Chapter 5
Di lapangan yang penuh batu nisan itu semua orang sudah berkumpul. Hari itu Riza sama sekali tidak melihat koran. Ia takut dirinya akan menangis lagi jika mengingat kematian kakaknya…
Sederhana dan dihadiri tidak terlalu banyak orang. Begitulah keadaan upacara pemakaman dari Reina Hawkeye. Military sama sekali tidak campur tangan, karena memang ia bukan anggotanya sama sekali. Roy berdiri di barisan paling depan. Di tangannya ada Resha yang hanya menangis keras, dan walau ia belum bisa berbicara, tangisan itu seolah-olah meminta kehadiran mamanya.. menimangnya… memanjakannya…
Di sebelah roy ada juga beberapa bawahannya, termasuk Riza Hawkeye yang sama sekali tidak menitikkan air mata.
"rei… kenapa ? kenapa saat kau tahu kau dalam bahaya kau tidak minta perlindunganku ? Mengapa ?"
Roy hanya terdiam. Walau perlahan air matanya mengalir. Kedua tangannya masuk ke dalam kantong celananya dan menggenggam suatu benda kecil dengan erat.
Cincin pertunangan mereka
Hanya ada sebuah cincin padanya. Sebuah lagi telah ia selipkan di jari manis Rei saat ia menemukannya di lokasi kejadian. Ia menyanginya… sangat sayang…. Tapi saat ini ia bingung.. apa yang harus ia lakukan ? Pindah mencintai adiknya sama seperti mencintai dirinya ? bodoh sekali… apa itu ! Perbuatan seorang yang tidak punya harga diri.. Rei juga akan marah padanya kalau berbuat seperti itu…
Tapi apa sekarang ? Pelarian dengan menjadi playboy lagi dan menaklukan seluruh wanita di Amestris…? Tidak.. rei juga tidak suka… jadi sekarang apa ?
Roy meremas cincin miliknya dengan erat. Ia tahu… ini akan menjadi tahun yang berat baginya.
--- ---- ---- ----
Beberapa hari ini Riza bertindak aneh di kantor. Terkadang Roy mendapatinya sedang melamun, menatap resha dan ia tersentak setelah ditegur oleh Roy.
"Lieutenant… apa yang kau pikirkan ?"
"maafkan saya sir…saya tidak akan mengulangi hal ini lagi." lalu wanita itu segera kembali mengerjakan pekerjaannya.
Poin jawaban yang bagus. Dengan meminta maaf dan langsung mengalihkan pembicaraan tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan. Brilliant ! Memang lieutenantnya ini selalu menggunakan tampang bohong padanya…
"Lieutenant.. kau belum menjawab pertanyaanku…"
"Sir.. selesaikan pekerjaan anda.. lagipula sepertinya resha menunggu anda selesai bekerja agar anda dapat memanjakananya…"
Kembali.. penolakan topic yang ada. Ya.. kalau bukan begitu, bukan Lieutenant Hawkeye namanya.
"Lieutenant… jaga Resha sebentar.. aku ada urusan…"
"baik, sir."
Pria itu berdiri dari kursinya dan berjalan ke luar. Dari atas jendela terlihat ia berjalan lalu berbelok ke kiri tempat pemakaman umum… beberapa hari ini pula Roy terlihat rajin berkunjung ke sana.
"Ke sini lagi, Lieutenant ?"
"hm ?"
"tidak… hanya setiap hari aku tahu sepulang kerja kau selalu mengunjungi makamnya…"
"Reina Hawkeye adalah orang yang sempurna… semua orang senang padanya…"
"katakan, Havoc…" matanya tajam menatap nisan tersebut. "hingga sekarang kau masih jatuh cinta padanya, kan ?"
Ia mengangguk perlahan. "ya… dari dulu sejak kami bertiga bersama-sama berada di highschool.."
"apa yang ia katakan ?"
"siapa ?"
"Dia…"
"oh…." Havoc menatap langit yang mulai menyenja itu. "tidak.. hanya.. dia kecewa… tidak tahu harus berbuat apa-apa… dan.. ia bingung…"
----
Havoc ingat… malam itu padahal sudah jelas sekali jam wekernya menunjukkan jam 2 pagi…. Namun ketukan keras di pintunya, mengalahkan deru hujan dan membuyarkan mimpi indahnya. Akhirnya dengan malas ia membuka pintu itu dan mendapati Riza Hawkeye menggigil kedinginan di depan pintu rumahnya. Matanya merah, seperti habis menangis dan sekujur tubuhnya basah kuyup.
"Riza ! Ada apa ?" ia melihat wanita itu sepertinya menginginkan masuk. "ayo… masuk… tunggu sebentar… aku buatkan kopi dulu…."
Belum sempat ia bergerak, walau masih basah, ia segera melompat kearahnya, dan menangis di dalam dekapannya. Ia bingung harus bagaimana. Ia tidak tahu apa masalah Riza hingga datang ke rumahnya malam-malam begini…
Riza terisak-isak menangis, sambil sesekali menyebut nama rei. Havoc yang tidak tahu harus bagaimana itu, dengan canggungnya memeluk balik Riza dan membelai rambutnya yang tergerai dan basah itu.
Setelah ia cukup tenang, barulah ia memberikannya handuk dan segelas kopi hangat. Riza duduk terdiam diatas sofa, memandangi kopi yang diberikan havoc, sambil sesekali terisak perlahan.
"kenapa, riza…"
"rei….rei…" ia mulai terisak kembali. "rei… tewas…"
Havoc berjalan ke arahnya, mendekapnya dengan lembut. "psst… jangan menangis… aku tahu…..dan.. itu memang berat bagimu…"
Riza tercengang karena Havoc sudah mengetahuinya lebih dulu. Ia menarik dirinya dari dalam dekapannya.
"bohong…bohong… ! Kalau sudah tahu, mengapa tidak ada yang mau memberitahu aku dari dulu ? MENGAPA ?" Riza berteriak padanya. Sekarang Havoc tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Ia memang salah tidak memberitahu Riza… ia pasti kecewa sekali… padahal ialah satu-satunya orang yang paling dipercaya Riza…
"maaf... tapi… ini juga kami pikirkan demi kebaikanmu… .kalau saat itu kau kami beritahu… kami takut kau akan shock sekali…"
"bohong, kan ? Bohong !" ia berteriak lagi. Air matanya terus mengucur sepanjang pipinya. Kelihatannya ia sudah seperti orang yang tidak berpengharapan lagi… hanya Havoc satu-satunya orang yang pernah melihat Riza dalam keadaan seperti ini. "bohong ! Rei seharusnya tetap di sini, kan ? rei tetap hidup, kan ?" Riza berlari ke arah dapur. Havoc mulai merasakan hawa tidak enak dan segera berlari menyusulnya.
Disana ada riza yang sedang membuka laci lemari dengan brutalnya hingga ia menemukan sebilah pisau tajam.
"JANGAN !"
"BIARKAN ! KALAU TIDAK ADA REI SAMA SAJA SEPERTI DIRIKU MATI !"
"BODOH ! JANGAN !"
Havoc mencoba mengambil pisau itu dari tangan Riza, namun ia tetap bersikeras untuk mati.
"BODOH RIZA ! KAU PIKIR SIAPA YANG MAU MENGURUS RESHA SEKARANG ?"
riza terdiam sebentar, dan pada kesempatan itu, digunakan havoc untuk merebut benda berbahaya itu dari tangannya.
"Riza… kau kira siapa lagi yang bisa menenangkan Roy sekarang ? siapa yang telah janji untuk selalu mendukungnya hingga menjadi fuhrer ? siapa lagi ? Orang itu juga pasti akan sedih setelah kehilanggan mantannya, lalu kehilangan bawahannya yang paling ia percayai…dan……. Dan.. kau kira siapa yang paling merasa kehilangan sekarang ?"
"maaf…jean…."
Benar… Jean lah yang paling merasa kehilangan… bukan roy. Dari dulu sejak mereka bertiga bersama di high school, Jean yang paling tergila-gila pada rei.. Namun hingga sekarang perasaannya tidak pernah terbalas. Rei tidak pernah menerima perasaan jean. Malah ia menjodohkan Jean dengan Riza.
Hanya beberapa tahun Riza dan Jean bersama, namun itu sudah cukup bagi Riza untuk mempercayai Jean sebagi satu-satunya orang yang ia percayai. Satu-satuya orang dimana ia memperlihatkan ekspresi aslinya. Saat ia senang, saat ia menangis, saat ia tersenyum…. Dan hari-hari itu berlalu cukup cepat hingga mereka berdua bersama masuk ke dalam akademi militer, sedangkan Reina membuka toko bunga. Keduanya putus setelah mereka masuk ke akademi militer.
Hingga sekarang, walau begitu, Jean tetap mencintai Rei. Sulit baginya untuk melupakan gadis yang luar biasa itu, walau ia sempat jalan dengan Riza… dan sekarang, ia merasa amat kehilangan…
"aku tidak tahu harus bagaimana jean… rei… tidak ada…."
"sstt…. Riza.. Rei memang sudah tidak ada… tapi kau masih bisa membantu mustang menjaga resha untuk Rei, kan ? aku tahu… aku mengerti perasaanmu sejak kau masuk ke military dan bertemu dengan Mustang."
"ti..tidak… a..aku hanya mau menangis tetap di depanmu saja…."
Havoc tersenyum padanya. "Riza..riza…sejak dulu kau tidak pernah berubah… selalu saja begini…."
"Havoc ?"
Ia terus melamun.
"Havoc ?"
"ya, sir ?"
"benarkah… kau satu-satunya orang yang riza percaya ?"
"ya…." Lalu secepat kilat orang itu mengangkat tangan kanannya dan memukul perut roy.
"Auch !"
"berjanjilah padaku… jangan buatnya menangis lagi….. dia sudah seperti adikku sendiri…" Ia menatap kepalan tangannya yang tergenggam itu. "kalau kau mengecewakannya….aku tak segan-segan membunuh anda, sir."
Roy masih memegangi perutnya yang ditonjok tersebut. "Hmph ! Tentu saja…."
