Chanyeol X Baekhyun
BoysLove!AU
.
.
Recommended playlist:
EXO – Walk on Memories
EXO – Forever
.
.
oOo
.
"Hotteok?" tawar Chanyeol, ketika mereka mampir ke festival jajanan tradisional skala kecil yang diselenggarakan di dekat pasar. Terima kasih pada semua kebetulan yang mengizinkan mereka menemukan festival ini di waktu yang tepat. Meski sudah berporsi-porsi makanan mereka nikmati dan perut terasa bisa meledak kapan saja, ketika tenda hotteok tertangkap mata, Chanyeol kembali tergoda.
"Pilihan bagus. Tapi kali ini giliranku." Baekhyun tampak sangat menyukai ide itu, dan langsung mendahului Chanyeol ke tenda yang dimaksud. Ia yang akan membayar yang satu ini karena untuk odeng yang tadi, Chanyeol sudah mentraktirnya (sejak kapan hari ini berubah menjadi acara saling traktir, tidak ada yang tahu). Agenda brunch berubah menjadi tur tak berkesudahan seolah-olah mereka adalah pendatang di kota tempat mereka tinggal ini. Makan, mengunjungi taman kota, mampir ke kedai kaki lima menghabiskan beberapa tusuk odeng, berputar-putar mengelilingi kota tanpa juntrungan.
Sebagai dua orang dewasa, melakukan semua itu bagai membawa kembali diri ke masa remaja.
Satu buah hotteok tergenggam masing-masing satu di tangan Baekhyun maupun Chanyeol. Seraya menyusuri jalan tempat Chanyeol memarkir skuternya, jajanan itu segigit demi segigit dinikmati pemiliknya.
Kekehan Chanyeol di tengah kegiatan mereka menikmati makanan masing-masing membuat Baekhyun menoleh. Mulutnya masih sibuk mengunyah.
"Adha apha?"
Kekehan berubah jadi tawa kecil. Chanyeol mengusap hidung, dan berusaha menghentikan tawa gemasnya agar bisa menjawab.
"Kau terlihat lucu dengan suara kecapan itu," katanya geli.
Mengerjap, Baekhyun segera ingat kebiasaannya yang satu ini sering kali mengundang perhatian siapapun yang sedang bersama.
Refleks Baekhyun menghentikan kunyahannya, kemudian melanjutkan tanpa suara kecap—ia berusaha.
"Oh, sudahlah."
Chanyeol lagi-lagi tertawa ketika Baekhyun mengakhiri usahanya itu. Pastilah sulit mengendalikan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun hidup.
Dengan sedikit rasa malu menyeruak, Baekhyun menoleh pada pria tinggi di sampingnya. Syukurlah hanya tawa jenaka yang ia lihat alih-alih ejekan atau apapun. Setidaknya Chanyeol tidak akan illfeel padanya.
Sinar matahari cukup terik menyorot. Tingginya tubuh Chanyeol hingga membuat Baekhyun harus mendongak menyempurnakan silau yang dirasa mata. Namun, sinar kuning keemasan itu menerpa dengan cara yang menakjubkan ke wajah Chanyeol.
Baekhyun tak yakin dengan apa yang dilihatnya namun, sekilas rambut hitam Chanyeol tampak seperti warna gulali. Seperti selama sepersekian detik, ada bayangan sosok lain yang ia lihat pada pria itu.
"Baekhyun?"
Yang dipanggil tersentak kecil, tersadar pikirannya baru saja melantur di siang bolong. "Ya?"
Chanyeol ragu sejenak. Sekilas ia jatuhkan pandang ke jalanan yang sedang mereka lalui.
Ada berjam-jam dalam sehari dan entah sudah berapa di antaranya yang ia habiskan bersama pria di sampingnya ini. Namun, ia meniatkan lebih lagi. Lebih banyak lagi waktu yang dihabiskan bersama. Dan ia ragu menyampaikan itu. Pikirnya, Baekhyun bisa saja menganggapnya telah melewati batas.
Namun Chanyeol juga kebingungan. Pada perasaan yang sama sekali tak menginginkan perpisahan dengan Baekhyun, pada naluri yang entah dari mana asalnya yang menuntutnya meminta Baekhyun tinggal di sisinya lebih lama lagi, meski ini bukan seperti mereka akan benar-benar berpisah. Kapanpun mereka punya waktu, sebatas bertemu tentu saja bisa dilakukan, kan? Chanyeol seharusnya tak perlu begitu naif untuk menuruti keinginan tak berdasarnya.
Hanya saja tanpa benar-benar sempurna Chanyeol membuat keputusan, keinginan itu menang. Terucap begitu saja dalam rupa kata-kata berbalut gugup.
"Bagaimana dengan beberapa jam lagi.. yeah, berkeliling? Sebelum kita pulang."
Baekhyun harus menggigit bagian dalam bibirnya sebelum kelepasan tersenyum lebar menyambut ide itu. Nyatanya waktu di hari ini telah banyak mereka lewati bersama, tapi tawaran barusan itu terdengar seperti ajakan kencan yang pertama kali kau terima seumur hidup. Mencetus antusias. Mendebarkan. Hiperbola sekali. Tapi—entah ini keberapa kalinya—Baekhyun merasa kembali menjadi seorang remaja kasmaran yang baru pertama kali jatuh cinta. Sejak mengenal Chanyeol, tak hentinya ia merasa seperti itu. Ada bagian dari dirinya yang mempertanyakan semua antusiasme dan debaran yang selalu muncul tertuju untuk pria itu. Sebagian kecil. Sisanya, adalah euforia tak tertolak yang membuatnya secara tak sadar terhanyut begitu saja pada apapun rasa yang muncul. Seperti itu telah melekat pada alam bawah sadarnya.
Maka Baekhyun mengangguk. Bibir terkulum menahan senyum. Sisa hari benar mereka habiskan bersama lagi, berputar-putar lagi, mengisi jam makan bersama-sama lagi, terus hingga hari berubah gelap.
Malam tiba pun lagi-lagi bukan kembali ke rumah masing-masing yang dilakukan. Melainkan membiarkan skuter lagi-lagi terparkir di salah satu lahan dan menyusuri pedestrian malam dengan berjalan kaki.
"Aku.. tidak tahu bagaimana mengatakannya," Baekhyun tiba-tiba kembali bersuara setelah cukup lama obrolan terhenti agar mereka dapat menikmati angin malam, "tapi.. terima kasih."
Chanyeol merunduk demi membalas tatapan Baekhyun. Langkah mereka masih berlanjut. Perlahan tak terburu.
Menyelami mata satu sama lain seperti ini, dengan pantulan lampu-lampu reklame dan pertokoan, cukup membuat keduanya diam-diam berdecak kagum dan memuji satu sama lain di dalam hati atas keindahan netra masing-masing.
Tatapan yang lebih tinggi meneduh. Ia mendapatkan kesenangan tak terkira mengetahui bahwa secara tak langsung, kehadirannya berguna bagi pria di sampingnya ini.
"Kapanpun," kata Chanyeol. Ya, kapanpun. Dalam kurun waktu tak seberapa sejak pertemuan pertama mereka, Chanyeol seolah bisa merasakan bahwa apapun itu, kapanpun itu, tidak ada yang pernah benar-benar jadi masalah selama Baekhyun yang memintanya.
Mereka melempar senyum sekali lagi, sebelum kembali sama-sama menatap ke depan, juga ke berbagai penjuru sembari menikmati malam.
Ting.
Baekhyun tanpa sadar melambatkan langkah. Kemudian berhenti. Tak kentara sampai Chanyeol tak menyadari ia berada beberapa langkah lebih jauh.
"Irasshaimase.."
Chanyeol turut menoleh. Ke arah yang sama dengan Baekhyun kepada sebuah tempat berdinding kaca dengan aksara Jepang berwarna neon di seberang sana.
Angin malam berkesiur pelan. Tidak sama sekali menarik perhatian orang lain.
Namun tak demikian dengan Chanyeol dan Baekhyun.
Ting.
Sekali lagi denting lonceng selamat datang dari tempat yang sama berbunyi. Meski, tak ada seorang pelanggan pun yang tampak datang.
Kehadiran wanita dengan apron hitam di seberang sana terasa ganjil.
Ganjilnya suasana dan waktu seolah memperlambat pergerakan sekitar dalam sekejap. Ramainya pedestrian Seoul teredam. Selain diri sendiri dan apa yang menjadi fokus mata, Chanyeol dan Baekhyun tak dapat benar-benar merasa memijaki dimensi yang sama lagi jika saja angin yang berembus tidak hadir. Itu menjadi satu-satunya yang tak berubah sejak gemerincing lonceng salon terdengar.
Wanita di balik pintu kaca berdiri tegap dalam bahasa tubuh profesionalnya, menghadap kepada mereka. Melempar senyum. Seakan saja, sedang menyapa.
Tapi lebih dari sekadar itu bagi Chanyeol dan juga Baekhyun.
Udara terasa kosong selama sesaat.
Kepungan naluri itu, jutaan rasa familiar itu, kini datang membanjir dalam rupa ingatan yang terputar kembali dalam kepala.
Tentang cinta tanpa restu. Tentang Osaka dan pelarian. Tentang akhir yang didoakan keduanya menjadi awal. Yang kini, tahunya benar terwujud.
Wanita yang masih melempar senyum tipis kepada mereka membungkuk. Lama. Begitu saja, lantas berbalik dan menyisakan ruang pelayanan salon tanpa kehadiran barang satu orang.
Menyisakan Chanyeol dan Baekhyun, yang menyadari bahwa semua rasa familiar itu beralasan.
Baekhyun merasakan napasnya sesak. Tangannya yang bebas seketika terangkat meremat kain kemejanya tepat di bagian dada. Semua ingatan itu kembali. Pun beserta rasa cinta, juga rasa sakitnya. Tanpa kecuali.
Satu, dua, isak tangis terlepas tak lagi tertahan. Baekhyun mengais udara untuk mengisi relung napas. Tubuhnya seperti lupa cara bernapas itu sendiri.
Chanyeol, di tempatnya, mengalami serangan secara lebih lambat. Namun seperti halnya Baekhyun, hal itu mencuri napasnya. Mencekat. Dan tanpa bisa ditahan pula meloloskan bening dari matanya. Pertanda sedih dan senang yang bercampur tanpa sekat takar berarti.
Semua ingatan itu, memang melebur bersama rasa bahagia dan sakit.
Chanyeol jadi yang pertama yang menoleh kepada sosok pria yang berdiri berjarak kurang dari empat meter darinya.
Baekhyun. Baekhyun. Batinnya terus merapal nama itu, bersama sergapan rasa rindu teramat sangat meski jelas-jelas telah banyak waktu yang mereka habiskan bersama di sini.
Seakan terhubung, Baekhyun menoleh. Wajahnya berderai. Ia bahkan masih tampak jelas menahan sakit di dadanya. Tetapi ia menyeret langkahnya segera. Menghampiri Chanyeol. Dua langkah, sebelum dikerahkannya seluruh tenaga dan kesadaran agar secepat mungkin mencapai pria itu. Menghambur ke dekapannya.
Chanyeol menerima dalam lembut pelukannya merangkum tubuh Baekhyun. Memejam. Merasakan betul kehadiran pria ini, di kala ingatan memutar kembali bagaimana mereka pernah saling kehilangan.
Temani aku untuk terus percaya kalau kita akan bertemu lagi.
Rupanya, alam selalu mendengar. Doa yang patut terkabul, yang direstui oleh-Nya, dicatat oleh langit. Dikabul dan berikan pada para penghaturnya pada waktu yang ditentukan.
Kita, akan bertemu lagi, bahkan setelah semuanya berakhir.
.
oOo
.
.
I'll mark this one as complete now. Hehe. Thank you very much for reading this one. Ini termasuk fict yang ppuaalingg berkesan buat saya sebagai yang nulis. Cinta banget deh sama lagu-lagu di album the war. Thanks for reading!
