DISCLAIMER: Naruto © Masashi Kishimoto.

RATE: M

WARNING: TYPO, AU, OOC, DRAMA DAN YANG PENTING, JANGAN PERNAH MEMBACA APAPUN ITU YANG MEMBUAT MATA ANDA IRITASI. TETAPLAH PADA JALUR MASING-MASING, KARENA AKU HANYA MENCOBA MELESTARIKAN APA YANG AKU CINTAI DAN AKAN SELALU MENCINTAI APA YANG MEMBUATKU SENANG. ^_^

.

.

~Complications~

"Tulip oranye"

"Berhenti."

Setelah beberapa saat berkeliling taman bungan yang cukup luas, yang ada di belakang kediamannya tanpa suara. Kini untuk pertama kalinya ia membuka suara.

Suara monoton yang Ino dengar langsung membuatnya berhenti dari mendorong kursi roda tersebut. Namun setelah berhenti, ia tak tau apa yang harus ia lakukan selain diam.

"Apa Karura-sama lelah?" Cukup tenang Ino bertanya. "Apa Karura-sama ingin kembali ke rumah?" Pertanyaan pertamanya belum ada jawaba, Ino menambahkan satu pertanyaan lagi.

Namun sepertinya, wanita yang ia ajak bicara tak ingin menjawab pertanyaannya.

Karena Ino tau keadaan yang sedang diderita oleh ibu dari sahabatnya itu, jadi ia hanya tersenyum pada dirinya sendiri.

Dari pada itu ia lebih memilih untuk melihat kesekelilingnya. Ada banyak sekali bunga tulip dengan warna yang sama. Ingatkan dia kalau dia lupa, ada dimana dia sekarang.

Belanda, negara asal dari bunga tersebut.

Taman yang cukup luas dengan bunga tulip disepanjang mata memandang. Dikeliling dengan jalan setapak yang cukup nyaman untuk berjalan-jalan. Ia yang sejatinya memang menyukai bunga, tentu saja merasa senang dengan apa yang ia lihat.

Dalam hati ia jadi bertanya, apa ibu Gaara juga menyukai bunga? Terutama bunga tulip oranye?

Lamunannya menguap ketika suara seseorang memanggilnya.

"Nona Yamanaka?"

Ino menoleh karena suara itu. Ia melihat nenek yang memperkenalkan dirinya bernama Chiyo lah yang mendatanginya.

"Pasti anda lelah, biar saya saja yang menemani Karura-sama." Ucap nenek tua itu.

Ino tak perlu kesusahan akan bahasa karena semuanya menggunakan bahasa asalnya, Jepang.

"Iie, tidak papa Chiyo-baasan." Segera Ino menambahkan "Ano, tidak papa kan aku memanggil anda seperti itu?"

Chiyo tersenyum. "Tentu saja tidak, saya senang kalau anda juga mau memanggil saya baasan."

Keduanya saling melempar senyum.

"Akeno sudah menyiapkan kamar untuk anda, istirahatlah." Chiyo kembali mengutarakan maksud kedatangannya.

Ino tau siapa Akeno. Wanita yang sempat ia temui tadi yang katanya adalah putri dari nenek Chiyo, jadi ia tak perlu bertanya lagi soal sosok itu.

Gadis pirang itu kembali tersenyum sebelum menjawab. "Saya senang berada disini. Taman yang indah." Ia mengalihkan pandangannya pada area luas taman yang dipenuhi bunga tulip. "Ini pertama kalinya saya melihat bunga tulip di negara asalnya." Kembali ia menatap wanita tua yang berdiri tak jauh disampingnya.

"Anda menyukai bunga?" Tanya sang nenek menanggapi.

"Ya, saya menyukai bunga. Bahkan di rumah keluarga saya membuka toko bunga."

"Wah, jadi anda banya tau soal bunga?" Terlihat kaget dengan keterangan yang diutaran oleh gadia Jepang itu. Karena melihat dari penampilan luarnya yang jauh terkesan glamour dan manja, yang pasti akan enggan berkutat dengan perkebunan.

Tapi tak terduka kalau keluarganya memiliki bisnis bunga. Pasti Ino tak jarang membantu di tokonya bukan?

Pembicaraan tentang hal yang cukup ia sukai, membuat Ino semangat. "Tentu."

Sedangkan wanita yang duduk di kursi roda yang ada didepan mereka hanya diam mendengarkan obrolan keduanya.

"Jadi apa anda sendiri yang menanam dan merawat bunga tulip disini?" Ino bertanya.

"Tidak," Nenek Chiyo menjawab cepat. "Akeno yang melakukannya, tapi Karura-sama-lah yang meminta bunga tulip yang ditanam."

"Benarkah? Jadi Karura-sama menyukai bunga juga?" namun buru-buru Ino meralat pertanyaannya. "Maksudku, menyukai bunga tulip oranye?"

Chiyo mengangguk.

"Kenapa oranye?" Ino menambahkan, ia sebenarnya cukup penasaran dengan bunga oranye yang ditanam, kenapa bukan warna merah atau yang lainnya.

Warna yang memiliki arti harapan. Apa itu sebegai perwakilan dari harapan yang ada didalam hati sang nyonya besar?

"Karura-sama menyukai warna oranye. Menurutnya hangat, seperti senja." Wanita yang telah beruban itu tersenyum saat menerangkannya. "Tapi, memangnya apa arti tulip oranya?" kemudian ia bertanya. Memang ia tak tau arti-arti bunga. Dan bertanya pada gadis disampingnya ini adalah tepat.

"Semangat, ceria seperti matahari dan harapan untuk agar bahagia."

"Arti yang indah, untuk bunga yang indah." Komentar Chiyo.

Karura, tersenyum dalam diamnya. Tentu saja ia tau artinya kenapa ia memilih tulip oranye. Meski ia bukan ahli bunga, tapi kebanyakan wanita tau artinya bukan.

Semangat, keceriaan dan kebahagian adalah harapannya.

Tapi itu semua telah hilang dan tak kunjung ia dapatkan kembali.

Kembali?

"Nenek-Chiyo?" panggil Karura pelan.

"Hai'?"

"Bawa aku ke kamar." Pintanya.

Sebelum membawa sang nyonya besar pergi dari tempat itu, Chiyo menatap gadis disampingnya dengan senyum.

"Istirahatlah." Ucap nenek Chiyo.

Ino mengangguk dengan senyum.

Setelah kepergian keduanya, tak lama Ino menyusul meninggalkan taman yang penuh bunga itu.

Sosok Gaara yang menyambutnya saat ketika baru saja ia menginjakan kaki di dalam rumah yang sempat tadi ia tinggalkan.

Ino tersenyum, namun pemuda didepannya masih diam dengar wajah datar. Tak menunjukan ekspresi apapun.

Membuat sang gadis bertanya binggung. "Ada apa?"

"Tidak, aku hanya mau memastikan kalau kau baik-baik saja."

Ino semakin binggung dengan jawaban sang pemuda. "Tentu saja, aku baik-baik saja."

"Hn." Setelah merespon dengan khasnya, Gaara membalikan badan menjauh. Memilih sofa sebagai tujuannya.

Ino menyusul temannya itu.

"Dibelakang, ada taman yang cukup luas." Ino memulai obrolan setelah ia ikut mendudukan diri pada sofa yang ada. "Taman bunga tulip." Tambahnya. "Ini pertama kalinya aku melihat bunga indah itu langsung di negara asalnya, jadi menambah kesan indah." Ucapnya dengan antusias pada temannya itu.

"Kau tau Gaara, apa arti dari tulip oranye?"

Sang pemuda hanya diam dalam pikirannya. Merespon cerocosan Ino sedikitpun saja tidak. Tapi Ino tak merasa diabaikan karena ia tau sosok yang duduk disampinya ini memang pendiam dan datar seperti itu.

"Aku pikir, sosok Ibumu yang anggun akan lebih menyukai tulip ungu, tapi ternyata tidak."

Sang pemuda segera menoleh untuk bertanya. "Memangnya apa arti tulip oranye?"

Iris kedua anak manusia itu saling berpandangan. Dari warna mata yang berbeda memiliki harapan berbeda dalam pandanga keduanya.

"Semangat."

Bibir dengan warna peach, itu tak luput dari pandangan mata hijau teduh sang pemuda.

Ino adalah sosok yang menyukai bunga, jadi tak heran bila ia tau banyak arti bunga ditambah dengan toko bunga yang diliki keluarganya. Gadis cantik, yang penuh semangat, ceria seperti matahari baik hati dan indah seperti bunga.

Bahkan sebanyak bunga yang memenuhi taman yang luas tak mampuh mengalahkan keindahan gadis didepannya ini. Tentu saja itu menurut Gaara yang terlalu hiperbolis.

Keasikan mereka berdua yang tentu saja keasikan mereka berbeda. Ino yang asik bercerita tentang bunga dan Gaara yang asik memandang wajah gadis itu. Terganggu dengan suara seseorang.

"Gaara-sama, Yamanaka-sama, sarapan untuk kalian sudah siap. Mari." Akenolah yang menyelanya.

Keduanya sama-sama menoleh. Ino tersenyum menanggapi sedangkan Gaara hanya diam tanpa ekspresi.

~Complications~

Didalam kamar yang cukup luas, terasa sunyi meski cukup terang dengan jendela kaca besar yang langsung mengarah pada taman bunga. Disana, sosok Karura dengan kursi rodanya dan Chiyo yang menemani sang nyonyah berdiri dalam hening.

Beberapa saat yang lalu, nyonyah besarnya itu memang meminta untuk diantar ke kamar dan Chiyo pun mengantarnya. Namun perubahan pada sang majikan itu membuat orang yang telah merawatnya bertahun-tahun itu khawatir.

"Ada apa Karura-sama? Apa anda tidak senang dengan kedatangan putra anda?"

Ia ingin tau apa yang menganggu pikirang sang nyonyah, bukankah keinginan dari nyonyah-nya itu adalah bertemu dengan putra yang ia lahirkan?

"Dia putra anda, Sabaku Gaara. Dia sudah besar dan tumbuh menjadi pemuda yang tampan juga memiliki kekasih yang sangat cantik." Terang wanita yang telah banyak terpahat bukti tua pada wajahnya.

Air mata yang telah ia tahan bertahun-tahun, akhirnya jatuh membasahi jawab pucatnya.

"Aku takut dia membenciku seperti keluarga Sabaku yang lain, aku hanya dianggap wanita yang tak berguna." Suaranya parau, sang pelayan setia tau kalau ia sedang menangis tapi Chiyo enggan mencegahnya.

"Tentu saja tidak. Nyatanya setelah tau Kicho-sama bukanlah ibu kandungnya, ia mencari anda."

Karura menatap wanita yang telah banyak membantunya itu dengan lelehan air mata diwajah. "Begitu banyak yang aku ingin tau tentangnya, aku ingin mendengar suaranya, aku ingin mendengar ceritanya dan aku ingin memdengar ia memanggilku ibu."

Chiyo pun tak bisa mencegah air matanya ikut jatuh. Melihat wanita yang telah ia rawat itu serapuh ini. karura adalah wanita yang tegar dan kuat, seberapa besar penderitaannya yang selama ini menimpanya, sekalipun Chiyo tidak pernah melihat air mata dan suara keluhan keluar.

Seberapa besar perlakuan buruk keluarga Sabaku padanya ia tak pernah mengeluh. Tapi Chiyo tau sang nyonyah hanyalah berpura-pura tegar terhadap masalahnya.

"Aku merindukannya, sangat merindukannya, tapi bagaimana aku menunjukannya kalau yang dia tau aku hanyalah wanita gila."

Ia tidak tau, apa Gaara sama juga menganggap ibu kandungnya gila seperti yang selama ini keluarga Sabaku katakan?

Wanita yang gagal, wanita tak berguna, wanita depresi dan gila. Itula nama-nama yang dialamatkan padanya. Ironis bukan, karena pada kenyataannya Karura tidaklah gila.

Semua itu hanyalah ulah orang-orang yang membencinya.

"Rasa-sama mengatakan, bahwa Gaara-sama akan menikah, dan sekarang dia datang dengan membawa kekasihnya. Itu tandanya ia ingin mendapatkan restu dari anda." Chiyo berpendapat untuk membuang pikiran wanita itu akan pikiran buruk tentang putranya.

"Restu dariku?" Jeda sebelum menambahkan. "Dia gadis yang cantik juga banyak tau tentang bunga, sepertinya ia juga menyukai bunga. Bagaimana menurutmu?"

"Bukan kah yang paling penting Gaara-sama mencintainya?" Pendapat dari sang orang tua.

Bukankah semua itu tentang cinta. Karena cintalah kebahagian akan datang. Mungkin.

"Cinta tidak akan cukup." Balas Karura.

Pendapat yang sama sekali tak bisa diterima dan tak lagi bisa Karura percaya. Mungkin cinta bisa menyatukan mereka, seperti pernikahannya dulu. Kurang besar apa cinta sang suami padanya, dulu?

Tapi pada akhirnya cinta bukanlah syarat yang utama untuk dirinya diperlakukan dengan baik.

Sebuah tuntutan yang harus terpenuhilah syarat utamanya.

"Nenek?" setelah keheningan diantara keduanya, Karura kembali memanggil penjaganya itu. "Entah kenapa aku merasa, Gaara datang hanya untuk melihat keadaanku yang menyedihkan ini." Dengan suara bergetar ia menyuarakan ketakutan hatinya

Masih memandang hamparan bunga tulip ditaman miliknya dari jendela besar kamarnya. Mata indigo yang hangat itu sarat akan gambaran perasaannya. Kesedihan yang selama ini ia tutupi dibalik wajah pucatnya.

"Apa anda tidak senang, putra anda datang?" Chiyo kembali mengulang pertanyaannya.

"Apa dia benar-benar menganggapku ibunya?"

Sebuah pertanyaan untuk menjawab pertanyan, mereka saling bertanya tanpa ada jawaban.

Chiyo tau semua penderitaan sang nyonyah, semua masalah yang wanita itu hadapi. Tapi ia tak pernah tau perasaan sesungguh seseorang. Meski ia telah bersamanya bertahun-tahun. Apa lagi perasaan dan hati sosok yang baru ia temui hari ini.

"Yang saya lihat, dia bukan orang bodoh yang hanya ikut-ikutan tanpa berpikir." Chiyo memberi jeda. "Dan karena anda ibunya, pasti ia memiliki hati seperti anda."

"Terimakasih."

Chiyo tersenyum. Dirinya begitu yakin bahwa wanita ini tidaklah sakit jiwa.

"Apa Sasori tidak pulang lagi minggu ini?" Kembali Karura besuara.

Akasuna Sasori, cucu nya yang selama ini sudah dianggap sang majikan sebagai anaknya sendiri.

Sebenarnya Chiyo tidak bisa memungkiri bahwa wajah cucunya dengan putra kandung sang majikan hampir mirip, sayangnya wajah Gaara yang tegas jadi terlihat congkak dan kaku.

"Entahlah, dia belum menelphone hari ini."

Pembicaraan keduanya beralih ketopik yang lebih tenang.

Jangan bertanya kenapa Chiyo membawa semua keluarganya ikut tinggal bersamanya disini.

Karena itu adalah perintah dari sang tuan besar Sabaku Rasa. Dulu sejak ia ditunjuk untuk merawat Karura yang sedang sakit untuk mebawanya ke Belanda. Sang tuan itu juga menyuruh seluruh keluarganya pindah kesana untuk ikut serta.

Tujuan Rasa mengirim sang istri ke luar negeri waktu itu karena tak ingin membuat Karura semakin tertekan akan desakan seluruh keluarganya. Tapi kesehatan Karura semakin bertambah buruk sejak saat itu.

Tapi Chiyo yakin bahwa tuan besarnya tidak pernah bermaksud untuk menyakiti wanita ini.

Terbukti bukan, setelah menikah selama bertahun-tahun dengan Karura dan ketidak bisaan sang nyonyah hamil tidak membuat Rasa serta merta menyetujui desakan keluarganya untuk bercerai dan menikah lagi.

Karena memang Chiyo tau betapa besar rasa cinta tuan besarnya itu pada sang nyonyah.

Tuntutan yang semakin menekan dari hari kehari, membuat Rasa mengambil tindakan. Yaitu menikah lagi dengan wanita yang dipilihkan oleh keluarganya tapi dengan syarat tidak akan menceraikan Karura.

Jadi itulah jalan yang diambil oleh sang majikan, sejauh Chiyo tau kejadian dimasa lalu itu.

Itulah kenapa anak cucunya juga ikut bersamanya. Meski yang sejatinya pelayan adalah dirinya dibantu dengan menantunya Akeno. Sedangkan putranya, Shira adalah seorang polisi di negara kincir angin itu. Lalu cucunya sedang menyelesaikan study di Amsterdam University of Arts Belanda.

~Complications~

Sekitar pukul empat waktu setempat, Yamanaka Ino telah menyelesaikan kegiatan mandinya. Musim panas di Belanda jauh lebih dingin dari pada di Jepang. Jadi ia lebih memilih menikmati shower air hangat disore harinya setelah bangun tidur tadi.

Setelah sarapan dan menata barang bawaannya, ia memutuskan untuk istirahat. Setelah bangun dan melihat jam pada ponselnya yang kala itu menunjukan pukul tiga. Segeralah gadis cantik itu turun dari ranjang, membawa pakaian ganti menuju kamar mandi.

Peralatan mandinya telah tersedia disana, tentu saja selain yang ia bawa.

Mandi dan berganti pakaian, lalu merapikan penampilannya. Ino tak perlu memakai makeup karena ia cukup percaya diri tampil tanpa bedak dan semacamnya.

Baru ia keluar dari kamar, dan melangkah menuju ruang tengah di rumah itu, suara nenek Chiyo terdengar dari dapur yang tak jauh dari ia berdiri.

Ia memutuskan mebelokan langkahnya ke ruang keluarga yang menjadi satu dengan ruang makan yang menghadap langsung pada taman bunga tulip dan tak jauh dari dapur.

"Selamat sore?" Sapa sang gadis dengan dress peach tanpa lengan diatas lutut. Sedangkan rambutnya ia ikat tinggi.

Penampilan yang menarik dua pasang mata yang melihatnya.

Chiyo dan Akeno segera membalas sapaan sang tamu dengan senyum.

"Wah, apa nona Yamanaka mau pergi jalan-jalan dengan Gaara-sama?" Kini Chiyo berspekulasi saat melihat kedua orang yang baru datang tadi pagi itu sudah terllihat rapi.

Ino mengerucutkan bibir tipisnya. Sebelum ia melangkah ke dapur ia memang sempat melihat temannya itu sedang menikmati kopi di ruang keluarga. Tapi ia sengaja tak menyapa Gaara.

"Memangnya Gaara mau pergi jalan-jalan?" Ia balik bertanya.

Suara dari keduanya mengalihkan kegiatan Gaara dari ponsel pintarnya. Pemuda bermata turquoise itu menoleh pada ruangan makan, yang memang kini nenek Chiyo dan Ino sedang mengobrol disana.

Penampilan Ino cukup sederhana, memang seperti pakaian yang biasa ia pakai di rumah. tapi cukup cantik dimata Gaara untuk gadis itu.

"Gaara-sama suadah siap dari tadi, saya pikir sedang menunggu anda untuk jalan-jalan menikmati kota Assen, pemandangan sore hari di kota ini tak kalah indah dengan Tokyo." Wanita yang telah berumur lanjut itu, sejenak berhenti dari kegiatannya meracik sebuah teh pada poci.

"Oh benarkah?" Ino penasaran sekaligus antusias, tapi ingat kedatangannya ke Belanda bukanlah untuk berlibur dan jalan-jalan. Apa lagi kedatangan temannya itu. Gaara datang untuk menemui ibunya.

Tapi sejak mereka datang tadi pagi, ia belum melihat Gaara menghampiri wanita yang katanya adalah ibunya.

Apa Gaara masih tertekan akibat penolakan sang ibu tadi? Tapi bukankah Gaara bukanlah tipe orang yang mudah terbawa perasaan. Bahkan saat di sekolah Gaara adalah salah satu manusia yang tak berperasaan.

"Kau akan pergi jalan-jalan Gaara?" Setelah melihat sang sahabat sedang menoleh kearahnya, ia bertanya.

Pemuda itu menjawab datar dengan sebuah pertanyaan lain. "Apa kau ingin pergi?"

"Aku?" Seolah memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi. Ino membeo pertanyaan Gaara. Lalu ia menggeleng.

Meski ia ingin jalan-jalan tapi tentu saja ini bukalan waktu yang tepat. Mengingat tujuan kedatangan mereka.

"Baiklah kalau begitu, saya akan mengantar teh untuk Karura-sama dulu. Dan ini teh untuk nona Yamanaka." Chiyo menyelah diantara keduanya.

"Nenek Chiyo?" Panggil Ino sebelum yang dipanggil menjauh. Dan sebelum yang dipanggil bertanya sang gadis menambahkan. "Biar aku saja yang mengantar teh untuk Karura-sama, tidak papa kan?"

Sang nenek dibuat terdiam dengan nampan yang masih ditangan ia memandang tanpa kedip gadis yang kini telah berdiri didepannya.

Begitupun dengan pemuda yang ada disana. Gaara juga diam memandang keinginan Ino. Gadis itu begitu gencar mendekati sang ibu, tetapi dirinya, apa yang ia lakukan. Bila melihat sosok yang duduk pada kursi roda itu membuatnya sakit.

Ibu kandungnya, mengidap gangguan mental yang tak bisa merawatnya, karena itu sang ayahlah yang merawatnya dan kini setelah Gaara tau yang sebenarnya dan menemui sang ibu, wanita itu menolaknya. Apa ibunya tidak merindukannya?

Nampan yang berisi poci teh hangat dengan dua cangkir itu kini, telah berpindah ditangannya. "Terimakasih, tapi dimana letak kamar Karura-sama?"

Chiyo menunjuk sebuah pintu tertutup tak jauh dari ruang keluarga yang sofanya sedang Gaara duduki.

Ino menunjukan senyum tulus. "Satu lagi, panggil saja aku Ino." Satu kerliangan jail gadis itu berikan yang membuat sang nenek tersenyum karena ulahnya.

Sejak Ino memasuki sebuah pintu yang tak jauh dari Gaara bersantai, mata hijau teduh itu hanya memandang dalam diam.

Sampai Chinyo yang semula menatap pada sang gadis, kini tatapan mata tua itu ia alihkan pada sang tuan muda. Ia mendekat.

"Gaara-sama tidak ingin ikut melihat ibu anda?" Tanya Chiyo, yang membuat mata hijau itu beralih menatapnya.

.

Semula pintu yang tertutup itu, Ino ketuk pelan. Tanpa menunggu jawaban sang pemilik kamar, langkah gadis itu memasukinya.

"Permisi?" Dengan mengucapkan salam, ia membuka pintu dan menenggokan kepalanya kedalam.

Dari pintu ia bisa melihat orang yang ia cari. Karura sedang duduk pada kursi rodanya yang menghadap jendela kaca besar.

Gadis bermata aqua itu berjalan mendekat, dari posisinya ia bisa melihat indahnya cahaya senja yang langsung menyorot pada posisi Karura.

Rupanya sang ibu dari temannya itu sedang menikmati pemandangan senja. Bukankah nenek Chiyo bilang, bahwa sang nyonyah ini begitu menyukai senja?

Ia juga ikut terpana dengan pemandangan indah yang bisa ia lihat dari dalam kamar luas itu. Cahaya senja dengan pemandangan taman bunga tulip oranye, seolah menegaskan keindahan yang dimilikinya.

Warna mata nila itu, melirik sosok yang berdiri diam diampingnya. "Ada apa?" Sampai suara lembutnya mengalun, Ino masih diam akan terpanaannya.

"Eh, pemandangan yang indah." Komentar Ino setelah ia tersadar dari apa yang ia lihat. "Saya membawakan teh, untuk Karura-sama." Dan kemudian ia segera menambahkan, dengan maksud kedatangannya.

Namun sang nyonyah tak menjawab. Focus pandanganya masih pada senja dan taman bunga.

Senja musim panas.

Nampan yang sejak tadi ia bawa, kini ia letakkan pada meja kecil tepat didepan Karura.

"Karura-sama, mau saya tuangkan teh sekarang?" Ino masih cukup sopan dan sabar menghadapi orang yang tak meresponnya itu.

Bahkan mata orang yang diajaknya bicara itu tak sedikitpun menatap padanya.

Tapi karena Yamanaka Ino adalah orang yang santai, ia jauh dari kata sakit hati dan menyerah. Karena ia tau orang yang sedang ia ajak bicara adalah orang yang sedang sakit.

Jadi ia hanya bisa ikut diam dengan memandang pemandangan yang ada didepannya. karena pergi dan menyerah itu bukanlah dirinya.

Dalam pikiran Karura, bahwa gadis itu akan pergi dari kamarnya setelah ini, tapi ternyata ia salah. Karena dalam kesunyian yang cukup lama di kamarnya, gadis itu tak kunjung beranjak juga.

Menurut Karuna, Ino cukup cantik dan ia bisa melihat begitu percaya dirinya gadis yang kini berdiri disamping depannya itu. Untuk ukuran pendamping ia cukup cocok mendampingi putranya.

Tapi meski ia tau Gaara adalah putra kandungnya, ia tak pernah tau seperti apa putranya itu.

Yang ia tau semua Sabaku memiliki sifat yang sama. Jadi tak menutup kemungkinan putranya juga. Karena Gaara dibesarkan oleh keluarga sang ayah.

Karura juga tak yakin, soal sang putra yang telah menemukan kebahagiannya bersama gadis ini. Mungkin saja mereka dijodohkan seperti yang sudah-sudah.

"Apa yang membawamu kemari, perjodohan?" Celetuk sang nyonyah besar didalam kebisuan mereka selama beberapa menit yang lalu.

Gadis Yamanaka dibuat menoleh akan suara itu. Mata yang berbeda warna itu saling memandang.

Sorot mata teduh dan tanpa senyum diwajahnya memandang intens pada mata yang penuh semangat kekaguman dengan seutas senyum diwajah ayunya.

Tak lama Ino menggeleng atas pertanyaan Karura.

Gelengan yang membuat mata nila itu mengalihkan pandangannya kearah senja kembali.

"Jadi karena memang kalian sepasang kekasih?" Ia menambahkan tanpa menoleh kearah Ino.

Seolah tersihir membuat Ino menjawab lirih. "Ya." Mungkin karena wanita didepannya ini mau berbicara padanya. Membuat Ino tak ingin mengalihkan pandangannya pada wajah ayu wanita dewasa itu.

Otot-otot wajah paru baya yang semula seperti tak hidup kini ia melihat guratan pada wajahnya seolah tertarik dengan setiap kata yang terucap. Cantik dan hidup.

Pandangan mereka kembali bertemu.

"Kau mencintainya? Kau sudah tau seperti apa dia? Keluarganya?"

Pertanyaan beruntun yang membuat Ino tersenyum. Cinta untuk sahabat dari sisa kesakitan pengkhianatan yang sama-sama mereka alami dari orang yang sama. Dan Ino juga tak mengenal Gaara sebaik ia mengenal Sasuke. Keluarganya apa lagi. Jadi bagaimana Ino harus mnjawab?

Gadis bak boneka itu berjalan dua langkah mendekat, lalu ia berlutut untuk mensejajarkan dirinya dengan orang yang bertanya yang sedang duduk pada kursi berroda itu.

Senyum diwajah ayunya tak memudar lalu ia mulai menjawab. "Yang aku tau, kita saling mencintai, kita bersama karena kita tau dikhianati itu rasanya menyakitkan."

Ya, itu adalah jawaban dari hatinya, yang tengah ia rasakan dan juga Gaara rasakan.

Benar, dikhianati itu menyakitkan dan itulah yang pernah Karura juga rasakan. Tapi, "Saling mencintai saja tak cukup untuk membuat kalian bisa terus bersama."

Ino diam.

Bukankah dulu ia dan Rasa juga saling mencintai, tapi apa yang terjadi pada mereka.

"Cinta bukanlah syarat utama untuk kau bisa diterima dikeluarga Sabaku." Ini adalah tentang ceritanya.

"Aku tau, tapi selama cinta itu masih ada, selama cinta Gaara masih ada untukku, aku tidak akan meninggalkannya apapun yang terjadi. Karena aku peryaca padanya."

Jawaban yang membuat Karura terdiam. Sebesar itukah cinta gadis ini pada putranya? Jawaban yang tak pernah ia pikirkan.

Kepercayaan?

Dulu saat tekanan-tekanan datang ia hanya ingin cepat mengakhirinya dan menyalahkan banyak pihak. Terutama dirinya sendiri dan sang suami.

Karena ia tak bisa percaya denga pria yang dicintainya.

"Tapi aku bisa apa bila cinta itu bukan untukku lagi?"

Ya, seandainya Karura tak menyalahkan dirinya sendiri dan membuatnya malah terjebak pada kondisi yang semakin memperburuk keadaannya seperti ini. Mungkin akan ada cerita lain.

"Menurutku cinta bukanlah satu-satunya jalan untuk setiap pasangan kekasih bisa bersatu."

Senyum merekah Ino berikan pada wanita yang tengah memandangnya dalam diam. Bukankah ia jago sekali berekting. Bukan maksudnya untuk menambah kebohongan dalam setiap ucapannya, tapi ia hanya tak ingin menyakiti dan membuat kecewa orang didepannya ini.

Tapi memang itulah yang akan Ino lakukan pada pasangannya. Mungkin hubungannya dengan Gaara adalah kebohongan tapi tidak pada kalimat yang ia keluarkan dari mulutnya.

Tangan pucat itu Ino genggam, memberikan tambahan kehangatan disenja hari pada wanita didepannya. Dan seolah meyakinkannya dengan cara itu.

"Karura-sama tak perlu khawatir, aku dan Gaara adalah orang yang modern."

'Modern? Hm, ya seseorang bisa berubah seiring berjalannya waktu bukan? dan ceritanya itu terjadi saat dulu kala.' Suara hati Karura bermonolog.

"Apa kau juga menganggapku gila?" Karura mulai berani bertanya apa yang membuatnya terganggu akan pikiran kedua tamunya itu.

Ino tersenyum dan menggeleng. "Orang gila tidak seperti anda." Terangnya bukan hanya untuk menyenangkan wanita itu.

Mungkin ia bisa maklum tadi, karena berhadapan dengan orang gila, tapi ia sekarang sedikit menampik pikiran bahwa wanita ini gila. Menampik apa yang telah Gaara katakan tentang ibunya.

Mendengarnya membuat Karura senang dalam hati dan mulai mengagumi sosok gadis bak boneka itu.

"Apa kau mau memanggilku ibu?" pintanya kemudian.

Itu bukanlah suara hatinya, tapi langsung ia utarakan pada gadis yang baru saja ia kagumi kepribadiannya.

Ino melebarkan senyumnya, "Bolehkah?" Ino spontan memastikan dengan antusias.

Karura tak menjawab, melainkan hanya memberikan senyum kecil. Senyum yang entah sudah berapa lama telah hilang dari wajahnya.

Complications

Di luar kamar, tepatnya diruang keluarga, Gaara dan Chiyo juga tengah bercerita.

Sejak sepeninggalan Ino memasukin kamar sang ibu, Gaara yang tau ikut seperti yang ditanyakan oleh Chiyo.

"Kenapa anda tak Ikut?"

Gaara tak menanggapi, ia malah kembali berkutat pada ponsel dan kopinya.

"Apa anda juga membenci Karura-sama?"

Lagi Gaara tak menjawab.

"Dan apa kah Gaara-sama juga menganggap Karura-sama itu gila?"

Kalimat itu sukses membuat mata hijau teduh itu menatap kesumber suara.

"Bukankah dia memang gila?" Jawab Gaara sekenanya.

Chiyo tersenyum. Ia memakluminya. Tapi seandainya sang ibu mendengar ini mungkin kekecewaannya akan semakin bertambah.

"Ternyata anda tak bisa melihat dan membendakan orang gila dan orang yang katanya gila."

Gaara kembali tak menanggapi, ia kembali focus pada yang sebelumnya.

"Karura-sama tidak pernah gila."

Tangan Gaara berhenti menscroll ponselnya dan memasang pendengarannya dengan baik.

"Tekanan dan keadaanlah yang memposisikan dia gila. Dia benar-benar wanita yang sehat."

"Apa maksudmu?" Gaara telah dibuat penasaran akan kalimat yang disampaikan oleh pelayan tua itu.

Kini ia benar-benar memposisikan wajahnya menghadap pada Chiyo.

"Saya sudah bertahun-tahun bersamanya tapi bukan berarti saya berpihak pada Karura-sama, tidak. Saya adalah pelayan setia Sabaku terutawa pelayan pribadi ayah anda dari kecil sampai dia sendirilah yang meminta saya untuk merawat Karura-sama sampai saat ini" Jeda sejenak untuk menghela napas.

Untuk memulai cerita yang mungkin cukup panjang.

"Dulu, kedua keluarga tidak ada yang setuju dengan hubungan keduanya. Saya juga tidak mengerti kenapa, tapi yang jelas keluarga ibu anda adalah keluarga bangsawan yang pastinya juga menginginkan seorang bangsawan juga. Bigitupula dengan keluarga Sabaku, keluarga kaya. Yang pasti bukan Karura-sama lah yang menjadi kreteria menantu mereka."

"Tapi, karena cinta keduanya begitu besar. Akhirnya mereka bisa bersama. Meski Karura-sama harus mengorbankan keluarganya."

"Maksudmu?"

Mata wanita tua itu sayu menatap pemuda didepannya.

"Karura-sama meninggalkan keluarganya dan ikut Rasa-sama."

Gaara terdiam, menangkap setiap kalimat yang ia dengar. Apa sebegitu besarnya cinta sang ibu pada ayahnya?

Begitu pula dengan Chiyo yang antara lanjut bercerita atau menyudahinya. Sebab disinilah permasalahan bermula.

"Apa anda baik-baik saja Gaara-sama?"

"Hn." Pemuda rambut merah itu mengangguk lemah. "Lanjutkan." Perintahnya kemudian.

Setelah mendengar kalimat perintah, Chiyo mulai melanjutkan.

"Dulu waktu saya mengenal Karura-sama, beliau adalah sosok ceriah yang penuh semangat, baik hati dan ramah. Sungguh berbeda dengan kaum bangswan pada umumnya." Wajah tua itu tersenyum, kala mengenang sekelebat bayangan wajah seorang wanita ayu yang senang tersenyum.

"Namun tak lama setelah itu, saya tak pernah melihat sosok itu lagi." Kini ia menampakan raut sedih.

"Karena keluarga Sabaku, masih tetap tak bisa menerima kehadirannya. Tekanan demi tekanan selalu ia terima. Satu pesatu masalah membuatnya menjadi sosok seperti sekarang ini."

"Bermula dari ketidak bisaannya Karura-sama hamil seperti yang selalu diharapkan oleh keluarga Sabaku. Kesehatan jiwanya memburuk karena itu. Sampai tekanan untuk Rasa-sama menceraikannya."

"Kesehatannya semakin hari semakin memburuk. Ditambah dengan tekanan lain, yang meminta Rasa-sama menikah lagi."

"Saya percaya bahwa Rasa-sama begitu mencintai Karura-sama, karena itulah, Rasa-sama memilih menikah dengan wanita yang diinginkan keluarganya, yang akan anda panggil ibu, yaitu Kicho-sama."

Terlihat rahang Gaara mengeras.

"Kicho-sama wanita yang dinilai mandiri dan tegas, tidak manja dan lemah seperti Karura-sama. Itu menurut keluarga Sabaku."

"Dari situlah, saya melihat kehancuran ibu anda. Rasa kecewaan dan rasa cintanyalah yang membuat Karura-sama seperti mayat hidup seperti yang selalu orang-orang katakan tentangnya."

"Tapi hati siapa yang tidak kecewa dengan kenyataan yang ia percayai. Bahwa laki-laki yang ia cintai dan mencintainya. Telah membuangnya jauh dari kehidupannya dan lebih memilih menikah lagi dengan wanita lain."

Kini tangan Gaara telah mengepal erat.

Chiyo tersenyum kecut.

"Rasa-sama meminta saya membawa Karura-sama ke Belanda. Saya tau tujuannya bukan untuk membuang wanita itu, tapi untuk menenangkan dan menyembuhkan wanita yang dia cintai."

"Agar Karura-sama tidak melihat dan mendengar apapun yang mungkin terjadi, yang membuat kesehatannya semakin bertambah parah nantinya. Tapi hal itu dimengerti lain oleh Karura-sama."

"Yang Karura-sama tau suaminya telah mencampakannya. Pikiran itu jugalah yang membuat sakitnya bertambah parah. Meski Rasa-sama selalu mengunjungi Karura-sama setiap bulan. Bahkan sesering yang ia bisa, tapi itu tak membuat kepercayaan karura-sama utuh kembali padanya."

"Bahkan, kenyataan Kicho-sama telah memberinkan ayah anda seorang keturunan perempuan, yaitu Temari-sama, sampai Kankuro-sama lahir. Itu membuat kondisi Karura-sama semakin bertambah buruk."

"Namun disaat keputusasaannya diujung, Karura-sama dinyatakan hamil namun tak membuat keadaanya membaik sampai anda dilahirkan."

Jeda untuk mengamati wajah pemuda yang kini telah meneteskan air matanya.

Gaara tanpa terasa telah menangis.

Mendengar cerita tentang ibunya yang telah menderita selama ini. Karena ayahnya?

"Karena kondisi ibu anda yang tak baik, Rasa-sama memutuskan untuk mengambil anda, merawat dan membesarkan anda seorang diri tanpa bantuan siapapun di Amerika. Karena beliau bilang, yang terbaik untuk pewarisnya."

Nenek tua itu tersenyum.

Ya selama ini, ia tak pernah bertanya kenapa ia bisa tumbuh di negara asing. Seorang diri? tidak sepenuhnya sendiri, ada orang keprcayaan ayahnya yang menjaganya di negara tersebut.

"Tapi, lagi-lagi tindakan yang dilakukan oleh ayah anda diartikan lain oleh ibu anda. Kondisinya tidak lebih baik. Kekecewaan dan kebencian juga cintanya menjadi satu semakin besar yang merusaknya perlahan."

"Karena kepercayaan itu telah hilang untuk suaminya."

"Tapi saya percaya ayah anda begitu mencintai Karura-sama dan juga anda. Karena beliau telah membuktikannya sekarang, beliau telah mengutamakan kebahagiaan anda."

Gaara berdehem untuk menenangkan dirinya.

"Bukankan yang diinginkan adalah keturunan, lalu kenapa setelah aku lahir, ayah tetap bersama i-ibu Kicho?" suaranya bergetar kala nama orang yang ia beri kasih sayang seorang ibu secara utuh itu terucap.

Namun ia salah.

Yang membuat Gaara harus menganggap wanita itu ibunya, memangil dan menyayangi Kicho seperti ibu kandungnya. Sedangkan ibu kandungnya malah menderita disini.

Ia tak perlu bertanya lagi kenapa hak warisnya semua jatuh ketangannya.

"Saya tidak tau pasti, tapi yang saya tau, karena Kicho-sama adalah kerteria yang cocok mendampingi seorang pemimpin. Apa lagi setelah ayah anda menyalonkan diri ke kursi politik. Yang pasti membutuhkan pendamping yang tidak menjatuhkan kehormatannya, bukan?"

"Sejak saat terpilihnya itulah, nama Kicho-sama yang dikenal sebagai istri seorang perdana menteri dan nama Karura-sama telah lenyap."

Kenapa sebuah rahasia besar seperti ini, tak ada yang memberi taunya? Kenapa hanya dia yang tak tau soal ini?

"Maafkan ucapan Karura-sama pada anda tapi pagi, ia hanya tidak ingin semakin terlukan bila melihat putranya juga mengangapnya gila."

Tak ada jawaban dari sang pemuda. Gaara lebih memilih diam dengan pikiran yang kacau. Lamunannya tak buyar dengan suara Chiyo.

Sedangkan acara mereka berdua terjeda dengan datangnya Akeno.

"Bu, makan malamnya sudah siap." Ucap sang menantu.

Chiyo menoleh dan mengangguk sebagai respon.

Lalu ia kembali menghadap pada sang pemuda yang masih diam ditempatnya.

"Gaara-sama, silakan kemeja makan, saya akan memanggil Karura-sama dan juga Ino-chan."

Namun Gaara enggan beranjak dari tempatnya, ia malah kembali menghempaskan pantatnya pada sofa yang tadi sempat ia duduki. Rasa laparnya telah hilang, digantikan dengan berbagai pikiran dan kemarahan pada ayahnya. Kecewa juga rasa marah.

Chiyo mengabaikan keadaan sang tuan muda, karena ia tau bagamana yang dirasakan oleh pemuda itu sekarang. Dan Gaara harus tau yang sebenarnya, karena ia sudah besar dan sudah cukup penderitaan Karura selama ini.

Kini ia melangkah menuju kamar sang majikan. Namun belum genap empat langkah, Chiyo harus menghentikan langkahnya saat pintu kamar itu terbuka dan keluar dari sana sang majikan dengan kursi rodanya yang telah didorong oleh seorang gadis yang ia kenal.

Empat pasang mata memperhatikannya.

Ino memberikan senyum cerahnya. Senyum yang membuat hati menjadi hangat.

"Kami datang, karena ibu bilang sekarang waktunya makan malam." Terang sang gadis, yang sukses membuat semua orang melebar dan terdiam.

Ibu?

Namun kekagetan Chiyo tak berlangsung lama, nenek itu segera menyambut sang gadis dan majikannya.

"Ya Ino-chan, mari." Ajaknya menuju meja makan.

Yang menyisakan Gaara dengan kediamannyan. Pemuda itu masih diam melihat dan mendengar panggilan Ino untuk ibunya. Gadis itu tadi memanggil ibu juga?

Dan kalau seandainya Gaara memperhatikan wajah ayu sang ibu tak sedingin waktu mereka datang tadi pagi.

Chiyo terlalu mudah menyadari akan hal itu. Perubahan wajah yang selama ini ia rindukan dari sosok Karura telah ia lihat lagi kini.

Mungkinkah karena gadis pirang itu?

Dan apakah ini pertanda baik?

Semoga. Doa Chiyo dalam hati, malam itu.

To Becontinue.


A/N : Maaf baru bisa update karena terlalu banyak hal yang membuat terhabatnya cerita ini. Semoga kalian masih berkenan untuk membacanya. Dan maaf gak bisa bales review satu persatu, yang pasti terimakasih atas read and reviewnya XD.