Chapter 7
Ah.. andai saja hari ini tidak ada.. mungkin ini hanya mimpi, kan ? Seperti tadi malam… hey, aku bermimpi buruk lagi ? Ah, benar. Sudah beberapa hari ini mimpi jelek ini terus terulang. Kuharap besok aku terbangun oleh suara tangis Resha yang nyaring itu, dan lalu bertemu dengan senyuman manis Riza- ah.. tidak Lieutenant Hawkeye.
"Colonel Roy Mustang, Lieutenant Riza Hawkeye, dan… satu kecil di sana itu siapa ?"
"Resha… Resha mustang, sir" Tidak, mustang.. ini betulan.. Ah, coba kucubit pipiku. "argh !" desisnya kecil, Riza mengalihkan pandangan padanya, menyuruhnya untuk tenang. Benar.. bukan mimpi ! ah sialan..
"ya, Ms. Resha Mustang."
"ka..kalau boleh tahu, ada apa kami dipanggil ke sini, ya ?" tanya Riza ragu-ragu pada fuhrer mereka, sambil melirik resha,. "a..apakah ini melibatkan gadis kecil itu ?"
Bradley yang misterius itu pun tertawa. "tenang, Lieutenant…aku… cuma mau tanya…." Ia menyengir. "tentang hubungan kalian."
Sepintas, roy merasa kalimat itu tepat menuju sasaran, dan membuka kembail kotak pandoranya. Mimpi buruknya semalam terjadi…
"hubungan apa, sir ?"
"tidak… hanya baru-baru ini aku dapat info dari…uhuk.. bawahan, dan mendengar si gadis kecil ini memanggilmu mama. Apa itu benar, Hawkeye ?"
Riza menoleh pada Roy seolah dari tatapan mereka, keduanya saling bertukar pikiran. AKhirnya ia mengangguk.
"kalau begitu… aku juga heran, mengapa anak ini mirip sekali denganmu, Hawkeye ?"
"permisi untuk bicara, sir ?" tanya Roy sopan disertai dengan anggukan Bradley. "anak ini anak dari kembaran Hawkeye, Reina Hawkeye yang tewas setahun yang lalu… Saya tentu percaya bahwa anak ini memiliki kemiripan yang banyak dengan adik kembar ibunya. Itu hal yang wajar."
"ada alasan lain mengapa anak ini memanggilnya mama ?"
Roy melirik pada Riza, lalu ia mengangguk. "Resha baru berumur 3 bulan ketika ia ditinggalkan di tempat saya… dan dari kecil ia mengenal Riza sebagai mamanya yang membantu saya menjaga resha… hubungan kami tidak lebih dari itu."
King Bradley tersenyum. "ya sudah…. Dismissed."
Roy dan Riza keduanya membunyikan nafas lega, yang secara tidak sadar ternyata dari tadi mereka menahannya. Namun ketika roy menapakkan kakinya di pintu, ia sempat mendengar sedikit gumaman fuher mereka. "padahal aku sudah ingin mereka bersama…"
Nanti sir… kalau saya sudah berpikir waktu yang tepat…
"Ro-Colonel ?"
"ya ?"
"anda melamun ?"
"tidak… tidak apa memanggilku Roy ketika tidak ada officer lainnya, Riza…" muka wanita itu memerah sedikit, namun beberapa saat kemudian Ia berhendam dan kembali lagi seperti biasanya. "dan.. tolong titip Resha sebentar… aku ada urusan dengan dokumen yang sedang kuteliti…"
riza menatap roy dengan pandangan curiga. Beberapa akhir ini Roy sering pulang telat, dan menitipkan Resha padanya. Lalu setiap hari ia selalu membawa arsip-arsip tahanan dan catatan kejahatan ke kantor. Juga kebiasaannya yang belakangan ini suka mengurung diri di perpustakaan.
"apa.. ada yang bisa aku bantu, roy ?" Lelaki itu malah tersenyum padanya. Hangat sekali, dan membuat hati Riza seakan meleleh kembali. "tidak… tidak perlu. Kau pulang saja, oke ?"
"ba..baik."
----
Riza berjalan di sepanjang lorong kantor military di East City. Resha dengan manisnya sudah tertidur dalam dekapannya. Anak kecil itu terlalu manis baginya. Ia menatapnya sekali lagi dan kembali berharap kalau Resha adalah anaknya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak…tidak, Riza.. jangan berpikir seperti itu lagi ! Sudah berapa kali kubilang kalau Roy hanyalah atasan dan kakak iparmu ?
Mata anak kecil itu terbuka perlahan. Ia menguap lebar dan membuat pipinya yang bulat itu merona merah. "mama ?"
"ya ?"
"Hayate !" teriaknya gembira sambil memutar-mutar pandangannya mencari anjing kecil kesayangannya.
"iya.. nanti kalau kita sampai di rumah, oke ?" Resha tertawa lebar. Facenya mirip sekali dengan Roy ketika ia mendapat hal yang ia suka- contohnya rok mini.
Mereka berjalan di sepanjang lorong itu, ketika Riza menyadari aura tidak enak yang sedari tadi mengikuti mereka. Belum sempat ia mengambil senapannya, orang itu sudah berada di belakangnya. Ia tidak dapat melihat wajahnya yang tertutup dengan topeng hitam dan pakaian serba hitam, dan ia juga tidak tahu apa maksud mereka menguntitnya.
Kepalanya dibenturkan dengan ujung pisau, sehingga ia jatuh ke lantai. Tangannya tidak lagi melindungi dirinya, namun berusaha menutupi Resha agar tidak terbentur keras. Ia sempat mengadahkan kepalanya lagi, sambil mendengar apa yang mereka katakan… hanya sepintas, sambil ia merangkak perlahan ke pojok ruangan, melarikan diri dari mereka.
Salah satu dari dua orang itu melihatnya, dan membacokkan sebilah pisaunya tepat di punggungnya. Darah merah segar langsung terlihat melapisi pisau itu ketika dicabut. Riza merasakan percikan warna merah itu membasahi seragam birunya. Kepalanya mulai penat dan penglihatannya mulai kabur. Hal yang satu-satunya dapat ia lakukan ialah mendekap Resha dengan erat, berharap kedua orang itu tidak menyakitinya. Terus ia mendekapnya dengan sisa kekuatannya, hingga akhirnya penglihatannya betul-betul gelap, dan ia merasakan jiwanya sudah tidak lagi di tubuhnya.
