Disclaimer
Genshin Impact © miHoYo

Warning: Shounen-ai

alur maju mundur tapi semoga nyaman dibaca; terinspirasi dari lagu As The World Caves In.


Tahun XXX. Ratusan tahun sudah berlalu, perubahan tak terpungkiri bahkan untuk Teyvat. Dewa yang dulu ada dan menjaga manusia sekarang dikenal hanya melalui cerita dongeng. Para dewa itu sendiri sekarang berbaur layaknya manusia biasa. Di saat yang sama entah sudah berapa kali Zhongli melihat rekan sesama dewa terdekatnya berpisah dengannya untuk menjalani hidup mereka sendiri. Namun berbeda dengan yang lain, Zhongli memutuskan untuk tetap tinggal di tempat kecil ini, tempat yang dulu ia dan rekan-rekannya lindungi. Mungkin sekarang tak sebesar Liyue Harbor yang dulu namun tetap didominasi luas dan indahnya laut. Laut yang sama, yang menyimpan beribu macam cerita.

-xxx-

"Akh syalku," tangan rampingnya tergesa-gesa menyampirkan syal di lehernya namun berakhir jatuh. Childe merutuki betapa cerobohnya dia, tertidur dengan pulas di bangku pantai, sedangkan adiknya pasti sudah menunggunya untuk menjemput pulang. Semenjak keluarganya pindah kesini, ia memiliki hobi baru. Sejak kecil ia senang memandangi pemandangan laut dari pesisir pantai dan berita orangtua nya akan pindah ke kota di dekat laut benar-benar membuatnya tertarik.

"Ini," tangan orang di depannya terulur, memberikan syalnya yang terjatuh tadi.

Terima kasih, paman," dua tangan tak sengaja bersentuhan, "Dingin," begitu hal pertama yang Childe pikir terhadap pria di depannya.

"Zhongli," mata dengan warna amber menyala dengan indahnya menatap dirinya dengan penuh ekspresi yang Childe tidak tahu apa.

"Huh?" Childe yakin ia sekarang terlihat seperti orang bodoh.

"Namaku Zhongli, tidak perlu memanggilku paman."

"Terima kasih, Zhongli."

"Hm, tidak masalah."

Angin laut kala itu terdengar melembut, menyaksikan keduanya yang baru bertemu itu berpisah. Childe dengan langkah tergesa menuju arah sekolah adiknya dan pria paruh baya yang terdiam di tempat menatap pria yang lainnya pergi.

-xxx-

"Kau tau, Zhongli? Aku belajar merajut hanya demi membuatkan syal ini untukmu, konyol bukan jika seorang dewa ditemukan kedinginan saat sedang mengunjungi kota kelahiran pacarnya."

Syal rajut dua warna, coklat dan emas. Zhongli tersenyum saat Childe mengalungkan syal buatan tangannya di leher kekasihnya yang lebih tinggi sedikit darinya.

"Tapi dewa tidak merasakan dingin," walau begitu Zhongli tidak terlihat melepas syal yang dikalungkan kekasihnya itu.

"Hee benarkah? Aku tidak tahu itu."

-xxx-

"Paman- maksudku Zhongli, adikku dengar kau sedang mencari seseorang?"

"Kenapa, apa kau kenal orang tersebut?"

"Tidak, hanya penasaran."

Hujan. Telapak tangan putih mengeratkan jaket ditubuh tingginya. Sekali lagi dia terjebak hujan saat pulang dari mengantar adiknya sekolah. Tapi tak apa, hari ini ada yang menemani kegiatan menunggu hujan redanya.

"Jadi? apakah kau sudah menemukan orang tersebut?"

"...menurutmu bagaimana?"

"Hei aku bahkan tidak mengenal orang itu, kenapa kau terus menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan?" Lagi-lagi bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan sebuah tawa kecil yang terdengar.

Childe mematung. "Panas," batinnya. Wajahnya entah kenapa terasa panas.

-xxx-

"Zhongli, aku akan pulang ke rumah bulan depan, bagaimana jika kau ikut denganku kali ini?"

Tidak ada jawaban, Zhongli sibuk meminum tehnya.

"Rex Lapis sudah tidak harus mengawasi Liyue lagi bukan? Kenapa tidak ikut saja denganku?"

"Childe, aku tidak sesenggang yang dirimu kira, aku punya kerjaan baru di Wangsheng Funeral Parlor."

"Haha maaf, aku lupa."

"Hei! Kalau begitu kenapa kau selalu tidak membawa uangmu? Aku kira kehidupan baru menjadi manusia masih terasa asing bagimu sehingga kamu tidak terpikir uang itu penting, tapi nyatanya kamu masih mengingat kerjaanmu."

Tidak ada jawaban dan Zhongli justu terlihat kembali asik dengan tehnya. Tidak masalah, Childe juga sebenarnya tidak mengharapkan jawaban, dia sendiri tidak keberatan selama ini membayar untuk Zhongli.

"Kalau aku mengajukan diri membayar berarti aku akan punya alasan untuk bertemu dengan xiansheng bukan?"

Begitu katanya ketika ditanya Aether saat mereka tidak sengaja bertemu saat dirinya dan Zhongli sedang makan siang berdua.

-xxx-

"Zhongli, bagaimana pendapatmu jika temanmu berkata dia sebenarnya bukan manusia?"

"…dan bagaimana menurutmu tentang seorang demon dan manusia yang menjalin hubungan?

"Temanku, ah tepatnya pacar temankuaku tidak sengaja mencuri dengaria menjelaskan bahwa dia sebenarnya bukan manusia, mengejutkan bukan, haha," tawa yang keluar terlihat kontras dengan raut mukanya.

Aneh. Begitu pikirnya. Seorang mortal dengan immortal, sebuah kisah yang biasanya dia ditemukan hanya di buku cerita adiknya. Kini pacar temannya mengaku bahwa dia sebenarnya sudah hidup ratusan tahun lamanya.

"Bukankah akan menyedihkan bagi keduanya, mengetahui salah satu diantara mereka akan hidup lebih lama dan yang satunya akan meninggalkan yang lainnya?" Batin Childe, entah mengapa ia merasa sesak.

-xxx-

"Xiansheng, apa menurutmu kita ini aneh?" Kala itu mereka tengah pergi makan siang bersama setelah Childe kembali dari negara asalnya.

"Jelaskan maksud anehmu itu, Childe."

"KitaZhongli-xiansheng, seorang dewa yang dapat hidup ribuan tahun lamanya dan Ajax, seorang manusia bekerja dibawah dewa lainnya yang dapat pergi dan menghilang dari dunia ini kapan dan dimana sajamenjalin hubungan kasih."

-xxx-

Laut jernih membentang jauh dengan latar matahari yang mulai membenamkan diri, memantulkan warna senjanya.

"Kakak, lihat! Warna langitnya cantik."

Childe tersenyum mendengar adiknya, "Iya cantik, seperti adikku ini," tawa kembali lepas dari mulut adiknya.

Zhongli berdiri tak jauh dari mereka, menyaksikan interaksi kakak beradik tersebut, "Benar, cantik,' ujarnya dengan tatapan yang tak lepas dari Childe.

-xxx-

"Maaf."

"Tidak, jangan meminta maaf."

Merah. Cairan merah mengotori warna abu dari baju yang dikenakan Childe. Robekan kecil dan besar di bahu, punggung dan celana terlihat jelas. Dengan spear menancap jelas terlihat di sisi perut si rambut oranye.

"Maaf."

"Kita berdua sudah berjanji bukan? Jadi jangan salahkan dirimu."

Apapun yang terjadi, hal personal tidak akan tercampur dan mengganggu tugas dan pekerjaan masing-masing. Itu adalah janji mereka ketika mereka memutuskan untuk melangkah maju ke tahap selanjutnya dalam hubungan mereka.

Zhongli membawa Childe dengan perlahan digendongannya, berjalan menjauhi kerumunan yang saat ini memanas memperebutkan kemenangan. Saat sudah menemukan tempat sedikit lebih jauh ia kemudian membaringkan Childe di tanah. "Maaf," batin Zhongli kembali meminta maaf untuk ketiga kalinya.

"Kau tahu, xiansheng? Besar di keluarga penuh kasih sayang membuat diriku saat kecil sering berandai membayangkan bagaimana rupa pasangan hidupku. Membayangkan aku akan hidup bahagia dengan orang itu seperti kedua orangtua ku. Setelah kejadian yang menimpaku saat umurku 14 tahun itu aku mulai melupakan hal tersebut. Namun, akhir-akhir initepatnya setelah kita sepakat untuk menjadi sepasang kekasihaku sering teringat hal itu lagi. Walaupun aku, Tartaglia, seorang Fatui Harbingers yang mereka sebut manusia mesin pembunuh, tapi xiansheng berhasil mengabulkan impian kecilku untuk bisa bertemu dengan pasangan hidupku layaknya manusia biasa pada umumnya."

"Terima kasih, xiansheng." Senyum terulas manis di wajah pria di depannya. Bahkan dengan darah, tanah, dan keringat yang mengotori wajahnya Zhongli tak henti hentinya mengagumi betapa manis kekasihnya, melupakan fakta kekasihnya sedang sekarat terbaring di atas tanah.

Manik biru meredup begitu pula dengan napasnya yang kemudian berhenti berhembus untuk terakhir kalinya. Detik itu juga suara dentingan besi senjata dan geraman disekitarnya serasa lenyap hilang dari muka bumi. Sunyi. Dengan kepala tertunduk, otaknya sibuk memutar ulang senyum terakhir kekasihnya di memori seakan-akan berusaha agar senyum tersebut ia tanam di otak agar bisa diingat kembali bahkan jika suatu hari ia lupa ingatan. Perlahan ia menengadahkan kepalanya dan merasakan basah di pipi. Tidak, ini bukan hujan. Hanya dewa yang sedang menangisi kepergian kekasihnya.

-xxx-

"Entahlah tapi aku yakin walaupun aku tidak ingat jelas bagaimana aku dapat merasakan bahwa mimpiku ini tidak seperti mimpiku yang lain."

Teh, kue, dan hujan. Kedua pria tersebut kembali bertemu, kali ini di sebuah café seraya Childe menunggu waktu menjemput adiknya tiba. Obrolan mereka hari ini berpusat pada mimpi aneh yang sebenarnya Childe sendiri tidak begitu ingat ketika bangun pagi harinya.

"Yang kuingat dari mimpiku hanya aku tidak sendirian disana. Ada seseorang yang terus kupanggil dengan sebutan… xiansheng."

"Tapi aku tidak ingat kenal dengan seseorang yang ku panggil xiansheng."

-xxx-

"Zhongli, apa kehidupan selanjutnya benar ada?"

"Childe, aku tidak tahu siapa lagi yang kau temui sampai kau mulai memikirkan hal-hal seperti ini."

"Tidak, tidak,. Kali ini murni hasil lamunanku haha," kekehan kecil lepas dari pria yang lebih muda ribuan tahun dari sang dewa di depannya. Namun berbeda dengan Childe, Zhongli justru terlihat enggan memberikan jawaban atau reaksi sedikit pun.

"Jika kehidupan selanjutnya benar adanya, aku berharap kita bisa bertemu lagi, Zhongli."

"Jadi, apa benar ada? Aku tau dewa sudah hidup ribuan tahun lamanya, xiansheng pasti tahu jawabannya bukan?"

-xxx-

Childe bangun dengan mata dan pipi yang basah. Ia ingat. Ia ingat semua mimpi-tidak itu bukan mimpi, itu ingatan kehidupan lalunya. Tak memedulikan hujan yang masih mengguyur diluar, ia kenakan acak alas kaki di teras rumah dan berlari keluar. Zhongli. Ia butuh bertemu orang itu.

"Ponselku," meraba kasar kantong celana tidurnya, namun nihil, ia lupa membawanya. Berpikir keras, berbalik ke rumah dan menunggu Zhongli datang untuk bertemu atau ia sendiri yang mencari tidak jelas arah berharap harap ia bertemu dengannya di jalan.

"Laut! Benar, Laut! Pantai!" kaki jenjangnya ia bawa berlari sekencang mungkin.

"Zhongli! Zhongli-xiansheng!"

Zhongli tertegun dan mulai mempertanyakan pendengerannya setelah ribuan tahun lamanya, berpikir ia tadi hanya salah dengar.

"Xiansheng, aku ingat semua. Maaf. Maaf membuatmu menunggu begitu lamanya," ujar Childe cepat diikuti dengar napas terengah karena kegiatan larinya.

Kini mereka berdiri berhadapan dengan laut sebagai latarnya. Zhongli dengan muka terkejutnya dan Childe masih dengan napas yang terengah engah. Keduanya tidak ada yang membuka mulut. Hanya suara angin laut yang terdengar keras meniup rambut dan ombak yang menyapu kaki mereka.

Tangisan kembali pecah dan mengalir deras semakin membasahi pipi. Kini rasa takut menyelimutinya. "Bagaimana jika aku salah? Bagaimana jika xiansheng melupakanku? Bagaimana jika setelah ratusan tahun lamanya xiansheng sudah— ," semua pikirannya hilang ketika ia mendengar tangisan kecil. Sangat kecil bahkan, jika bukan karena mereka yang berdiri sangat dekat ia tak yakin dapat mendengarnya. "Zhongli…menangis?" Perlahan ia merasakan sebuah tangan menangkup wajahnya dan mengusap air matanya.

"Apa kau ingat, Childe? Ratusan tahun lalu kau pernah bertanya apakah benar manusia dapat terlahir kembali. Maaf waktu itu aku tidak menjawab pertanyaanmu," Zhongli terlihat menarik napas perlahan, meredakan adegan menangisnya. Dengan tenggorokan yang sedikit tercekat ia melanjutkan, "Benar, dear. Manusia memang akan terlahir kembali. Beberapa dari mereka bahkan memiliki sedikit ingatan kehidupan lalu mereka. Tapi tak memungkiri hati mereka untuk berubah. Yang ada pada mereka hanyalah memori bukan wujud nyata yang mereka inginkan dengan begitu hati manusia akan memilih untuk berpindah untuk tidak menyakiti diri mereka lebih dalam,"

"Maaf. Aku tidak ingin hal ini membebanimu, sehingga aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu hari itu. Manusia dan dewa. Serupa tapi tak sama. Sama-sama mencintai namun yang satu dapat meninggalkan yang lainnya terlebih dahulu. Namun di waktu yang sama dewa juga dapat mati kapan pun mengingat mereka memiliki rekan dan lawan dimana-mana, tetapi manusia mungkin tidak akan bisa menghadapi kesedihan yang begitu mendalam. Sebut aku egois tapi aku tidak mau membuatmu menderita jika hal itu terjadi dan berpikir bahwa akan lebih baik jika kau memilih yang lain, bukan aku, seorang dewa. Nyatanya aku hanya takut harus melihat dirimu pergi dari dekapannku lagi. Walau begitu aku masih disini, enggan untuk meninggalkan kota ini. Tempat dimana kita pertama bertemu, " tangan dingin itu berhenti mengusap air matanya, kini mengangkat wajahnya membawa manik biru bertemu manik amber. "Konyol bukan," Zhongli tersenyum kecil masih dengan pandangan sendunya.

"Kota ini... Liyue Harbor." Mungkin selama ini hal yang membuatnya nyaman duduk berjam-jam menyendiri memandangi laut bukan karena sejak kecil ia menyukai laut. Mungkin sudah sejak lama lubuk hati terdalamnya ingat dimana ia pertama kali merasakan cinta dan kasih sayang bukan dari keluarganya.

"Zhongli bodoh. Bahkan sebelum aku mengingat memori ini perlahan hatiku sudah menemukan xiansheng sebagai orang yang ingin aku habiskan hidupku…untuk kedua kalinya."

Pria yang lebih tinggi tersenyum, "Mungkin benar, aku memang bodoh," kedua tanganya turun mendekap pria yang menyebut dirinya bodoh. Kemudian mengecup perlahan kelopak mata pria di dekapannya. "Ajax, Childe, welcome back, my dear. Thank you for still choosing me."

Isakan Childe kembali terdengar, beradu dengan dentuman ombak "I'm back, Zhongli-xiansheng. Thank you for still loving me for the past hundred years until now."

Sekali lagi senyum manis itu terlukis di wajah manis pria itu menggantikan wajah menangisnya. Kali ini dengan keadaan yang berbeda namun dengan perasaan keduanya yang sama.

fin


Halo, setelah 5 tahun aku balik nulis lagi haha, murni dorongan karena nangisin mereka jam 3 pagi. Makasih yang udah mampir, jangan lupa jaga kesehatan