Disclaimer : Saiyuki punya Kazuya Minekura


Malam semakin larut. Segala aktivitas di kuil telah terhenti takkala bulan mulai menghiasi langit yang gelap gulita. Para biksu telah kembali ke kamar masing-masing, beristirahat setelah seharian penuh mengurus kuil dan hal-hal lain yang berhubungan dengan keagamaan. Hanya dalam beberapa jam saja, aktivitas super sibuk di siang hari berubah menjadi sepi bak kuburan lama yang mencekam.

Hening. Tak ada suara kecuali serangga yang sesekali berderik berirama memecah kesunyian.

Genjo Sanzo — sang pemimpin kuil yang masih muda — masih menyibukkan dirinya dengan beberapa gulungan manuskrip yang bertumpuk di atas meja kerjanya, mempelajari kata demi kata yang tertulis di sana. Jubah putih yang biasa ia kenakan sebagai identitas biksu tingkat tinggi telah ia tanggalkan, tersimpan rapi dengan aman di dalam lemari pakaian beserta sutera warisan mendiang master nya. Terbalut dalam kimono tidur, kacamata di wajah dengan sebatang rokok terjepit erat di antara kedua bibirnya, ia tampak fokus bekerja.

Hingga sesuatu yang menyebalkan mengganggu aktivitasnya.

Pintu jendela yang tak terkunci terhempas ke dalam dengan suara dentuman yang keras. Angin tiba-tiba bertiup kencang, masuk ke dalam, menghamburkan sususan kertas dan dokumen penting dari atas meja kerjanya.

"Ch," si biksu berdecak kesal. Tidak hanya angin malam mengacak-acak seluruh isi kamarnya.

Tapi juga nyala dari ujung rokoknya.

Dan juga api lentera yang sejak tadi menerangi ruangannya, mengubah kamarnya menjadi gelap dan dingin.

Si biksu menekan ujung puntung rokoknya pada asbak. Melepas kacamata dengan ogah-ogahan, ia memutuskan untuk mengakhiri malam ini dengan tidur.

Belum sempat ia menutup jendela, ia mendengar suara — suara yang bahkan tak berbunyi namun mampu mencapai telinganya. Ia tahu suara itu, karena hanya ia seorang-lah yang mampu mengenalinya.

'Ada apa dengan kera itu,' omelnya dalam hati.

Setelah memastikan semua jendela terkunci rapat dan kertas manuskrip tersusun rapi kembali, si biksu segera membaringkan diri di atas kasur.

Namun suara dari Goku terus bermain di kepalanya.

'Ya ampun, diam lah!'

Ia menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan frustrasi, bahkan sampai menggunakan bantal menutupi kepalanya.

Ia lupa bahwa suara Goku yang tak bersuara bukan mencapai melalui telinga, namun pikirannya.

Akhirnya setelah beberapa menit, Sanzo tidak lagi mendengar suara itu. Mungkin Goku sudah tertidur atau bisa saja anak itu tadinya sedang bermimpi buruk.

'Akhirnya!'

Dengan perasaan lega, si biksu menghela nafas panjang. Dengan berhentinya suara itu, keadaan kembali sunyi dan mencekam.

Hingga sebuah suara lain — pikirannya sendiri — menyentaknya dari kesadaran.

'Bagaimana jika Goku dalam bahaya?'

'Bagaimana jika tadi Goku sedang membutuhkannya?'

'Bagaimana jika ...'

OH SHIT !

Dengan bergegas, si biksu segera meloncat dari kasurnya dan berjalan cepat menuju kamar Goku. Si kera itu mungkin anak yang menyebalkan, namun ia tetap lah tanggung jawabnya. Kuil ini masih masih terasa asing untuk Goku yang baru saja ia bawa lima hari yang lalu. Meninggalkan Goku berarti meninggalkan tanggung jawabnya dan itu hal yang tidak diajarkan oleh Koumyu Sanzo padanya.

Perasaan khawatir menghantuinya takkala ia melewati koridor panjang yang akan membawanya ke kamar Goku. Sepi sekali. Dan perasaan itu menjadi buruk ketika suara Goku kembali terdengar. Dan semakin jelas.

Suara penuh ketakutan.

Sanzo segera membanting pintu kamar Goku terbuka, berseru, "Goku!"

Seisi kamar itu amat sangat gelap. Dan dingin, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Pintu jendela yang ditiup angin bergerak-gerak dengan malas dari engselnya, menimbulkan suara decitan yang berisik. Jendela yang terbuka itu mempersilahkan cahaya bulan purnama masuk, membuat Sanzo dapat melihat keadaan kamar dalam keremangan. Matanya segera tertuju ke arah satu-satunya kasur yang ada di kamar itu.

Kasur itu kosong.

Sanzo merasakan seakan-akan jantungnya merosot sampai ke kaki nya. Kemana anak itu? Mungkin kah diculik?

"S-sanzo?"

Kali ini suara itu merupakan suara asli — suara yang berbunyi, bukan yang berasal dari pikiran.

Seakan ada kekuatan magnet, kedua mata Sanzo segera tertuju pada sudut kamar. Di sana, ia melihat segumpal selimut dengan sosok tubuh kecil yang bergetar ketakutan di dalamnya.

"Ch, dasar merepotkan!" Lagi, Sanzo tak dapat menyembunyikan rasa sebalnya. "Apa yang kau lakukan di sana. Bukan kah seharusnya kau —"

*Hiks ...*

Gerutuan Sanzo terhenti. Segala omelan yang ada di kepala nya mendadak lenyap, hilang tanpa bekas takkala isakan kecil tertangkap indera pendengarannya.

"Oi, Goku?" Kau baik-baik saja?

*Hiks ... hiks ...*

"Kau ini kenapa?" Katakan apa yang terjadi?

Pertanyaannya hanya direspon dengan suara dengusan. Goku sama sekali tak menjawabnya. Dan itu membuatnya bertambah kesal.

"Ch," si biksu menyandarkan punggungnya pada tembok terdekat sambil melipat kedua tangan di dada. "Aku sudah membuang-buang waktu tidur berhargaku dengan datang ke sini. Kukira terjadi sesuatu yang berbahaya padamu. Apa kau ketakutan karena kamar yang gelap —"

Dengan ngeri, tiba-tiba Sanzo menyadari sesuatu.

— dan dingin tanpa seorang pun bersamamu." Kalimat yang ini meluncur begitu saja dari benak nya.

Bukan kah keadaan itu tak jau berbeda dengan keadaan Goku selama terkurung di gunung? Mungkinkah keadaan ini membuat Goku kembali trauma dengan pengurungannya selama 500 tahun?

Sanzo merasa dirinya sangat jahat. Bagaimana bisa ia tidak memikirkan perasaan Goku sama sekali yang sedang ketakutan? Bagaimana mungkin tadi ia sempat mengabaikan suara Goku yang memanggilnya? Bagaimana mungkin ia sempat tidak peduli pada Goku.

Perasaan bersalah dilumuri oleh perasaan lain yang asing baginya — perasaan yang membawa kedua kakinya mendekati Goku dan menyingkapkan selimut yang menutupi seluruh badan anak itu.

"Goku, dengar aku —"

Saat itulah Sanzo dapat melihat keadaan anak asuhnya dengan jelas. Seperti yang ia duga, wajahnya tampak pucat ketakutan. Kedua mata besar emas nya yang indah masih berurai air mata. Bahunya bergetar, entah karena suhu udara yang terlalu menantang atau karena hal lain.

"... takut," bisik Goku hampir tak terdengar. "Aku takut ... Sanzo."

Sanzo tak perlu bertanya apa yang Goku takut kan. "Aku ada di sini." Dasar bodoh, kau bisa saja datang ke kamar ku kalau kau sedang ketakutan!

"Aku ... aku tadinya ingin pergi ke kamar mu tapi ... tapi aku khawatir akan mengganggu istirahatmu karena kau sudah seharian bekerja. Jadi aku ... aku hanya memanggilmu. Kau ... kau tidak datang. Kukira ... kukira kau sudah tidak peduli lagi padaku. Kukira ... kau sudah meninggalkanku..."

Dengan insting yang entah datang dari mana, Sanzo meraih tubuh kecil Goku dan segera menenggelamkannya dalam pelukan hangat.

"Shhh ... aku di sini sekarang."

Hening beberapa saat. Mungkin Goku sendiri sedang kaget melihat rasa kasih sayang dari Sanzo yang amat jarang diperlihatkan.

Goku merapatkan wajahnya pada dada bidang Sanzo. Hangat sekali. Seperti matahari. Kedua tangan kecilnya dilingkarkan pada leher pria yang sudah mengadopsinya itu. "Aku takut."

Goku dapat merasakan tangan Sanzo bergerak naik-turun mengelus punggungnya dengan lembut, seakan-akan memberikan rasa aman dan keyakinan bahwa ia tidak sendirian lagi.

"Aku sudah bilang, 'kan?" kata Sanzo tanpa melepas pelukannya. "Aku tak mungkin meninggalkanmu sendirian."

Tidak akan pernah.

.

.

.

.

Saat para biksu menemukan mereka berdua keesokan pagi nya, Sanzo sedang tertidur berselimut di atas lantai dengan Goku berada dalam rangkulannya.