Toshiro menguap, lalu mengusap belakang kepala. Puas dan dibubuhi rasa bangga, ia menghidu aroma kopi yang baru saja diseduhnya.

Entah dewa mana yang berlembut hati serta merasa perlu pamerkan diri, tahun lalu ia dan Gintoki mendapat mesin kopi dari undian. Sejak itu, adiksinya terhadap kopi, ia akui—sedikit melejit naik.

Knock-knock.

Ketukan sederhana pada shoji. Toshiro menautkan alisnya. Menaruh cangkir kopi di atas meja, langkahnya membawanya ke arah depan. Sesaat sebelum ia membuka pintu, tampak bayangan seorang remaja lelaki.

Toshiro terdiam sesaat. Ia tidak yakin siapa yang berkunjung pagi begini, terlebih kala sang pemilik dari Yorozuya itu sendiri belum terbangun—namun, kewaspadaannya menegak. Menelusup pada syarafnya, menjadikan reflek bertarung yang telah terasah sejak dulu kini datang menyergap.

Bagaimana caranya bayangan itu kirimkan intimidasi tak pegari hanya melalui eksistensinya?

"Buka pintunya, Toshiro."

Toshiro mengerjap. Suara itu—sangat, amat, dikenalnya. Ia menggeser shoji cepat. Visualnya segera diserbu oleh wajah yang kalem dengan senyum timpang yang khas dan keangkuhan tak tertandingi.

Takasugi Shinsuke menyapa teduh, "Selamat pagi. Boleh aku masuk?"


Gintama © Hideaki Sorachi

Warnings! HijiGin, mentioned of past TakaGin, romance, drama, friendship, sekuel dari Ohana (2 years after. Author's Note selengkapnya ada di bawah yang menjelaskan tentang Home, Ohana, dan Future.), canon, typo(s), possibly OOC, rating T+ (untuk adegan nyerempet), semoga sesuai PUEBI, etc.

Future by Saaraa


"Apa ini? Rapat Dadakan 2 untuk Mencegah Kehancuran Dunia? Bukankah ini sudah pernah muncul di fanfiksi sebelumnya?" Gintoki mengomel, lalu meneguk segelas susu almond. Semenjak dokternya menjadi galak perihal dietnya, Toshiro pun demikian. Tak ada lagi susu stroberi setiap hari.

Toshiro—lelaki itu sendiri kembali menikmati kopinya. Meski begitu. Sorotnya tak berpindah dari Shinsuke.

Wajar saja insting bahayanya berdering tadi. Tak peduli bagaimana pun wujud Shinsuke—entitas yang satu itu entah bagaimana selalu memiliki hawa yang mengancam, bahkan ketika ia tak berniat melakukannya.

Shinsuke mendengkus. Ia mengetuk-ngetuk gelas keramik berisi ocha hangat yang disuguhkan Gintoki tadi. Menyilangkan kaki, ia berujar, "Zura mengajak reuni—aku hanya mampir untuk menyampaikan pesan. Sekalian; Matako dan Takechi sedang mengurus pekerjaan di sekitar sini."

Gintoki mengibaskan tangan, lalu memprotes, "Eh? Reuni—kita, kan, bukan bocah baru lulus sekolah!"

Toshiro sontak menepuk kepala bersurai selembut bulu domba itu. "Tidak ada bocah yang baru lulus sekolah melaksanakan reuni, bodoh!"

"Ringan tangan, ih!"

Shinsuke terkekeh tipis. Kekonyolan yang menyebalkan—namun entah bagaimana, serasa seperti rumah. Dan Gintoki, menatap sesosok remaja berfisik empat belas tahun di hadapan, pun—merasa hal yang sama.

Seolah detik waktu berlari menuju masa lalu, menampilkan segala memori lama yang tercetak pada lobus ingatan.

Ingatan kala semua baik-baik saja, saat semuanya sehangat mentari subuh, sesegar embun yang rintiknya membasahi padang gulma. Kala Shouyo-sensei tersenyum puas menyaksikan kebodohan murid-muridnya dan menegur tegas ketika mereka berbuat salah.

Kala keempat dari mereka menikmati beberapa hari-hari tenang di antara api unggun, di antara suasana perang serta mayat bergelimpangan.

Gintoki mengerjap. Lalu, tanpa sadar—senyum merekah dengan sendirinya.

Bukan berarti sekarang tak membahagiakan, bukan? Malah—sangat, amat, membikin hati berbunga. Bangun pagi pun terasa luar biasa, meski dirisak oleh tamu yang macam ular berbisa.

(Tidak. Justru karena ia dirisak oleh tamu ini, kan?)

"Kalau kau bertumbuh secepat ini di tahun kelima; kau akan ubanan di dekade pertama, Takaisugi."

"Sayang sekali aku tetap akan lebih muda darimu, ojii-san."

Gintoki menjatuhkan rahang. "Kau cari ribut, ya!" sergahnya, lalu berdiri dan menggulung ujung lengan kimono, ancang-ancang untuk baku hantam. "Kau cari ribut, kan, pendek!"

"Mengapa kau bisa tahan dengan manusia begini, sih, Toshiro?"

Toshiro mengangkat bahu. Tersenyum tipis. "Kurasa seluruh peluang sialku sudah terpakai."

Shinsuke menggeleng-geleng. Selanjutnya, ia berdiri dari kursinya dan bersiap untuk berjalan ke pintu depan. Namun sebelum itu, ia masih melempar kurva tipis pada sepasang insan tersebut dan berujar, "Datanglah berdua. Jouishishi yang lain akan menunggu."

Saat ia sepenuhnya singkirkan diri dari ruangan, Gintoki menghela napas panjang.

"Ya sudah, yuk sarapan?" ajak sang iris darah. Perutnya sudah bergemuruh sejujurnya—dan nasi-telur-mentah dipadu bersama sisa beef yakiniku semalam terdengar menggiurkan.

Toshiro menyodorkan anggukan. Ia sudah bersiap untuk ke dapur, namun atas kompulsi yang mendadak terlahir dalam hatinya, ia mengulurkan lengan, lalu satukan jemarinya di antara jemari si surai perak.

Gintoki terdiam sesaat. Pelupuk matanya naik dan turun secara repetitif sebelum suaranya memanggil lembut, "Toshiro-kun?"

"Kamu …," terjeda sesaat. Bola mata biru samudra memandang manik apel cerah. "Baik-baik saja?"

Mendengar itu, Shiroyasha—tertawa. "Aaw! Perhatian, deh, aku sangat terharu!"

Toshiro mendecak, berusaha melepaskan jemarinya. Sia-sia ia khawatir. Meski begitu, Gintoki menahan, dan malah meretas jarak. Tangannya menangkup sisi wajah Toshiro dan berujar, "Baik, kok. Kau sendiri, mau datang atau tidak? Kalau tidak, tak apa kok, tapi kurasa mereka pasti ingin bertemu denganmu."

Dengusan. "Tolol," cela Toshiro. "Kau ingin datang, kan? Berhenti memikirkan hal-hal kecil."

Kemudian, lelaki mantan kepolisian itu mendekatkan diri. Toshiro memosisikan kepala, lalu mengecup bibir insan yang ada di hadapannya.

Gintoki menutup pelupuk. Harum kopi dan tembakau merajai olfaktori—menggairahkan. Ibu jarinya mengusap daun telinga Toshiro, membiarkan dirinya terlena. Tubuhnya merapat begitu alamiah, serupa bulan yang akan selalu berada di sana mengitari dunianya. Ia kembali membuka bibirnya, merasakan decak dan lembab yang berpadu dengan miliknya.

Ah. Ini menyenangkan. Gintoki menarik napas panjang, terengah di antara cumbuan, menyahut rendah, seduktif, dan sarat ingin, "Toshiro …."

-BRAK!

Sebelum shoji tergeser kasar, bagai dirusak hewan binal. Kedua insan tersentak, lalu mendengar raungan bersemangat, "Gin-chan, Toshi! Sarapan, yuk!"

Tuhan Yesus.

.

"Eh, reuni? Terdengar menyenangkan," Shimura Shinpachi berujar santai. Ia kembali menyendok nasi dari rice-cooker dan sadar bahwa ini porsi terakhir. Mangkuk itu disodorkannya pada Kagura yang dengan kegirangan yang jelas menerima.

"Ini konyol. Lagipula, kita pernah ada episode reuni dan itu tidak berakhir menyenangkan!"

Toshiro menyentil sudut bibir. Ah, ya—ia pernah mendengarnya. Kemunculan lelaki kelima; sang bayangan—yang pengisi suaranya nyolong dari seri olahraga sebelah. Terdengar begitu rusuh dan kacau.

"Tapi, memangnya kamu tidak rindu mereka, Gin-chan?" Kagura bertanya. Perempuan itu menaruh mangkuk beling putih metah yang telah kosong. Memiringkan kepala, pernyataan tulus mengudara, "Apalagi, sekarang kalian benar-benar bisa berkumpul berempat, aru."

Gintoki merogoh kotoran di telinganya dengan kelingking, lalu terdiam sesaat untuk berpikir. Iya, ya—mungkin, ini semua hanyalah rasa melankolis yang terukir dalam pikirannya.

"Tidak, rasanya aneh saja, sih …," Gintoki mengakui. "Seperti yang sudah kubilang, kita kan bukan anak lulusan sekolah dengan tiga tahun SMA berkilauan atau sesuatu semacam itu."

"Shoka Sonjuku adalah sebuah sekolah," Toshiro akhirnya menyahut. Ia mulai mengumpulkan piring dan mangkuk kosong. "Benar?"

Gintoki mengembungkan pipi kekanak-kanakan. "Duh, baiklah! Kalian sebaiknya kerja yang benar ketika Gin-san absen, loh!"

"Sejak kapan kerjamu benar bahkan kalau kau tidak absen, Gin-san?" Shinpachi menyeletuk, membantu Toshiro mencuci piring di dapur.

"Hei, kurang ajar!"

Kagura hanya tergelak. Hari-hari biasa di Yorozuya.

"Toshiro-san hari ini ada jadwal apa?" tanya Shinpachi, memulai konversasi.

Toshiro menggosok piring, membiarkan busa lembut itu melimpah. "Mengunjungi Shinsengumi. Mereka ingin aku memberikan konsultasi strategi."

"Ahh." Anggukan. Ketika sekumpulan warga Shinsengumi, beserta suami Kagura dan sosok kakak iparnya itu teringat, Shinpachi mau tak mau mengulas senyum tipis. "Soal kasus Pembunuhan Manisan yang tengah marak itu, ya?"

"Iya. Aneh, kan? Pembunuh psikopat yang mengeluarkan organ dalam korbannya hanya untuk diisi oleh manisan."

"Terdengar seperti kasus yang berat," respon Shinpachi. Lalu, lelaki dewasa dengan kacamata bulat itu menaruh mangkuk terakhir yang telah dibasuh di atas rak. "Apa kau akan ikut penyelidikannya?"

"Sepertinya begitu," Toshiro memberi konfirmasi. "Karena aku bukan personel official Shinsengumi, mungkin tidak akan terang-terangan menyergap musuh, tapi, yah … kita lihat saja."

Senyum Shinpachi masih terbalut sederhana. Namun, ada rasa penasaran bercokol pada relungnya dan ia memilih untuk disuarakan. Meski begitu—apa yang ia tanyakan selanjutnya menurutnya ialah sederhana dan ia hanya tak menyangka Toshiro akan terkaku sebegitunya.

"Toshiro-san, kalau kau masih begitu mencintai pekerjaanmu dan keluargamu di Shinsengumi … mengapa kau harus keluar?"

Toshiro tak paham harus menjawab apa.

.

.

.

"Yah, terdengar bagus." Toshiro menatap berkas laporan yang terselip di antara jemarinya. Ia menaruh kertas tersebut di atas meja, lalu mengangkat kepalanya, memandang lurus anggota Shinsengumi yang tegap menghadap. "Kalau begitu, buntuti pelan-pelan. Jangan menyergap ketika menemukan Shirada Ryoha—aku tidak yakin dia bekerja sendirian. Dan, jangan membahayakan warga sekitar ketika akan memancingnya keluar. Itu saja. Bubar."

"Ha'i!"

Saat komando darinya direspon tegas, lalu para bawahan itu mulai membuyar, Toshiro hanya tersenyum tipis.

Ya, pikirnya. Mungkin aku memang rindu.

"Rasanya kau masih kerja di sini, Fukucho."

Toshiro menoleh saat mendapati suara itu menyapa ramah. Dengkusan dari si penyuka mayones, lalu menjawab, "Mereka hanya terbiasa kuperintah, itu saja."

Kondo Isao terkikik. Ia meremat lembut bahu Toshiro, menyahut, "Kau tahu, kan—kalau kau ingin kembali ke sini, kapan pun kami menerima."

Senyum Toshiro terbentuk. Kalau Sougo di sini, lelaki itu pasti sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kebahagiaannya untuk mencela Toshiro dan mengatakan sesuatu seperti kursi wakil komandan akan tetap jadi miliknya. Sayang sekali Sougo tengah terlibat dalam penyelidikan lain.

Ah, omong-omong soal posisi wakil komandan.

"Kondo-san, kenapa sampai sekarang tidak ada wakil komandan untuk membantumu?" tanya Toshiro—dibanjur oleh suatu kesadaran.

Namun, meski ia bertanya begitu serius dan ingin dapat jawaban yang paling sungguh, Isao hanya tergelak. Begitu ringan, namun Toshiro tahu—pemimpin yang selalu menjadi panutannya itu, sebetulnya berpikir soal banyak hal yang sengkarut.

"Belum nemu yang pas saja, sih! Hahaha!"

Toshiro mengira-ngira—apakah bahkan untuk Isao pun, persoalan ini adalah sesuatu yang rumit?

.

Langkah kaki sang surai sepekat jelaga itu mengetuk jalan ramai kota Edo. Samudra manusia, hiruk-pikuk biasa, lalu-lalang amanto yang kini lebih tahu diri … terasa damai. Toshiro menengadah.

Silau. Angkasa biru cerah menaungi dunia; pembatas antara bumi dan seluruh semesta. Beberapa kapal terbang masih mengudara, menjadi aksesoris langit.

Banyak hal yang berubah—ada juga yang tetap sama. Memangnya kenapa kalau ia berhenti sebab ingin menikah dan berkeluarga?

Tak ada masalah—bukan? Ia boleh memilih dan entah mengapa, tinggal di sisi sang Yorozuya terasa sangat tepat. Sebab, relungnya yang serasa hampa, juga denyut jantungnya yang tak menyenangkan kala dua tahun itu Gintoki menjelajah bumi entah sampai ke mana—itu terasa menyebalkan. Terasa seperti jalan buntu.

Pada waktu itu, sebelum perang terakhir dengan Utsuro, mengumpulkan tiga anggota utama Yorozuya adalah hal yang terasa alamiah. Seolah-olah memang itu yang perlu dilakukan; itu bagaimana dunia bekerja, dan tak ada yang lengkap kala Pekerja Segalanya tak menjadi satu kesatuan.

Dan itu, adalah sebuah kebenaran. Namun, barulah Toshiro sadar—nyatanya, ia yang paling tak tahan kala eksistensi si kepala bulu domba tak ada di sisinya.

Di sisinya untuk bertengkar, ucapkan sarkasme, saling lempar argumen tak penting, saling mencela makanan kesukaan masing-masing, namun di saat yang sama saling melindungi, menempelkan punggung satu dengan yang lain, tergelak akan hal-hal termungil sekali pun.

Dan sepertinya, Sougo menyadari hal yang sama terhadap Kagura. Ia rasa, itulah sebabnya Sougo melamar Kagura lebih dulu. Toshiro paham bahwa lelaki beriris vermillion itu tak pernah ragu dalam setiap keinginan dan keputusannya.

Lalu, lebih besar kasih yang mana antara terhadap Gintoki dan Shinsengumi?

Apakah … bahkan itu perlu untuk—

"WAAAA!"

Toshiro terkesiap. Saat menoleh ke arah sumber suara, seorang anak kecil tengah menangis di hadapan toko mainan. Ibunya menepuk-nepuk lembut punggung anak itu, menenangkan, dan berujar penuh sabar, "Pilih satu, ya?"

"Kenapa tidak boleh keduanya?" anak itu bertanya polos—dilimpahi ketidaksabaran, serta keinginan yang besar.

"Boleh, tapi Jyuu-kun yakin bisa menjaga dua mainan itu? Okaa-san tahu sekali, Jyuu-kun kalau sudah menyukai sebuah mainan, maka Jyuu-kun akan membawanya kemana-mana. Kalau dua-duanya Okaa-san belikan, Jyuu-kun berjanji bisa menjaganya?"

Bocah lelaki itu terdiam. Sadar akan tanggung jawab yang ada di pundaknya untuk menjaga setiap barang pemberian orang tuanya dan barang berharganya sendiri—tentu.

Toshiro mengerjap, lalu menggeleng keras. Analogi yang buruk. Kedua hal yang ia anggap penting bukanlah mainan, lebih-lebih barang. Keduanya adalah rumah dan tak bisa dibandingkan.

Tapi … meski ia tahu, ia tetap mendekati ibu dan anak itu. Ucapan permisi disuarakan ragu, namun sepasang bola mata sebiru samudra terdalam menatap sungguh sang ibu, membuat wanita itu memasang telinga baik-baik.

"Aku—maaf, kalau ini agak aneh. Tapi … kalau punya dua pilihan, tentu saja memilih salah satu adalah hal yang paling tepat, bukan? Terlepas dari bisa menjaganya atau tidak."

Ibu itu tersenyum tipis. Ia membiarkan anaknya masuk ke dalam toko terlebih dahulu untuk melihat-lihat.

"Kurasa, itu ada benarnya. Karena, kalau memiliki dua hal yang penting, kita jadi bingung bagaimana menjaga keduanya, kan? Fokus kita bisa teralihkan. Padahal, kita ingin melakukan yang terbaik."

Ah. Benar. Artinya, Toshiro tidak memilih pilihan yang salah, kan?

"Tapi … jadi manusia, artinya jadi egois dengan cara kita sendiri, kan?" ujar ibu itu, begitu teduh. "Meski kadang kita tidak yakin, meski kita pastilah berbuat salah—itu manusiawi, kan?—tapi, bagaimana pun, kadang, kita mengingini keduanya. Dan itu tak masalah, selama kita berusaha yang terbaik."

Toshiro geming untuk sesaat. Kepalanya serasa tumpah-ruah oleh kata-kata sang ibu yang menyelip hangat. Ia bertanya-tanya, apakah dulu, ibunya seperti ini?

Ia tak ingat—sungguh. Ia baru tersadar kembali ketika bocah lelaki yang tadi keluar dari toko mainan, menarik pelan lengan kimono sang ibu, lalu berujar mantap, "Kaa-san, aku yakin bisa menjaga keduanya. Boleh Kaa-san berikan aku keduanya?"

Sang ibu terkikik. "Oke, yubikiri?"

Tawa si anak kecil berdendang jernih. "Yubikiri!"

.

.

.

"Geh! Oogushi-kun, sudah kubilang, kacang merah!"

Toshiro merotasi bola mata. "Aku beli, sayang, tapi tidak boleh dimakan sekaligus."

Gintoki menyengir hingga telinga. Ia bangkit dari kursi, lalu bergegas mendekati Toshiro yang masih menggenggam kantung belanjaan. Dengan cepat, ia menempelkan bibirnya pada bibir Toshiro. Si iris biru menahan tengkuk Gintoki, mengecupnya lagi kecil-kecil.

Ia cukup yakin Shinpachi dan Kagura telah kembali ke kediaman masing-masing.

Sekali, dua kali—hingga Gintoki entah bagaimana malu sendiri, sebab akumulasi ciuman mini ini tak pernah terjadi. Tentu saja di setiap cumbuan ada afeksi yang terasa, namun sesuatu yang lembut begini—biasanya bukan dirinya.

"Toshiro-kun … ?"

Toshiro mengindahkan panggilan Gintoki. Ia menaruh kantung belanjaan di atas tatami, lalu mendorong perlahan pundak si surai perak, menggiringnya mundur ke arah kamar bagai anjing gembala menyuruh kawanan domba untuk masuk ke dalam kandang.

Saat sudah di kamar, Toshiro menutup shoji. Gintoki melenguh tertahan tanpa sadar ketika Toshiro menekan pundaknya, secara implisit memerintahkannya untuk melabuhkan pantat di atas tatami—dan itu yang Gintoki lakukan.

Toshiro berlutut, lalu menangkup kedua wajah Gintoki, dan kembali melabuhkan kecup. Kali ini, lebih dalam—lebih menuntut. Lebih dirinya. Menggunakan lidah dan gigi untuk merasakan lelaki di bawahnya.

Gintoki mengaing tipis-tipis. Sial. Ia amat, sangat—mencintai lelaki ini.

Ah. Makan malam bisa menunggu, bukan?

.

Toshiro menyalakan geretan, membiarkan lidah api membakar linting yang telah terselip di antara bibirnya. Gintoki menengadahkan kepala dari permukaan bantal, lalu menyingkap selimut yang tadi diambil sembarang dan melangkah dari alas tidur yang berantakan.

Berikutnya, si iris darah mendekati Toshiro, lalu melingkarkan lengan pada pinggangnya, dan sandarkan kepala pada bahunya. Harum.

Yah, bukan harum parfum atau sekar sakura—lebih pada bau badan alami, keringat, dan rokok, tapi inilah yang ia sukai, jadi tak ada masalah.

"Oogushi-kun?"

"Hm-mnn?"

Toshiro sedikit mengangkat kepala, meniupkan asap, menjauhkan dari Gintoki.

"Putih-putih-mu rasa mayones—"

Toshiro memukul kepala itu dengan tenaga berlebih.

"Bisa, tidak, jangan gitu bercandanya!"

"LAH—aku tidak bercanda! Serius, itu kolestrol dan kasihan lidah Gin-san, jadi kurangi—"

"Bodo amat, dah!"

Gintoki tergelak. Tentu saja ia bergurau. Ia tahu Toshiro telah mengurangi kadar makan mayonesnya dan merokoknya.

Berikutnya, ia mengeratkan pelukan, menunggu beberapa saat dalam kesunyian sebelum bergumam, "Apa aku tidak usah datang saja, ya …."

Mendengar itu, sang mantan Wakil Komandan Iblis mendengus. Dasar—ternyata, memang masih kepikiran. Toshiro menekuk tangan kiri dan mengarahkannya pada belakang pundaknya, ia membiarkan jemarinya berada di antara helai perak, mengusap-usap gemas. "Kau kenapa, sih?" tanyanya. Meski kosakata yang dipilih terkesan kasar—namun intonasi itu mengandung perhatian; tidak ada yang lain.

"Yah, tak apa sih … cuman, mungkin memang akunya saja banyak pikiran." Gintoki mendusel dahinya pada bahu tegap Toshiro. "Entah kenapa, rasanya aneh. Aku senang Takasugi hidup kembali—tentu saja, kan? Tapi, melihatnya sosok remaja, lalu Zura mendadak reuni … rasanya resah. Rasanya seperti kami meninggalkan Takasugi dan waktu berlari terlalu cepat."

Ah.

Toshiro mengerti.

"Dan … di saat yang sama, rasanya menyenangkan. Saking senangnya—aku menjadi takut."

…. Ah.

Toshiro mengulas senyum tipis. Betul-betul, ya—seorang Sakata Gintoki itu.

Namun, wajar saja kan, bila ngeri terhadap kebahagiaan yang berlimpah macam ini? Mengingat masa lalu yang tak sepenuhnya serupa indahnya pelangi. Masa muda yang malah menyiksa batin, menggerus hati, membikin jiwa rengsa.

Toshiro juga—sama, kan?

Ya. Lelaki itu tersadar akan sesuatu. Alasan segala risau di hati, serta gundah yang menjadi kungkung pada sanubari. Alasan mengapa ia jadi melankolis, plin-plan, dan tak tahu harus memutuskan apa.

Begitu, ya?

"Apa kau ragu?" tanya Toshiro.

Gintoki mengangkat kepala. Melihat iris biru yang memantulkan refleksinya sendiri. "Hmn?"

"Bersamaku—menjadi keluarga—untuk segala obrolan tentang bahagia bersama, apa kau, ragu?"

Sontak—Gintoki menggeleng sekeras yang ia bisa. Matanya bersungguh-sungguh, serius, berharap rasa yang membuncah di dada tersampaikan, dan ia berujar tegas, "Tidak! Aku ragu mendapat kebahagiaan. Tapi, bersamamu, memilihmu—tak pernah kuragukan."

Toshiro menyengir. "Kalau begitu, reuni ini pun tak usah membuatmu khawatir, kan, bodoh?"

Perlahan, Gintoki mengangguk. Ia kembali meremat Toshiro.

"Oogushi-kun~"

"Apa lagi, bulu domba?"

"Satu kali lagi?"

Toshiro mendengkus.

"Katanya, tadi, rasa mayones."

.

.

.

"Makanya, kaupikir aku anjingmu, hah? Sialan," maki Toshiro. Meski begitu, ia cukup sadar diri untuk menyampah hanya melalui bisikan.

Sougo merotasi bola mata. Ia menyuruh Toshiro diam melalui gesturnya, lalu membuang ibu jari ke arah seorang lelaki bersurai hitam cepak yang kini tengah memaku langkah di depan gudang kosong tak berpenghuni.

"Shirada Ryoha. Sesuai terkaan kita, dia tidak bekerja sendiri. Tidak ada ronin yang cukup telaten untuk mencungkil organ manusia seperti itu dan menggantinya dengan manisan—terlebih, posisinya presisi."

Toshiro mengangguk. Kini, sepenuhnya melupakan fakta bahwa sebelumnya ia tengah berjalan di tengah kota Edo lalu Sougo menarik paksa kerahnya begitu saja untuk menemaninya membuntuti sang kriminal maniak.

"Ya," balas Toshiro. Menyetujui. "Kalau kesimpulanmu sudah seperti itu, berarti … pertanyaannya, bagaimana dia melakukannya, kan? Pilihannya antara dia mantan tenaga kesehatan atau forensik yang mengetahui seluk-beluk tubuh manusia, atau dia bekerja sama dengan mereka."

Kali ini, Sougo menendang sudut-sudut bibir. Bola mata merah menyala benderang dipernis oleh lampu jalan. Itu membuat Toshiro tak tahan untuk juga bubuhkan seringai.

Sudah lama sekali ia tak melihat ekspresi Sougo yang begini—begitu serupa binatang buas yang hendak mencabik mangsa dalam gelapnya malam.

"Dan kalau dia bekerja sama dengan orang seperti itu—untuk apa, kan?"

"Pasar gelap," balas Toshiro cepat. "Pembunuhan berantai itu hanya pengalihan—modus operandi mereka, untuk menjual organ secara ilegal."

"Ping-pong. Kalau begitu, Hijikata-san, sekarang pergi ke sana dan umpankan dirimu."

"Kau tahi!"

"Aku Sougo."

"Kenapa tidak kau saja yang ke sana dan—"

BANG!

TING—G—G

Sougo segera memutar tubuh ketika suara tembakan merasuk kasar pada gendang telinganya. Ia belum yakin apa yang ditembus peluru, namun denting jatuhnya logam membuatnya yakin bahwa peluru itu telah melobangi sesuatu.

Lelaki bersurai cokelat kusam bersiap untuk mencabut katana dari sarungnya yang bertengger manis di pinggang kiri, sebelum moncong pistol terasa dingin menyentuh dahi Sougo. Sang kapten dari regu pertama Shinsengumi membeku.

"Ryoha, ada tikus, nih!" lelaki yang menggenggam senjata api berseru. "Payah sekali sampai diikuti oleh polisi begini."

Sougo mengeraskan rahang. Ia bisa melakukan ini. Ia bisa menarik pedang jauh lebih cepat daripada pelatuk itu ditekan dan logam menembus otaknya, menjadikannya tercerai-berai.

Namun, seolah membaca pikirannya, sang lelaki di hadapan menantang balik, "Coba saja. Kau menurut atau tidak, temanmu akan mati perlahan. Jadi, bagaimana kau ingin mengatasi ini?"

Sougo melemparkan bola mata ke samping, menyadari Toshiro yang meremas sisi kanan perutnya. Darah tampak merembes dari balik fabrik kimono biru tua—menjadikan area itu tampak jauh lebih gelap. Bulir keringat bulat dan besar menggantung pada dahi dan sama sepertinya—lelaki itu juga menggertak gigi; hanya saja, untuk menahan sakit.

Sougo memamerkan senyumnya yang paling manis.

"Ahh—kamu pikir aku peduli kalau dia mati?"

.

Sepatu boots melinjak pualam pada lantai rumah sakit dengan terburu. Pantulan suaranya mengisi seluruh lorong rumah sakit. Saat sampai di sebuah kamar—Gintoki bahkan tak sadar gelak tawa dan argument tak berguna mengudara tanpa tahu diri.

Gintoki masih berusaha mengatur napasnya, detak jantung yang memompa keterlaluan cepat, dan mengindahkan keringat yang mambasahi dahi hingga punggungnya.

Toshiro menoleh, mendapati sang surai perak dengan alit bertaut dan rahang menganga—menuntut eksplanasi.

"Oh—hai. Aku tidak apa-apa; hanya tergores."

Hai?

"Aku, sih, lebih suka lagi kalau kamu mati, Hijikata-san."

"Sadis, jangan jahat, aru! Kau tidak lihat Gin-chan tampangnya seperti ingin mati begitu?"

Gintoki melemaskan pundak. Ia berjalan ke arah Toshiro. Dengan cepat, sentilan dihadiahkan pada kening si iris biru tua. Toshiro mengaduh, protes keras, "Untuk apa barusan, sialan?"

Kali ini, Sougo adalah seseorang yang bertindak dewasa. Ia meraih pergelangan tangan istrinya, lalu undur diri, "Sudah, kami permisi dulu. Hijikata-san, cepatlah mati."

"Itu bukan kata-kata yang kauucapkan pada orang sakit!"

Sougo hanya tersenyum. Kagura melambaikan tangan, lalu menepuk lembut pundak Gintoki sebelum langkahnya mengikuti Sougo dan mereka keluar dari kamar kecil dengan aroma antiseptik.

Nah—pada akhirnya, Toshiro melihat Gintoki yang masih merunduk. Ia mengangkat tangan kanan, menggunakan bagian samping dari jari telunjuknya untuk mengangkat dagu sang surai perak. Toshiro membubuhkan senyum tipis.

"Segitu khawatirnya?"

"Oogushi-kun—kulempar kau ke lautan."

Toshiro terkekeh. Satu titik pada perutnya berdenyut—begitu nyeri. Namun, meski begitu, ia tetap—menyengir tolol. Ia menarik pelan lengan sang Shiroyasha, memintanya untuk duduk pada tepi kasur. Gintoki menuruti.

Bola mata sewarna darah bertemu dengan luasnya samudra. Wajah Toshiro tampak lelah, tarikan garis tanda dari segala sejarah yang telah terjadi semasa hidup ada di sisi-sisi matanya. Namun, senyum dan tatapan tegas yang selalu tegak lurus, telak tabrak dengan begitu jujur terhadap hal di sekelilingnya—itu tak pernah berubah, sejak pertama kali mereka berjumpa dan saling menebas.

Koreksi; Toshiro yang berusaha menebas Gintoki, hari itu.

Namun, di sinilah mereka. Merasakan perasaan yang sebelumnya tak terpikirkan akan merengkuh mereka sebegitu kuat. Malah, kini terikat suatu hal bernama selamanya dan berniat dilasanakan selama itu pula.

"Apa pembunuh itu tertangkap?" Gintoki bertanya. Ia mengusap sisi wajah Toshiro. Ada luka baret kecil pula di sana—sepertinya Toshiro menolak untuk diperban karena tidak signifikan.

Toshiro mengangguk, puas. Senyumnya serupa anak kecil di hadapan toko mainan—menurut Gintoki. "Kuakui, Sougo semakin pintar. Aku tidak sadar dia telah memanggil bala bantuan, bahkan mengulur waktu untuk mendapatkan bukti rekaman verbal dari kedua pelaku."

Alis Gintoki terangkat sebelah. "Kedua? Tunggu—aku akan bertanya nanti. Sebelum itu …," ucapannya terputus. Ia mendekatkan diri, lalu menaruh dahinya pada perpotongan tengkuk Toshiro. "Okaeri, bodoh."

Toshiro menutup pelupuk, merilekskan tubuh dan juga menyandarkan kepala pada Gintoki.

"Tadaima."

.

.

.

.

.

"Ah, selamat datang, Kintoki, omawari-san!"

Gintoki memutar mata. Dengan segera ia duduk di atas tatami dan Toshiro menemani di sebelah. "Sudah kukatakan, namaku bukan Kintoki!"

"Namaku juga bukan Zura, tapi Katsura!"

"Mending kamu diam, Zura," Shinsuke membalas. Dasar—sudah pada kepala tiga, tapi masihlah serupa anak bocah.

Lalu, Toshiro menyadari bahwa Mutsu dan Nishiki Ikumatsu juga datang. Ia memberi salam dengan anggukan kepala singkat, yang dibalas serupa.

Maka, malam itu berjalan. Obrolan menyenangkan, serta tukaran makian—hanya seperti biasa, tercipta. Hidangan berdatangan dan Toshiro tak lupa untuk mewanti Gintoki agar tak terlalu banyak mengonsumsi masakan laut—ia tak ingin Gintoki darah tinggi. Manisan sudah cukup menjadi racun sehari-harinya.

Nihonshu juga disajikan. Karena ini adalah sesuatu yang langka, serta jarang terjadi—mereka memutuskan untuk minum sesuka hati. Saat malam semakin larut, serta pertukaran kata makin terasa konyol—Toshiro hanya mendengus pendek.

"Tuh!" Katsura Kotaro menuding Gintoki dengan rasa kemenangan. "Sudah kubilang, waktu itu, Gintoki yang salah. Jelas-jelas aku menjelaskan strategi kita adalah menelusup melalui belakang barak amanto, dia malah dari pintu samping!"

Gintoki mengelak dan memprotes. Ia berbicara soal ia begitu yakin bahwa briefing Kotaro menyuruhnya menghabisi lawan dari samping. Tatsuma dan Shinsuke berusaha mengingat-ingat itu perang di waktu yang mana, lalu barulah Shinsuke mengatakan bahwa baik Kotaro dan Gintoki sama-sama tolol—mereka berdua membicarakan dua penyergapan yang berbeda.

Toshiro mendengkus tipis. Kepalanya serasa sedikit melayang—ia memanglah bukan tipe manusia yang tahan oleh alkohol. Ia yakin bahwa gurat merah telah menghiasi wajah hingga telinga—namun, oh. Ya sudahlah.

Mutsu melihat Toshiro, lalu membuat konversasi sederhana, "Bodoh, ya, mereka."

Toshiro mendongak. Ah. Wanita Yato itu masih saja berwajah datar—bahkan meski ia yakin bahwa Mutsu telah menegak nihonshu dalam jumlah yang tak sedikit. Ras Yato memang luar biasa.

Menanggapi ucapan Mutsu, Ikumatsu pun terkikik kecil. "Siapa sangka, mereka adalah Empat Raja Langit?"

"Mereka hanya bocah yang berlagak preman waktu itu," respon Toshiro. "Itu saja."

Mutsu mengedikkan bahu—setuju dengan caranya sendiri. Lalu, ia kembali membuka suara, "Tetap saja. Ini perpaduan yang aneh, ya? Melihat mereka berempat terasa alamiah, tapi kita berkumpul di sini—cukup janggal."

Wanita pemilik surai sewarna sang surya, melihat ke arah Kotaro, lalu membalas lembut, "Mungkin karena masing-masing dari kita tak pernah sangka bisa menjalani ini. Kamu tahu—sesuatu yang disebut bersama-sehidup-dan-semati. Lalu ada reuni dengan kawan lama sambil membawa pasangan malah."

Toshiro terdiam. Bola mata biru samudra dalam merekam sosok Gintoki dalam visualnya. Benar. Lima tahun lalu, ini akan menjadi hal yang tak terpikirkan sejagat raya. Hal yang mustahil, hal yang tak mungkin.

"Apalagi kamu, kan, Fukucho?"

Toshiro tersenyum timpang mendengar panggilan yang diarahkan pada dirinya. "Hm-mn, mungkin memang sedikit janggal."

"Apanya janggal?" Tatsuma mendadak bertanya. Tanpa sadar, keempat orang yang tadi heboh di dalam buana mereka sendiri kini masuk ke dalam konversasi.

"Ah, tidak," Ikumatsu yang menjawab. "Kami hanya berpikir soal aneh juga kalau kita sekarang memiliki pasangan masing-masing."

Kotaro tersenyum—begitu manis. Sesuatu yang barangkali tak pernah ditunjukkannya pada kawan-kawan lamanya, sesuatu yang familiar tapi teruntuk Ikumatsu sedikit lebih spesial. "Masa? Aku sayang Ikumatsu-dono sedari dulu, kok."

"Aku juga sangaaat sayang pada Mutsu!"

"Diamlah, pemabuk."

"Ehh? Kok, gitu!"

Gintoki terkekeh. Ia melempar pandang pada Toshiro. Si mantan polisi memukul pelan bahu Gintoki. "Ya, ya—aku juga sayang padamu."

"Omong-omong," Tatsuma teringat sesuatu. Nadanya yang serius membuat seluruh atensi insan di ruangan itu terfokus padanya. "Sebetulnya dulu aku mengira yang akan menikah itu Takasugi dan Gintoki, loh!"

Shinsuke tersedak alkohol.

Gintoki menjatuhkan rahang. Gelagapan mendadak. Toshiro mengerjap, memerhatikan si surai perak.

"Apa yang kaubicarakan, keriting!"

"Eh?! Kamu, kan, juga keriting!"

"Oh, benar," Kotaro malah tuang minyak di atas api yang membara. Kemampuan manipulasi serta adu dombanya betul-betul natural, tapi tak berguna di saat begini. Meski begitu, di balik ucapannya—tak ada maksud jahat sama sekali. Hanya sekadar jahil, serta untuk menarik reaksi dari semua orang—tentu saja, kan? "Dulu, Gintoki kepincut sekali dengan Takasugi, sampai-sampai rajin membelikan tembakau untuk mengisi kiseru-nya."

"Jangan konyol," Shinsuke menyahut rendah, intonasi yang jelas untuk membunuh topik pembicaraan. "Itu sudah lama dan tak berguna dibicarakan sekarang."

"Iya, iya!" Tatsuma tertawa dari pangkal paru-paru. "Selera Kintoki selalu sama hingga sekarang!"

Toshiro tersenyum tipis. Ia memiringkan kepala, membiarkan Gintoki melihat wajahnya. "Oh, begitu?" sahutnya, santai.

Uh-oh.

Baik Mutsu dan Ikumatsu—keduanya merapatkan bibir. Tak tahu apa yang harus dikatakan. Mereka bahkan tak yakin bila Toshiro sedang buruk hati atau sekadar menggoda usil.

"Tidak!" Gintoki menyergah. "Aku tidak memilihmu karena itu, kok!"

Toshiro mengangkat sebelah alis. "Hm-mnn, gitu? Benar juga, baik aku dan Takasugi—kami sama-sama perokok dan pemimpin organisasi tertentu."

"Ih—kau gila, ya?" Gintoki mendadak berdiri dari tempatnya. Ia meremat telapak tangannya sendiri, erat. "Aku sayang padamu, karena itu kamu! Apa urusannya bila dulu aku suka si cebol itu?! Aku sekarang maunya hanya sama kamu! Dan akan kusampaikan itu padamu berkali-kali!"

Lalu—hening merajai ruangan tersebut. Gintoki masih tidak sadar hingga logikanya mengambil alih; sisa-sisa kewarasan yang tidak dilumpuhkan oleh alkohol, lalu wajahnya semakin terebus hingga ubun-ubun. Toshiro mendengus tawa.

Ia juga bangkit dari duduknya, lalu mengacak rambut Gintoki. "Baiklah, kami pulang dulu, ya. Sepertinya si bodoh ini sudah terlalu mabuk."

Shinsuke mengembuskan asap dari moncong kiseru. "Ya, sana—bawa lah pulang."

Dan akan kusampaikan itu padamu berkali-kali … kah? Shinsuke terkekeh tipis. Mungkin aku juga harus melakukan itu.

Gintoki ingin menenggelamkan kepala di tanah meski pantatnya masih tampak seperti burung unta—ia tak peduli.

.

"Jahat," Gintoki menggerutu. Ia menendang kerikil yang ditemui oleh ujung sepatu boots-nya. Meski berkata begitu, genggaman pada jemari Toshiro tidak terlepas. "Jangan iseng gitu, ah. Bikin lelah hati, tahu."

"Maaf," Toshiro menjawab ringan. Serupa hatinya yang kini begitu melambung seolah tengah mengarungi angkasa, ia merasa senang. Pengaruh nihonshu yang ditegaknya juga—pasti. "Aku tahu kamu juga diam-diam membelikanku rokok, kok."

Itu memang bahasa kasihmu.

Langkah mereka menyusuri kota malam Edo dengan tenang. Lampu-lampu rumah yang remang dan hangat menerangi jalan. Suasana telah sepi; sebagian besar manusia telah terlelap di balik selimut masing-masing.

Damai.

Kemudian, Toshiro menarik napas, dan menghelanya panjang. Ia harus membicarakan ini—dan ia rasa, ini adalah waktu yang tepat.

"Gintoki."

"Hm-mnn … ?"

"Menurutmu—apa pendapatmu kalau aku … kembali ke Shinsengumi?"

Gintoki menenggokkan kepala. Senyumnya berkembang cerah. Cengiran bodoh yang entah bagaimana tak akan bosan dilihat seberapa kali pun.

Ah. Toshiro mengerjap. Ia tahu. Ia tahu kalau suatu hari, pada suatu titik di antara kehidupan mereka berdua—

aku akan bertanya begini.

"Seperti yang sudah kukatakan," Gintoki berujar. Raungan jangkrik menghiasi malam, bulan purnama menggantung indah pada langit. "Aku sayang padamu—karena itu kamu. Tak peduli bagaimana atau apa yang kaupilih."

Toshiro tahu itu. Gintoki petah lidah dan selalu mampu berbicara apa yang ia mau. Meski begitu, di setiap kata-katanya, terkandung ketulusan yang benar adanya. Tak pernah membual; selalu menjunjung jiwa peraknya yang ingin melindungi, yang hidup berdasarkan aturannya sendiri.

"Tapi, sosokmu yang berjuang terbaik bersama Shinsengumi, yang melindungi mereka—menurutku, itu saat jiwamu bersinar paling terang. Jadi, mengapa tidak? Kau tidak harus memilih—Toshiro-kun."

Hijikata Toshiro adalah anak haram dari klan Hijikata. Ia tak pernah diterima oleh siapa pun, kecuali kakak tiri-nya yang baik hati serta berjiwa kokoh. Kakaknya yang membuatnya ingin terus menapaki hidup, hari esok—meski berat rasanya.

Hijikata Toshiro menemukan keluarga kedua, kenyamanan di dalam naungan Shinsengumi. Kondo Isao yang membimbingnya, Okita Sougo yang selalu menantangnya setiap waktu. Pergi ke Edo, menjalani hari, mengubah kota menjadi lebih baik.

Dan barulah semuanya terasa lengkap kala Yorozuya di sana. Bersama menyelamatkan bumi, dilihat sebagai pahlawan adalah bonus.

Hidupnya, apa pun yang ia pilih—selalu terasa tepat. Seperti bagaimana tahu-tahu saja dia sudah menaruh hati pada lelaki di hadapannya. Tahu-tahu saja, ia bersedia melakukan segala hal untuk menyelamatkan dan membiarkan lelaki bersurai perak itu ada di sisinya.

Tahu-tahu saja—tak pernah berharap lebih adalah ungkapan yang membahagiakan. Masa depan yang tak pernah ia sangka akan ia dapatkan. Masa depan yang akan ia jalani, yang tidak tahu akan bergulir ke arah mana—tapi tak masalah, selama ia bisa berada di antara keluarga-keluarganya.

"Aku sayang padamu."

Gintoki tergelak.

Ia tahu.

END


A/N: Halo guys! Oke jadi gini. Cerita Home, Ohana, dan Future anggaplah satu universe. Sebetulnya tidak perlu membaca ketiganya untuk tahu alur cerita di masing-masing fanfiksi, tapi memang lebih jelas kalau membaca.

Jadi, saya selalu menganggap Forever Yorozuya itu terjadi. Memang itu di timeline berbeda, tapi mereka tetap mengingat momen itu. Masuk akal, kan? Jadi kalau bisa disimpulkan, mungkin kronologinya begini:

Gintama (awal).

Gintama (semi final, The Very Final).

Forever Yorozuya (setelah Gintoki sembuh dari kutukan, berarti dari lima tahun ini mereka mundur lagi, betul?)

Home (mengambil setting waktu tepat setelah Forever Yorozuya. Sudah mundur ke lima tahun lalu; setelah perang dengan Utsuro yang terakhir/Gintama the Very Final. Penjelasan ini tidak ada di fanfiksi Home.)

Ohana (3 tahun setelah Gintama the Very Final)

Future (2 tahun setelah Ohana)

Nah, meski membingungkan … semoga tidak (LOL). Akhir kata, terima kasih telah membaca. Saya akan selalu mencintai Gintama dan akan selalu kembali ke sini, jadi jangan ragu untuk menyapa. Thank you all, sampai ketemu di fanfiksi berikutnya, cheers!

Oh ya, ada dua epilog, jangan lewatkan, ya!


Epilog 1

Toshiro menaruh gelas berisi teh hijau hangat di hadapan Shinsuke. Betul-betul—meski yang di hadapannya ini ialah seolah pemuda berumur empat belas; ketenangan dan wibawa yang dimilikinya tak salah lagi milik seorang veteran perang Takasugi Shinsuke.

Toshiro menggaruk kaku sisi wajah—tak paham harus berkata apa untuk hapuskan kecanggungan. Terlebih, dua tahun lalu, ia mengurus sosok Shinsuke yang masih kecil. Ini terasa aneh.

"Akan kubangunkan Gintoki," ujar Toshiro, pada akhirnya.

"Sebentar, aku ingin bicara denganmu, Hijikata Toshiro."

Toshiro menatap bola mata gulma. Berikutnya, ia mengangguk, lalu duduk di hadapan Shinsuke. Menatap serius dengan menyatukan jemarinya sendiri, menumpu kedua siku tangan pada pahanya.

Shinsuke tersenyum tipis. "Apa kau tahu, aku dan Gintoki pernah bersama. Dulu sekali."

Dari semua hal yang ada di dunia—ini pembukaan pembicaraan macam apa?

Toshiro berdeham. "Apa kau … pamer, atau sesuatu semacam itu?"

Atau ini adalah deklarasi permusuhan?

Gelengan diberikan. "Tidak sama sekali. Kurasa aku hanya ingin menyampaikan … kuserahkan orang bodoh itu padamu."

Toshiro tafakur. Ia menjilat bibir yang kering. Ragu ingin bertanya sesuatu. Namun, mumpung mereka tengah berada di dalam pembicaraan ini, maka Toshiro pun sodorkan pertanyaan yang telah bercokol di dadanya, "Apa kau mempunyai seseorang, sekarang—? Atau, apa yang akan kau lakukan?"

Shinsuke mengetuk-ngetuk gelasnya. Ketika wajah Kijima Matako terlintas dalam kepala, ia tersenyum. "Tidak. Kalau aku ternyata abadi, kasihan mereka mati duluan, kan?"

Oh. Masuk akal. Di balik ungkapan yang terasa kasar itu, entah bagaimana—Toshiro menangkap sedikit kesepian. Apa sampai sekarang, Shinsuke masih merasa begitu?

"Kalau soal apa yang kulakukan, hm-mnn. Bersama anggota Kihetai yang kupercaya, aku dan Tatsuma menjalin kerjasama untuk perdagangan luar angkasa. Kurasa mulai dari sana."

Toshiro mengangguk paham.

Kurasa, kau harus menyampaikan apa yang ingin kausampaikan—pada orang yang kausayang.

Ia ingin berkata begitu. Tapi, ia tahu itu bukan bagiannya. Dan ia tahu Shinsuke sebetulnya sadar—mungkin, Shinsuke pun hingga sekarang menunggu waktu yang tepat, atau tetap terjebak dengan kekeraskepalaannya sendiri. Toshiro tidak yakin yang mana, tapi, ia lebih dari tahu ia bukan orang yang tepat untuk menyampaikan itu.

Maka, Toshiro hanya bertanya, "Kalau begitu, untuk apa kau ke sini?"

Shinsuke tersenyum. "Sekarang, kau boleh membangunkan keriting itu."


Epilog 2

"Hm-mnn, cocok, ya." Gintoki mengunyah bulatan dango yang terakhir, merasakan manis di lidah.

Isao tersenyum, lalu menegak teh hangat yang ia pesan kepada sang pemilik kedai tadi. "Yah, ini memang rumah Toshi. Ia langsung kembali terbiasa menjadi fukucho."

Gintoki mengangguk-angguk paham. "Terima kasih, ya, Gorila."

"Aku tidak sangka, loh," ujar Isao. "Bagaimana kau yakin waktu itu bahwa Toshiro pasti mau kembali suatu hari nanti? Sampai menundukkan kepala untuk memohon mengosongkan posisi wakil komandan."

Gintoki mendengus. Rasa-rasanya itu jelas, deh. Meski begitu, ia tetap memberikan penjelasan, "Yah, kau tahu sendiri. Dia kan begitu. Terlalu kaku dan bersungguh-sungguh. Ia pernah meninggalkan Mitsuba karena yakin tidak bisa membahagiakannya. Dia yang dengan mantap memilih meninggalkan Shinsengumi untuk bersamaku—itu karena dia merasa tidak pantas memiliki keduanya. Bodoh, ya?"

"Memang," Isao merespon santai. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet untuk membayar makanan yang mereka pesan. "Tapi, kita semua bodoh kalau menyangkut orang yang kita pedulikan. Bahkan Sougo sekali pun—yang bersikukuh untuk melibatkan Toshiro dalam kasus Pembunuhan Manisan."

Gintoki tergelak.

Hari-hari damai seperti biasanya.