Chapter 8
"ROY ! ROY !" Riza berteriak. Ia bangun dan melihat di sekelilingnya, hitam.. gelap. Ia bangkit dari posisi sebelumnya yang tengkurap, lalu mulai berjalan ke arah utaranya. "RESHA ! ROY !"
Tidak ada seorangpun di sana. Ia yakin ruangan itu amat gelap… anehnya, ia bisa meilhat bajunya sendiri yang berwarna putih, tipis sekali. Kemudian, semakin jauh ia berjalan, semakin dingin hawa udara menusuk tulang-tulangnya. Riza mendekap tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya, dan terus berjalan.
"ROOY !"
Terus berjalan…terus berjalan. Tatkala ia mulai merasa bimbang- dimana ia sekarang ? Mengapa semuanya gelap ? Lalu kenapa ia sendirian ? Bagaimana dengan Roy, Resha, semua orang ? Di mana mereka ?- Ia mulai berlari.. berlari ke seluruh penjuru ruangan yang gelap itu. Semakin kencang nama-nama yang ia kenal ia teriakkan.. semakin tak berujung pula ruangan itu.
Hingga akhirnya ia jatuh, terkulai lemas di lantai hitam yang licin dan dingin itu. Depresi dan sendirian. Kemana semua orang ? Riza menggeledah seluruh tubuhnya, namun tidak menemukan setidaknya senapan yang membuatnya lebih tenang. Ia duduk, bersila dan perlahan butiran air mata hangat jatuh membasahi bajunya.
"roy… resha… kalian di mana ? kenapa aku sendiri di sini ?"
sepintas ingatan muncul di benaknya. Beberapa saat yang lalu ia baru saja dibacok oleh dua orang hitam-hitam itu, kan ? apa… ia sudah meninggal ? Hatinya terasa kecut ketika bertanya hal itu.
"rei… kalau aku benar sudah meninggal… aku bisa bertemu denganmu lagi ?" bisiknya kecil, lalu jatuh tertidur diantara matanya yang basah dan bengkak memerah.
-----
Sebuah guncangan membangunkannya. Tangannya lembut, hangat… ia kenal orang ini. Ia tahu… ia harus membuka matanya- sekarang juga !
"REINA ?" teriaknya bersemangat. "betulkah kau kak Rei ?"
Wanita itu anggun sekali, dengan dress putih bersih di hadapanya, membangunkannya yang sudah kumal itu (ia tidak tahu apakah matanya masih bengak dan merah gara-gara menangis, dan kalau ya, ia bersumpah akan malu seumur.. hidupnya ? itu pun kalau ia masih hidup. Selamanya.) Riza mendeklik lagi tidak percaya ketika rei menangguk lembut padanya.
"REI ! ini sungguhan ! Rei ! rei ! rei !" Riza melompat, dan memeluknya. "a..aku sudah rindu sekali…"
"aku juga… bagaimana dengan keadaan Resha ? sehat ? lalu.. bagaimana dengan Roy ?"
"Resha…? Dia sudah tumbuh jadi seorang anak perempuan yang manis ! dan Roy… walau tidak separah hughes, ia bangga sekali pada anak perempuanya itu ! Kakak hebat ! Mulai sekarang, kita akan terus bersama lagi ! seperti dulu…"
Riza tidak menyadari perubahan raut wajah pada Rei. "Riza… aku… tidak bisa lama-lama di sini.. ada…orang yang menunggumu… kau harus percaya…"
Riza mengejarnya…. Namun Ia perlahan-lahan menjadi pudar, dan tidak ada sama sekali.
Ugh ! Butiran air matanya jatuh lagi… ia kesal..
Mengingat kata-kata Reina yang menyuruhnya untuk bertindak, ia kembali berjalan. Herannya, kakinya tidak kunjung penat setelah berjalan jauh seperti ini.. mungkin kalau dikilokan sama dengan mengelilingi Amestris ? Wow ! Rekor yang lumayan untuknnya.
Bukan kakinya yang sekarang bermasalah.. tapi matanya…. Kenapa terasa pedas sekali, ya ? Ugh.. ia mengucak-ucakkan matanya. Debu pasir beterbangan di sekelilingnya, dan ia merasakan dinginnya… suasana gurun di malam hari ?
Percuma 7 tahun ia berada di medan perang kalau tidak kenal betul kondisi gurun pada saat apa pun. Ia hafal. Bahkan saat hujan akan turun pun hidungnya sudah peka. Itu memang bukan hal yang harus dipahami oleh seorang tentara yang kerjanya hanya dar dor dar dor, merenggut nyawa manusia, menghabiskan kota-kota tanpa tersisa dan menutup telinga bagi tangisan rakyat yang menjadi korban perang.
Riza menatap kanan-kirinya dan ia sendirian ! Dari jauh terlihat sebuah pondok.. atau rumah, mungkin. Cahaya lampunya dari jendela amat terang… Hatinya memaksa kakinya untuk berjalan ke arah rumah tersebut.
Di depan pintu rumah itu, ia hendak mengetuk, namun tertahankan dan duduk sendirian di luar… memandangi bintang dan melawan dinginnya angin malam.
"mau segelas cokelat panas ?" tanya seorang wanita muda dari belakangnya. Rambutnya panjang, hitam dan ikal, poninya dijepit rapih dengan jepitan besi perak bergambar bintang. Satu hal yang tidak luput dari pandangannya, yaitu perutnya yang cukup besar, sepertinya ia sedang hamil tua.
Riza mengiyakan tawaran wanita itu dan masuk ke dalam rumah kecilnya yang hangat. Ia menyeduh cokelat perlahan dan memberikannya pada Riza. Wanita itu tersenyum, dan mulai bercerita, "suamiku ada di medan perang.. sama seperti kalian… ia juga bekerja untuk Amestris…."
Ooh.. pantas saja ia begitu berbaik hati menawarkan pelayanan ini pada teman seperjuangann suaminya.. kalau tidak, mana mungkin ada orang yang mau berbuat seperti ini ?
"… namun.. sepertinya kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama…"
Sedari tadi ia tidak menyimak kata-kata orang ini. Tapi kata 'tidak ditakdirkan untuk bersama' itu menyerosok ke kepalanya, dan membuatnya tertarik untuk bertanya lebih jauh lagi. Namun sekali lagi, ruangan itu bukan lagi seperti ruangan rumah kecil sederhana itu. Tempat gelap dingin nan sunyi itu..
Kembali Riza mengalami kesendirian yang luar biasa. Sudah 2 orang yang ia temui dalam hari ini… aneh.. ia jadi bertanya-tanya, apakah benar ia sudah mati ? atau ini hanya mimpi ?
"mama !" seorang anak kecil melompat dari belakang ke arah pundaknya, dan minta digendong. "Hayate nakal ! Hayate gigit boneka !" Pasti ia juga ilusi seperti tadi, kan ? yang sebentar lagi akan hilang ?
Riza tersenyum. Kehangatan yang sama yang ia peroleh ketika menggenggam tangan Resha kecil. Matanya yang bulat memancarkan sinar kepolosan, kebersihan hatinya… Ia menyibak rambut anak kecil itu dan merapikan kuncirannya. Ia berharap, kali ini bukan ilusi seperti yang tadi-tadi.. jangan sampai…
"mama senang, Resha datang…" bisiknya perlahan.
"mama ! mama ! ayo main sama kita !" Resha berlari dari pelukannya ke arah… seorang pria ?
Warna rambutnya yang khas, dengan mata sipit oriental itu, senyumnya yang menawan yang setiap hari membuatnya mabuk kepayang menatap wajahnya yang manis.. membuat tidurnya gelisah, memikirkannya setiap malam… orang yang secara tidak sadar… ia jatuh cinta padanya.
"roy ?" desisnya tak percaya. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum, sambil membawa Resha ke dalam pelukannya. Di dekatnya, Black Hayate datang dan menggonggong, melompat kearahnya dan secepat kilat menjilati wajahnya.
"aw…aw.. ya.. aku tahu… aku juga rindu kamu, buruha…."
"Dari mana saja, sih kamu ?"
Riza bingung harus berkata apa pada Roy. Akankah ia percaya kalau ia telah bertemu dengan Riza… Hey… apa yang sedang mereka lakukan di sini ?
"ro..Kolonel..?" tanyanya ragu. "me..mengapa anda di sini, ya ?"
Roy bukannya menjawab, namun tertawa terbahak-bahak dengan keras. "Riza..Riza… bukankah kamu tadi yang menyuruh kita melepas segala keformalan ini, gara-gara kita sedang liburan, kan ? Siapa yang mengusulkan kita pergi ke pantai, sih ?"
Riza memasang tampang bodoh ketika mendengar pernyataan Roy. Dialihkannyalah pandangan ke segala sudut ruangan. Benar… ini bukan sebuah ruangan… Tidak gelap.. Justru matahari bersinar terik diatas kepalanya. Dilihatnya, warna biru langit yang indah di angkasa dan beningnya warna air laut saat itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku… kemana saja kau dari tadi, huh ?" ia mencubit perlahan hidung Riza dengan lembut, dan membuat wanita itu merah merona. "kamu sudah menunggumu berenang sampai mateng di bawah sunshine.."
"Kalau kuceritakan nanti kau tidak akan percaya ?"
"percaya…selama kau tidak bohong…"
"ah.. sudahlah.. ayo cepat berenang !"
Sebuah sengiran entah kenapa, apa Riza yang salah lihat, atau memang benar itu ada di wajahnya, muncul sebagai sengirannya yang biasa. "oke…" Secepat kilat, Riza sudah berada di atas kedua tangan Roy, yang mengangkutnya sampai ke pantai. Roy terus berjalan, hingga air laut melewati batas pinggangnya, sementara Riza terus meronta minta diturunkan.
"oke… aku turunkan…" dan..
BLaSH ! Air bercipratan di mana-mana. Kepala Riza naik turun di atas permukaan laut, menstabilkan udara yang diambilnya.
"awas kamu, ROY !" BYAR ! Roy basah kuyup gara-gara dicipratkan air oleh Riza.
"berani melawan superior officermu, rupanya,ya…."
"siapa yang suruh melepas keformalan ini, ya ?" Tanyanya bodoh sekali lagi dan menyerang Roy berkali-kali dengan air. Akhrinya keduanya saling ciprat-menyiprat air dan tertawa-tawa bersama.
Tanpa sengaja, Riza kehilanggan keseimbangan badannya dan jatuh ke arah tubuh roy. Dirasakannya kehangatan dadanya yang tak berkaus itu… hangat.. nyaman..
"roy…" bisiknya pelan sambil tetap berada dalam pelukannya. "ini.. bukan mimpi, kan.. ini asli, kan ? Bukan ilusi… bukan suatu yang nantinya akan lenyap ? aku tidak mau sendiri lagi…."
Ah.. dia tertawa, lalu menyunggingkan senyumnya. Tangannya yang lembut menyibak rambut Riza, lalu menatap mata kuning emasnya yang besar dan bulat. Keduanya memajukan wajah mereka perlahan-lahan. Pelan… tapi pasti. Bibir mereka bertemu, merasakan kehangatan masing-masing. Bukan suatu hal yang penuh gairah bagi satu sama lain... tapi suatu yang memberikan kelembutan.. ketenangan.. Sebuah janji yang terikat untuk bersumpah akan saling menyanyangi.. saling melindungi…
TBC
A/n :
Phiuh.. akhirnya jadi juga chapter 6,7,8… padahal tadinya aku sempat ada waktu malas meneruskan. Tapi untunglah.. royai power, semangat lagi ! btw, aku sama sekali tidak merencanakan untuk membuat chapter 8 seperti ini… yah.. tapi tiba-tiba ketika draft di otak yang sudah ada itu diketik, berubahlah dia menjadi seperti ini…. Ditunggu reviewsnya ya…. Pliz…pliz..pliz…
