Stargazing

Disclaimer: DMM.

Warning: OOC parah, typo, gaje, dll.

Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, dan untuk ulang tahun Kobayashi Takiji (01/12/2021).


Pada langit yang kini telah menjadi sesuatu bernama malam, dan juga kepada pukul sembilan yang sudah Kobayashi Takiji tunggu-tunggu sejak pagi, Takiji pun bertanya, "Bagaimanakah bintang-bintang dapat terbentuk?" entah kepada siapa. Ia bahkan hanya sendirian ketika menaiki atap perpustakaan ajaib. Tiada mengajak Nakano Shigeharu, ataupun Tokunaga Sunao, sehingga musim dinginlah yang sekadar bisa membalasnya melalui embusan angin.

Namun, sejujurnya Takiji memang sengaja sendirian. Walau lebih tepatnya lagi ia cenderung percaya, bintang-bintang juga menempati tempat yang sama; berada di genting dan menemani Takiji. Dalam sekian menit yang dilaluinya seorang diri, Takiji pun tak kelupaan mengukirkan bahwa pada hari ini ia berulang tahun. Tanggal satu Desember yang sebelum pergi mengunjungi atap; membesuk para gemintang, Takiji sudah lebih dahulu merayakannya dengan Shigeharu, serta Sunao.

Mereka lantas memiliki banyak kenangan baik. Sesaat Takiji jadi terlempar pada pagi hingga sore hari, di mana Sunao mengejutkannya dengan ledakan konfeti. Setelah itu Sunao pun memeluk Takiji bersama Shigeharu, barulah Takiji diminta mencicipi ohagi raksasa beserta makanan-makanan lain. Ketiganya juga banyak mengobrolkan masa lalu. Siapa sangka pula masihlah tersisa kejutan di luar perpustakaan, yang mana mengunjungi rumah pembuatan kaca menjadi ide brilian dari Shigeharu.

Sebagai kelompok yang menamai diri mereka proletar, dengan spontan Sunao juga mengajak keduanya bermain lempar salju. Mana mungkin ada rasa segan, apalagi Shigeharu menambahi dengan membicarakan kado natal. Sunao tentu bilang mereka harus mempersiapkannya, tetapi nanti dulu sebab ia mau membeli jagung bakar.

Semua itu tidaklah aneh, karena Takiji hanya bersenang-senang selayaknya manusia yang memiliki hati. Ia bukan lagi buronan polisi, sebab menganut paham komunisme. Ia bukanlah seseorang yang harus disiksa menggunakan nama se-mengerikan, "third degree torture methods", dan siapa pun yang melihat Takiji dihajar dengan rasa bajingan yang ringan, pasti akan menolong Takiji. Segala-galanya sudah berbeda yang tentunya menyenangkan sekali.

Dirinya memang sekadar melewati acara ulang tahun yang normal. Takiji pun tetap mengakui semua ini sebagai kehidupan yang baik, walau ia sempat mendapati sebuah makam. Meskipun tadi sore tepat di depannya, Dazai Osamu tiba-tiba menunduk sedalam mungkin. Seolah-olah tak dapat ditarik keluar oleh siapa pun, karena ia tak ingin kendatipun Takiji sudah berkata sejak awal, ia selalu mengizinkan Dazai agar bisa ditolong teman-temannya.

"Sekali lagi aku meminta maaf, Kobayasahi-san. Walaupun mungkin kau tidak ingin mengingatnya, aku tetap merasa harus melakukan ini."

Dazai mengatakan itu dengan penuh penyesalan, sebelum pergi begitu saja diselimuti kemuraman yang menolak apa pun. Baik Takiji, Sunao, maupun Shigeharu, tentu mereka tahu Dazai hendak mengungkit apa. Adalah mengenai kematian Shiga Naoya, usai memurnikah buku Hell Screen milik Akutagawa Ryuunosuke. Ternyata kekuatan alkemis pun tidak bisa mengembalikan Shiga agar berkumpul lagi di perpustakaan ajaib.

Kembali mengingatnya kini membuat Takiji menghela napas. Sesekali pula ia melirik ke arah samping kiri, seperti menunggu seseorang naik untuk menemani Takiji. Sekilas Takiji turut berpikir, mungkin Sunao serta Shigeharu gagal. Apakah memang Takiji terlalu naif, sehingga ia serta-merta yakin orang itu pasti–

"Ah … kau datang," ucap Takiji impulsif, tatkala mendapati sepasang netra emas yang tampak sayu, sedangkan rambut merahnya acak-acakan. Dazai menatap linglung ke arah Takiji yang sekadar menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Di atas atap tentu lebih baik Dazai duduk, daripada tiba-tiba tergelincir, apalagi pemandangannya sangat bagus.

"Ayo duduklah. Aku enggak akan mengapa-apakanmu, kok."

Tetapi Dazai masih bergeming. Bingung harus apa, lebih-lebih mereka kurang dekat dan Takiji hanya tiba-tiba mengundang Dazai kemari, telunjuk Takiji tahu-tahu mengarah pada lautan bintang. Sepertinya ada berjuta-juta bahkan miliaran.

"Omong-omong maaf kalau terkesan mendadak, aku bukan Sunao yang pandai bersosialisasi soalnya. Naoya-san berada di langit, dan kembali menjadi bintang. Makanya berhentilah merasa bersalah."

Sudah pasti itu terlalu mendadak. Dazai yang sejak tadi hanya sibuk bermuram durja, ditambah merasa bersalah, sampai-sampai sempat memasang ekspresi bingung. Samar-samar Takiji tampak menghela napas lagi. Hatinya yang teguh tetaplah meminta Dazai duduk di sampingnya, dan seribu untung Dazai mau menurut. Kini akhirnya mereka sama-sama memperhatikan gugusan bintang khas musim dingin.

"Naoya-san pernah bilang kepadaku, sesorang yang sudah meninggal akan kembali ke langit, dan menjadi bintang. Artinya adalah Naoya-san selalu mengawasiku. Makanya Dazai-san tak perlu merasa tidak enak hati, karena aku saja santai sejak mengetahui, Naoya-san mati dua kali."

"Dia gurumu, lho, dan Haruo-sensei bilang kalian sangat dekat. Bahkan seperti ayah-anak," jawab Dazai agak ketus. Bagi telinganya kalimat Takiji tidak lebih dari penghiburan belaka. Hanyalah basa-basi yang basi, di mana Takiji begini agar Dazai berhenti menyusahkan Takiji.

"Benar dia guruku, terus?"

"Ya memangnya kau tidak sedih apa, karena kalian enggak bisa bareng-bareng lagi? Alkemis yang mereinkarnasikan jiwa penulis itu kesempatan langka, lho. Apa kau tak mau mengobrol dengan Shiga? Menciptakan kenangan baru di perpustakaan ini mumpung shinshokusha merajalela?"

"Mau."

"Berarti kau merasa marah padaku, dong?! Shiga-sensei hilang gara-gara aku keras kepala. Coba aja aku percaya sama dia, pasti sekarang ini–", "Mau bukan berarti harus terwujud, Dazai-san. Lagi pula selain yakin Naoya-san sudah pulang ke langit, aku juga memiliki pemikiran lain. Maukah Dazai-san mendengarnya?" potong Takiji pelan. Ujung-ujungnya Dazai memilih terus membuang muka, tetapi Takiji masa bodoh. Asal bocah persik ini mendengarkan maka Takiji pasti baik-baik saja.

"Dulu aku mati karena menyebarkan paham komunis, di mana pemerintah Jepang menganggapku sebagai ancaman. Usiaku masih 29, Dazai-san. Sementara Naoya -san 88. Adakalanya aku berpikir, Naoya-san sudah melihatku mati selama 59 tahun."

Tentu saja 59 tahun bukanlah waktu yang singkat. Takiji masih terlalu muda, sedangkan Shiga amatlah tua, membuat Takiji tak dapat membayangkan sudah berapa lama Shiga tersiksa. Dia pun merupakan guru yang di dalam kebaikannya ada semesta. Di saat-saat terakhir Takiji sebelum menjemput cahaya putih, ia bisa menyaksikan wajah Shiga yang terkurung dalam penyesalan. Bahwa dirinya bahkan tidak dapat melihat detik-detik kematian Takiji, padahal minimal Shiga menontonnya supaya ia sekaligus mengantar Takiji.

Menemani Takiji agar muridnya yang pendiam itu tahu, dia adalah seseorang yang berharga.

Dalam 59 tahun itu, Shiga pun mungkin selalu membayang-bayangkan, bagaimanakah cara Takiji mati? Apakah Takiji berada di ranjang yang empuk? Ibunya mendampinginya dengan menggenggam tangan Takiji? Langit pada hari tersebut cerah, kah, atau mungkin sedikit mendung? Tetapi Shiga harap hujan tak turun, sebab kematian bukanlah waktu untuk bersedih. Apa arti dari kehidupan pelik yang sudah Takiji alami apabila Shiga sekadar tersedu-sedu tanpa batas?

Begitu saja sudah menyakitkan, apalagi jika Shiga tahu Takiji sesungguhnya mati disiksa. Bukan akibat gagal hati seperti yang diberitahukan oleh polisi.

"Oleh karena itu, di saat-saat terakhir aku ada berkata, semoga aku bisa merasakan yang Naoya-san rasakan, karena aku sangat ingin setia kepadanya sebagai seorang murid. Namun, kalaupun tidak memiliki kesempatan tersebut, setidaknya aku diizinkan meminta maaf. Lalu kami akan mengobrol selayaknya guru-murid hingga shinshokusha dibasmi seutuhnya."

"Ternyata aku diberikan kesempatan untuk merasakan yang Naoya-san rasakan, Dazai-san, dan aku menerimanya. Aku akan terus hidup seperti Naoya-san, soalnya aku tahu kali ini adalah giliranku untuk tak meninggalkan dia."

Pada kehidupan mereka yang lama, Shiga sudah menemani Takiji hingga Shiga sendiri tiada. Pasti berkat itulah Takiji tak kesepian. Makanya pada tanggal satu Desember ini, Takiji tetap bisa mencetak kenang-kenangan indah dengan Sunao serta Shigeharu. Ia yang tak merasa kesepian, sehingga Takiji dapat bersenang-senang seperti yang seharusnya.

"Ada bintang jatuh bahkan. Aku yakin Naoya -san tetap memikirkanku, jadilah aku disuruh membuat permohonan. Dazai-san mau ikut?"

"…"

"Kuharap Dazai-san betul-betulbaik-baik saja, setelah aku mengajakmu mengobrol secara singkat. Itulah perasaan terdalamku, Dazai-san. Kau takkan bisa menyangkalnya meskipun kau tetap bersikeras menyalahkan diri sendiri."

Tubuh Dazai yang sempat terangkat, dan mulutnya yang terbuka lebar untuk memprotes Takiji, semua itu tiba-tiba terbenam tanpa kata. Sayup-sayup, sebenarnya Takiji pun bisa mendengar Dazai menangis. Cukup pelan sehingga Takiji akan berpura-pura bodoh, barulah ia memejamkan mata. Salju lantas perlahan-lahan turun, membuat Shigeharu berinsiatif menjemput Takiji beserta Dazai, atau besok mereka bisa demam tinggi.

"Anggap saja Dazai-san yang menangis itu adalah kado dariku, Naoya-san. Meskipun kamu sudah tahu, aku tetap ingin menunjukkan bahwa kami selalu menyayangi Naoya-san."

Atap pun kosong sesudah Takiji membisikkannya lewat suara hati. Besok adalah tanggal dua Desember, dan Takiji berjanji ia pasti selamat semisal harus delving. Akan lebih baik, bukan, apabila Takiji bisa hidup selama 59 tahun atau bahkan lebih? Meski karena sepertinya terlalu muluk, setidaknya Takiji berharap ia dapat merayakan ulang tahun Shiga tahun depan, tahun depan, barulah tahun depannya lagi.


Tamat.


A/N: Siapa sangka aku bakalan bikin buat ultah takiji. Padahal awalnya masih berkutat di fic komedi aopella, meski ujung2nya berhenti dulu gegara kering humor. Aku bikin ini setelah selesai kuliah. Sempet ganti-ganti prolog juga, jadilah lama banget yang hampir aja gak jadi bikin. Buat ide, sebenernya aku gak punya ide yang gimana-gimana banget. Cuma kepikiran aja saat takiji direinkarnasikan alkemis, shiga gak ada yang ternyata dia mati gara2 memurnikan hell screen. Kemudian keinget fic contre temps, bahwa kata morgiana siapa pun yang udah mati bakalan pulang ke langit, dan menjadi bintang.

Selamat ulang tahun buat takiji. Thx buat yang udah baca, fav, follow, review, atau numpang lewat doang. Mari bertemu di fanfic lainnya~