dari mimpi indahnya.

Sejak ayahnya memberitau bahwa wanita yang dimaksud adalah ibu kandungnya, emosinya masih stabi. Bahkan ia masih bisa bertanya dengan tenang tentang wanita itu dan wanita yang ia panggil ibu selama ini.

Penjelasn dari sang ayahlah yang membuat ia kecewa.

"Dengarkan ayah dulu Gaara," Rasa masih tetap bicara meski raut marah telah putranya tunjukan. "Ibumu sakit, karena itulah ayah mengirimnya kesana."

"Sakit?" Gaara membeo pernyataan ayahnya.

Rasa mengangguk. "Karura depresi, ia mengalami gangguan mental, karena itu ia tidak bisa merawatmu." Jelas sang ayah lirih.

Diruangan besar itu menjadi sunyi setelah beberapa waktu lalu terdengar suara yang saling bersautan antara dua orang.

"Jadi ibu kandungku gila?" Pernyataan Gaara akan penjelasan sang ayah.

Entah sejak kapan Kicho sudah ada ditengah-tengah mereka, nyonyah Sabaku itu mendengar perdebatan keduanya dari dapur, karena itu segera ia kemari untuk melihat apa yang terjadi.

Namun pria dewasa itu diam. Tak ada jawaban.

Gaara melirik kearah wanita yang selama ini ia panggil ibu. Melihatnya membuat hati Gaara sakit. Ia begitu menyayangi wanita itu, rasa sayangnya begitu besar untuknya. Tapi apa kenyataan yang ia dapat?

"Bawa ibuku pulang, atau aku yang akan membawanya pulang." Putus Gaara sebelum ia pergi dan menyambar kunci mobilnya.

Dengan penampilan seadanya ia pergi entah kemana.

Dengan kepergian Gaara, kedua orang dewasa yang masih tersisa itu masih saling diam. Sampai Kicho bersuara.

"Anata?"

Rasa sempat menoleh sekilas sebelum kembali menjatuhkan dirinya pada sofa dan menghela napas disana.

"Gaara sudah dewasa, aku rasa dia sudah waktunya tau semuanya." Terang sang kepala keluarga.

Ya, karena cepat atau lambat, Rasa akan memberitau yang sebenarnya pada putra kesayangannya itu. Meski sekarang yang didengar Gaara belum sepenuhnya. Karena Gaara pasti masih sangat marah padanya.

Ada waktunya untuk menjelaskan semuanya. Saat putranya itu mulai tenang dang menerima kenyataan yang ada.

Complications

"Sakura-chan?"

Kushina tersenyum cerah saat melihat siapa tamunya siang itu.

Begitu pula dengan Sakura, gadis itu juga memberikan senyum cantiknya.

"Koniciwa, Kushina-basan."

"Koniciwa, sayang. Ayo masuk." Ajaknya

Gadis bersurai merah muda itu mengikuti sang nyonyah rumah.

"Apa Naruto ada?" Setelah mereka ada didalam rumah mewah Namikaze, Sakura bertanya.

Bukan sudah bisa ditebak, kedatangan gadis cantik itu pasti mencari putranya. Karena Kushina tau hubungan keduanya.

"Dia sedang main game, sejak pagi ia belum keluar kamar." Terang Kushina.

Sakura sedikit bersukur, karena yang ia cari ada di rumah. Meski ia sempat melihat mobil mewah kekasihnya itu masih terparkir di halaman tadi, ia sedikit khawatir Naruto sudah menghilang.

"Naruto? Ada yang mencarimu. Ayo turun!" Teriak wanita cantik berambut merah panjang itu.

Mesara tak ada wajaban, kembali Kushina meneriakinya dari lantai bawah.

"NARUTO?"

Merasa namanya dipanggil, dan karena ia mendapat perasaan tak enak dengan panggilang mengerikan dari sang ibu, Naruto mengumpat pada permainan game yang sedang ia mainkan. Karena fokusnya tebagi ia kalah dan umpatanlah ia keluar dari mulutnya.

Dengan malas ia beranjak dari posisi nyamannya.

Beberapa anak tangga terlewati dengan malas menuju sang ibu, sebelum mendengar suara yang menyeramkan lagi yang mungkin akan ia dengar dari ibunya itu.

Namun pada saat sampai di lantai dasar kediamannya, lankahnya semakin malas dan ia menyesal telah turun kali ini. karena yang ia lihat yang ada disana bukalanya sang ibu seorang melainkan gadis yang enggan ia temui untuk saat ini.

Melihat putranya sudah turun, Kushina kembali masuk kedalam, kearah dapur mungkin.

"Hai, apa kabar Naruto?" Sapa Sakura lebih dulu.

Sebenarnya siapa yang tidak merindukan gadis yang ia cintai itu, tapi karena mungkin rasa kecewalah yang membuatnya malas mnemuinya.

"Seperti yang kau lihat."

Memang benar, Naruto sangat mencintanya, tapi pria bodoh mana yang tak kecewa dengan pengkhianatan?

"Kau terlihat kacau," Kali ini sakura mengomentari penampilannya.

Ya, kapan Naruto pernah sekacau ini dalam berpenampilan saat bertemu kekasihnya? Sebelum masalah dalam hubungan mereka muncul, saat ada Sakura atau saat akan bertemu dengan gadis itu, ia akan langsung meloncat menuju kamarnya, paling tidak merapikan dirinya dulu.

Tapi sekarang terlihat berbeda, karena hatinya juga sudah berbeda untuk menyikapi gadis yang kini ada didepannya ini.

Dengan kaos oblong dan boxer melekat pada tubuhnya Naruto berani menemui Haruno Sakura.

Karena merasa ia tak mendapat tanggapan dari pemuda didepannya, Sakura kembali bersuara. "Apa kau ada waktu? Aku ingin bicara."

"Bicaralah." Seru Naruto cukup singkat dan jelas terdengar menyakitkan dihati Sakura.

Sakura tidak tau sejak kapan pemuda ini begitu cuek terhadapnya? Apa Naruto sekecewa itu padanya?

Ia tak tau, harus memulainya dari mana, karena itu Sakura masih diam, meski Naruto menyuruhnya untuk bicara. Ia tak ingin bicara disini sebenarnya, tidak adakah tempat lain untuk mereka bicara selain di rumah pemuda itu?

"Hmm, so-soal yang dikatakan Karin, aku dan Sa-Sasuke."

Naruto diam menatap tanpa ekspresi gadis didepannya.

"A-aku ra-aku rasa, kami sama-sama mabuk Naruto." Sakura menunduk.

Tanpa Sakura tau, rahang Naruto sudah mengeras.

"Jadi benar yang dikatakan Karin, kau tidur dengan Sasuke? Padahal aku berharap itu hanya omonmg kosong." Pertanyaan yang membuat mata emerald itu langsung menatapnya dengan sayu.

Namun Sakura masih diam.

"Iya atau tidak Sakura?" Meski lirih, jelas terdengar penekanan pada nada bicara Naruto.

"Maaf."

Entah maaf untuk apa, Naruto tak mengerti ucapan gadis didepannya.

Sebuah helaan napas Naruto ambil untuk menenangkan dirinya. "Kau tau, kau bukan hanya membuatku kecewa Sakura, tapi kau juga menghancurkan perasaan Ino. Dia sahabatmu kan?"

Sakura kembali menunduk.

"Kau mungkin tidak peduli dengan perasaanku, tapi paling tidak kau pikirkan perasaan sahabatmu itu."

"Tidak Naruto, tentu saja aku memikirkan perasaanmu, dan Ino." Lirih ia menyela. "Tapi percayalah aku dan Sasuke sama-sama tidak sadar." Dan menambahkan.

Sejak kapan Naruto menjadi senyeramkan ini dedepannya?

"Kami bertemu di bar, dan minum begitu banyak disana." Ia menjelaskan dengan penuh kehati-hatian yang cukup lirih. "Kami mabuk dan tak sadar dengan apa yang kami lakukan." Meski kenyataannya tidak sepenuhnya seperti itu.

"Aku dengar kau sempat menyukai Sasuke."

Pernyataan Naruto itu membuat rahang Sakura mengeras, ia sebisa mungkin untuk tidak jatuh menangis. Ia terluka melihat perlakuan Naruto terhadapnya tapi memang semua ini kesalahannya.

"Apa kau hanya menjadikanku pelarian karena tak bisa mendapatkannya dan pertemuan kalian di bar kau manfaatkan?"

Mata hijau cerah milik Sakura melebar mendengar pernyataan dari Naruto. Kenapa pemuda ini bisa berubah menjadi sekejam ini?

"Naruto kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?"

"Sudahlah, aku tak ingin membahas ini lagi. Karena ini menyakitkan untukku." Pemuda Namikaze itu mengambil langkah memutar, untuk berbalik. Sebelum melangkah pergi ia menambahkan. "Jangan pernah menemuiku lagi." Putusnya disertai dengan air mata yang menetes tanpa ia sadari.

Begitupula dengan gadis yang ia tinggalkan diruang tamu rumahnya seorang diri. Air matanya pun jatuh, dan hatinya tak pernah merasa sesak dan sakit seprti ini belumnya mendapat penolak dari orang mencintainya.

Dulu setaunya Naruto begitu mencintainya bukan? Apa rasa cinta pemuda itu telah habis untuknya? Tapi kenapa rasanya bisa sesakit ini?

Ada banyak hati yang terluka dan menangis hari ini. Entah karena perasaan yang tersampaikan atau malah yang tidak tersampaikan.

Setiap hati merasakan apa itu sakit dan air mata penyesalan.

Every Hearts

Dengan secangkir kopi yang terlihat masih panas yang ada diatas meja sebuah cafe terbuka. Bukan tanpa tujuan pemuda Sabaku itu berada disini, bukan sekedar membunuh waktunya. Ia sedang menunggu seseorang yang saat perjalanannya kemari ia hubungi lewat sambungan telephone.

Pandangan pemuda itu menerawang jauh, entah kemana. Mungkin memikirkan kenyataan yang baru ia terima.

Dalam lamunannya, sayup ia mengdengar seseorang menyapanya.

"Maaf membuat anda menunggu lama Gaara-sama." Dengan sedikit membungkuk pada pemuda yang kini sudah mengalihkan pandangan padanya.

"Silakan duduk Baki-san."

Tak ada senyum, barang setipispun yang mungkin dilihat oleh Baki, pada raut wajah pemuda didepannya.

Putra kesayangan dari bos-nya itu menghubunginya beberapa waktu lalu, dan meminta untuk menemuinya disebuah cafe yang telah ia sebutkan ini.

Karena tadi Baki sedang berada di rumah, jadi sedikit memakan waktu untuk sampai.

Rasanya sudah lama sekali ia tak melihat pemuda didepannya ini. Mungkin Gaara adalah bungsu dikeluarga Sabaku, tapi sang ayah menaruh harapan besar terhadapnya.

"Jadi, ada apa anda ingin bertemu dengan saya?" Merasa Gaara masih diam sejak kedatangannya, ia yang harus membuka obrolan.

Iris hijau Gaara menatap pria yang jauh lebih tua darinya itu datar. Sebelum ia mejawab lirih. "Aku ingin, kau mengurus keberangkatanku ke Belanda nanti malam."

Sebuah perinta yang membuat seorang Baki mengerutkan alis.

"Anda akan menghabiskan libur musim panas di Belanda?" Tebaknya sedikit penasaran.

Pandangan Gaara ia alihkan pada cangkir yang belum ia sentuh sama sekali. "Aku ingin menenui ibu kandungku." Terangnya lirih.

Gaara tau sedekat apa ayahnya dengan orang didepannya ini, jadi mungkin sedikit banyak pasti Baki tau tentang ayahnya.

"Jadi bisakah kau mengurusnya." Merasa Baki masih diam, Gaara menekankan kalimatnya.

Masih belum sepenuhnya paham, meski ya, memang tau tentang istri pertama dari sang perdana menteri ada disana. Tentang ibu kandung dari pemuda di depannya ini. jadi bisa disimpulkan bahwa pemuda ini sudah tau semuanya?

Tanpa berpikir panjang lagi setelah menghela napas, Baki mengangguk. "Baiklah, saya akan mengurusnya." Seperti yang ia ucapkan, pria itu segera beranjak dari hadapan Gaara tanpa perlu bertanya dan penjelasan yang lain.

Setelah kepergian Baki, Gaara masih betah ditempat itu. Ia enggan beranjak. Mungkin ia memutuskan akan menunggu orang yang ia suruh itu disini. Karena memang ia tak tau tujuannya akan kemana.

Complications

Sasuke baru saja membersihkan dari pada siang itu. Dengan piyama mandi yang masih membungkus tubuhnya, pemuda tampan itu berjalan kearah beranda kamarnya. Sejak pagi ia bangun ia sudah menghabiskan waktunya dengan sarapan di beranda kamarnya.

Karena ia merasa malas sarapan di ruang makan. Ia malas bertemu dengan sang ayah. Karena itulah ponsel pintarnya juga ada disana.

Tangannya menggapai ponsel berwarna hitam didepannya, sejak tadi ia sudah memainkan tanpa tujuan ponselnya itu karena bosan. Maksud hati ia ingin menghubungi sahabatnya, tapi entah kenapa pikirannya malah melayang pada sosok gadis pirang yang beberapa minggu ini tak menghubunginya.

Bukan tanpa alasan, Sasuke jelas tau penyebabnya. Bahkan ia ragu hubungannya baik-baik saja setelah gadis itu ia buat kecewa.

Tapi persetan dengan itu, toh ia yakin cepat atau lambat pasti Ino akan kembali padanya. Mungki saat liburan musim panas ini berakhir dan mereka kembali ke sekolah, maka gadis itupun akan kembali padanya. Sasuke berani bertaruh tentang hal itu.

Jarinya menggeser galieri photo pada ponselnya, menampakan senyum cantik milik Yamanaka Ino. Gadis cerewet yang keras kepala juga gadis ceria yang baik hati. Yang selalu membuat dirinya netral.

Tanpa ia sadari bibirnya mengukir senyum akan pikirannya sendiri.

Bila nanti gadis itu tak kembali padanya, mungkin ia bisa memikirkan saran Itachi.

Every Hearts

Baki sudah kembali menemuinya dengan membawa sebuah tiket pesawat ke Belanda. Memang ia hanya perlu membeli tiket untuk tuan mudanya ini, karena paspor dan visa tentu saja Gaara sudah memilikinya. Jadi ia tak perlu lagi mengurusnya.

"Keberangkatan jam sepuluh malam, dan mungkin anda akan sampai jam tujuh pagi waktu setempat di bandara Intenasional Schiphol." Terang Baki pada pemuda diepannya.

"Hn, terimakasih." Respon Gaara singkat.

"Setelah di bandara Schiphol anda akan dijemput seseorang disana. dia adalah orang kepercayaan ayah anda." Kembali Baki memberi penjelasan.

Gaara tak memberi jawaban, karena ia tak peduli dengan hal itu.

"Apa ada yang bisa saya bantu lagi?"

"Tidak, terimakasih."

Setelah ucapan terimakasih keluar dari mulut pemuda didepannya, Baki kembali pamit dari hadapan pemuda itu.

Kini tiket tujuannya ada ditangan, ia masih ragu untuk pergi.

Apa yang akan ia lakukan setelah bertemu dengan ibu kandungnya itu?

Kalimat apa yang akan ia ucapkan pertama kali saat bertemu dengannya?

Gaara bukanlah sosok yang pandai memulai percakapan, bukan pula sosok yang bisa menciptakan suasana menyenangkan.

Mata jade-nya menatap cukup lama kertas ditangannya. Apa yang harus ia lakukan setelah ini?

Dalam pikirannya yang kalut, terlintas satu nama yang bisa melakukan semua itu dengan muda.

Yamanaka Ino.

Mungkin gadis itu bisa membantu Gaara sekali lagi.

Tapi apa mungkin Ino mau ikut dengannya?

Tak ada salahnya untuk mencoba, karena ia tau Ino adalah gadis baik.

Tak butuh waktu lama, untuk ia segera beranjak dari tempat ia menghabiskan waktu siang harinya. Untuk bergegas menemui gadis yang namanya seolah berlarian dibenaknya.

Complications

Ino baru saja membuat makan sore untuknya, dengan ditemani obrolan lewat sambungan telephone dengan sang ibu yang kini sedang berada di Okinawa.

Ya, kedua orang tuanya memutuskan untk berlibur ke Okinawa untuk beberapa hari. Dan Ino menolak untuk ikut. Jadi kini ia hanya seorang diri di rumah.

"Baiklah, aku mengerti mama. Jaga diri mama dan papa, baik-baik disana."

Baru saja sambungan telephone ia putus, dan meletakan ponselnya disebalah piring makan didepannya, suara bel rumahnya berbunyi.

Perhatiannya teralihkan.

Kaos putih dan hotpants melengkapi penampilan sore itu dengan rambut yang masih setengah basah. Ia meninggalkan makanannya dan berjalan menuju pintu utama rumahnya. Untuk melihat siapa tamunya.

"Gaara?" Setelah pintu ia buka, orang yang namanya ia sebut itulah yang ada didepannya.

Sedikit dibuat mengerut akan kedatangan temannya itu, meski Ino segera menyuruhnya masuk.

Penampilan Gaara-lah yang mencuri perhatiannya. "Kau darimana?" Setelah kaos dan celana training menandakan penampilan bangun tidurnya. Meski tak mengurangi pesona pemuda itu.

Namun Gaara tidak menjawab. Membuat Ino juga ikut diam. "Ada apa Gaara?" sampai ia kembali bersuara.

"Ino ikutlah denganku." Ajaknya yang masih belum Ino tau ikut kemana.

Seperti itulah Sabaku Gaara, yang tidak bisa mengawali percakapan dengan baik.

"Haaa?" Tanda tanya besar kini melintas dikepala gadis bersurai pirang itu. "Ikut denganmu?" Ino kembali memastikan. "Kau mau kemana?" tambahnya pelan.

Gaara masih berdiri diam didepanya. Seperti ia juga binggung ia harus memulai dari mana. Disaat seperti inilah ia meras tolol.

"Menemui Ibuku."

Mendengar jawaban Gaara membuat Ino tak setegang tadi, tapi juga membuatnya penasaran. "Memangnya bibi Kicho kemana?"

Gaara tau, Kicho-lah ibunya yang diketahui Ino.

"Ibu kandungku Ino." Meski ia menjawab dengan penuh ketenangan, tapi ada nada bergetar yang cukup lirih dari suaranya.

Ino melebarkan mata aqua miliknya. "Maksudmu?" tak sampai hati ia bertanya, ia takut pertanyaannya akan menambah luka yang mungkin pemuda ini rasakan.

Meski ia tak begitu paham apa yang terjadi.

"Dia bukan ibuku, orang yang paling aku hormati dan aku sayangi bukanlah ibu kandungku."

Penjelasan yang lirih namun masih bisa dipahami oleh Yamanaka Ino.

"Dia hanya sebagai pengganti ibunya yang gila yang kini diasingkan di Belanda."

Entah apa yang membuat Gaara begitu percaya mencurahkan apa yang terjadi padanya pada gadis ini. Sebelumnya Gaara tak perna menaruh rasa percaya yang cukup besar pada siapapun.

Mungkin karena ia yakin, Ino bisa membuatnya tenang.

Dan Ino tak pernah tau akan rahasia sebesar ini ada pada keluarga Gaara. Kini ia bisa melihat dengan jelas luka pemuda ini, setelah dikecewakan oleh kekasih dan sahabatnya kini ia telah dikecewakan oleh keadaan tentang ibunya.

Seolah bertubi-tubi kesakitan yang pemuda itu alami.

Luka yang Ino alami akibat ulah Sasuke masih bisa Ino rasa perihnya, apa lagi luka Gaara yang belum sepenuhnya kering dan kini seperti ditambah dengan menyiram air cuka pada lukanya.

Ino berjalan mendekat untuk meraih tubuh tegap temannya itu. Mencoba menenangkan meski ia tak bisa mengobati, paling tidak ia tak ingin membuat Gaara bertambah kacau.

Gaara tak menolak saat tubuhnya direngkuh oleh gadis pirang itu.

"Mungkin ayahmu mempunyai alasan untuk itu." Ucap Ino mencoba mencari kalimat dengan hati-hati agar tak memperkeruh keadaan.

"Aku ingin bertemu dengan ibuku. Ikutlah denganku, karena aku tak tau apa yang akan aku lakukan disana seorang diri." Dengan posisi yang masih dalam pelukan, Gaara mengutarakan maksud kedatangannya.

Ino masih belum bisa menjawab.

Gaara mendonggak melepas pelukannya dan menatap mata sebiru lautan didepannya.

"Aku yang akan meminta ijin pada orang tuamu, dan akan mengirim orang untuk membantu menjaga toko bungamu."

Kalimat panjang yang kelewat cepat itu membuat Ino tertawa kecil.

"Kebetulan orang tuaku sedang berlibur ke Okinawa, jadi aku rasa tak masalah aku ikut denganmu."

Jawaban Ino membuat Gaara menarik sudut bibirnya senang. "Benarkah?"

Ino mengangguk.

"Terimakasih." Gaara mungkin terkenal angkuh tapi ia bukan orang yang tak tau terimakasih.

"Pesawatku terbang jam sepuluh nanti, bisakah kau bersiap sekarang?"

"Apa, sekarang?" Ino dibuat kembali melotot.

Gaara yang ganti mengangguk.

Ino hanya menghela napas sebelum berkata, "aku akan menghubungi orang tuaku dulu."

Setelah mengirim sebuah pesan, Ino bersiap untuk ikut dengan pemuda yang akhir-akhir ini selalu muncul dihidupnya dengan membawa hal-hal yang merepotkan.

Mereka saling ketergantungan satu sama lain, oleh luka yang sama yang mereka berdua rasakan dari dua orang yang sama pula. Mereka dipertemukan dan disatukan oleh berbagai kesakitan dan skandal yang dibuat oleh orang-orang disekeliling mereka.

Setelah kepergian Ino dari hadapannya, Gaara terlihat menghubungi seseorang.

"Urus satu tiket lagi ke Belanda untuk malam ini Baki, atas nama Yamanaka Ino." Perintahnya dari sambungan telephon.

Setelah mendapat kesanggupan dari lawan bicaraya, Gaara mendambahkan. "Hn, dan temui aku di rumah. aku akan pulang dulu setelah ini."

Sambungan telephone ia tutup sebelum Ino kembali dengan setelan kaos dilengkapi dengan cardigan dan celana jeans panjang dipadukan dengan sepatu vans yang senada dengan kaos putihnya.

Tak lupa dengan sebuah tas tangan dan koper berukuran sedang.

Gadis itu tak perlu memikirkan paspor dan visa, karena ia sudah memilikinya. Dan soal tike ia akan menanyakan pada Gaara.

"Apa kau sudah membeli tiketnya?"

Gaara mengangguk. "Aku sudah mengurusnya."

"Apa kau akan pergi dengan penampilasn seperti itu?" Kembali Ino penasaran dengan penampilan Gaara.

Pemuda itu sekilas nampak mengamati penampilannya, sebelum menjawab. "Tidak, kita akan pulang dulu ke rumahku belum pergi."

Ino hanya mengangguk-angguk mengerti.

Complications

Sebelumnya Baki sudah memberitau Rasa soal kepergian Gaara ke Belanada, dan Rasa pun juga sudah menjelaskan pada orang kepercayaannya itu tentang apa yang terjadi.

"Gaara-sama, tidak pergi sendiri."

Setelah melaksanakan perintah Gaara yang kedua kalinya untuk hari ini, Baki langsung datang ke kediaman pemuda itu seperti yang di katakan. Tapi seprtinya Gaara belum sampai di rumah.

Jadi kini ia bisa berbicara dengan sang perdana menteri dan sang istri.

"Dia memesan satu tiket lagi untuk Nona Yamanaka." Ia memperlihatkan tiket yang ia bawa dan menjelaskan akan kedatangannya malam ini.

"Hn."

Melihat sang perdana menteri masih tenang dan tak nampak keberatan, ia mulai paham. Dan memang ia sudah tau tentang sosok Yamanaka Ino karena orang didepannya ini sendirilah yang menceritakannya.

Meski ia belum melihat secara langsung sosok yang menjadi kekasih dari sang bungsu Sabaku.

"Syukurlah, kalau dia membawa Ino."

Hanya itu komentarnya dan Baki hanya bisa mengangguk dalam diam.

Tak lama, orang yang mereka bicarakan pun datang juga.

Meski tanpa bersuara, setelah menerima tiket dari Baki, Gaara segera bergegas menuju kamarnya. Dan meninggalkan Ino bersama tiga orang berbeda itu.

"Aku senang kau mau ikut."

Rasa adalah orang yang pertama membuka percakapan diantara mereka. "Kenalakan dia Baki, orang kepercayaan keluarga kami." Ia menunjuk seorang pria yang berdiri tak jauh dari Ino berdiri.

"Baki mengatakan, Gaara membeli tiket untuk dua orang, yaitu kau Ino. Terimakasih sudah mau ikut."

Sedangkan dua orang yang melihat tuan sabaku berbicara terlalu banyak, yang tidak seperti biasa, hanya diam memperhatikan.

Terutama Kicho, nyonyah Sabaku itu masih diam dibelakang sang suami. Mungkin ia sudah merasa bahwa Ino sudah tau yang sebenarnya, karena gadis itu akan ikut kemana Gaara akan pergi. Pasti Gaara sudah mengatakan yang sebenarnya pada kekasihnya itu.

Sedangkan Baki, juga diam. Benar menurutnya, gadis yang diceritakan bernama Yamanaka Ino itu cantik. Jadi tak heran bila tuan mudahnya begitu mencintainya.

"Ano, maaf-"

Belum juga Ino menyelesaikan kalimat yang entah ia berani bertanya atau tidak tapi ia sedikit bersyukur karena ayah Gaara sudah lebih dulu memotongnya.

"Kau tidak perlu minta maaf, disana Gaara akan menemui ibu kandungnya. Kau akan tau yang sebenarnya nanti ." Kembali menjeda kalimatnya. "Aku yakin Gaara membutuhkanmu, dia orang yang kaku dan labil, aku yakin kau bisa mengendalikannya." Diakhir ia mengulas senyum yang jarang terlihat.

Ino semakin dibuat binggung dengan apa yang terjadi dan apa yang harusnya ia lakukan.

Namun ia tak dibuat berpikir untuk menjawab, karena Gaara sudah datang dengan setelan yang rapi meski tak formal. T-shirt dan jaket dipadu dengan jeans dan sepatu. Tak lupa dengan ransel yang bertengger indah pada punggungnya.

Setelah sampai didepan empat orang yang menunggunya, Gaara berhenti sejenak meski tak ingin bicara.

Sebuah amplop coklat persegi besar, ayahnya sodorkan.

"Semua keterangan tentang ibumu ada disitu." Terang sang ayah.

Meski Gaara tak mengerti kenapa ayahnya begitu enteng bercerita yang sebenarnya, setelah bertahun-tahun menutupi rahasia yang ada.

Namun ia enggan untuk sekenar membuka suara saat ini, apa lagi untuk bertanya pada ayahnya.

Ia menerima amplop itu segera. Dan tanpa pamit pun ia menggenggam tangan gadis disampinya, dan mengajaknya pergi dari sana.

"Yamanaka Ino?"

Panggil sang kepala keluarga, yang membuat langkah Ino terhenti, begitupun juga langkah Gaara, meski pemuda itu tak menoleh seperti Ino.

"Aku mengandalkanmu."

Setelah mendengar kalimat singkat dari sang ayah, Gaara kembali menyeret temannya itu tanpa pamit.

Every Hearts

Setelah menghabiskan berjam-jam dalam perjalanan pesawat menuju salah satu negara di Eropa, Gaara dan Ino tiba di bandara Internasional Schiphol, Belanda.

Tepat pukul tujuh pagi waktu setempat. Disana pun telah ada orang yang sudah menunggu kedatangan mereka. Seorang pria yang lumayan tua, namun wajahnya menunjukan ras Asia. Sedang mengankat tinggi nama Sabaku Gaara dengan huruh kanji yang jelas.

Meski alisnya sedikit mengerut, namun akhirnya Gaara mendekatinya juga. Karena ia sedikit ingat wajah orang yang membawa tulisan namanya itu.

Sejak dalam perjalanannya tadi, ia tak berhenti melihat dan membaca apa yang ada di amplop. Salah satunya tentang pria tua yang sekarang berojogi didepannya.

"Saya Sabaku Gaara." Gaara memperkenalkan diri.

Isi dalam amplop yang diberikan oleh ayahnya adalah tentang Ibunya, bernama Karura, potret wanita yang melahirkannya itu, juga tempat tinggalnya dan orang-orang yang bersamanya.

Salah satunya pria yang memeperkenalkan dirinya bernama Shira.

"Mari!" Ajak Shira.

Gaara tak perlu bertanya, soal siapa yang memberitau kedatangannya dan menyuruhnya untuk memjempunya di bandara. Sebeb pasti ayahnya orang yang melakukannya. Dan bukankah Baki kemarin juga mengatakan, akan ada yang menjemputnya.

Dan benar, dalam perjalanan menuju kediaman sang ibu, didalam mobil yang dikendarai oleh si penjemput. Orang itu berceletuk.

"Selamat datang di Belanda, tuan muda, kemarin tuan besar memberitau rencana kedatangan anda."

"Hn, terimakasih." Balas Gaara sekenannya. Karena ia masih dalam kekalutannya, jadi ia sedikit enggan untuk menanggapinya lebih. Meski dalam otaknya begitu banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan.

Sampai detik ini pun ia masih belum mengerti kenap orang-orang ini masih bersikap santai setelah terbongkarnya rahasi yang mereka tutupi selama ini? Apa hanya dia yang bodoh karena terlambat mengetahui?

Apa ini kesengajaan, apa ayahnya memang ingin ia mengetahuinya sekarang?

Dalam perjalanan mobil yang diisi tiga orang itu, berjalan lancar tanpa suara.

Hingga mereka sampai pada sebuah rumah, bergaya Eropa. Jauh dari kesan bahwa yang mendiami rumah itu adalah orang Jepang.

Keseluruan bangunan tidak ada yang memperlihat negara Matahari terbit itu sedikitpun. rumah gaya khas Belanda dengan halaman luas yang dipenuhi rumput hijau terawat.

Saat memasuki rumah itupun tak jauh dengan kesan negeri orang. Gaara tak cemas akan hal itu, sebab ia bertahun-tahun memang besar di negara orang. Tapi Ino, mungkin ini adalah kunjungannya pertama ke Eropa.

"Selamat datang Gaara-sama." Dengan berojiogi yang khas, ditambah wajah dan bahasa orang Jepang, seolah meyakinkan bahwa rumah ini adalah memang milik negaranya. "Dan selamat datang nona Yamanaka."

Gaara dan Ino, pun ikut berojigi.

"Saya Chiyo, dan yang menjemput anda putra saya, Shira."

Pemuda itu masih diam, meski wajahnya datar, berbeda dengan pikirannya. Kecemasan saat memikirkan akan sosok ibunya.

Berbeda dengan Gaara, gadis bak barbie itu memberikan senyum ramahnya. Ia sedikit tersanjung bahwa orang-orang baru yang ia temui sudah mengetahuinya.

Jauh dari kata angkuh dan individualis seperti halnya orang Jepang, mereka terkesan ramah. Mungkin karena mereka tinggal di luar Jepang jadi mereka ikut budaya mereka. itulah kesan pertama Ino.

"Bagaimana perjalanan anda?"

"Dimana ibuku?" Sebuah pertanyaan bukan jawaban. Karena Gaara tak ingin basa-basi lagi.

Chiyo tersenyum, "Beliau ada di taman belakang, mari saya antar."

Gaara dan Ino mengikuti nenek yang terlihat berumur sudah tua itu.

Disana mereka disapa lagi oleh seorang wanita, yang umurnya jauh dibawa sang nenek. Seorang wanita cantik dengan rambut coklat yang terikat. Gaara sudah membaca tentang wanita itu dalam keterangan yang ada di amplop. Dia adalah Akeno putri dari nenek Chiyo.

"Karura-sama, lihat siapa yang datang."

Wanita yang bernama Akeno itu langsung membawa wanita yang sedang duduk pada kursi roda, menghadap dua orang asing yang baru datang itu.

Sosok bersurai sebahu dengan warna coklat pasir. Dan tatapan mata indigo yang sayu. Ditambah dengan wajahnya yang putih pucat, namun tak mengurangi kecantikan wanita itu.

Gaara masih diam memandang wanita itu. Seperti yang telah ia duga, bahwa ia tak tau apa yang harus ia lakukan setelah bertemu dengan ibu kandungnya.

Dalam sunyi, Chiyo bersuara. "Dia putra anda, Gaara," Terang sang nenek.

Mata indigo itu tak lepas menenatap wajah rupawan didepannya, meski bibirnya masih terkatup.

Ino menoleh pada pemuda didepannya, dalam pikirannya temannya itu benar-benar payah untuk memulai, karena sampai saat ini Gaara masih diam membisu.

"Aku tidak memiliki putra."

Akhirnya bibir pucat itu bersuara. Meski bukan itu kalimat yang ingin Gaara dengar. Ino pun sama kagetnya dengan Gaara. Ia yang tengah mengamati perubahan raut wajah pada temananya, menyadari perubahan itu.

Gaara itu kerasa kepala, pemarah dan labil. Bisa saja Gaara tersinggung akan ucapan sang ibu. Tapi mungkin saja ibu Gaara tak tau tentang putranya, sama dengan Gaara yang baru mengetahui tentang ini.

Tangannya mengenggam tangan Gaara yang mengantung bebas pada sisi tubuhnya. Mencoba memberi ketenangan.

Gaara bilang ibunya sedang sakit bukan?

"Akeno, bawa aku berkeliling taman sekarang." Dengan suara kecil ia kembali bersuara.

Namun yang dipanggil masih terlihat diam. Mungkin karena merasa tak enak dengan sang tuan muda.

"Akeno?" Panggilnya lagi yang kini sedikit keras.

"Ha-hai'."

Namun sebelum Akeno bergebas, ucapan Ino sudah mendahuluinya.

"Biar aku saja," Gadis bermata biru laut itu tersenyum. "Bolehkan? Biar aku yang membawa Karura-sama jalan-jalan."

Hal itu membetot seluruh perhatian semua orang yang ada disana. Tak terkecuali Gaara yang langsung menoleh cepat kearah sang gadis.

"Silakan." Akhirnya Chiyo mengijinkan.

Segera Ino, membawa kursi roda itu untuk keluar, tujuannya adalah taman belakang. Dan tanpa didugapun Karura hanya diam melihat gadis pirang itu membawanya.

Memang beberapa hari yang lalu, Chiyo, orang yang merawatnya telah mengatakan bahwa putranya akan segera menikah, ia juga bilang bahwa putranya itu telah menemukan kebahagiannya.

Mungkin gadis inilah kebahagian putranya.

Cantik itu menurut Karura. Apa hatinya secantik wajahnya? Ataukah pernikah ini hanya perjodohan?

Ia mengenal keluarga Sabaku itu seperti apa. Jadi biarkan dia yang menilainya sendiri sekarang. Dan menunggu apa yang akan terjadi setelah ini.

Tak ada hati yang tak senang akhirnya bisa melihat putra yang ia lahirkan. Tapi rasa kecewanyalah yang mencegahnya tadi. Dimata semua orang ia hanya seorang wanita yang sakit jiwa dan tak bisa apa-apa.

Dalam perjalanan berkeliling taman belakang dengan sebuah kursi roda yang didorong oleh gadis yang ia tau adalah kekasih putranya, ia menangis dalam diam.

To Be Countinue


Terimakasih telah setia menunggu sampai chapter 10. Dan maaf karena engga bisa update cepet, tapi pasti aku usahain bisa selalu up. Terimakasih banyak untuk semuanya. XD

Semua review aku bales disini ya?

Cloesalsabilaahh : Oke, aku ketawa ngakak baca review kamu. Sad ya tapi, ada yang bilang, kalo cowo diawal putus itu seolah bisa lupain kenangan, dan galaunya pasti belakangan XD beda sama cewe yang galaunya diawal. Jadi pasti Sasu entar berjuang kok, tinggal tunggu aja. Thanks udah rnr ya?

AkaiYuki0511 : Tarraaa... udah terjawab disinikan, siapa yang di telephone sama papa Rasa? Thanks udah rnr. XD

Meenyaaw : Maaf ya, telah ngebuat km nunggun lama, dan bikin kecewa karena merasa di PHP ama fic abal ini. Tapi pasti aku usahakan untuk selalu up kok. Thanks

Febri593 : Penasarannya udah terjawab di chap ini kan? Semoga udah engga penasaran lagi. Iya Itachi jangan melakukan itu, mending sama aku aja. Thanks Febri-chan udah rnr.

ShiroeIno : Hahaha ia aku juga bosen meski dalam hati engga ada bosen sama orang nyebelin tapi keren macam Sasuke. semoga Ino dapat yang terbaik ya. Makasih udah rnr.

Xoxo : Milihnya nanti aja, engga usah keburu. Fic ini masih lama kok tamatnya. XD thanks udah selalu rnr.

Himewulan : Hehehe *ikut lari* Makasih budah rnr. :*

Aliaros : Makasih ya kak Alia, eh boleh kan panggil gitu? X) Kita tunggu Sasuke tersiksa ya, tapi sabar dan makasih udah selalu rnr.

Azzura yamanaka : Ehhh... apa penasaran udah terjawab di chap ini? momen romantisnya Gaara ditunggu aja ya, pasti abang Gaa bakalan lebih romantis lagi pasti hehehe. Thanks.

Ino-chan : Apa beneran rela bahwa Ino dihamilin Sasu? Ugh jangan donk. Thanks ya udah rnr Ino-chan. :*

Evil Smirk of the Black Swan : Ini udah Update, dan semoga rasa penasrannya bisa berkurang di chap ini ya. Thanks udah rnr.

Kwonie Monorichi : DOTS ya? Heeemm sayangnya aku engga pernah ngikuti drama Korea hehehe. Jadi engga tau itu adegannya seperti apa, itu hanya menurut apa yang diimajinasikan oleh otak saya. XD Nyonyah baru, udah terjawab disini. Dan pasti nanti cerita mereka akan kembali dimulai, ini kan masih awal sabar ya. Thanks udah rnr.

Safana Erin.F : Ditunggu aja ya, Ino udah move on apa belum. Thanks udah rnr.

Rizumo Hitoyara : Ikut teamGaaIno. *dideathglareteamSasuIno. Thanks udah rnr.

Fahrina : Ini udah update next chapternya. Thanks udah mau menunggu.