"Nenek, apa itu manju?"

Hari itu bersalju. Gumpalan kecil, putih metah, lembut—hanya seperti rambut perak yang kini lusuh itu—butiran salju turun satu per satu dari angkasa kelabu. Memenuhi bumi, menyelimuti tanah, menjadikan seluruh sisi kota disesaki hawa pembeku sukma.

"Aku lapar sekali—berilah aku satu."

Sang wanita paruh baya tersenyum tipis. Menatap batu nisan yang berukir nama almarhum suaminya, terbaring di sana setelah perjuangan yang heroik—dan bodoh di saat yang sama, menurut wanita itu.

"Ini milik suamiku. Kau harus bertanya padanya."

Namun, tentu saja lelaki sarat akan gurat luka itu tak pernah bertanya—ia meraih manju isi kacang merah dan melahapnya cepat.

"Loh, kau sudah bertanya?"

"Orang mati tak bisa berbicara atau makan dango," sahut si samurai. "Karena itu, aku membuat janji sepihak—kukatakan padanya, 'Hidup istrimu barangkali tak lama lagi. Namun, aku tak akan melupakan utang ini. Aku menggantikanmu menjaganya hingga akhir hidupnya.'"

Wanita itu terkekeh tipis. Dasar—ia memang lemah terhadap apa pun yang liar dan butuh afeksi. Namun, tak masalah, bukan? Mengangkat satu atau dua hewan peliharaan terdengar baik.

Apalagi, bila hewan itu berada di ambang kematian, serta ceroboh dengan hidupnya—maka, ia harus menolong.

"Aku tak peduli kalau kau dikutuk, loh."

Itu awal mulanya.


Gintama © Hideaki Sorachi

Warnings! Family, friendship, Gintoki-Otose/son-mother relationship, flashback, basically just me crying after the 211th episode of Gintama, canon, typo(s), possibly OOC, semoga sesuai PUEBI, dan sebagainya.

Stray by Saaraa


Terada Ayano—Otose, pemilik bar itu tidak paham apa yang telah dilalui lelaki ini. Namun, bola mata yang sewarna darah; yang begitu kontras dengan salju dan suasana biru saat musim dingin itu tampak redup serta kehilangan semangatnya.

Otose meraih handuk lembut dan kimono milik suaminya terdahulu dari lemari. Seusai itu, sang wanita memandang ke sekeliling—ruangan kosong, hanya berhiaskan tatami dan lemari kayu jati berpelitur cokelat tua untuk menyimpan memori suaminya.

Ah, benar juga. Dia bisa menempati lantai atas, pikirnya.

Lalu, Otose turun ke lantai bawah, di mana bar-nya berada. Saat menggeser shoji, lelaki tadi tampak kalem duduk di atas kursi. Pelupuk yang terangkat lesu memperlihatkan isi merah darah—terarah pada Otose.

Otose menaruh pakaian di atas meja, lalu berujar, "Nih. Mandilah, lalu kita urus lukamu. Kamar mandi ada di belakang, pakailah air panasnya."

Sang lelaki terdiam sesaat sebelum memutuskan untuk menurut. Ia menyeret langkah kakinya dan Otose sadar sang samurai menahan nyeri dengan mengeraskan rahang.

Mendengus, si wanita menyalakan linting kala pungutannya telah melenggang ke arah kamar mandi. Otose membiarkan udara nikotin memenuhi paru-paru sebelum ia mengembuskannya santai.

Perang, ya … memang tak ada yang bagus dari itu.

Saat amanto datang ke tanah para ksatria—semuanya berubah. Era berganti, moral tergerus, dan perang, darah, serta kematian merisak hidup. Merebut mereka yang terkasih, menggantikan damai dengan rusuh.

Mendadak, wajah seorang lelaki muncul dalam lobus otak. Senyumnya terngiang dan sosoknya yang mengisap kiseru begitu mengisi hatinya. Otose menggeleng-geleng.

Tuh, kan—ia jadi melankolis. Kalau tengah diam begini, pikirannya langsung mengabur dan menyatu dengan segala hal yang ia berusaha hindari.

Bukan, bukan maksudnya ia ingin melupakan suaminya—ia hanya berpikir, bahwa berduka dan menyesaki diri dengan penyesalan bukanlah jawaban. Ia yakin Tatsugoro setuju.

Clak. Clak.

Saat mendengar suara tirta yang jatuh telak tabrak dengan lantai kayu, Otose menoleh.

Oh. Kimono-nya pas. Namun, rambut perak itu tak dikeringkan sepenuhnya, masih bertempias air. Si lelaki hanya menggantung handuk di atas kepala. Otose mendengus. Dengan gestur tangan, ia menyuruh sang lelaki duduk di hadapannya.

Otose mengangkat kedua lengan, mengusap-usap kepala perak dengan handuk. "Dasar, keringkan yang benar."

Tak ada jawaban. Otose jadi bingung memanggilnya apa. Maka, ia bertanya dengan nada yang lebih lembut, "Namamu siapa?"

Si lelaki sedikit menengadah. Menemui bola mata secerah kastanya milik Otose. Pertanyaan sederhana—namun entah bagaimana membikin relung dada terasa hangat.

(Lelaki itu hanya lupa kapan terakhir kali ditanyai nama dengan intonasi dan maksud yang bukan untuk membunuh, menebas, atau penuh dendam. Itu saja.)

"… Gintoki. Gin, perak—dan toki dari jikan (waktu)."

"Hm-mnn," Otose mengangguk. "Cocok, ya."

Gintoki—lelaki itu mengerjap. Ia menautkan alis, lalu dengan senyum lemah membalas, "Karena rambutku?"

"Ya, rambut putih seperti bola-bola debu ini."

Gintoki mendengus—dan selanjutnya meringis, sepertinya ada luka yang masih perih. Melihat itu, Otose berhenti mengusap surai perak Gintoki, lalu mengambil kotak obat dari salah satu laci. Ia duduk di hadapan Gintoki dan menaruh kotak obat di atas meja—di sampingnya.

"Baiklah, luka mana yang masih sakit?"

"Tak apa," Gintoki menyahut cepat. "Begini doang diludahi juga sembuh."

"Buka kimono-mu, anak nakal."

"Sudah kubilang—"

"Kuperban lukamu, atau kutendang ke rumah sakit. Mau yang mana?"

Gintoki menutup suara.

Aku benar, batin Otose. Lebih pada dirinya sendiri. Dia pasti dikejar oleh bakufu. Veteran perang Joui, huh … padahal, masih muda begini.

Gintoki lelah. Maka, ia sedikit melonggarkan obi yang ada pada pinggangnya, lalu menyingkap kerah kimono.

Otose nyaris meringis kala melihat gurat luka yang tak terhitung—mulai dari goresan, lebam, luka kecil macam bekas ditempel rokok menyala, hingga luka sabet pendek-pendek dari pundak hingga perut bagian bawah. Luka yang belum mengering, namun sudah ditimpa lagi dengan yang baru.

Ia disiksa. Otose mendadak geram. Gila, sakit jiwa—ini bukan luka perang; ini luka siksa. Orang macam mana yang begitu tak memiliki hati? Orang macam mana yang menaruh kungkung pada pria yang belum dewasa sepenuhnya ini, lalu ketika ia tak berdaya—mereka begitu saja mengukir luka padanya?

Menaruh pisau itu pada kulitnya, mengiris, atau menggunakan ujung sepatu untuk menekan ulu hatinya?

"Bukan pemandangan yang indah, kan?" Gintoki membuka suara ketika keheningan menyergap terlalu lama. "Makanya, aku tak apa—"

"Bisa diam, bola-bola?"

"—maaf?"

Otose mendelik. Ia mendengus, lalu mulai bekerja. Meraih kapas, alkohol, perban. Sebelum itu, ia ingat untuk menyodorkan obat penahan rasa sakit dan kain agar Gintoki tak menggigit lidahnya sendiri.

Gintoki menolak. Ia terlalu keras kepala—memang begitulah ia, bukan?

Maka, senja itu, sang surai perak berusaha yang terbaik untuk tidak mengerang ngilu dan membikin tetangga heran.

Dan, Otose berusaha sebaiknya untuk tak ikut merasa perih—meski hatinya serasa amat sakit, mendengar rintihan samar dan gertakan gigi, serta dahi yang berkeringat. Wajah yang semakin pucat—kehilangan warnanya.

Mengapa manusia bisa jadi sebegini menderitanya? Otose masih tidak paham. Ia hanya tahu setelah mengobati luka dan menyodorkan onigiri—Gintoki terlelap dengan tangan terlipat di atas meja, dan baru pada saat itu, untuk pertama kalinya, Gintoki terlihat sedikit damai.

.

.

.

Snack Otose adalah tempat di mana semua orang bisa datang serta mengistirahatkan hati untuk sementara. Istirahat dari dunia, dari keseharian mengesalkan, dari segala hal yang mengikis jiwa. Namun, tidak jarang pula tempat itu malah jadi pelampiasan.

Otose memijit pelipis ketika dua tamunya mulai baku hantam. Sekali lagi ia menyergah kasar, "Sudah kukatakan, keluar kalau kalian ingin bertengkar!"

Tentu saja—tak didengar. Dua lelaki tua saling menarik kerah satu sama lain, kirimkan jotosan, dan membuat tamu lain menyingkir. Mereka menjatuhkan gelas di atas meja, menyenggol apa pun yang ada di hadapan.

Otose naik pitam. Mumpung salah satu lelaki ada dalam jarak pandangnya, ia tak ragu menarik kuncir kuda lelaki tersebut, membuatnya limbung ke belakang dengan punggung menghantam meja tinggi yang membatasi antara dirinya dengan Otose.

Di saat yang sama—limbungnya lelaki itu membuat pria satunya lagi juga ikut jatuh karena kehilangan berat tubuh lawannya, dan malah terdorong ke depan, nyusruk ke atas meja.

Otose mengerjap—oh, ia akan tertimpa.

Namun sebelum itu terjadi, tahu-tahu saja, sang wanita bermarga Terada merasakan seseorang di balik punggungnya. Tangan orang tersebut mencengkram wajah sang lelaki yang tubuhnya nyaris menimpa Otose, lalu diempaskannya laki-laki itu ke sudut ruangan yang lain.

Terlihat begitu ringan, seolah-olah Gintoki baru saja melempar sekadar kotak pensil.

Pria dengan kuncir kuda memucat.

Gintoki menggeram rendah.

"Kalian pergi dalam hitungan ketiga, atau kutusuk lubang pantat kalian. Satu …"

Si kuncir kuda terbirit keluar dari ruangan.

"… dua …"

Lelaki yang diempas oleh Gintoki masih terbaring di atas lantai kayu—belum bisa bergerak, rasa sakit merajai tubuhnya. Namun apa peduli Gintoki.

"… tiga." Gintoki berjongkok di sisi lelaki itu. Senyum dikirimkan. "Keluar."

Perintah itu dituruti dengan senang hati, tentu saja. Bisa-bisa bukan hanya terluka, tapi nyawa pun jadi taruhan. Kemudian, kesunyian mengambil alih. Gintoki mengusap belakang kepala dan mendengus. Ada-ada saja.

"Baik, Gintoki," Otose memanggil. Senyum hingga telinga tampak begitu cerah untuk seseorang yang tokonya baru saja dirusuhi. "Ambil sapu dan bantu bereskan."

Gintoki membelalak. "Kok, aku!"

"Ya, tentu saja kamu."

Meski menggerutu, toh pada nyatanya—Gintoki tetap meraih sapu dari belakang. Ia bahkan mewanti-wanti Otose untuk tak melangkah dari tempatnya berpijak—sebab wanita itu hanya mengenakan sandal tipis dan pecahan beling berserakan di mana-mana.

Saat semuanya telah beres, Gintoki menghela napas lega, mengembalikan sapu, lalu duduk di atas kursi. Semangkuk nasi hainam hangat telah tersaji di atas meja. Loh—selama ia menyapu, apakah Otose menyalakan penanak nasi dan menghangatkan ini? Oh, ya sudahlah.

Gintoki tidak banyak berbicara. Ia menyatukan kedua telapak tangan, berujar singkat, "Itadakimasu."

Meraih sumpit, ia mulai makan. Masih panas—enak. Sontak, iris merah itu berkilap bertempias lampu. Benar juga, perutnya bergemuruh lapar sedari tadi.

Ketika yang menemani mereka hanyalah suara detik jam dan Gintoki yang tengah menikmati nasi hainam, Otose pun bertanya seusai menyalakan tembakaunya, "Bagaimana Yorozuya? Apa yang kalian tadi lakukan hingga kau lusuh begini?"

"Oh," respon Gintoki. Mengingat kembali apa yang telah terjadi selama satu hari tadi. "Uh—menyedihkan. Kami mencari kucing yang hilang, lalu mendapatkan sedikit uang. Dan wanita itu keluar, omong-omong."

"Oh? Wanita cantik itu? Sayang sekali."

Gintoki menyetujui melalui gumaman. Otose mendengus melihatnya dan mengacak surai perak keabuan. Entah bagaimana, lucu melihatnya lesu karena kehilangan seorang pekerja.

Perjalanan lelaki ini tak pernah mudah. Semesta yang telah membentuknya sedemikian rupa, kini menelantarkannya hingga ia sendiri tak tahu apa yang harus ia lakukan. Saat memungutnya di kuburan suaminya, pun, Otose merasa—bila ia tak menawarkan rumah untuk pulang, maka Gintoki akan membiarkan jiwanya berpulang begitu saja.

Entah mati di antara salju, atau ditebas bakufu. Yang mana pun—terdengar tidak baik.

Mata yang redup itu pasrah dan menyedihkan, seolah berkata kepada seluruh orang yang menatapnya, "Mati itu hanya kembali. Bukan pergi. Dan, aku ingin kembali."

Namun kini, iris merah itu perlahan menemukan cahayanya. Meski tidak akan selalu mulus, inti kehidupannya perlahan tapi pasti kembali, dan itu cukup bagi Otose maupun Gintoki.

"Ya sudah. Asal kau membayar sewa bulan depan, ya!"

Gintoki mendengkus. "Iya, aku tahu. Makanya, Gin-san lagi berjuang keras, kau tahu?"

"Iya, iya—dasar anak nakal."

Gintoki tersenyum tipis. Satu suapan terakhir dari nasi pulen gurih itu, lalu ia berujar lirih, "Sankyuu, Kaa-san."

Otose membeku. Abu dari rokok jatuh bersepih-sepih ke atas meja. Gintoki yang bingung ucapan tulusnya tak dibalas pun menatap Otose.

"Tadi kau berkata apa?"

"Terima kasih? Padahal Gin-san sudah mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, kau malah tidak mendengar? Kuso baba!"

Oh. Anaknya malah tidak sadar. Otose tergelak. "Ucapanmu membuatku merinding, mending kau hentikan."

"Kau melukai hatiku."

.

.

.

Otose pernah bermimpi. Entah bagaimana—sebuah mimpi buruk yang datang menghantui setelah sekian tahun terlewat. Sebuah situasi imajinasi yang terangkai dari seluruh memori buruknya; menjadi satu malam itu.

Ia bermimpi bahwa langkahnya mengajaknya berlari di antara lahan perang. Prajurit, pemberontak, makhluk luar angkasa—apa pun, disodorkan padanya dalam bentuk mayat; manifestasi dari hasil pertumpahan darah yang terjadi.

Lautan manusia, entah seberapa luas—dan lahan ini tampak nirbatas. Otose melangkah tanpa arah, hingga menemukan sebuah tubuh. Tubuh dengan kimono yang khas dan jutte serta kiseru. Jantung Otose mencelos. Ia mendekati tubuh itu. Menopang kepalanya dan tampak senyum si lelaki—lemah.

"Jaga diri baik-baik, ya?"

Tidak bisa. Bagaimana caranya—kalau kau tidak kembali?

"Aku mengirimkanmu seseorang, kan? Benar kata mereka—anak itu seperti malaikat dari nirmana."

Yang kamu kirimkan adalah iblis kecil, bodoh.

Terada Tatsugoro terkekeh tipis. Ia melempar pandangan ke sampingnya. "Kalau begitu, maafkan aku. Ah, lagipula … iblis kecil itu tak akan mengganggumu lagi."

Otose, pada saat itu—dengan cepat menoleh ke samping. Sebuah tubuh anak remaja dengan pakaian serba putih dan rambut perak lengket bertempias darah.

Gintoki?

Oh. Tidak. Tidak, jangan—

Gintoki!

—jangan ambil dia, setidaknya, dia seorang ….

Gin—

.

"Baba!"

Otose tersentak. Pundaknya menegang. Kerjapan dilakukan untuk menyatukan pandangan yang pecah. Lalu, ia tersadar bahwa lelaki beriris merah tampak begitu kaku ekspresinya—dengan rahang yang keras.

"Apa, sih, yang kaumimpikan?" Gintoki mulai mengoceh. Sial. "Serius, aku nyaris melemparkanmu ke kuburan, Baba!"

Seberapa wanita tua itu tak tahu—bahwa Gintoki nyaris kehilangan sukma dan hatinya pada saat ia mendengar igauan serta racauan penuh sakit.

Otose menarik napas, lalu menghelanya panjang. Ini rumahnya—ini bar miliknya, sepi pengunjung di senja hari. Apakah ia tidur siang? Ia sudah lama tidak pernah tidur siang. Lalu, ia mengibaskan lengan, berusaha singkirkan kekhawatiran yang ia tahu tengah menggerogoti sang Shiroyasha.

"Hanya mimpi buruk. Kau baru pulang?"

"Ah, ya. Tadi aku bertemu anak aneh berkacamata di toko parfait."

Otose mengangkat sebelah alis. Gestur tubuh Gintoki mulai melemas dan lebih rileks. Senyum tipis juga tercipta. Meski Gintoki mengatainya anak aneh—tampak sekali bahwa ia tertarik oleh bocah kacamata yang disebutkan tadi.

Otose mendengus. "Kau sendiri aneh, sih—jadi pasti menarik orang-orang aneh."

"Jangan jahat gitu, ah, sama Gin-san!"

Sang wanita paruh baya, mau tak mau menyentil sebelah sudut bibir.

Entah sejak kapan—eksistensi lelaki di hadapannya terasa begitu penting. Begitu alamiah untuk ada di sisinya. Lelaki yang bersikap menyebalkan, pemalas, pelawak dengan guyonan tak jelas—tapi begitu berharga dan tak ingin dilepas.

Mungkin mereka memang benar. Kau tahu, ucapan lama dan legendaris yang disuarakan banyak orang, "Seorang wanita lemah, tapi seorang ibu itu kuat."

Sebab, entah bagaimana—kalau disuruh memilih, Otose tak ingin kehilangan putranya. Seorang putra yang tak pernah ia sangka akan ia dapatkan, atau akan dikirimkan oleh semesta. Aneh. Ia tak bermimpi untuk mempunyai seorang anak, sebab Tatsugoro pun telah berpulang ketika mereka masih muda.

Tapi, tahu-tahu ia dikirimi seorang bocah gede penuh luka, dan Otose puas oleh itu.

"Ajaklah anak itu bekerja di Yorozuya," sahut Otose. "Lagipula, bisnis gadunganmu itu tak ada karyawan, kan?"

"Hehh~? Merepotkan, ah!"

Dasar.

Banyak mengeluh.

Seperti anak pemalas.

END