Pukul sebelas malam tepat, hujan tengah deras membentur bumi. Lampu-lampu temaram, lalu lalang sekitar jalanan beraspal mulai lenggang. Entah untuk yang kesekian kali, Sasuke mengumbar sumpah-serapah kesal akan selembar kertas di atas nakas.
Perkara cukup rumit. Pasalnya, nyaris berminggu terhitung, barang-barang serupa surat cinta atau sekadar bingkisan makanan selalu tergeletak rapi dekat pintu masuk apartemen, dibungkus cantik—setiap pagi. Kepada Sakura, dari Naruto, temui aku nanti—begitu katanya, tertulis dengan huruf-huruf besar, khas seorang lelaki.
Guntur menjamah langit. Pening melanda selagi mendaratkan bokong pada tepi ranjang. Tentu Sasuke marah. Bagaimana bisa, selama dua tahun ini, sang kekasih ternyata diam-diam mempunyai simpanan yang acap kali pergi bersama? Walau mencoba enggan percaya, denyutan nyeri tetap datang mencambuki sudut hati.
Samar-samar shower kamar mandi mengikis hening. Lagipula, jika Sakura benar masih cinta, mengapa hal-hal yang diberikan pria itu selalu diterima? Ah, pantas saja. Entah telah berapa lama, ponsel menjadi amat sulit dihubungi, bahkan pesan-pesan menganggur dalam kontak masuk.
Mengapa?
Sialan. Brengsek. Lagi-lagi menatap benci lembar surat yang menjadi pengganggu kisah-kasih terlanjur hambar. Sementara hujan membentur jendela, ada goresan kecewa yang kian melubangi sanubari. Sakit, kepalang nyeri.Ujung sprei dicengkram, kekeh justru mengudara.
Sasuke sungguh tak mengerti, sihir apa yang membikin kesal justru menjelma afeksi menguasai benak seiringan pintu kamar mandi terbuka, aroma ceri segar yang sontak merasuki olfaktori. Sesaat bangkit, memasang senyuman terbentuk eksplisit. Ketimbang marah bahkan memulai pertengkaran, bukankah satu dekapan selamat datang kembali akan lebih menyenangkan, terlebih menyaksikan tubuh yang telanjang tertutup handuk dengan rambut klimis sangat membuat rindu. "Kau sudah selesai?"
Hening. Kilat petir menerangi kamar yang gelap. Netra membulat kaget, langkah Sakura sontak membisu. "Kau—"
Jam dinding berotasi lambat, ada ketakutan yang tak mampu diperangi selagi menatap pisau dalam genggaman. Sasuke mendekat, melebarkan lengan seolah mengundang dekap. Lumuran darah menetesi ubin, senyuman miring tercetak semakin lebar. "Kenapa, Sakura? Tak perlu khawatir, si jalang sudah mati. Kemarilah, hanya ada kau dan aku sekarang."
"Kemarilah." Sakura meneguk saliva, alarm tanda bahaya tengah berdering keras dalam kepala. Jantung berdegup kencang, seluruh urat syaraf seolah terhenti ketika kaki tak sempat menjauh, lengan yang lebih cepat ditarik. Mana sempat memberontak, sebab kepala dibenturkan tembok hingga kesadaran perlahan pudar.
Sasuke menunduk sambil mengumbar ekspresi gemas. Sesaat mengusap helaian merah muda yang basah akan darah segar, lantas menjauh—menyalakan pemutar musik klasik dengan lagu romantis sembilan puluhan. Ah, hujan masih setia membentur bumi, lampu perlahan menyala.
Seraya merobek lembar surat di atas nakas, pisau dibuang, pintu dan jendela dikunci. Amat piawai membenahi ranjang sembari menarik tubuh lemah Sakura dalam dekapan hangat lagi panjang. Tak ada pengganggu, tak ada si jalang yang sempat membuat kasih berantakan. Begitu samar-samar musik berhenti, bisikan pelan mengalun lembut, "Hanya kau dan aku, selamanya."
"—temui aku di stasiun pagi ini. Sungguh, Sakura, rasanya ada yang tidak beres. Tentang temanmu, Sasuke. Aku pernah memergokinya keluar dari apartemenmu saat kau tidak ada, apa kau benar-benar mengunci pintunya? Maaf selalu mengirim surat, setelah ponselmu disadap, cukup sulit mencari alternatif lain. Bagaimanapun juga, aku ingin hubungan kita berlanjut lebih serius. Sampai jumpa nanti."
]
