Kenangan Terindah

.

.

.

Detik jarum jam mengisi ruangan kantor nan hening dalam irama konstan. Sang penghuni satu-satunya baru saja mengalihkan perhatian dari layar komputer. Pria itu meregangkan tubuh sedikit, meraih gelas kopinya yang ternyata sudah kosong. Sambil mengernyit, ia meletakkan gelas itu kembali. Matanya yang beriris lavender lantas mencari kepastian akan waktu dari jam dinding tak jauh dari pintu masuk.

Sudah hampir pukul lima sore.

Kembali fokus ke layar komputer, dia mengetik selama beberapa menit lagi, kemudian menyimpan fail dan mulai menutup jendela-jendelanya. Diregangkannya tubuh sejenak, sebelum akhirnya membiarkan tubuhnya bersandar ke kursi. Dipejamkannya mata, sementara tangannya bergerak mengurut bagian atas hidung beberapa kali.

Ketukan pelan di pintu lah yang membuat matanya terbuka kembali.

"Masuk."

Yang datang adalah seorang asisten lab, pemuda berusia dua puluhan. Dia menyerahkan sebuah berkas sambil memberi tahu jadwal pekerjaan mereka berikutnya yang belum selesai.

"Profesor Lucien," sang pemuda berkata. "Sebaiknya Anda pulang untuk beristirahat. Masih ada waktu dua hari lagi untuk mempersiapkan presentasi kita."

"Hm. Sebentar lagi aku pulang." Sang profesor muda tersenyum ramah. "Kalian semua juga, istirahatlah."

"Baik. Kalau begitu, saya pamit."

Dalam hitungan detik, Lucien sudah kembali sendirian. Dia mematikan komputer, lantas mulai membereskan barang-barangnya. Setelah siap untuk pulang, ia pun melangkah ke pintu.

Kilasan warna-warna segera memasuki dunia monokromnya begitu Lucien membuka pintu bercat putih itu. Dia tersenyum ketika melihat di kejauhan seseorang berlari kecil ke arahnya dengan senyum ceria menghias wajah. Satu-satunya manusia di dunia ini yang penuh dengan warna di matanya.

Satu langkah, sebelum segala gerakan Lucien terhenti. Oleh detakan jantungnya yang mendadak menguat, seiring penglihatannya yang tiba-tiba mengabur. Lucien merasakan pandangannya berputar, sehingga ia refleks berpegangan pada ambang pintu. Sempat kesadarannya menipis, dan di telinganya, suara merdu itu berseru sarat kecemasan.

"LUCIEN!"

.

.


oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

"Mr. Love: Queen's Choice/Dream Date" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Papergames/Elex©

Fanfiksi "Kenangan Terindah" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fanfiksi ini.

Special ulang tahun Lucien #1115LucienDay #HappyLucienDay. Ditulis untuk #LucienWeek2021 (Day 7 - Prompt: happy birthday/childhood/kiss).

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo


.

.

Gadis itu bersenandung riang dengan langkah ringan, sementara kakinya melangkah memasuki area Loveland University. Tempat itu sepi, tentu saja. Nyaris tak ada yang datang ke tempat ini di hari Minggu. Namun, dia datang, karena tahu hari ini Lucien ada di sini.

Lucien memang memberitahunya, dia akan lembur selama beberapa hari ini untuk sebuah penelitian penting. Seharusnya sekarang sudah selesai. Karena itulah, sang gadis bermaksud untuk menemani Lucien pulang.

Selain itu, dia memang agak cemas, mengingat betapa workaholic-nya Lucien.

Satu-dua orang berjas lab ditemuinya sepanjang lorong menuju kantor Lucien di lantai dua. Mereka mengenalinya—karena memang sudah beberapa kali dia mendatangi Lucien seperti ini—dan menyapanya ramah.

Tak butuh waktu lama hingga pintu ruangan kantor yang familier itu terlihat oleh sepasang matanya yang beriris cokelat madu. Tepat ketika daun pintu terbuka, dilihatnya pria yang saat ini sangat ingin ditemuinya.

Gadis itu tersenyum, lebih cerah daripada mentari senja di luar sana. Lucien tampak sedikit terkejut ketika pandangan mereka bertemu, sebelum bibirnya spontan mengulas sebuah senyum tipis. Namun, senyum itu segera terhapus. Begitu pula senyum di bibir gadis itu, seiring desir tajam di dadanya saat melihat Lucien mendadak limbung.

"LUCIEN!"

Tiba tepat waktu di sisi Lucien, gadis itu membantu menahan tubuh Lucien agar tidak jatuh. Sementara, pria itu pun berpegangan pada kusen pintu dengan kepala tertunduk dan mata terpejam rapat. Sebelah tangannya yang lain bergerak memegangi dada sebelah kiri.

"Lucien? Lucien, kamu kenapa?!"

Butuh beberapa saat sampai Lucien mampu menenangkan diri. Ia membuka mata, mencoba untuk tersenyum.

"Aku tidak apa-apa," katanya pelan. "Hanya sedikit lelah—"

Lucien sudah menegakkan tubuh, tetapi kemudian kembali berpegangan pada pintu. Tangan kanannya beralih menutupi wajah di sekitar mata.

"Lucien!" gadis itu kembali berseru cemas. Sejak tadi dia belum melepaskan pegangannya dari Lucien. "Pelan-pelan. Kita duduk dulu?"

Lucien hanya menggeleng, lantas berusaha mengatur pernapasannya. Setelah lebih tenang, dia menatap gadis itu sekali lagi.

"Aku baik-baik saja, Noa," katanya. "Omong-omong, kenapa kamu di sini?"

"Tadinya aku ingin memberimu kejutan," gadis bernama Noa itu menjawab juga, walau sekelumit kecemasan masih bertahan di matanya. "Aku menjemputmu, supaya kita bisa pulang sama-sama."

"Oh, begitu. Terima kasih."

Setelah mengunci pintu kantornya, Lucien mengajak Noa turun ke tempat parkir.

"Nanti biar aku yang menyetir, ya?" pinta Noa.

"Tapi—"

"Tidak ada tapi-tapi!" Noa berkata galak. "Kamu istirahat saja di kursi penumpang."

"Baiklah." Lucien tertawa samar. "Hari Minggu begini, kamu habis dari mana?"

Topik pembicaraan yang baru ini membuat keceriaan kembali memenuhi ekspresi Noa. Lucien tersenyum. Melihat Noa seperti ini membuatnya merasa lebih tenang.

"Tadi aku jalan-jalan ke mall," gadis itu mulai bercerita dengan antusias. "Ada film baru yang ingin kutonton. Sebenarnya aku ingin menonton bersamamu, tapi sayang kamu sedang sibuk."

"Aku bisa meluangkan waktu."

"Tidak, tidak. Kamu bilang, proyek riset kali ini butuh perhatian ekstra, 'kan. Aku tidak mau mengganggumu. Lagi pula, kalau ada waktu luang, lebih baik kamu istirahat di rumah."

"Hmm. Kalau begitu, kita bisa menonton bersama lain kali."

"Oh, ya! Minggu depan ada film baru lagi. Kurasa kamu akan menyukainya."

"Film apa itu?"

"Judulnya ..."

Obrolan ringan itu pun terus berlanjut, hingga keduanya tiba di tempat parkir mobil milik Lucien.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Noa menyetir dengan hati-hati, sembari bersyukur dalam hati karena jalanan dari universitas hingga ke apartemen mereka relatif sepi. Memang, sudah beberapa minggu sejak dirinya mendapatkan Surat Izin Mengemudi. Namun, tetap saja dia masih merasa sedikit gelisah ketika benar-benar berkendara di jalan raya.

Ulang, cuma sedikit.

Kekeh samar terdengar dari kursi sebelah, tepat ketika mobil berhenti di lampu merah terakhir sebelum mencapai tujuan. Noa yang tanpa sadar baru saja menarik napas lega, seketika bersungut-sungut karena menyadari alasan Lucien tertawa.

"Masih kuat menyetir sampai ke apartemen?" tanya Lucien dengan senyum di matanya.

"Orang sakit diam saja!"

Sekali lagi, Lucien tertawa kecil. Pria itu kembali bersandar ke kursinya, lantas menghela napas dalam-dalam. Sejak mobilnya bergerak meninggalkan gerbang universitas, beberapa kali pandangannya sempat mengabur, tetapi selalu hanya sekejap.

Barusan terjadi lagi.

"Lucien?" Noa memperhatikan bagaimana Lucien kembali terdiam dengan mata terpejam. "Kamu masih nggak enak badan?"

Pria itu membuka mata untuk menatap Noa. Hanya tersenyum, karena pada titik ini, dia tahu percuma saja mengatakan pada Noa bahwa dirinya 'baik-baik saja'.

"Apa yang kamu rasakan?" Noa bertanya lagi. "Pusing? Lemas? Apa perlu kita ke dokter?"

Lucien menggeleng pelan. "Kita pulang saja. Aku akan baik-baik saja setelah istirahat di rumah."

"... Baiklah."

Lampu hijau menyala. Keduanya tidak bicara lagi, hingga mobil tiba di area apartemen.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

"... cien ... Lucien?"

Pria itu tersentak samar ketika mendengar suara lembut memanggil namanya. Pandangannya sedikit kabur ketika dia membuka mata. Kemudian sedikit demi sedikit makin jelas.

Senyum Noa adalah hal pertama yang tertangkap oleh matanya. Namun begitu, jelas sekali gadis berambut cokelat sebahu itu terus menerus mengkhawatirkan dirinya.

"Maaf, aku membangunkanmu," Noa berkata. "Masih pusing?"

"Hm ... Sedikit," Lucien memilih untuk jujur.

"Aku sudah membuatkan bubur untukmu." Noa mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh dahi Lucien. "Benar-benar demam. Setelah makan, kamu minum obat, lalu tidur."

Lucien mengangguk patuh. Sepasang netra lavender itu terus mengikuti pergerakan Noa mengambil semangkuk bubur yang masih mengepul dari atas nakas. Pria itu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya. Dan untungnya, tubuhnya sudah cukup kuat untuk duduk bersandar di atas ranjang.

"Biar kusuapi."

Noa tidak meminta persetujuan Lucien lagi. Pria itu hanya tersenyum. Tentu saja, dia sama sekali tidak keberatan mendapatkan perhatian seperti ini dari kekasih hatinya.

"Eh, kenapa?" Mata Noa melebar ketika melihat Lucien terdiam membeku setelah memakan satu sendok bubur buatannya. "J-Jangan-jangan nggak enak, ya? Terlalu asin? Padahal tadi sudah kucicipi, perasaan nggak ada yang aneh ..."

Lucien diam-diam kembali menatap Noa yang sedang kebingungan. Matanya sedikit berkilat jahil. Pemandangan di hadapannya ini cukup menghibur. Dia mau menikmatinya lebih lama. Sayang sekali, Noa memergoki dirinya yang setelah itu tak mampu menahan senyum.

"Lucien!" gadis itu berseru memprotes. "Kamu iseng lagi!"

Pria itu terkekeh samar. "Bukankah kamu sudah mencicipinya? Kenapa masih cemas? Biasanya Nona Koki percaya diri dengan masakannya sendiri."

"Aku selalu percaya diri, kok!" Noa mengangkat dagunya dengan bangga. "Hanya saja, kupikir mungkin ini tidak sesuai seleramu."

Senyum Lucien melembut, begitu pula tatapan matanya yang tak lepas dari sosok Noa. "Bagiku semua makanan yang kamu buatkan untukku itu enak."

Tentu. Noa tidak akan lupa, saat pertama kali dia membuatkan bekal untuk Lucien, pria itu menghabiskannya tanpa ragu. Padahal keasinan.

"Ya ... Ya sudah. Kalau begitu, habiskan buburnya."

Selama beberapa menit setelah itu, Noa merasa pipinya menghangat. Bagaimana tidak, kalau Lucien terus makan sambil tersenyum menatapnya.

"Lucien, kenapa kamu melihatku terus?"

"Tidak boleh?"

"Bukannya nggak boleh sih, tapi ..."

"Kalau makan sambil memandangmu seperti ini, rasanya jadi lebih enak."

"Apaan, sih. Mana ada."

Lucien tertawa kecil. Noa pun pada akhirnya hanya tersenyum pasrah. Tidak perlu waktu lebih lama lagi hingga isi mangkuk di tangan Noa tandas. Gadis itu lantas mengambil obat beserta air minum yang sudah disiapkannya di atas nakas. Lucien menuruti semua yang diminta Noa tanpa banyak protes.

"Nah, sekarang kamu istirahat. Supaya cepat sembuh."

"Hm."

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Lucien berjalan sendirian di sebuah tempat luas tanpa batas. Ke mana pun mata memandang, hanya ada warna putih. Pikiran Lucien langsung menyadari bahwa dirinya tengah bermimpi.

Dengan tatapan menajam, pria itu terus melangkah. Tidak yakin apa yang harus dilakukannya agar terbangun. Atau dia bisa membiarkan saja semuanya mengalir? Cepat atau lambat, mimpi pasti akan berakhir. Lagi pula, dia cukup yakin, mimpi ini hanya mimpi biasa. Bukan dunia mimpi buatan seseorang.

Suara tawa anak kecil memasuki pendengarannya tiba-tiba. Asalnya dari arah belakang. Lucien berhenti berjalan dan segera berbalik, walau yakin bahwa sebelumnya tak ada apa-apa di sana. Sepasang matanya melebar sejenak, demi menangkap sosok seorang anak lelaki yang sangat dikenalnya.

Umurnya mungkin baru enam atau tujuh tahun. Dia memiliki ciri-ciri fisik yang sama persis seperti Lucien, dari warna rambut dan matanya. Juga senyumnya. Lucien terhenyak, menemui hal yang seharusnya tidak mungkin. Namun, ini mimpi, bukan? Apa saja bisa terjadi.

"Jadi ini anak Ibu yang besok mau ulang tahun, hm?"

Lucien hanya berkedip sesaat, dan anak itu sudah tak lagi sendirian. Seorang wanita bersuara lembut telah berdiri di dekat anak itu, membelai rambutnya dengan sayang. Anak itu tertawa, tepat ketika Lucien kembali berkedip. Dan ketika detik berganti, dilihatnya ada satu orang lagi yang kini berada di dekat anak itu. Kali ini seorang lelaki berkacamata.

"Anak Ayah mau minta hadiah apa?"

Lucien tak dapat menahan matanya yang mulai berkaca-kaca. Kedua sosok itu, sampai kapan pun takkan pernah dilupakannya.

Orang tuanya yang telah lama tiada.

Lucien terus memandangi keluarga kecil itu bercengkerama. Sekelilingnya pun mendadak berubah menjadi sebuah taman indah penuh bunga aneka warna. Senyum lembut perlahan terbentuk di bibir Lucien, tanpa ia sendiri menyadarinya.

Dia hampir lupa, dirinya dahulu pernah tertawa sebahagia itu.

Ketika Lucien telah larut dalam perasaan hangat yang sangat dirindukannya, pemandangan penuh warna itu tiba-tiba lenyap. Hanya dalam sekedipan mata, segalanya menggelap. Butuh beberapa saat hingga Lucien menyadari bahwa sekelilingnya telah berubah dalam sekejap. Menjadi malam, di tempat yang sama sekali berbeda.

Dia sendiri tengah berdiri di atas trotoar, di hadapannya jalanan beraspal sepi membentang. Suara tawa ceria anak lelaki itu kembali memasuki pendengarannya. Jauh di seberang jalan, dilihatnya anak itu—dirinya di masa kecil—sedang berjalan berdampingan dengan kedua orangtuanya yang masing-masing membawa payung.

Hujan rintik-rintik membasahi malam tanpa bintang. Langit mengguntur, sesekali menampakkan kilatan cahaya di tengah-tengah samudra awan kelabu. Namun demikian, Lucien kecil masih tersenyum ceria, tangan mungilnya menggenggam tangan sang ibu yang juga tersenyum kepadanya. Sang ayah pun sesekali menimpali pembicaraan ringan anak dan istrinya. Bahkan di jarak sejauh ini, Lucien dapat melihat kehangatan dan kelembutan terpancar di mata lelaki idolanya seumur hidup itu.

Sepasang mata Lucien meredup. Dia sangat tahu, apa yang akan terjadi setelah ini.

Suara klakson memekakkan telinga.

Decit ban mobil yang direm mendadak.

Cahaya lampu depan mobil yang menerangi ayah, ibu, beserta anak mereka, ketika ketiganya berbalik. Ekspresi kaget memenuhi wajah mereka. Semuanya terjadi terlalu cepat. Begitu cepatnya, hingga keterkejutan itu tak sempat berubah menjadi kengerian.

Hujan menderas. Dan di seberang jalan sana, Lucien masih berdiri mematung. Matanya menyorot hampa. Sama hampa seperti hatinya yang telah lama mati, bersama jasad kedua orangtuanya yang membujur kaku di jalanan. Di malam yang nahas itu.

Tubuh kecil yang terbaring di genangan darah itu adalah pemandangan terakhir yang terpaksa harus dilihat kembali oleh Lucien, sebelum sekelilingnya kembali berubah. Kembali ke dunia serba putih, yang kini terasa jauh lebih hampa. Jauh lebih sunyi.

Lucien mengira, masa lalunya telah ditinggalkannya jauh di belakang. Namun, tampaknya, bagaimanapun juga kejadian itu akan terus menghantuinya hingga ajal menjemput.

Bahkan hingga di dalam mimpi.

Pria muda itu tertawa. Sinis, dan terdengar sangat menyedihkan, bahkan di pendengarannya sendiri. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha melegakan dadanya yang entah sejak kapan terasa sesak. Tangan kanannya bergerak tanpa kesadaran, meremas bagian dada kiri.

Barangkali, hatinya belum sepenuhnya kosong, belum sepenuhnya mati. Jika tidak, maka tak mungkin rasanya masih sesakit ini, bukan?

Di dunia putih yang hampa itu, Lucien membiarkan dirinya jatuh berlutut. Membiarkan kepalanya tertunduk dalam-dalam, sementara ia masih mencoba menenangkan diri. Ketiadaan suara membuat detak jantungnya terdengar jelas, deras berpacu hingga terasa menyakitkan.

Lucien tak mampu melawan rasa ketidakberdayaan yang dibencinya. Tak mampu menyingkirkan kegelapan yang kini seolah menekannya dari segala arah.

Sesak.

Sakit.

Hingga sebuah tepukan lembut membuat Lucien tersentak. Ia pun membuka mata, lantas mengangkat wajah perlahan. Sekelilingnya masih putih bersih, tiada kegelapan nan menekan. Sepasang netra lavender itu kembali berkaca-kaca, ketika menyadari siapa yang tadi menepuk pundaknya.

Di sebelah kirinya, ada sang ayah. Masih sama hangat dan lembutnya, menatap dirinya penuh rasa sayang. Kemudian, tangan terulur dari sebelah kanan, membelai wajahnya dengan lembut. Di sana sudah ada ibunya, tengah menatapnya penuh cinta. Lucien terhenyak ketika sang ibu memeluknya.

Seharusnya ini mimpi, bukan? Jadi kenapa rasanya begitu hangat? Begitu nyaman? Rasanya begitu nyata, hingga Lucien tak ingin mimpi ini berakhir.

Maka, dia menyerah. Direngkuhnya kehangatan itu sepenuh hati dan jiwanya. Detik-detik berlalu sangat lambat, dan Lucien menikmatinya.

Namun, mimpi adalah mimpi yang harus berakhir. Lucien ingin memprotes ketika ayah dan ibunya melepaskannya, lantas beranjak pergi. Dia pun berdiri, ingin mengejar, tetapi kakinya tak dapat melangkah. Sementara, kedua orangtuanya berbalik untuk tersenyum kepadanya. Bergantian, mereka mengatakan sesuatu yang tak dapat didengarnya.

Lucien refleks mengulurkan tangan, berusaha meraih kedua orangtuanya yang kembali beranjak. Namun, sia-sia. Keduanya menjauh, terus menjauh hingga sosok mereka mengabur di dalam kabut putih.

"Tidak ... Jangan pergi ... Ayah ... Ibu ..."

Akan tetapi, Lucien menyaksikan ayah dan ibunya makin tertelan kabut. Sebelum akhirnya menghilang.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Noa terbangun di tengah kicauan burung yang bersahutan riang gembira dari luar jendela. Gadis itu mengerjapkan mata, pelan-pelan menyadari dirinya berada di apartemennya sendiri. Di kamarnya sendiri.

Oh ya, benar. Kemarin dia merawat Lucien yang demam, menungguinya semalaman. Lucien sendiri cukup lama tertidur setelah minum obat, tetapi dia sempat terbangun nyaris tengah malam, lantas menyuruh Noa pulang. Walau masih cemas, akhirnya Noa menurut, setelah memastikan demam Lucien sudah turun. Dia juga sudah mewanti-wanti supaya Lucien segera meneleponnya jika butuh bantuan.

Noa mengambil ponselnya dari atas nakas. Masih pukul enam pagi. Dan tidak ada pesan maupun telepon masuk sama sekali.

"Apa Lucien baik-baik saja, ya?"

Gadis itu bergumam sendiri. Sempat terpikir untuk menelepon Lucien, tetapi dibatalkannya. Dia tak ingin mengganggu, kalau-kalau Lucien masih tidur.

"Baiklah! Kalau begitu, pagi ini aku akan sarapan bersama Lucien."

Noa mandi dengan sedikit tergesa. Sekelumit kecemasan masih memenuhi hatinya. Setelah menimbang-nimbang, gadis itu memutuskan untuk membeli makanan jadi saja lewat layanan pesan antar. Setelah menyelesaikan transaksi dan hendak menutup telepon, hari dan tanggal yang tertera di layar menarik perhatiannya seketika.

Senin, 15 November.

Noa tersenyum. Mumpung dirinya mau ke apartemen Lucien lagi hari ini, sekalian saja melaksanakan rencana yang sudah lama disusunnya.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

"Aaaaah ... Aku lupa! Kantor gimana?!"

Noa berseru panik setelah selesai menyiapkan sarapan di meja makan apartemen Lucien. Tadi malam Lucien meminjamkan kunci apartemennya untuk sementara. Berkat Noa yang tak bisa berhenti mencemaskan Lucien, takut kalau-kalau demamnya naik lagi sampai tak sanggup berjalan sampai ke pintu depan untuk meminta pertolongan.

Walau berkata Noa terlalu berlebihan, akhirnya Lucien setuju membiarkan Noa membawa kunci apartemennya. Karena itulah, sekarang Noa bisa bebas masuk walaupun sang tuan rumah masih terlelap. Setidaknya, Noa sudah lebih lega karena demam Lucien tidak naik lagi. Walau dia masih terlihat sedikit pucat.

Setelah itu, barulah Noa teringat tentang pekerjaannya. Gadis itu pun memutuskan untuk menelepon Anna.

"Hallo, Anna? Hari ini tidak apa-apa kan, aku izin masuk kantor setengah hari saja?"

"Boleh saja, sih. Hari ini tidak ada hal yang benar-benar memerlukan kehadiranmu. Tapi tumben. Apa ada masalah?"

Suara Anna yang tenang seperti biasa di seberang sambungan, membuat hati Noa ikut tenang.

"Ini ... Lucien sakit. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian terlalu lama. Setidaknya, aku ingin menjaganya hari ini, sampai keadaannya membaik."

"Oh ... Kalau begitu, lebih baik kamu tidak usah ke kantor saja hari ini."

"Eh? Tapi, kan ..."

"Tidak apa-apa. Lagi pula, bukankah hari ini hari yang istimewa?"

"A-Apa maksudmu?"

"Sudah beberapa hari ini kamu terus membicarakannya dengan Kiki dan Willow. Aku juga dengar, kok."

Tawa renyah terdengar dari seberang sana. Noa bisa merasakan pipinya menghangat.

"Pokoknya, hari ini kamu tenang saja. Soal kantor, serahkan saja pada kami."

"Terima kasih, Anna."

"Tapi besok sepertinya kita harus mulai kerja lembur lagi, lho."

"Hahaha ... Iya, aku tahu."

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Pintu kamar Lucien terbuka perlahan. Sosok Noa muncul dari baliknya, lantas mendekat ke ranjang, berusaha tidak membuat suara. Sudah hampir jam tujuh pagi, tapi Lucien masih belum bangun. Diam-diam Noa berharap, lain kali Lucien bisa cukup tidur seperti ini setiap harinya.

"Ng?"

Noa terdistraksi oleh alis Lucien yang mendadak bergerak-gerak. Keningnya berkerut, dan ekspresi tenangnya mendadak terganggu.

"Apa Lucien bermimpi buruk?"

Noa ragu sesaat. Setelah menunggu beberapa saat dan Lucien tampak makin gelisah di dalam tidurnya, gadis itu pun memutuskan untuk membangunkannya. Namun, pria itu tidak juga terbangun.

"Tidak ... Jangan pergi ... Ayah ... Ibu ..."

Tiba-tiba mendengar Lucien mengigau, Noa tersentak samar. Seketika, gadis itu teringat mimpi yang pernah dilihatnya di masa lalu yang tidak terlalu jauh. Mimpi tentang masa kecilnya dan Lucien. Terus bersambung hingga ke sebuah tragedi di suatu malam berhias hujan, yang entah kenapa bisa masuk ke dalam mimpinya.

Mimpi tentang keluarga Lucien.

Apakah Lucien sekarang sedang memimpikan hal yang sama?

Debaran menyakitkan singgah di jantung Noa. Gadis itu meraih tangan kiri Lucien, menggenggamnya dengan hangat.

"Lucien? Lucien, bangunlah."

Satu detik. Dua detik berlalu, dan Lucien akhirnya tergeragap bangun dalam posisi duduk. Noa masih menggenggam tangan kirinya, merasakan betapa tangan itu gemetar. Sementara tangan kanan Lucien terulur ke depan, searah dengan pandangannya yang nanar.

"... Lucien?"

Noa memanggil ragu, kecemasannya bertambah ketika Lucien tidak juga bereaksi. Selang dua-tiga detik, mendadak satu bulir air mata turun membasahi pipi kanan Lucien. Pria itu tersentak. Tangan kanannya akhirnya bergerak, mengusap air mata itu, lantas memandanginya. Dia menggeretakkan rahang tiba-tiba, sebelum menggerakkan tangan kanannya sekali lagi, bermaksud menutupi separuh wajahnya yang masih basah karena air mata.

Namun, gerakan itu terhenti. Sekali lagi, Lucien tersentak. Sebuah tangan lain barusan mendadak memegangi lengannya. Dia pun menoleh, dan menemukan sosok Noa tepat di sampingnya.

Kesadaran Lucien perlahan kembali ke alam nyata sepenuhnya. Seiring warna-warni dari Noa yang terpancar hingga ke dalam jangkauan penglihatannya. Gadis itu masih memegangi tangannya, sembari menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak apa-apa."

Hanya satu kalimat singkat yang terucap dari bibir Noa. Namun, itu sudah cukup untuk membuat Lucien goyah. Ada rasa sesak yang sejak tadi ditahannya di dalam dada. Ada kata-kata yang tak mampu terucap. Ada air mata yang tak ingin diperlihatkannya pada siapa pun.

Tapi itu tidak apa-apa?

Benarkah tidak apa-apa?

Tidak apa-apa kalau semuanya sungguh sudah tak tertahankan?

Kemudian, kehangatan menyelimuti Lucien ketika Noa dengan lembut memeluknya. Sama lembutnya, gadis itu berbisik membuai telinganya.

"Aku di sini, Lucien."

Sepasang mata Lucien melebar sejenak. Kehangatan Noa perlahan menyebar pula ke seluruh tubuhnya, hingga merasuk ke dalam hatinya. Merampas segala keinginannya untuk memberontak.

"Aku ada di sini."

Dalam sekejap, kejadian terakhir di dalam mimpi Lucien terkilas kembali tanpa permisi. Saat sang ibu memeluknya, dan sang ayah menepuk pundaknya. Kehangatan yang dirasakannya saat itu terasa sangat nyata. Kehangatan yang sama dengan yang saat ini dirasakannya.

Noa tersentak sedikit ketika pelukan itu akhirnya berbalas. Di pelukannya, dia dapat merasakan tubuh Lucien masih gemetar. Di pelukannya, dia dapat merasakan Lucien tengah menangis dalam diam. Noa tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Hanya tangannya yang terus memeluk, sesekali mengelus punggung Lucien dengan lembut.

Berharap bisa memberikannya sedikit kelegaan.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

"Lucien sudah selesai belum, ya?"

Noa bicara pada dirinya sendiri, sementara dia tengah berdiri tak jauh dari oven. Dapur Lucien sudah menjadi miliknya sejak beberapa waktu lalu. Di meja dapur, tampak beberapa bahan makanan, seperti sisa tepung dan sedikit buah-buahan.

"Tapi syukurlah. Tadi dia mau makan sarapannya sampai habis."

Gadis itu tersenyum cerah. Setidaknya dia lega, Lucien sudah tidak demam lagi. Tadinya setelah sarapan, dia berencana memberikan obat lagi untuk Lucien. Namun, ternyata sudah tidak perlu.

Lalu, tidak lama setelah itu, Lucien mengatakan ingin mandi dan berganti pakaian. Seharusnya sekarang sudah selesai.

"Apa Lucien tipe orang yang kalau mandi lama?" Noa bertanya-tanya sendiri.

Ting!

Angan Noa yang mulai mengembara ke arah yang berbahaya, terinterupsi oleh suara timer oven. Gadis itu tersentak dan malu sendiri.

"A-Aku nggak mikir yang aneh-aneh, kok!"

Noa menunjuk ke arah oven yang bergeming, dengan ujung pisau buah di tangannya. Kikuk sendiri, akhirnya dia meletakkan pisau itu di meja. Lantas segera menghampiri oven untuk mengeluarkan apa yang ada di dalamnya.

"Kuharap aku bisa memberikan kejutan manis untuk Lucien tahun ini, hehehe ..."

Sembari bersenandung, gadis itu melanjutkan pekerjaannya di dapur dengan hati riang.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Langkah Noa terhenti di ambang pintu kamar Lucien, demi melihat pria itu tengah duduk diam di tepi ranjangnya. Tertunduk. Dia sudah tampak lebih segar. Juga sudah rapi dan berganti pakaian. Namun, tatapannya sayu.

Sepasang mata Noa yang tadinya berbinar, seketika ikut meredup. Tidak lama, karena ia kemudian menggelengkan kepala dan menepuk pipinya sendiri. Gadis itu menghela napas, lantas mengukirkan sebuah senyum di bibirnya.

"Lucien!"

Seruan ceria Noa menyentak Lucien hingga ia mengangkat wajah. Senyum hangat itu terbentuk spontan ketika dilihatnya Noa berjalan mendekat.

"Kamu beneran sudah nggak apa-apa?"

Pertanyaan Noa memancing Lucien untuk tertawa kecil. "Bukankah kamu sudah memeriksa suhu tubuhku dengan termometer, setidaknya tiga kali sejak tadi pagi? Mau dicek sekali lagi?"

Noa memberengut. Tangannya terulur untuk menyentuh dahi Lucien.

"Memang sudah nggak demam lagi, sih," katanya. "Kalau begitu—"

Ucapan Noa terputus oleh ponsel Lucien yang mendadak berdering. Pria itu mengambilnya dari atas nakas.

"Dari Universitas." Lucien mengalihkan sejenak pandangannya dari layar ponsel untuk menatap Noa. "Sebentar, ya? Biar kujawab ini dulu."

Lucien tidak beranjak dari tempatnya duduk. Noa sedikit canggung karena dirinya jadi ikut mendengarkan pembicaraan pribadi Lucien. Namun, pria itu sama sekali tidak tampak keberatan. Dari yang ditangkap Noa, sepertinya hanya pembicaraan ringan tentang presentasi atau semacamnya. Tidak sampai lima menit, panggilan telepon itu sudah berakhir.

"Kamu nggak kerja kan hari ini?" tanya Noa ketika Lucien meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas. "Kemarin-kemarin kamu sudah bekerja di Lab sampai lembur segala di hari Minggu. Pasti kamu nggak memperhatikan waktu makan dan tidurmu. Ya, 'kan?"

Noa berkacak pinggang sembari memberi Lucien tatapan menuntut.

"Lucien, kamu itu manusia biasa. Kalau tubuhmu terus diforsir, lama-lama bisa sakit seperti ini." Noa bersedekap, masih menatap tajam ke arah Lucien. "Sebaiknya hari ini minta izin saja untuk istirahat barang sehari. Bilang saja kamu sedang tidak enak badan."

"Tidak perlu." Lucien tersenyum menenangkan. "Memang hari ini rencananya aku akan tetap di rumah. Besok baru mulai masuk lagi."

Noa hanya ber-"o"-ria.

"Kamu sendiri?" Lucien balik bertanya. "Tidak masuk kerja hari ini?"

"Aku juga sedang libur hari ini."

"Oh? Kebetulan sekali, ya?"

"Hahaha ... Iya, kebetulan."

Lucien setengah bersedekap. Tangan kanannya diposisikan di dagu. Matanya tersenyum memandang Noa, seperti juga bibirnya.

"A-Apa?"

Noa merasa keringat dingin seperti sudah siap hendak membasahi pelipisnya. Tatapan mata Lucien yang dalam itu seperti tak pernah gagal mengintip isi hatinya yang terdalam.

"Sepertinya ... ada seseorang yang setiap tahunnya makin terobsesi untuk memberiku kejutan." Lucien masih tersenyum.

Noa tersentak samar, sebelum akhirnya menghela napas. Sedikit kesal betapa Lucien begitu mudah membaca pikirannya lagi.

"Aaah ... Gimana sih, caranya biar kamu nggak tahu rencanaku~"

Lucien tertawa kecil. "Agak sulit, selama aku masih ingat hari ini hari apa."

Noa bersungut-sungut sendiri. Namun, seperti biasa, kekesalannya tidak pernah bertahan lama.

"Ya sudahlah kalau begitu." Noa meraih tangan Lucien, menariknya untuk berdiri. "Ayo, ikut aku!"

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

Lucien duduk di depan meja makan dengan senyum menghias wajahnya. Di hadapannya, tampak kue yang tertutup krim berwarna hijau muda. Potongan-potongan buah aneka warna menghias bagian atasnya, lengkap dengan sebuah lilin ungu mungil menyala.

"Aku baru pertama kali ini membuat matcha cake. Tapi kujamin rasanya enak! Keahlianku membuat kue tidak perlu diragukan lagi."

Lucien hanya tersenyum. Ekspresi penuh semangat gadis itu adalah salah satu warna terindah yang tak pernah bosan-bosan dilihatnya.

"Oh ya, jangan khawatir, aku sudah membuatnya nggak terlalu manis, kok," Noa berkata lagi. "Lalu ada potongan buah-buahan segar untuk topping. Dan tentu saja, lilin ulang tahun wajib ada."

Noa menatap Lucien dengan mata berbinar-binar seperti anak kecil.

"Oke, kita mulai sekarang, ya?"

Noa berdeham sedikit sambil menarik napas. Detik berikutnya, suaranya mengalunkan sebuah lagu dengan lembut sekaligus ceria.

Happy birthday to you

Happy birthday to you

Happy birthday, dear Lucien

Happy birthday to you

Lucien tertawa kecil ketika Noa bertepuk tangan di akhir lagu, sembari memberinya satu senyum paling cerah hari ini. Pria itu ikut bertepuk tangan. Senyum tak meninggalkan wajahnya sedetik pun.

"Ayo, cepat. Tiup lilinnya." Noa kembali berkata antusias. "Jangan lupa, bikin permohonan."

Lucien mengangguk. Dia diam beberapa saat, sebelum akhirnya meniup lilin hingga padam dalam satu embusan napas.

"Sudah bikin permohonannya? Kok cepet banget tadi?"

Lucien tersenyum samar. "Kamu ingin tahu?"

"Nggak, nggak, jangan bilang." Noa menggeleng cepat. "Kamu nggak boleh kasih tahu permohonanmu, biar cepat terkabul."

"Hmm ... Baiklah."

"Okeee ... Sekarang potong kuenya~"

Sambil memotong kue, Lucien terus tersenyum. Asalkan ada Noa di sisinya, permohonannya pasti akan terkabul. Bukan permohonan yang muluk-muluk. Namun, baginya saat ini, itu saja sudah lebih dari cukup.

"Potongan kue pertama ini kuberikan untukmu," kata Lucien kemudian, disambut senyum lebar Noa.

"Terima kasih." Noa menerima kue itu dengan penuh kegembiraan. "Ayo, Lucien. Kita makan kuenya sama-sama."

"Baiklah."

Lucien mengambil potongan kue lagi untuk dirinya sendiri. Dilihatnya Noa belum mulai makan, malah memandangnya penuh antusias. Paham apa yang dipikirkan Noa, Lucien memutuskan untuk menjadi orang pertama yang merasakan matcha cake perdana buatan gadis itu.

"Ba-Bagaimana rasanya?"

Noa menatap Lucien, sedikit berdebar-debar. Pria itu masih mengunyah pelan, seolah sedang menikmati sepotong kecil kue di dalam mulutnya. Ekspresinya tak terbaca seperti biasa, membuat Noa mau tak mau jadi gelisah.

"Noa?"

"Y-Ya?"

"Aku tidak tahu banyak soal membuat kue, tapi ... kurasa ada satu hal dasar yang sama dengan memasak, bukan? Yaitu membedakan antara gula dan garam?"

"Hah?! Maksudmu aku salah memasukkan garam, bukannya gula?"

Sedikit panik, Noa cepat-cepat mencoba sepiring kecil kue di tangannya. Rasa matcha-nya pas. Begitu pula kuenya, lembut dan tidak terlalu manis. Topping buah-buahan memberi kesegaran yang sesuai dengan rasa matcha cake itu sendiri. Menyadari semuanya baik-baik saja, Noa menghela napas lega.

Lho? Sama sekali nggak terasa asin, kok.

Berpikir begitu, Noa kembali beralih menatap Lucien. Jelas sekali, pria itu tampak menahan tawa. Melihat tatapan Noa jatuh kepadanya, dia kembali menyibukkan diri dengan sisa kue di piring mungilnya.

"Lucien! Kenapa sih, kamu suka banget ngisengin aku?"

"Aku tidak pernah bilang kuemu asin."

Noa tidak bisa membalas lagi karena yang dikatakan Lucien memang benar. Walaupun kesal, pada akhirnya gadis itu tidak bisa menahan senyum. Betapa tidak, jika di hadapannya Lucien terlihat bahagia memakan kue buatannya.

Bagi Noa, tak ada yang paling diinginkannya hari ini selain senyum tulus Lucien.

.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

.

"Lucien, aku sudah menyimpan sisa kuenya di kulkas."

Pria itu teralih dari kesibukannya memeriksa beberapa fail yang masuk ke surelnya hari ini melalui ponsel pintar. Semuanya dari para asisten lab dan rekan-rekannya di universitas. Sejauh ini, semuanya sudah rapi. Tampaknya dia tidak perlu melakukan apa-apa lagi sampai hari presentasi besok.

"Jangan lupa dimakan, ya?" Noa mendekat ke tepi ranjang yang diduduki Lucien. "Kuenya cuma boleh disimpan di kulkas maksimal tiga hari."

"Hm, pasti kuhabiskan. Soalnya itu kan buatanmu khusus untukku."

"Tapi jangan lupa makan juga, jangan cuma makan kue. Kamu harus makan banyak supaya cepat pulih."

"Iya, aku mengerti."

Lucien meletakkan ponselnya di atas nakas. Ketika memusatkan perhatian kepada Noa kembali, gadis itu tampak bergerak-gerak gelisah di hadapannya, berdiri dengan kedua tangan tersembunyi di belakang tubuhnya.

"Ada apa?" tanya Lucien.

Noa hanya tersenyum. Dengan cepat, ia mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi disembunyikan di balik punggung. Sebuah kotak berukuran sedang, terbungkus kertas kado lavender polos, berhias pita merah muda.

"Kado ulang tahunmu dariku."

"Untukku?" Lucien menerima kado itu. "Boleh kubuka sekarang?"

Dengan persetujuan Noa, Lucien mulai membuka kadonya dengan hati-hati. Di dalamnya, dia menemukan pakaian. Lucien membuka lipatannya untuk melihat hadiah itu dengan lebih jelas. Ternyata piama. Namun, bukan piama biasa. Di bagian kerahnya tersambung semacam tudung dengan bentuk telinga hewan di atasnya.

Mata Lucien sempat membulat, sedikit kaget. Detik berikutnya, dia tak mampu menahan senyum. Di dunia ini, hanya Noa satu-satunya orang yang akan terpikir memberinya hadiah seperti ini.

"Piama rubah?" komentar Lucien.

"Warnanya sama dengan warna matamu. Bagus, kan~"

"Hmm ... Aku harus memakai ini?"

"Iya, harus." Noa menatap Lucien yang masih mengamati piama barunya dengan penuh minat. "Kenapa? Kamu nggak suka?"

"Hm? Siapa bilang? Aku suka apa pun yang kamu berikan untukku." Lucien memberikan senyum terhangatnya untuk Noa hari ini. "Terima kasih. Akan kujaga baik-baik."

"Jangan cuma dijaga. Harus dipakai juga, dong~"

Lucien tertawa kecil. Di hari ulang tahunnya pun, gadis ini tidak berhenti mengingatkannya untuk makan dan tidur.

"Sebenarnya, aku membeli dua piama waktu sedang jalan-jalan di mall mencari kado ulang tahun untukmu," Noa mulai bercerita. "Habisnya lucu banget. Yang satu lagi untukku, piama yang sama seperti ini, tapi bentuknya kelinci. Warnanya pink, hehehe ..."

"Oh? Jadi maksudmu ... sekarang kita punya piama couple?"

Netra lavender itu berkilat jahil. Kemudian kembali menghangat ketika rona merah tampak di matanya, menghiasi pipi ranum Noa.

"P-Pokoknya, nanti malam kamu harus pakai." Noa berusaha untuk mempertahankan ketenangan di bawah tatapan teduh Lucien yang selalu memancing jantungnya untuk berdegup lebih cepat. "Sudah kucuci bersih, tinggal dipakai saja."

"Hmm ... Pantas." Lucien mendekatkan pakaian itu ke wajahnya hingga menyentuh hidung, lantas menghirupnya dalam-dalam dengan mata terpejam. "Aromanya sama seperti wangi pakaianmu."

Noa harus memarahi dirinya sendiri saat itu juga, demi merasakan pipinya yang menghangat seketika.

Ayolah, Noa. Lucien hanya menghirup aroma pakaiannya sendiri, bukan pakaianmu!

"Kamu janji, ya, malam ini harus tidur yang cukup," pinta Noa, masih sembari berusaha menenteramkan jantungnya yang bertalu-talu.

"Baiklah." Lucien kembali menatap Noa. "Aku janji."

"Bukan cuma malam ini. Malam-malam berikutnya juga."

"Aku tidak bisa janji, terutama kalau ada pekerjaan yang mendesak." Lucien cepat-cepat menambahkan sebelum Noa membuka mulut untuk memprotes, "Tapi akan kuusahakan."

Noa menghela napas samar, lantas tersenyum. Dia cukup lega, setidaknya Lucien sudah mau berjanji. Gadis itu pun membantu Lucien melipat kembali piama itu. Kemudian meletakkannya di atas kasur, di bagian kaki tempat tidur.

Asalkan piama ini ada di dalam jangkauan pandangannya, Lucien pasti akan ingat janjinya, bukan?

"Noa." Panggilan Lucien memasuki pendengaran gadis itu. "Terima kasih."

"Sama-sama."

Sambil tersenyum, Noa mendekati Lucien yang tidak beranjak dari posisi duduknya. Diraihnya kedua tangan pria itu, lantas digenggamnya dengan hangat. Dua pasang mata saling menatap penuh kasih.

"Sekali lagi ... Selamat ulang tahun, Lucien."

Noa melepaskan genggamannya. Tanpa peringatan, dia bergerak lebih mendekat lagi kepada Lucien. Cukup dekat untuk dapat menangkup wajah pria itu, lantas mendaratkan kecupan di keningnya.

Ketika Lucien masih belum sepenuhnya pulih dari keterkejutan, Noa sudah memeluknya. Lembut, hangat.

"Semoga hidupmu dipenuhi kebahagiaan."

Doa Noa terucap, seiring pelukannya yang makin erat. Seolah tak rela untuk dilepaskan. Gadis itu tak bisa melihat kedua mata Lucien yang berkaca-kaca. Namun, dia merasakan Lucien balas memeluk, sama hangatnya.

"Jangan khawatir, Nak. Suatu saat, kamu pun pasti akan menemukannya."

"Pasti akan datang. Seseorang yang ditakdirkan untukmu."

Kedua mata Lucien membulat sejenak. Mendadak suara kedua orangtuanya memenuhi benaknya. Sebagaimana kilasan saat dirinya merasakan kehangatan mereka.

Itukah kata-kata terakhir yang dikatakan ayah dan ibunya di dalam mimpi?

Lucien tersenyum. Dipejamkannya mata, untuk sepenuhnya merasakan kehangatan di dalam pelukannya. Kehangatan yang sampai kapan pun takkan pernah rela dilepaskannya.

Dalam waktu singkat, dia mengingat kembali perjalanan hidupnya. Tahun demi tahun. Tidak bisa dibilang manis, tetapi tidak semuanya pahit, bukan?

Bila memang segala yang telah tersurat baginya adalah yang terbaik untuknya, maka dia bisa menerima dengan lapang dada. Karena jalan hidup telah menuntunnya untuk bertemu dengan Noa. Entah semuanya sudah terencana, ataukah benar-benar kebetulan. Atau barangkali, inilah yang disebut takdir.

Apa pun itu, Lucien berjanji di dalam hati. Apa pun yang menunggu mereka di masa depan nanti, hanya gadis inilah yang akan dia jadikan kenangan terindah di dalam hidupnya. Mungkin takkan mudah baginya meninggalkan jejak di jalan hidup gadis itu. Namun, kebersamaan mereka tetap akan terukir abadi.

Sebagai kenangan yang terindah.

.

.

.

TAMAT

.

.

.


* Author's Note *

.

Hai, haiii~! \(^o^)

Akhirnyaaa jadi juga ini fanfic ultah, walau telat banget. Maafkan aku, Lucien, hadiah dariku seterlambat ini. Tapi masih November, jadi gapapa kan~

Di sini aku pakai nama "Noa" untuk MC, diambil dari penname dan in-game name-ku sendiri, Noir.

Ide awalnya, cuma pengin nulis fluff fluff aja buat ultah Lucien. Yang hepi-hepi aja, tanpa plot jelimet. Yah, tapi malah molor sampai 5K kata lebih.

Akhir kata, happy happy birthday buat masku yang gantengnya nggak ketulungan. Semoga selalu berbahagia bersama Mbak MC yang dicintainya. Dan makasiiih banget buat semua yang udah baca sampai sini. Semoga kalian suka, yah~

.

Regards,

kurohimeNoir

30.11.2021