Chapter 3-Innoncent

The Promise

Setiap hari mereka bertemu dibawah pohon besar itu. Yang satu membawa bukunya, yang satu lagi dengan boneka teddy bearnya, ataupun kadang bersama mainan masak-masakannya. Entah kenapa hal itu sudah menjadi ritual bagi mereka berdua.

Pagi itu, hujan deras turun menguyur seluruh desa. Riza melihat keluar jendela dari kamarnya yang berada di lantai bawah. Hatinya bimbang. Mungkinkah roy akan datang ke sana ? Hatinya ingin sekali bertemu dengan temannya itu. Ia tidak pernah mengerti, perasaan apakah ini. Tapi ia ingin selalu ada bersama dengan Roy, tak peduli apa pun kata mama papanya. Riza terdiam di sana, bingung harus bagaimana, saat suara dari dalam hatinya tiba-tiba menyuruhnya segera pergi ke pohon itu.

Tanpa sandal, maupun payung dan jas hujan, Riza berlari ke tempat yang biasa mereka bertemu. Telapak kakinya berkali-kali beradu dengan batu-batuan kecil ditengah cekungan-cekungan berair. Kaus dan celana pendek yang ia gunakan pun sudah basah kuyup. Ia tidak perduli. Ada dorongan dari hatinya untuk pergi ke sana. Ia harus ke sana. Roy pasti telah menunggunya. Ia yakin.

Dari jauh pun sudah kelihatan, seorang anak laki-laki yang sedang bernaung dari hujan, bersama bukunya di bawah pohon besar yang ada di atas bukit kecil. Hati Riza serasa mengembang, dan langkahnya pun dipercepat. Ia berlari ke arahnya, dan menyambut lelaki kecil itu dengan senyumnya yang mengembang.

"hai"

"ngapain di sini ?"

Pertanyaan bodoh yang membuat Riza sedikit kesal padanya. Ia senang melihat Roy, yang tetap berada di sana dan menunggunya... atau tidak senangkah ia melihat dirinya ? akh.. hatinya serasa teriris mengetahui hal itu.. padahal ia sama sekali tidak mengerti apa yang ia rasakan…

Riza menundukan kepalanya, dan tidak berani menatap orang itu. "aku… hanya ingin menemuimu… ka..karena teman-teman sampai sekarang tidak ada lagi yang kembali… dari kita berlima, hanya tersisa aku dan mu…apa… Roy tidak senang kalau aku mengganggu waktumu belajar ?"

Hening.. itulah jawabannya. Diiringi dengan bunyi hujan deras yang silih berganti memukul-mukul tanah dengan irama mereka sendiri, keduanya tetap terdiam. Tiba-tiba roy mengambil tangannya dan menaruhnya di pipi Riza.

"aku senang.. kau datang." Namun wajahnya tidak menunjukan bahwa ia senang… penuh rasa sedih yang tergores di dalamnya. "tapi sayang sekali… sepertinya aku harus segera pulang…" ia berdiri dan berjalan ke luar dari naungan pohon itu- membiarkan hujan menerpa dirinya.

"kalau begitu aku juga ikut !"

roy menoleh, lalu mengangguk sambil tersenyum padanya. Riza berlari dan ikut pulang.

Saat hujan, tidak banyak orang yang suka keluar rumah. Toko-toko yang mereka lewati pun terlihat jauh lebih sepi dari yang biasanya. Keduanya berjalan melintasi pertokoan tersebut, ketika Riza menghentikan langkahnya sebentar, tertegun menangkap suatu benda yang menarik dalam penglihatannya.

Sebuah toko senapan yang cukup terkenal di kota itu, di mana ayahnya juga sering membeli ammo di sana. Riza menatap sebuah pistol berwarna silver yang tergeletak di etalase. Ia menggelengkan kepalanya, lalu kembali berjalan bersama Roy.

"dingin ?"

"enggak…" katanya berbohong. Namun rasanya, tangannya sudah hampir kaku kedinginan.

Roy tidak banyak bicara, namun segera meraih tangan Riza dan menggenggamnya. Erat sekali, hingga ia merasakan kehangatannya.

"ma..makasih, ya…"

"tidak… bukan apa apa kok…"

Riza memandang ke arah tangan Roy… ukurannya tidak jauh lebih besar dari miliknya.. namun jauh lebih hangat dan kuat.. Lalu ia melayangkan pandangannya pada lelaki di sebelahnya. Bahunya lebar.. punggungnya besar.. entah kenapa lama-lama ia merasa pembuluh-pembuluh darah di tubuhnya menghantarkan darah ke mukanya dan membuatnya merasa panas sekali.

"Riza.."

"hm !"

"aku sudah memutuskan elemen apa yang ingin kupelajari.."

"bagus dong !" ia menepuk pundaknya. "elemen apa ?"

"api… aku ingin apiku bisa selalu membuatmu hangat…. Juga aku ingin api itu bisa menghangatkan orang lain juga…" muka roy blushed berat setelah membagikan salah satu rahasia terbesarnya. Riza pun tidak kalah merahnya. "a..aku pun juga… ingin bisa melindungi roy…." Ia berbicara sambil tergagap.

Keduanya melayangkan pandangan satu sama lain, dengan muka yang memerah, lalu tertawa bersama. Roy menawarkan jari kelingkingnya, riza pun mengaitkannya. "janji… kita akan selalu melindungi satu sama lain… aku juga akan terus menjagamu…"