Beberapa menit setelah alarm bel pagi dimulai, beberapa orang mulai memasuki ruangan seluas auditorium dengan memakai jasnya. Terdapat dua lantai di dalam sana, ruangan di lantai atas tertutup gelas kaca luas yang dapat memonitoring kegiatan yang ada di lantai bawah. Berbeda dengan orang-orang yang ada di lantai dua mengenakan jas putih, orang-orang yang berada dibawah mengenakan pakaian tebal bagai astronaut. Dari ujung kaki hingga leher tertutup oleh pakaian tebal yang dilapisi timah dan aluminium foil, sementara bagian kepala memakai helmet yang menutupi sebagian kepala dengan plastik bening yang menutupi wajah.

Seorang pria masuk tanpa mengenakan baju pengaman layaknya sebagian orang yang ada di lantai satu. Ia hanya memakai baju kasual dengan rambut yang ia usahakan untuk terlihat rapi. Seorang lain dengan pakaian lengkap pengaman astronot itu menghampirinya dari jauh. Ia datang dan menuntun pria itu untuk menandatangani surat kontrak sebelum mempersilahkannya menunggu di depan tabung.

Pria itu hanya diam sambil melihat beberapa barang yang disodorkan oleh pekerja laboratorium yang menghampirinya. Uang, koper berisi baju dan tas berisi hal yang kemungkinan akan dibutuhkannya dalam eksperimen ini. Dari belakang seorang gadis datang tanpa mengenakan pakaian pengaman astronot, ia menepuk pundak pemuda itu dengan keras.

"Kau akan bertemu dengannya lagi setelah satu tahun dan seperti ini penampilanmu untuk menyapa versi dirinya yang muda? Kau pasti akan di anggap om-om gila nanti olehnya."

Pria itu mengusap tengkuknya yang ditepuk wanita itu dengan keras. "Kau sendiri kenapa masuki ruangan dengan jelas tertulis tanda bahaya radiasi jika lampu berwarna merah tanpa mengenakan pakaian astronot itu? Kau gila atau buta warna?"

"Aku hanya mengantarmu pergi, bodoh! Lagipula aku investor terbesar disini, aku yang membiayai semua ini, ingat itu!" tandas wanita itu sambil memberikan ponsel untuk pria itu. "Kau yakin akan menemuinya pada tanggal ini? Bukankah ini jauh lebih cepat beberapa bulan sebelum musim semi? Kau yakin akan menemuinya yang benar-benar tidak tahu siapa dirimu?"

Pria itu mengangguk mantap, "Pertama kali kami bertemu, dia menemukanku. Aku mengabaikannya begitu saja. Setelah sekian lama, kami bertemu kembali tanpa sengaja tanpa sadar aku mencintainya. Dia bilang bahwa sudah lama dia yang mencintaiku lebih dulu. Tapi aku melepaskannya sekali lagi, menyerah begitu saja ketika-"

"Hei," suara pria yang menggema dari speaker berasal dari lantai dua memotong pembicaraan mereka. Keduanya lantas menengok ke atas saat melihat pria berambut merah terang tengah memerhatikan mereka. Ia menggenggam mikrofon dengan tegas. "jika kau bisa membawanya kembali, aku akan melepaskannya untukmu. Jangan sia-siakan kesempatan yang sudah kuberikan, aku sudah bertaruh banyak baik dalam hal materi maupun hati."

Pria dengan rambut merah itu kemudian menyerahkan mikrofon kepada pemuda yang ada di sampingnya untuk di ambil alih, kemudian pemuda itu duduk pada kursi yang telah disiapkan paling depan diruangan itu. "Sebelum aku mulai, sayang.., bisakah kau segera naik ke atas sini? Ini sudah lebih dari lima menitmu tanpa pengaman, aku tidak ingin kau terkena radiasi dibawah sana."

Wanita itu tertawa sambil menepuk punggung pria yang ada disampingnya itu sebelum pergi. "Kau harus tepati janjimu dan benar-benar membawanya kembali." Selepas wanita itu pergi dan pintu ruangan itu dikunci, hanya tersisa dirinya dan beberapa peneliti yang telah mengenakan pakaian pelindungnya.

"Baiklah, aku tahu kita sudah saling mengenal dan ini hanya sekedar formalitas. Aku yang akan memimpin eksperimen pagi ini. Aku akan menegaskan sekali lagi aturannya, kau akan melakukan lompatan waktu kembali ke sebelas tahun yang lalu. Jangan sampai orang lain mengetahui darimana kau berasal atau bagaimana caranya kau bisa datang. Kau satu-satunya yang akan mengubah sejarah, segala perubahan itu akan mengubah beberapa masa depan. Termasuk ingatan kami, jika kau berhasil maka kau satu-satunya yang akan mengingatnya. Kau tahu aku tak pernah memohon padamu lebih, tapi tolong jangan rubah masa lalu yang membuat kontradiksi di masa sekarang yang membuatku tidak bisa bersama dengannya." Pemuda itu menarik gadis berambut panjang itu mendekat padanya.

"Kau akan sampai pada tempat ini sebelas tahun yang lalu apapun itu tempatnya. Semua uang dan barang-barang yang sudah kami siapkan bisa kau gunakan disana. Kau hanya memiliki waktu sepuluh hari disana dan setelah itu kau akan kembali secara paksa apapun yang terjadi." Lanjutnya terhenti ketika wanita yang ia sebut sayang memasuki ruangan dimana ia menjelaskan jalannya eksperimen.

"Jika kau sudah paham, kau bisa masuk ke dalam tabung yang ada di belakangmu."

Pria itu mengemas semua barang yang telah disiapkan untuknya masuk ke dalam tabung yang disebutkan. Beberapa peneliti lainnya menuntun pria itu masuk, "Ingat. Kau harus mencari dan membawanya kembali!" teriaknya sekali lagi sebelum benar-benar memulai eksperimennya.

Begitu tabung itu tertutup dan lampu menyala menandakan eksperimen akan segera dimulai. Beberapa orang dengan pakaian astronotnya mulai berjalan menjauh dari tabung untuk berlindung di bilik di dekat sana. Ketika tombol sudah ditekan dan beberapa orang disana mulai menghitung mundur dipandu dari speaker pusat, perlahan tabung dengan pria itu di dalamnya mulai bekerja.

"Kali ini aku yang akan mencarimu, menemukanmu dan mencintaimu lebih awal sebelum dirimu. Aku pasti akan membawamu kembali, Hinata."

.

.

.


Written in Reverse

SasuHina©Naruto©Masashi Kishimoto

Based on song with the same title©Tiesto & Hardwell ft. Matthew Koma


©Hachi Breeze


©2019


[Re-Upload]


.

.

.

Tokyo, 2008

Pagi itu salju turun lebih awal. Jalanan menjadi licin karena tertutup salju. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang ataupun berjalan di atas kecepatan minimum. Matahari tidak terlihat sama sekali, hanya langit yang abu-abu tertutup awan dan salju yang turun. Beberapa orang memilih untuk bersembunyi di dalam rumah atau pergi ke tempat yang hangat. Hanya sedikit yang bertahan untuk berjalan diluar dengan mantel tebal berbalut syal yang mengitari leher untuk mencegah dingin menusuk kulit.

Hari itu, toko roti yang biasanya menawarkan roti hangat fresh from the oven tengah tutup. Kepulan asap beberapa orang yang berlalu lalang menyatu dengan kepulan asap kecewa dari gadis yang baru menyadari bahwa toko yang ingin ia datangi itu tutup tanpa ia ketahui. Pipinya memerah karena dingin. "Hinata!" gadis itu terkejut ketika punggungnya ditepuk dari belakang.

"Ino-chan," Hinata sedikit membalikan seluruh badannya karena syal yang ia lilitkan terlalu erat sehingga tidak bisa membuatnya bergerak. Melihat itu, Ino yang ada di dekatnya sedikit membenarkan syal Hinata agar tidak terlalu erat.

"Kau ada shift pagi ini?" tandasnya.

"Entahlah. Kurasa aku akan mengambil cuti saat natal nanti."

Ino melingkarkan lengannya pada Hinata dan menarik gadis itu untuk berjalan. "Minggu besok kau akan datang ke cafe tempat kerjaku lagi, kan?"

Ia tertawa sebentar. Menyamakan langkah kakinya dengan teman dekatnya menjauhi toko roti yang tutup disana. "Akan aku usahakan untuk datang."

.

.

.

Les piano Hanabi terpaksa dibatalkan karena salju turun lebih lebat di Saitama, beberapa blok maupun jalan putar balik pun tertutup salju hingga Hanabi merengek karena guru les nya tidak bisa datang ke rumah. Hinata baru saja menutup pintu dojo ketika Hanabi berlari kepadanya untuk mengecek apakah roti hangat kesukaannya yang ia inginkan sudah di dapat. Tangisannya semakin menjadi ketika Hinata kembali tanpa membawa apa-apa, hanya salju tebal diseluruh mantelnya.

Hinata nampak bingung harus bagaimana ketika Hanabi berlari menuju ruang tengah dan melemparkan dirinya pada sofa. Hinata berjalan mengikuti di belakangnya ketika ia melirik Neji mengisyaratkan untuk biarkan saja dia terlebih dahulu dan memberinya teh hangat. "Tokonya tutup, aku tidak tahu harus bagaimana lagi."

Hinata menyesap teh hangatnya, "Saljunya memang tebal saat aku berjalan kembali kesini."

"Ini bukan salahmu, salju turun tiba-tiba dan mengacaukan segalanya, bukan? Lagipula Kurenai-sensei juga tidak bisa datang kemari karena hal itu."

"Dia tidak bisa datang?" Hinata sedikit tertegun. "Itukah alasannya menangis? Bukan karena aku tak membawakan roti pesanannya yang ia suka?"

Neji tertawa keras sambil menepuk pundak Hinata. Kemudian menggeleng pelan sambil mengambil mantel dingin hinata untuk diletakan digantungan yang ada di samping koridor. Neji berjalan mendahului Hinata, mengusap perlahan kepala gadis itu sambil berlalu. Pemuda itu menggosokan kedua tanganya seusai menyentuh kepala Hinata. "Berapa lama kau berada diluar? Bahkan kepalamu sangat dingin sekali Hinata."

Gadis itu melirik bagian atas kepalanya dari balik poni tebalnya. Mengusap poninya dengan salah satu tangannya yang pucat. "Kurasa kau benar Neji-nii, bahkan poniku seperti terasa membeku."

Neji menepuk pundak Hanabi yang masih menangis di sofa ketika Hinata menghampirinya. Pemuda itu mengusap puncak kepala si bungsu Hyuuga ketika gadis kecil itu beralih pada pangkuan Neji sebagai bantalan menangis. Hinata mendudukan dirinya disamping Neji, melihat pemuda itu mengusap Hanabi untuk menenangkan tangisannya.

"Kau tahu, ayah tidak akan pulang malam ini karena akan pergi ke Sendai di perfektur Miyagi, menyiapkan dokumen kerjasama. Aku juga akan kerja shift malam. Kau tidak apa-apa jika sendirian dirumah?"

"Tunggu, ini kan malam weekend. Kau tetap akan pergi? L-Lalu salju sangat tebal hari ini, kau yakin akan tetap pergi?"

Neji menghembuskan napasnya dengan berat hati, pemuda itu melirik Hanabi yang sedikit mulai terlelap dipangkuannya ketika tangisannya tidak terdengar lagi. "Minggu lalu aku berhutang shift dengan temanku karena menjaga Hanabi sakit dan menjemputmu dari school trip, hari ini aku menggantikannya untuk membayar hutang itu."

Hinata menggigit bibir bawahnya karena merasa cemas hanya berdua dengan Hanabi dirumah tanpa ada siapapun. "Aku akan segera pulang begitu shift nya selesai."

"Tidak bisakah kami ikut saja? Kau tahu, saat berjalan pulang kerumah aku merasa seperti ada seseorang yang mengikutiku."

"Hinata, kau tahu tempat kerjaku tidak memperbolehkan perempuan dibawah dua puluh tahun masuk, bukan? Terlebih Hanabi yang masih dibawah sepuluh tahun."

Hinata mulai merasa cemas. Neji meliriknya dan menghembuskan napasnya lagi. "Oke baiklah, aku akan melakukan double check keamanan rumah sebelum aku pergi. Dan aku akan menelepon Ino untuk menginap kemari, oke?"

"Ya, kurasa kau memang perlu melakukan itu."

"Aku tahu kau hanya beralasan seseorang sedang mengikutimu agar kau bisa mendekatkan aku dengan Ino, kan?"

Hinata hanya tertawa. "Minggu depan dia akan mengambil libur pada natal. Kau tidak ingin mengambil libur?"

"Aku akan mengambil libur tepat tujuh hari lagi, minggu depan, tepat saat ulang tahunmu."

Pemuda itu kemudian mengambil bantal dan menggantikan sandaran kepala Hanabi yang ada pada pahanya untuk dengan bantal yang jauh lebih empuk. Neji berangsur meraih ponselnya dan berjalan menuju pintu belakang untuk mengecek keamanan rumah seperti janjinya. Begitu nada sambung nomor yang dituju Neji langsung menyambung dan diterima tanpa menunggu lama, pemuda itu langsung menyampaikan maksudnya menelepon gadis di ujung sana.

Beberapa jam sebelum Neji benar-benar pergi ke tempat kerjanya, Ino datang beberapa menit setelah ia mendapatkan telepon dari Neji. "Kau tahu, sungguh gila! Kukira Neji-senpai memintaku untuk menginap karena hal lain! Hinata kau sungguh membuatku gila!" Ino berteriak dan menutup wajahnya karena malu mengira maksud Neji.

Hinata hanya tertawa. Neji memukul pelan kepala Ino sebelum dia benar-benar pergi, "Aku tak percaya kau sungguh mesum, Yamanaka-san."

Ino semakin menyembunyikan wajahnya dibalik tubuh mungil Hinata ketika Neji hanya tertawa menggodanya. "Sudahlah Ino, kau tahu kakakku tidak benar-benar serius."

"Aku sungguh tidak punya muka sama sekali sekarang, Hinata!" tangisnya ketika ia membuntuti Hinata mengunci pintu depan dan sedikit menjinjit melihat kaca untuk memastikan bahwa Neji benar-benar telah pergi. Ia sedikit menghembuskan napasnya lega karena Ino ada disana menemaninya dan Hanabi. Neji sudah berjanji padanya dan ia sudah membawa kunci cadangan untuk jaga-jaga, seharusnya ia tidak merasa khawatir.

Hinata membalikan badan ketika Ino masih berjongkok disana dengan menutupi wajahnya. "Umm, Ino-chan,"

Ino mendongak dan mendapati Hinata berlalu untuk mengajaknya masuk ke ruang tengah. Duduk di sofa dimana Hanabi tadi tertidur disana sebelum pada akhirnya Neji yang mengangkatnya untuk pindah tidur di kamar. "Kau tahu saat kita berpisah di toko roti tadi pagi?"

"Uh-huh."

"Kau tahu toko rental kaset yang tutup di persimpangan jalan, bukan?"

"Umm, ya. Kurasa."

"Tadi pagi saat kita berpisah, seseorang keluar darisana dan mulai berjalan mengikutiku. Aku sempat berhenti disana memastikan, kemudian dia tetap berjalan disana mengikutiku sampai rumah."

Ino mulai tertarik ketika Hinata sedikit mendekatkan dirinya saat duduk di sofa, "Kau yakin tidak menemukan siapa-siapa saat kau berjalan kemari?"

"Kau yakin di ikuti? Sepanjang aku kemari, hanya salju tebal yang aku temukan." Gadis itu hanya mengangguk.

"Mungkin kau salah orang, atau dia salah mengenalimu sebagai seseorang yang lain. Kau terlalu paranoid Hinata. Apa kau melihat wajahnya?"

Hinata menggeleng. Gadis itu benar-benar tidak memerhatikan sama sekali karena dia memang terlalu takut apabila bertemu orang asing. "Kau yakin akan datang ke cafe tempat kerjaku besok?"

"Ya, aku sudah berjanji kan?"

"Baiklah kalau begitu mari kita tidur sekarang tuan putri yang sudah mempermalukanku. Kita isi energi untuk besok dan pergi ke cafe bersama." Hinata sedikit tertawa karena Ino masih menyalahkannya tentang gurauan Neji.

.

.

.

Hal pertama kali yang Hinata temui ketika bangun tidur adalah Neji yang sudah tertidur di sofa. Pemuda itu sepertinya sepulang kerja langsung tidur tanpa mengganti pakaiannya dan tidur di kamarnya yang empuk. Jaketnya masih melekat dengan syal yang melilit di sekitar lehernya. Mantel tebalnya juga menggantung asal di samping koridor. Hinata berbalik ke kamarnya lagi untuk mengambilkan Neji selimut, tapi gadis itu melihat Ino masih terlelap nyenyak dengan selimutnya. Hinata beralih membuka lemarinya dan mengeluarkan selimut baru untuk Neji. Begitu ia mendapatkan selimut, ia menutup pintu kamarnya perlahan agar Ino tidak terbangun di dalam sana. Ia berjalan mendekati Neji dan menyelimutkan kain tebal itu di sekujur tubuh kakaknya. Pemuda itu menggeliat perlahan tak nyaman, kemudian Hinata berjalan sedikit menjauh untuk membuatkan sarapan.

Ketika Neji mulai membuka matanya, ia bisa menemukan Hinata sudah berdiri membelakanginya di dapur. Ia tidak mengikat rambutnya atau memakai apron. "Oh, kau sudah bangun Neji-nii?"

Neji masih menguap dan menjawab seadanya. "Kurasa kau pulang telat semalam hingga tak sempat melepaskan jaketmu dan pindah ke kamar."

"Kau tahu salju kemarin sangat tebal, sangat susah untuk pulang kemari dengan cepat ketika kau menemukan beberapa blok jalan tengah ditutup, huh."

Hinata meletakan teh hangat di hadapan Neji. Dan beberapa roti panggang hangat yang sudah tertata rapi di setiap piring yang disiapkan di atas nampan. "Kurasa roti ini bisa membuat Hanabi membaik setelah tidur seharian kemarin." Ia sedikit tertawa ketika menyodorkan sepiring kepada Neji.

"Kurasa Ino-chan tidak akan mau Nii-chan melihatnya setelah bangun tidur. Sebaiknya aku bangunkan dia sekarang dan Nii-chan cepatlah ke kamarmu."

"Hei, aku masih mau makan roti panggangnya!"

"Bawalah ke kamarmu kalau begitu. Aku akan pergi dengan Ino-chan setelah ini, aku sudah berjanji akan pergi ke cafe nya."

"Uh-huh!"

.

.

.

Ino dan Hinata keluar dari kediaman Hyuuga dengan mengenakan mantel yang tebal. Salju masih menutupi beberapa blok jalan menuju ke Shinjuku. Ketika sampai di cafe tempat Ino bekerja mengambil shift pagi, mereka berdua berpisah di depan pintu masuk. Ino masuk ke dalam cafe melalui pintu belakang khusus staff dan Hinata masuk melalui pintu depan sebagai pelanggan. Hinata tahu ini masih baru jam pertama cafe ini buka, hanya beberapa slot meja yang terisi oleh pelanggan untuk menikmati makan paginya disana. Hinata melirik ke arah pintu staff yang terlapisi lingkaran kaca kecil disana, memastikan Ino tidak terlambat dan segera mengganti mantelnya dengan baju kerjanya. Hari ini setau Hinata, gadis itu akan menempati posisi sebagai kasir hingga setengah hari saja.

Begitu Hinata duduk, ia menyandarkan badannya pada punggung kursi dan membuang napasnya lega. Ketika ia memerhatikan sekitar, ia baru sadar bahwa di depannya tengah duduk seorang pria yang tengah memerhatikannya. Hinata buru-buru memperbaiki posisinya dan melemparkan pandangannya ke arah lain dan mencoba untuk mengabaikan pria yang memandangnya intens disana. Ketika pelayan datang kepadanya dan menawarkan air putih dan memberikan Hinata buku menu, ia merasa lega.

"Silahkan pesanannya, nona."

"Umm, aku pesan-"

"Strawberry milkshake, pancake dengan sirup almond di atasnya. Frappio bubblegum tanpa topping atau whip cream, mungkin bisa kau ganti bubble atau pearl jika kau punya, itu jauh lebih bagus. Lalu moccachino dengan gula slight."

"Baiklah. Terima kasih mohon ditunggu."

"Ah tunggu-" Hinata hendak memanggil kembali pelayan itu dan berganti memandang pria yang sudah kini sudah duduk dihadapannya. "P-Permisi, ini mejaku." Ia berusaha memberanikan diri untuk menegaskan pada pria yang umurnya jauh di atasnya itu.

"Aku tahu." Pria itu hanya menjawab dingin dan seadanya. Ia melepaskan syal yang melilit di lehernya, mencoba untuk merasa rileks di depan Hinata ketika ia masih mengeluarkan kepulan asap dari bibirnya yang nampak membiru. Hinata merasa ia di acuhkan dan hendak untuk pindah mencari meja yang lain.

"Jangan pergi Hinata." Pria itu memegang tangannya, menahannya untuk pergi. Hinata sedikit memekik terkejut ketika merasakan tangan pria itu sangat dingin, entah berapa lama pria asing ini berada diluar salju yang sedang tebal diluar sana. Terlebih gadis itu memilih menetap ketika pria ini mengetahui namanya dengan mudah.

"Tanganmu dingin, tuan."

"Oh maaf." Pria itu menarik tangannya dari Hinata dan menyembunyikannya dibalik mantel yang ia kenakan. Hinata jadi teringat ketika ia membawa heat pack di dalam tas yang dibawanya. Ia mengeluarkannya dan menyodorkannya pada pria itu. Ia mendongak ketika Hinata meminjaminya.

"K-Kau tahu, aku memerhatikanmu beberapa saat tadi. Aku tahu tidak sopan tapi anda juga terlalu serius memandang ke arah saya."

Pria itu terkekeh sebentar, "Sangat sulit menemuimu. Aku sampai jauh-jauh datang hanya untuk bertemu denganmu."

Hinata tertegun dan hendak menjawabnya tapi niatnya terhenti ketika pelayan sudah datang dengan pesanan yang pria itu pesankan untuknya. Setelah table set selesai, pelayan itu pergi meninggalkan mereka berdua. "Bagaimana anda bisa tahu ini semua adalah-"

"Kesukaanmu? Aku sudah tahu lama."

Hinata masih tidak mengerti. "Maaf tuan aku baru bertemu dengan anda hari ini, tepatnya baru beberapa menit yang lalu."

Ia masih tersenyum, "Kau ingat bunga sakura saat kita pertama kali bertemu? Atau bau rumput yang basah di taman Ueno?"

"Eh?"

"Saat itu kau hendak mengejarku masuk ke dalam stasiun di depan taman Ueno. Kau tidak ingat?"

"T-Tunggu!" Hinata menyilangkan kedua tangannya meminta pria itu untuk berhenti memberikan penjelasan yang menurutnya tidak masuk akal.

"Mungkin kau belum bertemu denganku saat ini, maka ingatlah jika kau sekarang tengah bertemu dengan kekasihmu dari masa depan."

Hinata hendak mengeluarkan suaranya tak percaya sebelum jemari pria itu menutup bibirnya, "Kumohon jangan berteriak. Akan aku jelaskan."

"Sebelum itu berjanjilah untuk tidak menyebar semua hal ini kepada orang lain. Mereka akan menganggapmu gila." Hinata hanya mengangguk dan meminta penjelasan yang tidak masuk akal menurutnya.

"Namaku Uchiha Sasuke. Kau akan bertemu denganku yang sesungguhnya pada musim semi tahun depan. Aku datang sebelas tahun dari masa depan hanya untuk menemuimu."

Hinata masih diam, "Ketika kau menemuiku lebih awal, dan aku tidak tahu apa-apa. Bukankah lebih baik jika kita nanti bertemu dan sudah saling mengenal?"

"Tapi itu tidak menjelaskan bagaimana bisa kau mengaku sebagai kekasihku, Uchiha-san."

Tatapan Sasuke berubah menjadi serius ketika Hinata melontarkan pertanyaan itu, Hinata mendadak menciut mendapatkan pandangan itu dari pria yang duduk di hadapannya. Beberapa saat kemudian pandangannya berubah melembut dan ia menyentuhkan kedua tangannya di antara cangkir moccachinonya yang hangat. "Aku akan menceritakan semuanya jika kau mau datang menemuiku lagi besok pagi di manga cafe persimpangan shinjuku. Liburan musim dinginmu sudah dimulai, kan?"

"Y-Ya," Hinata menjawabnya ragu dan melirik strawberry milkshake yang ada dihadapannya.

"Aku akan menunggumu besok disana jika kau cukup percaya denganku dan ingin mendengarkan cerita lengkapnya. Sekarang makanlah, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya akan melihatmu setelah itu aku akan pergi jika kau sudah selesai, jika tidak Yamanaka pasti akan menghampirimu dan mengusirku."

"Kau kenal dengan Ino-chan?"

Sasuke memalingkan pandangannya menghindari wajah Hinata yang masih terlihat tidak percaya, "Mungkin. Dia salah satu yang terlibat dalam hal ini."

Hinata memutuskan untuk diam dan membiarkan pria misterius bernama Sasuke ini duduk dihadapannya. Memerhatikan gadis itu menikmati hidangan yang telah dipesankan dengan baik oleh Sasuke. Seperti janjinya, begitu Hinata selesai menghabiskan Frappio dengan topping pearl satu jam setelahnya, Sasuke pamit dan pergi dari tempat Hinata masih termenung disana. Meninggalkan gadis itu penuh dengan pertanyaan dan moccachino nya yang bahkan setengah cangkir pun tidak habis. Hinata melirik segelas air putihnya yang masih ada disana. Memikirkan kembali dan memutuskan akan memercayai Sasuke atau tidak.

Ketika Ino melihat semuanya dan menunggu pria itu keluar dari cafe setelah membayar di kasir, Ino langsung meminta ganti shift sebentar agar bisa menghampiri Hinata. "Aku melihatnya. Siapa pria tua tadi?"

"E-Entahlah." Hinata membuang pandangannya untuk menghindari pandangan Ino.

.

.

.

Hinata tidak tahu pasti keputusannya benar atau tidak ketika keesokan harinya hingga dua hari kedepan saat malam menjelas natal ia memutuskan untuk tinggal dirumah daripada memercayai perkataan orang asing yang mengaku dari masa depan untuk datang ke manga cafe di shinjuku. Hari ini dia sendirian dirumah ketika Hiashi memutuskan hanya mengajak Hanabi untuk ikut bersamanya ke Sendai menghabiskan natal saat ia menolak ajakan ayahnya. Neji juga masih berkutat dengan pekerjaannya, ataupun ajakan Ino yang ia tolak dengan halus saat mengajaknya menghabiskan malam natal bersama.

Ketika ia melirik jam sudah nyaris menuju jam siang, Hinata menggigit bibir bawahnya tidak percaya karena merasa khawatir. Bagaimana jika pria bernama Sasuke itu masih menunggunya disana walau sudah tiga hari. Tanpa ragu ia menyambar tas dan syalnya lalu bergegas memakai mantel tebalnya.

.

.

.

"Akhirnya kau datang juga." Sasuke masih tersenyum kecil ketika Hinata duduk di hadapannya.

"Aku tahu kau mungkin masih tidak percaya denganku karena membutuhkan tiga hari untukmu akhirnya datang, tapi sebelum itu aku kembalikan heat packmu agar kau kembali merasa hangat. Terima kasih sebelumnya."

Sasuke masih tersenyum disana ketika Hinata mencuri pandang kepadanya. "J-Jadi jelaskan padaku."

Sasuke mulai mengambil napas panjangnya disana. "Kau dan aku, dulunya adalah kekasih."

"Dulunya?"

"11 Maret 2011. Jangan pernah pergi ke Sendai. Baik kau ataupun keluargamu. Kumohon."

"Bagaimana kau bisa tahu tentang-"

"Hinata," Sasuke menyelanya. "aku tahu karena aku datang dari masa yang telah tahu apa yang akan terjadi pada hari itu." ia mengambil dan membuang napasnya lagi. "Oke kita mulai dari awal."

"Pertama kali kita bertemu adalah tahun depan. Musim semi, di taman Ueno. Jangan pernah kau lewatkan hal itu, sampai apapun yang terjadi, temui aku disana. Demi apapun Hinata, kumohon bahkan demi Tuhan, ketika Hyuuga memutuskan ke Sendai 10 Maret 2011 kumohon hentikan itu."

"Kenapa?"

"Disana akan terjadi gempa yang menewaskan kakakmu, Hyuuga Neji. Dan Tsunami yang akan membuat Hyuuga Hiashi dan Hyuuga Hanabi hilang karena hanyut. Sementara kau luka berat hingga tiga bulan lamanya."

"A-Apa? Bagaimana bisa aku percaya?"

"Kau sangat suka dengan Andromeda Sister, tahun 2012 kau akan mendapatkan kesempatan untuk menjadi staff termuda yang akan menangani bagian humas pemasaran buku mereka dengan tujuan untuk memenuhi biaya kuliah. Aku tahu kau sangat suka dengan Andromeda Sister, terutama dengan karya solo Haruno Sakura. Lalu pada tahun 2014 kau menjadi dekat dan secara tidak langsung asisten pribadinya."

"Bohong," Hinata masih berusaha untuk menyela Sasuke yang berusaha menjelaskan karena tidak percaya. Gadis itu menutupi wajahnya tidak percaya ketika dia akan bisa sedekat itu dengan Andromeda Sister, terutama Haruno Sakura yang dia idolakan.

"Kau hidup pindah-pindah setelah itu. Saat tur buku mereka yang terbaru, kau memilih menetap di Kyoto pada tahun 2015. Saat itu kita bertemu kembali. Kita menyewa kamar yang tak sengaja bersebelahan. Kau cerita banyak hal, dan aku tidak menyadari jika kau memutuskan untuk menetap di Kyoto karena perjodohan dengan pewaris Akasuna."

"Tunggu, maksudmu Akasuna Sasori?"

"Kau mengenalnya sekarang? Maksudku di masa ini?" Sasuke nampak tidak percaya ketika Hinata bisa menyebutkan nama itu dengan baik.

"Dia junior kakakku yang sedang kerja part time di pusat Tokyo. Kurasa beberapa hari yang lalu ia sempat kerumah saat aku akan berangkat school trip."

"Bedebah itu," geram Sasuke.

"Tiga tahun kau memilih untuk menetap di kamar kecil di samping kamarku daripada pulang ke rumah Akasuna. Memilih untuk bersama denganku selama tiga tahun. Tahun 2018 saat Akasuna memilih menikahimu, kau memilih untuk mengikuti undangan Haruno pergi ke Amerika."

Sasuke sedikit menghentikan ucapannya ketika ia berusaha memikirkan kalimat yang pantas, "Kau akan terlibat kecelakaan pesawat dalam perjalananmu menuju Amerika. Saat itu kau akan meninggal, benar-benar meninggal."

Hinata masih terdiam, gadis itu menyimak dengan baik segala penjelasan Sasuke. Terlebih ketika mengamati bagaimana pria itu menahan emosinya untuk menyampaikan dengan baik bagaimana hal yang sudah dilaluinya. "Yamanaka Ino kudengar pernah menaruh hati pada kakakmu, ketika kabar kecelakaanmu itu sampai padanya dan kau benar-benar pergi darinya, dia yang paling terpukul. Dia satu-satunya orang yang akan mendonasikan segala uangnya dalam eksperimen yang hanya khusus dibuat untuk membujukmu."

"Kurasa kau perlu membuatnya pergi bersamamu ke Ueno saat musim panas. Dia akan bertemu dengan salah satu temanku, Sai, peneliti yang mengepalai eksperimen ini. Aku berjanji dia akan menjadi wanita yang paling bahagia ketika bersama Sai."

"Akasuna Sasori juga berperan dalam mendanai hal ini. Haruno Sakura juga menyesal mengundangmu ke Amerika dalam rencana turnya. Karirnya putus setelah berita kematianmu sampai ke telinganya, dia benar-benar berhenti menulis sejak saat itu."

Hinata nampak tidak percaya. Melihat itu Sasuke melirik kerumunan orang yang berlalu lalang dikaca belakang Hinata. "Kau mau jalan-jalan? Mumpung malam natal."

.

.

.

Hinata memandang punggung besar yang ada di depannya. Mengamati bagaimana tangan besar yang kini terselip di antara jemarinya itu menggenggam tangan kecilnya. "Kau pernah bilang, kita harus membuat sesuatu hal yang bahagia. Karena kita membuat kenangan tanpa kita sadari lalu menghilang begitu saja meninggalkan sebuah rindu di dalamnya. Aku tidak ingin merusak kenangan indahmu dengan mengatakan hal-hal buruk,"

"Bagaimana kita bisa bertemu kembali? Kau belum menjelaskan dengan jelas bagian itu."

"Well, kau akan mengetahuinya saat kita bertemu lagi."

Hinata tidak tahu alasan apa yang membuat dirinya di masa depan akan jatuh hati pada pria yang ada di depannya. Sasuke selalu menjawabnya dengan kau akan tahu jika waktunya tiba. Saat mereka berdua sampai di christmast tree paling besar terpajang yang berada di pusat kota, Hinata melirik pria yang ada disampingnya. Menanyakan apakah mereka berdua akan datang ke tempat seperti ini lagi atau tidak di masa depan. Sasuke tidak pernah menjawab dengan pasti. Pria itu semakin mengeratkan genggamannya pada tangan kecil Hinata. Tidak ingin melepaskan tangan yang susah payah ia temui dengan jarak yang sangat jauh.

"Aku tahu kau akan berulang tahun sebentar lagi."

"Kau pasti sudah tahu." Hinata tertawa kecil ketika dirinya mendapati bahwa ia bisa menerima Sasuke dengan mudah tanpa ia sadari. Genggaman pemuda itu semakin erat ketika ia tahu waktunya juga terbatas tanpa bisa ia tahu tidak mengatakan terbatasnya waktu yang ia miliki beberapa hari kedepan. Ia tidak tahu pasti kapan ia ditarik secara paksa untuk kembali ke masa depan, jika hitungannya benar maka itu tidak akan sampai pergantian tahun. Tapi ia tidak bisa menentukan secara pasti karena saat dia sampai di masa ini, sedikit meleset dari tanggal setting yang eksperimen rencanakan.

"Kau tahu, Hinata." Gadis itu menoleh ketika Sasuke tidak mengalihkan pandangannya sama sekali.

"Aku ingin tahu bagaimana kau menikmati malam natal atau menghabiskan hari ulang tahunmu, menyambut tahun baru dan sebagainya di tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya jika kau tidak pergi ke Sendai tahun 2011 ataupun ke Amerika tahun 2018."

"Ketika aku kembali ke masa depan, kau pasti akan segera melupakanku."

"Kau mau pergi denganku ke kuil saat tahun baru nanti, Uchiha-san?"

.

.

.

Hinata tidak menemui Sasuke sama sekali sejak pemuda itu hanya mengantarkannya pulang tanpa mengatakan apapun malam natal. Neji sudah menunggu di depan pintu ketika Sasuke membungkuk memberikan hormat. Neji mendesak Hinata ketika adiknya di antarkan pulang oleh pria yang umurnya terpaut jauh darinya.

Hingga hari ulang tahunnya tiba, Neji dan Hiashi menyempatkan diri untuk berada di rumah untuk ulang tahun Hinata hari itu. Hanabi menyalakan lilin pada kue ulang tahun Hinata. Pesta yang sengaja di adakan kecil itu membuat Hinata terpikir kembali akan perkataan Sasuke.

"Umm, Tou-san. Begini-"

.

.

.

Hari itu Sasuke menyarankan sehari lebih cepat sebelum malam tahun baru benar-benar datang. Ia benar-benar takut menghilang disaat yang tidak tepat oleh karena itu ia memajukan hari pertemuannya dengan Hinata. Pria itu masih memakai mantel yang sama dengan sebelumnya, hanya syal yang berbeda dan tambahan kupluk di kepalanya. Mereka sepakat untuk menunggu di pintu masuk kuil setelah matahari terbenam.

Hinata menepuk pundak Sasuke ketika pria itu membelakanginya. Memberi isyarat bahwa dirinya sudah datang pada pria yang nampak terlihat gelisah di hadapannya. Keduanya kemudian berjalan menuju kuil dalam diam. Tidak ada yang memulai untuk berbicara ataupun mengisi keheningan di antara mereka. Ketika kedua nya sampai di depan kuil yang mulai ramai, ramai akan orang yang hendak memanjatkan doa untuk kebaikan tahun yang baru. Sasuke mulai menggenggam tangan Hinata di keramaian yang bisa membuat mereka terpisah.

"Ingat saat kau mengatakan, would you love me till it hurts? Kau belum mendengarkan jawabanku saat itu." tiba-tiba Sasuke memecah keheningan. Pria itu berhenti sejenak ketika Hinata masih memandangi punggung lebar pria itu dari belakang.

"It hurts so much, Hinata." Sasuke membalikan badannya dan merengkuh tubuh mungil yang sudah lama dirindukannya itu.

Hinata merasakan tubuhnya dirangkul erat oleh pria ini di depan kuil. Beberapa orang berbisik karena merasa terganggu dengan keduanya. Tapi Hinata tidak bisa mengelak dengan pria yang baru-baru ini ditemuinya itu. Dekapan hangatnya, sikap kikuknya, nada sabar dan jujurnya. Hinata tidak bisa mengelak hal itu dari Sasuke. Mungkin dia mulai mengerti bagaimana jika dirinya di masa depan benar-benar jatuh cinta dengan pria ini.

"Dengarkan aku, waktuku tidak banyak sekarang. Kau harus ingat, tahun 2011 jangan pernah ke-"

"Sendai, aku tahu." Hinata tersenyum kecil ketika ia tahu maksud pria yang masih memeluknya erat.

"Oke, jika kau sudah mulai mengerti. Tahun-"

"2018 aku tidak akan pergi ke Amerika. Aku tahu Uchiha-san."

"Kau akan melupakanku, Hinata. Bagaimana bisa aku menjamin kau akan mengingat hal itu?"

"Kau bilang kita akan bertemu lagi tahun depan, kau bisa mengatakannya lagi padaku."

Sasuke hendak melepaskan pelukannya pada gadis itu ketika ia mencoba menaruh perhatiannya pada kuil yang ada dihadapannya. Pandangannya mulai mengabur dan buram, bagai kaset video rusak. Ia sedikit mengendorkan dekapannya ketika sebelah tangannya mengusap matanya memastikan pandangannya tidak terganggu. Tapi pikiran Sasuke salah, mungkin ini adalah saat yang dimaksud oleh Sai jika ia akan ditarik secara paksa. Begitu ia kehilangan waspada, pundak Hinata tak sengaja bertubrukan dengan orang lain sehingga tubuh mungilnya lepas dari dekapan Sasuke. Gadis itu terpisah dengan pria yang masih mencoba melihat dengan baik pada pandangan matanya.

"Uchiha-san!"

"H-Hinata," Sasuke bisa mendengar Hinata memanggil namanya tapi pandangannya tidak bisa menolongnya untuk meraih gadis itu kembali di dekatnya. Lautan manusia yang berlalu lalang semakin menciptakan jarak di antara dia dan Hinata disana.

Hinata semakin terpisah ketika ia menabrak salah seorang yang mebuatnya tidak sengaja masukke jalur rombongan orang yang hendak keluar dari kuil. Ia sadar jika ia semakin jauh dari Sasuke, ia melawan arus lautan manusia dengan tubuhnya yang kecil meraih Sasuke pun tidak akan sanggup. Yang Hinata tahu ketika ia mencoba memutar balik kembali ke tempat dimana ia kehilangan Sasuke disana, pria itu menghilang. Tidak ada disana sama sekali. Hinata berlari menyusuri berbagai sudut kuil yang menurutnya bisa menjadi tempat eyecatching untuk orang tersesat. Namun nihil, Hinata tidak menemukan Sasuke sama sekali, yang Hinata tahu ia kehilangan pria itu di kerumunan yang ramai.

Tidak ingin kehilangan harapan, gadis itu mencoba menyusuri sekali lagi sebelum ia berdoa dan pulang ke rumah. Pandangannya masih menyisir daerah yang dilaluinya. Pundaknya menabrak seseorang disana. Hinata sedikit terkejut disana ketika ia menemukan sosok yang ia cari namun lebih muda dan lebih segar dari sebelumnya. Jaket tebal dan syal yang melilit di lehernya, wajahnya masih terlihat muda dengan rambut yang tidak terlalu panjang menutupi wajahnya.

Keduanya masih diam disana, selanjutnya pemuda itu hanya menunduk dan menjawab dingin seadanya. "Oh maaf. Kukira kau seseorang yang kukenal."

Ketika pemuda itu hendak pergi, Hinata masih ragu. "U-Uchiha-san?"

Pemuda itu berhenti, membalikan badannya seakan tidak terkejut sama sekali. "Kau Hyuuga?"

.

.

.

Tokyo, 2019

Sasuke membuka matanya dengan perasaan berat ketika ia tidak bisa sadar dengan benar-benar pulih. Pria itu merasa badannya sangat sakit di berbagai sisi. Hal pertama yang dia tangkap adalah langit-langit kamar yang tidak asing menurutnya. Lemari cokelat dan mint yang ada di pinggir jendela adalah pemandangan yang tidak asing baginya. Ia berganti melirik ke bagian bawah tubuhnya. Tangannya menyingkap selimut yang menutupi dirinya disana, ia mendapati sebelah kakinya diperban. Ia menjatuhkan dirinya kembali ke kasurnya, masih memikirkan bagaimana terakhir kali ia tertarik secara tiba-tiba dan meninggalkan Hinata di kerumunan itu. Atau bagaimana masa depan yang sudah ia coba untuk rubah.

"Kau sudah bangun?" Sasuke terkejut ketika ia mendapati suara yang familiar itu berada di balik pintu.

Perempuan yang ingin ia bawa kembali benar-benar berdiri disana membawakannya sup hangat. "H-Hinata? Ini benar kau?"

Wanita itu tertawa kecil mendengarkan betapa kagetnya pria yang ada dihadapannya. "Kau kira siapa lagi?"

Ia meletakan mangkuk berisi sup hangat untuk Sasuke di meja dekat kasur Sasuke yang masih berusaha menyandarkan badannya di kepala tempat tidur. Hinata membantu pria itu untuk duduk dengan nyaman ketika ia masih memandangnya tidak percaya. "Apakah keseleo karena terjatuh membantuku mengganti lampu membuatmu sangat linglung, Sasuke-kun?"

"Bagaimana dengan Sendai?"

Hinata mengernyit, "Memangnya ada apa dengan Sendai?"

Sasuke membuka mulutnya ketika Hinata menyuapinya. "Tahun 2011, apakah kau ke Sendai? Kau tahu, kau pernah bercerita tentang ikut keluargamu ke Sendai karena bisnis ayahmu."

"Ah, itu! Tou-san mengubah target ke Tokushima. Entahlah saat itu sepertinya karena suatu hal, sehingga Sendai dibatalkan."

"Tahun lalu kau kemana?" Hinata semakin tidak mengerti apa yang pria itu tanyakan. "Sasuke-kun, apakah keseleo benar-benar membuatmu hilang ingatan?"

"Apakah kau dan Akasuna ... masih akan tetap menikah?"

Hinata memukul pelan dada Sasuke ketika pemuda itu masih menanyakan hal lain. Ia tak menghiraukan Sasuke mengadu sakit. "Sebelumnya kau tanya tahun lalu aku kemana, lalu kemudian kau bertanya apakah aku akan menikah dengan Akasuna-san. Kau mau istrimu dinikahi orang lain?"

"Huh? Kita menikah?"

Hinata mencubit pipi Sasuke gemas ketika pria itu terlihat mempermainkannya. "Tahun lalu kita menikah, lalu bayi siapa yang aku kandung jika ini bukan anakmu, Uchiha Sasuke?"

Sasuke memeluk erat tubuh Hinata tak percaya. Ia benar-benar telah mengubah sesuatu di masa lalu hingga Hinata kini masih berada di pelukannya, dekapannya, masa lalu, masa kini dan masa depannya untuk seterusnya.

.

.

.


If we were written in reverse

And the end was our beginning

Our love would be rehearsed

And the pain will turn to healing

-Written in Reverse-


The En-

Oops


.

.

.

OMAKE:

Hari ketika ulang tahun Hinata 2008

Sasuke memandang perumahan kompleks rumahnya yang masih berada disana sebelum kebakaran yang akan terjadi beberapa tahun kedepan dan mengubah hidupnya menjadi sedikit sulit. Pria itu mengunjungi rumahnya yang entah akan masih sama atau tidak sebelah tahun kedepan. Ia memberanikan diri untuk mengunjungi kediamannya dan menemui orang tuanya hanya karena alasan rindu. Sasuke menekan tombol rumahnya dan menunggu orang di dalam rumahnya merespon. Ia sadar ketika interkom masih belum terlalu populer pada tahun ini. Berbeda dengan beberapa tahun kedepan mungkin yang akan mulai laku habis-habisa menjadi konsumsi publik.

Itachi, kakaknya, yang membukakan pintu terdiam disana ketika mendapati diriya berdiri di depan sana. "Hai, Nii-san."

Selang beberapa detik kemudian Itachi menutup pintunya tanpa memerdulikan bagaimana Sasuke yang datang dari sebelas tahun kedepan masih diam di depan. Pemuda itu berlari ke dalam rumah dengan heboh. "Tou-san! Diluar ada orang yang mirip dengan Tou-san-tidak, mirip dengan Sasuke-tidak, aku tidak tahu pasti mirip siapa tapi dia memanggilku Nii-san padahal rasanya dia seumuran denganku!"

.

.

.

Fugaku, Itachi dan Sasuke yang masih belasan tahun itu duduk memandang Sasuke yang datang dari masa depan. Mendengarkan dengan seksama apa yang pemuda itu jelaskan. Sasuke merasa kikuk ketika keluarga nya yang masih di tahun 2008 itu tidak percaya dengan dirinya. Di lain sisi, Mikoto sedikit tersenyum dan mulai pindah mendudukan diri di samping Sasuke yang nampak dewasa di hadapan keluarga Uchiha malam itu. Ia membelai pelan kepala pria itu dan mengusapnya perlahan.

"Siapapun kau, aku tidak peduli darimana asalmu. Atau bagaimana hal yang ingin kau ucapkan. Yang aku tahu pasti, aku merasa ada bagian darimu yang merupakan anakku. Sasuke selalu melakukan hal seperti itu, kan?"

Sasuke ingin memeluk ibunya saat itu tapi ia sadar ketika ia tidak memiliki banyak waktu dalam hal ini. "Begini, aku ingin kalian segera meninggalkan Kanagawa saat tahun 2012. Akan terjadi kebakaran hebat disini karena dipicu oleh persaingan pasar dari orang yang memusuhi Tou-san. Pindahlah ke Toyama atau Kyoto. Disana paling tidak kalian akan aman."

Fugaku sedikit tertegun ketika ia baru terpikir merencanakan melebarkan sayap ke daerah Toyama atau Kyoto baru semalam. Entah bagaimana orang asing yang mirip putra sulung dan mengaku sebagai Uchiha bisa tiba-tiba tahu. "Jika kau benar seorang Uchiha, kau pasti akan tahu bagaimana pemikiran Tou-san, Sasuke. Kita pasti akan melewatinya bersama."

Fugaku masih memerhatikan. Itachi masih melanjutkan menimpali, "Dari semua cerita yang kau sebutkan, kemungkinan besar jika kita melebarkan sayap ke timur maka akan menjadi buruk demi masa depan Uchiha? Maka bagaimana dengan barat, kan?"

Fugaku tersenyum kecil. "Kau jauh-jauh datang kemari hanya untuk mengingatkan kami? Tidak biasanya."

"Aku juga ingin mengingatkan kepada Sasuke tentang beberapa hal." Sasuke yang masih muda itu tertegun ketika bayangan dirinya dari masa depan mulai mengarah serius padanya.

.

.

.

Sasuke menggerutu ketika semalam orang asing datang ke rumahnya mengaku sebagai dirinya.

"Tanggal tiga puluh nanti, datanglah ke kuil. Temui aku disana dan temukan gadis bernama Hyuuga Hinata. Kau akan tahu ketika dia memanggilmu Uchiha-san atau Sasuke."

Ia masih mencoba mengingat samar-samar bagaimana ia bisa menuruti dengan mudah permintaan orang asing yang kemungkinan hanyalah tipuan belaka. Ia hanya mengambil jaket dan melilitkan syal seadanya di leher karena ia sempat melewatkan dan lupa akan permintaan Sasuke yang dari masa depan itu.

"Crap! Apa aku terlambat." Sasuke nyaris sampai di kuil yang mulai ramai oleh kerumunan orang yang berlalu lalang hingga ia mendengar ada yang meneriakan namanya.

"Uchiha-san!"

"Hah?" Sasuke menoleh. Mencari sumber suara yang memanggil marganya di antara kerumunan lautan orang ini. Dia tidak salah mendengar, bukan? Atau ada orang dengan marga Uchiha lain yang datang kesini? Misalnya Itachi? Karena dia juga ada di ruangan itu saat ia masih disana.

Sasuke meneruskan langkahnya mencoba menuju ke tempat orang-orang berdoa, berharap menemukan sosok asing yang kemarin berada di rumahnya. Tapi ia tidak menemukan apapun atau siapapun yang sekiranya sama dengan yang ia harapkan untuk ditemukan. Ketika ia hendak kembali, tanpa sengaja bahunya menabrak seorang. Saat itu Sasuke tertegun menemukan seorang gadis manis sendirian dengan raut bingung. Keduanya tertegun disana.

Sasuke sedikit tersadar disana. Ini bukan saatnya ia merasa terpesona dengan gadis yang ada dihadapannya. Dengan sopan ia kemudian membungkukan badannya meminta maaf karena telah menabraknya. "Oh maaf. Kukira kau seseorang yang kukenal."

Ia hendak melanjutkan kembali perjalanannya yang sekiranya sia-sia, ketika gadis itu kembali memanggilnya. "U-Uchiha-san?" Sasuke berbalik.

"Kau Hyuuga?"

.

.

.

Tokyo, 2009

Sasuke masih melirik ponselnya ketika jam menunjukan pukul delapan pagi. Hari ini ia akan pergi ke Kyoto bersama Sai dalam orientasi universitas. Sai belum juga datang ketika pemuda itu sudah merasa sedikit bosan. Sasuke berganti melirik pohon sakura yang mulai mekar disekitarnya. Aroma rumput yang basah karena embun masih terasa segar saat itu. ketika angin berhembus, kelopak sakura mulai berguguran bersama angin. Sasuke mengikuti arah salah satu kelopak sakura yang jatuh dihadapannya. Pandangannya beralih jatuh pada seorang gadis yang tak asing. Ketika gadis itu juga menemukannya, keduanya saling membungkuk.

"Uchiha-san!"

"Oh, Hinata."

"Kau mau ke stasiun?"

"Hn, apakah kau juga?"

"Ya. Aku dan Ino-chan akan pergi ke Kyoto untuk menghadiri tur Andromeda Sister."

"Eh? Aku juga akan ke Kyoto tapi untuk orientasi sih."

Hinata memekik tidak percaya. "Bohong,"

Keduanya masih mengobrol ketika satu persatu Sai dan Ino mulai sampai pada titik bertemu. Ino melirik Sasuke yang dirasa seperti tidak asing, kemudian beralih pada pemuda yang ada disamping Sasuke. Tersenyum manis. Ketika mereka berdua berpisah peron karena berbeda menaiki kereta yang berbeda, Hinata berpamitan kepada Sasuke. Begitu pula sebaliknya.

"Sampai nanti Uchiha-san."

"Hinata,"

"Ya?"

"Kau bisa memanggilku Sasuke jika kau mau."

Hinata sedikit tersenyum. "Sampai bertemu di Kyoto, Sasuke-san."

Sasuke membalas Hinata membungkuk sekali lagi sebelum akhirnya gadis itu berada di kereta yang berbeda. 'Kurasa aku tahu kenapa aku bisa jatuh cinta dengannya.'

.

.

.


OWARI

©2019

©Hachi Breeze