TeruNoya [Fem!Noya]

Berlian

Cw : A little bit NSFW, kiss, Harshword, OOC.

Blurb

Nishinoya baru saja putus dan dia bertemu Terushima Yuuji di bar.

Happy Reading

[Aku sungguh minta maaf, tapi hubungan kita sampai di sini saja.]

Aku menggebrak meja dengan sloki wishkey yang kosong. Enam tahun dan waktu itu tidak cukup berarti untuk Bajingan Miya. Sekarang, dia bahkan menggandeng orang lain, lebih buruk lagi, teman SMA dulu.

Sebenarnya apa yang salah? Seingatku, hanya ada beberapa pertengkaran kecil dan semuanya berakhir dengan kata maaf entah dariku atau Atsumu. Kami bukan lagi pasangan remaja yang dimabuk cinta dengan emosi yang meledak-ledak. Kedewasaan itu membuat pertengkaran kami selalu diselesaikan dengan baik, dan sekarang, tiada angin, tiada hujan, Atsumu mengirim pesan putus dan sudah. Tidak ada satupun pesan yang dibalas lagi.

"Dasar Bajingan," umpatku.

Bartender pirang itu mengisi slokiku lagi dan menarik kursi. Duduk di depanku dengan punggung kursi untuk penyangga. Samar-samar aku merasa familiar dengan wajahnya, tetapi alkohol mengacaukan pikiranku. Suara DJ dan hentakan lantai dansa tidak membuat kepalaku lebih baik. Juga keremangan yang memabukkan itu membuat segalanya kacau. Satu hal yang pasti, Bartender itu tampan dan senyumnya menawarkan kesenangan malam yang—sangat—kubutuhkan sekarang.

Ketika dia membuka mulut, ada tindik yang mengintip. Seketika, rasa penasaran akan ciumannya mulai muncul ke permukaan. Seringaian itu tidak membantu rasa penasaranku menyurut, justru membludak gila-gilaan. Aku menenggak tandas isi slokiku dan si Bartender bersiul.

"Atsumu benar-benar menghancurkanmu, ya?"

Aku mengerut bingung. Suara dentum DJ itu membuat telingaku bermasalah. Apakah Bartender ini benar-benar menyebut nama Atsumu?

"Ayolah, Noya-chan, jangan bilang kau melupakanku!"

"Kurasa begitu."

"Galak sekali."

"Aku tidak tahu tentang peraturan bar ini, tapi kurasa Bartender dilarang bicara terlalu lama dengan pelanggannya, terutama saat ramai seperti ini. Kau yakin ingin di sini?"

"Aku pemilik bar ini, jadi peraturannya adalah perintahku dan aku ingin mengobrol dengan wanita manis yang sedang patah hati ini. Jadi, ayolah, Noya-chan, temani aku!"

Aku menyipit, mencoba mengingat lelaki-lelaki yang pernah dekat denganku. Lelaki yang memanggilku Noya-chan. Penggoda-penggoda. Semuanya, tetapi sayang sekali tidak ada bayangan tentang lelaki ini. Aku menggeleng-geleng.

"Aku benar-benar tidak mengenalmu."

"Kita bertemu di SMA?"

"Aku tidak bermain tebak-tebakan."

Bartender itu tertawa renyah. "Kurasa begitu."

"Kau mengutip ucapanku?" sengitku mulai kesal.

"Baiklah," katanya santai. Dia mengangkat tangan tanda menyerah. "Aku Terushima Yuuji, Manis. Apa kau lupa lelaki yang mengejarmu seperti orang gila saat SMA?"

"Maksudmu Bajingan yang mencoba merebutku dari Atsumu saat SMA? Itu kau."

"Mulutmu selalu pedas," kekehnya. "Iya. Itu aku. Bajingan atau tidak, entahlah, tetapi aku tidak selingkuh ketika memiliki kekasih. Apalagi dari gadis semanis dirimu."

"Kau mengejekku?"

"Aku sedang mengatakan betapa Atsumu baru saja kehilangan sesuatu yang berharga."

Aku menggeram, tetapi tidak bisa dipungkiri, ucapan Terushima begitu manis dan mendebarkan, juga, entah mengapa, hangat. Betapa Atsumu baru saja kehilangan sesuatu yang berharga, huh. Apa benar aku cukup berharga? Kalau iya, mengapa dia meninggalkanku dan memilih Shoyo?

Kepercayaan diriku kembali merosot. Rasa sakit itu kembali menusuk dada. Perutku terasa dipilin dan aku tak bisa memutuskan apakah itu rasa sakit hati atau mabukku mulai terlalu parah.

Aku mendorong gelas pada Terushima yang menggeleng.

"Kau bartendernya."

"Tapi kau sudah mabuk."

"Aku pelanggan."

"Yang sendirian dan patah hati," tukasnya. Dia menyentuh pipiku lembut. Kehangatan yang sangat kurindukan, tidak, sialan, betapa gilanya aku haus akan kehangatan dan tak peduli pada siapa pun yang memberikannya. Tanpa sadar aku memiringkan kepala, menyusul tangan yang hendak menjauh itu. "Lihat! Kau mabuk."

"Tidak semabuk itu."

"Kau mabuk, Nishinoya," bujuknya. "Tunggulah! Ada kamar yang bisa kau gunakan untuk beristirahat di atas."

Tawaran itu begitu menggoda. Namun, aku tidak menginginkannya. Terushima memperlakukanku dengan lembut, tetapi dia bukan Atsumu. Hatiku telah bersarang pada Atsumu hingga ke akarnya sampai tiada lagi yang tersisa untuk orang lain. Tawaran lembut Terushima hanya mengingatkanku kembali pada lelaki yang bahkan tak lagi memikirkanku.

Pemikiran itu membuat perasaanku semakin gundah. Aku kemari untuk minum hingga mabuk. Aku ingin menumpulkan pikiran hingga tidak ada lagi ruang untuk Atsumu menyusup, tapi sepertinya, sebaik apa pun aku mencoba, pesan terakhir Atsumu selalu terngiang-ngiang mengganggu.

"Aku ingin menari," gumamku, kemudian berdiri terhuyung-huyung.

Aku bukan pengguna hak tinggi yang baik, tetapi pekerjaanku mewajibkanku mampu menggunakannya. Aku belum sempat pulang ke apartemen dan menari menggunakan sepatu hak tinggi bukan pengalaman yang menyenangkan. Seksi, memang, tetapi tidak cocok untukku.

Terushima berteriak di belakangku. Namun suaranya tenggelam dalam musik DJ sementara aku terus merambat setelah melepaskan sepatuku begitu saja. Ada stripper pole di sana. Tidak sulit mencapainya. Sambil melepaskan kucir dan kancing blusku satu persatu ditemani tatapan lapar para pengunjung, aku mulai menyentuh pole yang dingin.

Musik mengalun lembut. Seluruh tubuhku terasa digerayangi oleh tatapan-tatapan itu, tetapi itu hanya membuatku semakin bersemangat. Kancing ke dua terlepas dan perpotongan payudaraku terlihat bersama bra hitam. Itu bukan payudara yang besar, tetapi seorang wanita tidak harus memiliki payudara yang besar untuk terlihat menawan.

Aku bukan stripper, tetapi lagu-lagu itu membawa gairah ke dalm tubuhku dan mabuk menghilangkan rasa malunya. Gerakan-gerakan sensual itu muncul tanpa halangan. Aku tidak perlu memikirkan gerakan macam apa yang harus kulakukan, atau apakah mereka menyukainya, karena aku hanya ingin menari. Menari. Dan terus menari.

Setiap kali pandanganku mengedar, orang-orang itu menatapku lapar. Rasa lapar itu membuat semangatku semakin naik, dan naik, dan ah, kamera. Aku tersenyum miring pada kamera dan lelaki itu bergerak gelisah.

Sayangnya, tidak banyak waktu yang kumiliki. Terushima melompat keluar dari kerumunan. Wajahnya terluka dan marah. Entah kenapa. Aku memiringkan kepala heran.

"Cukup!" geramnya.

DJ mengikuti perintah si pemilik bar. Para penonton berhenti bicara.

"Kau menganggu Terushima. Di mana musikku?"

"Noya," desahnya. "Cukup okay?"

"Aku belum merasa cukup."

Terushima menggertakkan gigi. Langkahnya yang lebar membuatnya bisa meraihku dengan cepat. Dia meraih pinggangku dan menarikku menjauh. Setiap kali dia mengedarkan pandangan, orang-orang yang sebelumnya menatapku penuh gairah menunduk atau berpura-pura sibuk dengan kegiatan palsunya. Aku terkikik geli lantas melambai-lambai.

Betapa menyenangkannya meleburkan diri pada alkohol dan kegilaan ini.

Terushima membawaku ke kamar di lantai atas dan menjatuhkanku ke tempat tidur. Dia duduk di depanku. Wajahnya terlihat sedih. Aku memiringkan kepala bingung.

"Kau mau bercinta denganku?"

Pandangan Terushima menggelap. "Berhati-hatilah dengan permintaanmu, Nishinoya."

"Aku tidak punya pasangan. Atsumu membuangku. Tidak ada yang akan melarangku bercinta dengan siapa pun, Terushima."

Terushima menggertakkan gigi kesal. Aku tidak mengerti kenapa dia sekesal itu.

Namun, dia menangkupkan tangan ke daguku. Aku memiringkan kepala, membiarkan kehangatan dari tangannya yang lebar menangkup wajahku yang kecil. Tangannya lantas turun, menuju leherku, menuju dada dan ... mengancingkan blusku yang terbuka. Aku menatapnya bersungut-sungut.

"Kenapa dikancingkan? Buka saja."

"Nishinoya," desahnya. Dia menggeleng sedih. "Kau akan menyesalinya nanti."

"Aku tidak akan menyesal."

"Kau mabuk."

"Aku tidak mabuk."

Terushima mendorongku ke ranjang, lantas mengukungku dalam tangannya yang kokoh. Di kamar dengan cahaya yang terang itu, aku baru bisa benar-benar melihat Terushima. Aku mengangkat tangan dan membelai wajahnya. Tulang pipinya yang menawan. Hidungnya yang sedikit bengkok seperti paruh elang. Rahanganya yang tegas. Rambutnya yang dicat pirang gelap. Bibir penuh yang menggoda. Lehernya yang kuat. Bahunya yang lebar. Dadanya yang bidang.

Sayangnya, ada kesedihan dimatanya yang membuat seluruh keindahan itu terasa sia-sia, luntur, aku tak menyukainya. Terushima jauh lebih menawan ketika tersenyum, menyeringai, atau menggoda. Bayangan anak SMA berandal yang menggodaku ketika melewati koridor mulai menyusup. Lelaki manis yang selalu menarik rambutku untuk menarik perhatian. Lelaki yang mengaku tak tahu bagaimana cara mendekati seseorang. Lelaki yang dulu memiliki perasaan meluap-luap hingga tetap mengejarku tak peduli aku telah memiliki Atsumu.

Terushima Yuuji. Aku mengingatnya sekarang.

"Kau tidak cocok sedih seperti itu," gumamku.

Terushima memelukku. Wajahnya terbenam ke bahu. Aku menepuk rambutnya. "Kau juga tidak cocok. Nishinoya yang kukenal selalu tertawa dan tertawa. Dia orang yang sangat percaya diri. Nishinoya yang kukenal orang yang hebat, yang sangat menawan, manis."

"Kalau begitu, aku bukan Nishinoya yang kau kenal."

"Iya. Kau yang sekarang bukan," katanya. Dia menjauhkan diri dan mencium bibirku singkat. Aku berharap dia akan menggunakan lidahnya, tapi sebelum tanganku sempat meraih bahunya, Terushima sudah menjauhkan diri. "Tapi, kau akan kembali menjadi Nishinoya yang kukenal dan Atsumu akan menyesal telah membuang berlian seindah dirimu demi orang lain."

"Apa menurutmu aku berlian?"

"Berlian terindah dari yang terindah."

Mataku terasa panas dan tanpa sadar, air mata itu telah mengalir. Terus mengalir dan mengalir, hingga rasa berat di dadaku mulai berangsung menghilang. Aku menangis, dan meraung, lantas merengek, bertanya-tanya, sementara Terushima membawaku dalam pelukannya yang hangat. Dia mendendangkan kata-kata menenangkan ke telingaku dan terus membiarkanku menangis.

Hingga tanpa sadar, aku tertidur dalam pelukannya yang hangat.

Pagi hari datang bersama sakit kepala yang mengerikan. Dunia berputar-putar ke segala arah dan tubuhku terasa seringan bulu, tetapi kehilangan kontrol. Perutku melilit, aku segera bangun, tetapi kakiku terlalu lemah untuk berjalan. Aku terhuyung-huyung dan kembali jatuh terduduk. Ah ... mengerikan sekali. Berapa banyak aku minum kemarin?

Aku memegangi kepala dan mengedarkan pandangan. Kamar yang berantakan. CD-CD yang tak tertata. Konsol permainan dengan stiknya yang tak dikembalikan ke almarinya. Poster asing tentang band metalica. Ah ... aku tidak suka band metalica.

Tunggu!

"Bajingan, aku di mana?"

Aku segera mengecek baju, masih terpasang. Bahkan sepatuku diletakkan hati-hati di sebelah pintu. Hanya sabuk rokku yang hilang, tetapi yang lain masih terpasang sempurna. Kancing teratas pun terpasang, padahal aku tak pernah melakukannya. Tidak ada rasa panca bercinta familiar di bagian bawahku, artinya aku tidak melakukan apa pun yang gila semalam.

"Oh syukurlah."

Pintu itu teranyun membuka. "Aku tahu kau akan berkata bergitu saat bangun." Ada seorang lelaki dengan rambut pirang yang muncul dan pierching di lidahnya. Aku mengerutkan dahin bingung. Namun, ingatan tentang semalam mulai muncul kembali. Ciuman-ciuman itu, stripper pole, dan Berlian.

Wajahku merona.

"Terushima."

"Senang kau tidak melupakanku pagi ini, Noya-chan," ujarnya geli. "Dan tenang saja, kita tidak bercinta, tapi mungkin kau harus membuka ponselmu. Aku meletakkannya di meja."

Aku segera meraih ponsel di meja dan membuka pesannya. Ada banyak pesan dari Sugawara, Morisuke, Daichi, Asahi, Osamu, dan ... Atsumu. Jantungku mencelos.

"Apa yang terjadi?"

"Video stripper-mu kemarin tersebar."

Jantungku terasa jatuh ke perut. "Video apa?"

"Tidak secara teknis telanjang, tetapi, kau tahu ..."

Aku membuka setiap pesan dari Sugawara dan Morisuka. Mereka ada di apartemenku dan mengancam akan memanggil polisi bila tidak membalas pesannya. Namun, dengan keberadaan Daichi di sana, aku tak yakin Sugawara belum melakukannya. Asahi dan Osamu terlihat sangat khawatir dan yang terburuk adalah Atsumu. Aku meninggalkan pesan itu tidak terbaca.

"Ini benar-benar kacau."

Terushima memilih bungkam. Dia hanya duduk di depanku dengan tenang. "Apa semua baik-baik saja?"

"Sugawara marah. Morisuke juga. Daichi, ah tidak ada bedanya. Dan Atsumu ..."

"Kau tidak ingin membukanya?"

"Apa pentingnya?" Aku ingin mengatakan itu dengan yakin, tetapi suaraku yang pecah mengkhianati.

Terushima tersenyum lembut. Dia meraih pipiku dan memaku tatapan kami.

"Kau tidak perlu bersikap kuat di hadapanku, Noya."

"Aku kuat."

"Ya," desahnya. "Kau memang sangat kuat Noya."

Dia mengecup bibirku sekilas. Seharusnya aku menolak, tapi kenyataannya tubuhku menginginkan lebih. Terushima yang juga menyadari itu hanya bisa terkekeh. Dia berdiri.

"Mari sarapan dan setelah itu kuantar pulang."

Mulutku terbuka. Keragu-raguan menyergapku, tetapi aku mengepalkan tangan guna mengeyahkan pemikiran itu. Dengan segera, aku menyambar tangan Terushima, dan berkata, "Bisakah kita bertemu lagi setelah ini?"

"As you wish, My Lady. Sekarang, ayo kita makan!"

END

Hehe