Tokyo, 2016
Tahun ini hampir genap satu tahun ketika Hinata memutuskan untuk menyewa apartemen kecil demi melanjutkan kuliahnya di Tokyo. Lokasi yang ia tinggali memang berjauhan dengan pusat Tokyo, ia bahkan sampai harus menyisir di distrik Ueno karena harga sewanya cukup masuk akal. Ketika musim panas datang, kembali pulang ke Kyoto beberapa hari adalah kewajiban untuk seorang gadis yang memutuskan hidup terpisah. Bahkan ketika Hinata mendapatkan ijin untuk pergi ke Tokyo melanjutkan sekolahnya, ia sudah merasa paling beruntung.
Dua bulan sebelumnya, saat musim semi membuat cuaca sedikit hangat, untuk pertama kalinya Hinata tersesat dalam rute kereta Yamanote-sen*. Untuk tolak ukur gadis Kyoto yang baru pertama merasakan bagaimana rute paling sibuk dan sesak itu, Hinata terlewat dua stasiun besar sampai ke distrik Shibuya. Sehingga ia harus menyisir satu putaran Yamanote-sen atau berbalik arah dengan menggunakan bus kembali ke Tokyo. Uang Hinata terlalu terbatas untuk menukar poin dengan saldo tap card dalam bus sehingga ia tidak ada pilihan untuk melanjutkan satu putaran lagi, terlebih hari itu ia berangkat terlalu awal jadi tidak ada waktu yang terbuang untuk sampai di Tokyo. Hari itu pertama kalinya Hinata sadar jika Tokyo memang luar biasa besar dan sesak untuknya.
Hinata menutup pintu apartemennya dan meletakan tas jinjingnya yang besar untuk mengunci pintu. Ia bersiap-siap akan ke Kyoto pagi itu. Ia tak membawa banyak barang bawaan karena hanya akan pulang beberapa hari sebelum minggu jadwal shift kerjanya dimulai.
Ia tak bisa transit ke stasiun Tokyo dengan bawaan barangnya menggunakan Yamanote-sen seperti biasanya. Hari itu ia memilih menaiki bus untuk sampai di stasiun Tokyo. Suhu udara Tokyo sudah cukup panas dengan terik yang begitu menyengat ketika ia sudah sampai, Hinata sudah menunggu di peron yang dilintasi kereta tujuannya terjadwal dalam dua puluh menit kedepan menuju Kyoto.
Gadis itu duduk sambil menerawang ke depan, memandang kosong peron seberang tanpa perasaan tertarik. "Oh, Hinata!"
"Kiba,"
Sesekali Hinata mencuri pandangan pada pemuda yang ada di samping Kiba, "sedang apa kau disini?"
"Aku bekerja paruh waktu di klinik hewan kakakku, kebetulan sekarang akan menjemput hewan klien." Kiba sedikit tersenyum sebentar, kemudian ia melihat tas jinjing yang ada di samping Hinata. "Kau akan ke Kyoto hari ini?"
Hinata berdiri terlebih dahulu kemudian mengangguk dan tersenyum menjawab pertanyaan Kiba, ia mengalihkan pandangannya pada pemuda yang ada di samping Kiba. Seakan mengerti, pemuda itu buru-buru mengenalkan seorang yang di sampingnya. "Ah, ini klien tetap kami di vet. Kebetulan aku tahu dari Naruto-senpai jika dia senior kita di gedung Barat. Kau tahu, kan?"
"Uchiha Sasuke." Pemuda itu sedikit membungkuk dan merendahkan pandangannya.
Hinata buru-buru membalas dan membungkukan badannya. "Hyuuga Hinata."
.
.
.
Lima Tahun
Hachi Breeze
Seluruh karakter yang di ambil dari cerita ini:
Naruto©Masashi Kishimoto
©Hachi Breeze
©2021
[1] Hyuuga Hinata
Halo, saya Hachi Breeze. Rasanya sudah lama sekali saya tidak berkunjung kesini. Akhir-akhir ini saya mendapatkan pesan dari beberapa orang yang tidak terduga akan menjadi seorang fans untuk saya yang bersembunyi dibalik sebuah nama pena ini. Ada yang tak tersirat mengatakan dan ada pula yang terang-terangan mengatakan langsung. Bahkan menagih saya untuk kembali menulis melanjutkan apa yang belum tuntas hahaha hahasayamaluhaha. Saya cukup tersentuh dengan beberapa orang yang dengan berani memberi saya cahaya pada hari-hari gelap saya. Sebagai rasa terima kasih untuk orang-orang yang telah lama mendukung saya dan saya ingin perasaan itu diluangkan dalam bentuk sebuah cerita untuk pelipur lara yang hanya tak seberapa ini, semoga mereka menjadi lebih baik.
Cerita ini berdasarkan beberapa kisah nyata yang benar-benar terjadi dan sudah diberi ijin oleh orang-orang yang bersangkutan untuk dipublikasikan kepada saya. Tidak semuanya yang terjadi benar, tidak semuanya pun ada yang dikurangi. Cerita ini ditulis langsung dalam dua chapter dengan versi sudut pandang yang berbeda secara bersamaan dan sangat singkat, apabila ada kesenjangan mohon maaf karena langsung ditulis tanpa terpisah. Semoga kalian semua yang membaca terhibur, terima kasih.
.
.
.
Tokyo, 2017
Tahun itu saat Tanabata. Hinata mendapatkan proyek untuk mewakili salah satu tenderisasi yang sudah dimenangkan tahun lalu oleh pihak senior untuk diteruskan. Seminggu sebelum tanabata, ia mendapatkan surat penugasan untuk berangkat ke Tokushima menggantikan Shino yang berhalangan karena jadwal bertabrakan. Hinata sedikit menghela napasnya ketika ia tidak bisa berhenti hingga akhir musim panas karena selanjutnya akan langsung berangkat ke Hokkaido. Ia menggeser layar ponselnya lagi berharap ijin musim panasnya untuk tidak berkunjung ke Kyoto sedikit dimaklumi oleh ayahnya yang sangat protektif.
Hinata sedikit bingung dengan dana simpanannya apabila musim panas ini tidak mendapatkan jatah kerjanya karena seluruh waktunya sudah habis dengan masalah tenderisasi hingga masuk musim gugur mendatang, paling tidak musim panasnya kali akan sedikit berbeda. Walaupun seluruh biaya transportasi dan hal-hal lainnya sudah ditanggung oleh pihak universitas, gadis itu masih memikirkan bagaimana mendapatkan dana tambahan demi membayar uang sewa apartemen dan jajan hariannya.
Ia menghela napasnya kembali, meminta ke ayahnya pasti tidak akan membuatnya merasa lebih baik. Hinata kembali melihat jam tangan yang ada di tangan kirinya dan mencocokannya dengan boarding pass, masih dua jam lagi sebelum check in dibuka. Ia menengok ke kanan dan ke kiri ketika berusaha mencari tempat bersinggah di cafe yang tidak terlalu ramai. Ia mendorong tas dorongnya dengan perlahan, mengamati menu cafe yang menurutnya cocok untuk dinikmati. Langkah kaki nya terhenti di salah satu cafe ketika ia menemukan seorang yang cukup familiar untuknya sedang berdiri tak jauh darinya, mengamati hal yang serupa sepertinya.
"Um, Uchiha-senpai?" ia ragu menyebut nama itu karena takut salah mengingat namanya. Terkadang orang populer menurutnya sedikit berbeda level untuk Hinata yang tidak begitu menonjol sehingga ia sering melupakan nama dan lebih mengingat wajahnya.
Pemuda itu menoleh sebentar sebelum mengarahkan seluruh badannya menghadap gadis itu, "Oh, Hyuuga."
Sasuke mendorong tas dorongnya ke sisi kanan tubuhnya, Hinata pun melirik koper yang dibawa pemuda itu nyaris sama dengannya. Hinata tersenyum sebentar. "Tidak kusangka akan menemukanmu disini senpai."
Sasuke hanya mengalihkan perhatiannya sebelum pandangannya jatuh kembali padanya. "Kau mau kemana?"
"Oh," Hinata mendekatkan kopernya ke badannya. "Tokushima. Tapi aku akan transit dari Osaka."
"Oh, penerbangan dua jam lagi?"
"Ya." Gadis itu tersenyum.
"Sepertinya tujuan pesawat kita sama. Aku juga sedang akan ke Osaka, tapi karena Naruto salah membeli tiket jadi tim kita akan berangkat dari Narita sementara beberapa yang lain sudah berangkat dari Haneda." Pemuda itu tersenyum pelan sambil melepaskan kacamata hitamnya.
Hinata dan Sasuke saling terdiam karena bingung apa yang akan dibicarakan lagi, keduanya hanya sebatas senior-junior yang tidak terlalu akrab atau bahkan sering bertemu. Mereka pertama kali bertemu pun tahun lalu, selanjutnya hanya saling menyapa jika tak sengaja berpapasan di gedung universitas. Tidak ada percakapan yang lebih jauh setelahnya, hubungan mereka berdua hanya seperti itu.
"Kau tidak mau masuk untuk sekedar membunuh waktu?" Hinata mendongak ketika Sasuke menawarkan untuk masuk ke dalam cafe yang ada di depan mereka. Ia ragu apakah rasanya akan aneh untuk dirinya atau malah ia akan terlihat memalukan di depan Sasuke yang menurutnya sangat populer ini. Tidak. Menerima atau menolaknya adalah pilihan yang sulit untuk Hinata lewati.
"Tentu saja, maaf merepotkan." Gadis itu melangkah di ikuti oleh Sasuke di belakangnya. Keduanya berhenti di muka cafe untuk menitipkan koper mereka. Mendapatkan kunci dan menggemboknya di deretan penitipan koper.
"Uchiha-senpai, kau ingin duduk di sebelah mana?" Hinata menunggu Sasuke melepaskan jaketnya dan berdiri di belakangnya.
"Sebelum itu, bisakah kau tidak memanggilku senpai? Itu memalukan untukku."
"Ah, bagaimana dengan Uchiha-san?" Hinata memandang takut pemuda itu.
Sasuke hanya tersenyum, "Tidak buruk. Bagaimana jika di dekat rak buku yang ada disana?"
Hinata sedikit tertawa, "Tentu."
.
.
.
Kyoto, 2018
"Ino, bisakah kau tidak memainkan akunku untuk sebentar saja?" Hinata mencoba meraih ponselnya yang di sabotase oleh temannya. Gadis dengan rambut panjang pirang itu masih tidak menyerahkan ponsel Hinata, malah ia sibuk menggeser layar ponselnya. Memandangi akun media sosial yang ada di layar ponsel itu.
"Jadi, selama setahun ini setelah kalian bertukar media sosial tidak ada interaksi sama sekali lagi? Like atau apa gitu misalnya?" Ino masih menatap bosan layar ponsel Hinata yang tak kunjung ia serahkan.
Kekasihnya hanya tertawa ketika Ino masih tidak mau memberikan ponsel Hinata kembali, "Lagipula, kenapa kau tidak mau ikut goukon dengan teman Sai yang dari Tokyo saja sih?"
Ino masih kesal. "Daripada kau menunggu pemuda ini yang bahkan selama dua tahun tidak ada kemajuan sama sekali."
Hinata melirik ke arah Sai meminta pertolongan tapi pemuda itu sama sekali tidak membantu, "Kau tahu, teman-temanku baik sangat pandai di bidang seni. Kurasa akan cocok denganmu yang selalu serius."
"Siapa yang yang cocok dengan siapa?" Ino dan Sai terkejut ketika suara berat yang muncul dari belakang itu mengangetkannya. Buru-buru Ino menutup media sosial Hinata ketika kakaknya datang.
"Neji-senpai, bukankah Hinata sudah cukup dewasa untuk ikut goukon?" Ino masih berusaha membujuk.
"Goukon tidak ada faedahnya kenapa harus dilakukan, sih?"
"Nii-san, kau baru sampai rumah?" Hinata buru-buru bangun ketika Neji melepaskan mantelnya.
"Diluar dingin sekali, kalian jika pulang dari sini jangan lupa mampir membeli heatpack."
"Bagaimana jika kita coba posting foto? Sudah lama sekali sepertinya kita tidak foto bersama." Ino membuka layar ponsel Hinata dan sedikit tersenyum dan mengedipkan salah satu sisi matanya.
Ino merentangkan tangannya menjauhi posisi mereka berempat yang saling merapat. Ia memencet beberapa kali shutter dan mendapatkan hasil yang beragam. Ia kemudian membuka media sosial dari ponsel Hinata dan mempostingnya dengan cepat.
"Nah, kita lihat apakah dia akan merespon foto ramai-ramai ini." Ino sedikit tersenyum kecil ketika Hinata memandangnya cemas. Gadis itu tidak bisa menang dengan teman masa kecilnya satu ini, ia hanya sedikit tersenyum ketika Ino akan menyerahkan kembali ponselnya sebelum pulang dengan Sai.
"Oh!" Hinata bingung ketika Ino tidak jadi mengembalikan ponselnya malah kegirangan.
"Lihat, first like!"
.
.
.
Kyoto, 2019
Musim gugur tahun itu bertahan lebih lama dari sebelumnya. Hinata hendak kembali ke Tokyo setelah menyelesaikan beberapa urusan studi yang sekalian mampir pulang ke rumah. Dedaunan sudah mulai menguning dan beberapa sudah ada yang menjadi oranye, udara juga sudah mulai dingin. Ia masih duduk dengan tenang menunggu kereta cepatnya datang sesuai dengan jadwal di peron nomor tiga. "Hinata!"
Gadis itu menoleh ketika ia mendengar suara familiar yang memanggil namanya dari jauh. Dari tangga tak jauh Hinata duduk, Ino berlari menuju ke arahnya. Dibelakangnya ada Sai dan di ikuti oleh seorang pria yang tidak ia kenal. "Kau pulang ke Kyoto? Kok tidak memberi kabar?"
Ia berdiri dan tersenyum sebentar. "Aku tidak ada rencana pulang, hanya ada urusan dan sekalian mampir ke rumah untuk mengambil barang."
Ino menyenggol lengan Hinata dan berbisik, "Bagaimana dengan Uchiha? Apakah masih tetap tidak ada komunikasi?"
Hinata hanya tertawa. Keduanya memang tidak pernah ada interaksi, apa yang gadis itu harapkan dari seseorang yang populer seperti Sasuke untuk mengobrol dengannya? Bahkan saling menanyakan kabar? Itu mustahil. Mereka berdua hanya saling menjadi penonton di masing-masing akun media sosial tanpa ada inisiatif untuk memulai obrolan lebih lanjut.
"Pesanmu yang terakhir bagaimana? Apakah dibalas? Apakah ada lanjutannya?"
Ino masih mendesak jawaban dari gadis itu, "Apa yang harusnya ku harapkan, Ino?"
"Hai, Hinata." Sai masih tersenyum ketika kedua pemuda itu baru bergabung dengan Ino. Hinata hanya tersenyum membalas sapaan Sai dan menunduk melemparkan pandangannya pada pemuda asing yang ada di belakang Sai.
"Jika seperti itu lebih baik kau mundur saja tidak usah diteruskan untuk menunggu Uchiha itu." Ino menimpali seakan menghentikan perbincangannya dengan Hinata, sementara Hinata hanya diam tidak menjawab. "Oh! Kau mau kembali ke Tokyo, kan? Kenalkan, ini Akasuna Sasori. Dia juga dari Tokyo."
Hinata memandang laki-laki yang dikenalkan Ino, pemuda itu sedikit tersenyum. "Dia temanku di universitas seni. Kami hanya mengantarnya sampai stasiun karena kami kebetulan juga akan menaiki kereta ke Takeda."
"Takeda?"
"Kudengar disana ada pameran besar, jadi kami mau datang kesana. Dan Ino bilang ingin ikut."
"Libur mahasiswa Kyoto dengan Tokyo berbeda ya Nona, kami memang mendapat jatah libur mendekat akhir tahun." Ino menimpali.
"Awalnya kukira Sasori bisa ikut dengan kami tapi ternyata dia ingin pulang."
"Tentu saja libur panjang berati waktunya kembali pulang ke rumah, bukan?" pemuda bernama Sasori itu menimpali dan sedikit tertawa. Hinata mengangguk karena setuju dengan pernyataan pemuda itu.
Ino melirik ke arah Hinata dan Sasori, "Ya kalau begitu kita langsung pergi saja, ya? Kan sudah ada Sasori, nanti kami ketinggalan kereta. Tolong jaga Hinata ya, Sasori-kun!"
Hinata hendak menjawab tapi Ino dan Sai sudah pergi sambil sedikit berlari menjauh. Sasori hanya melemparkan pandangannya pada Hinata sambil menggidikan bahunya seakan tidak paham dengan kedua pasangan itu juga. Hinata merasa canggung dan tidak tahu membuka interaksi bagaimana dengan pemuda itu.
Pertama Hinata menyuruhnya untuk duduk di bangku yang sebelumnya ia sempat duduki. Pemuda itu meletakan barang bawaannya yang tidak seberapa di bawah bangku. Hinata mengambil duduk sedikit memberi jarak pada pemuda itu.
"Akasuna Sasori."
"Eh?"
"Akasuna Sasori, itu namaku." Hinata masih mencerna ketika pemuda itu menyebutkan namanya kedua kali untuk memecah keheningan di antara dia dan Hinata.
"O-Oh, maaf. Hyuuga Hinata."
"Tidak enak rasanya jika tidak mengenalkan diri secara langsung ketika bertemu orang yang baru." Ia sedikit tertawa sambil memegang tengkuk kanannya ketika membalas Hinata yang juga tersenyum. Sasori melemparkan pandangannya sebentar ke arah rel kereta api.
Dari seberang peron ada Sai dan Ino yang masih melambaikan tangannya mencoba menarik perhatian Sasori dan Hinata. Ketika keduanya menangkap, dengan refleks saling tertawa dan membalas lambaian Ino dengan pelan. Sasori kembali melirik ke arah Hinata.
"Sebenarnya sudah lama aku ingin berkenalan denganmu, Hyuuga-san." Pecahnya lagi.
"Eh? Kenapa?"
"Sai dan Ino sering mengajakku untuk goukon dan mereka bilang ada seorang gadis yang mungkin bisa satu frekuensi denganku untuk menjadi teman. Tapi kudengar kau tidak ingin goukon, ya?"
"Ah," Hinata kini mengerti kenapa Ino selama setahun terakhir sering mengajaknya untuk pergi goukon. Ia sedikit tertawa sebentar.
"-sebenarnya aku bukannya tidak ingin untuk datang ke goukon. Tapi kakak ku pasti sudah mati-matian mencegahku untuk datang bahkan sebelum aku di undang." Keduanya saling tertawa. Banyak yang mereka bicarakan hari itu hingga sampai kereta peluru datang pun mereka memutuskan untuk menjadi teman ngobrol sepanjang perjalanan.
.
.
.
Tokyo, 2020
Hinata mengeratkan mantel dan syal yang dipakainya saat salju turun hari itu. Ia sedikit terbatuk ketika angin dingin itu menyelip di antara helai rambut dan pakaian tebalnya. Gadis itu masih berjalan di antara hamparan salju tipis yang ada di taman Ueno. Sudah dua bulan ketika Hinata barutau jika Sasuke tidak ada di Tokyo karena tugas akhir dari penelitian yang mengharuskannya untuk kerja di luar wilayah Tokyo, berita itu pun datang dan di dengar oleh Hinata dari Kiba. Pemuda yang satu angkatan dengannya itu bercerita jika akhir-akhir ini yang datang untuk mengantarkan piaraannya ke klinik bukan lagi Sasuke, tetapi kakaknya. Media sosial Sasuke pun jarang update. Benar-benar tidak ada berita sama sekali.
Semakin berjalannya waktu, semakin Hinata menyadari perasaannya terhadap Sasuke ini semakin abu-abu. Jika semuanya berakhir apakah ia akan merasa lega? Atau malah kecewa?
Berita merebaknya larangan untuk datang ke universitas semakin menjadi ketat ketika wabah virus baru yang digadang-gadang akan mengalami lonjakan parah. Hampir seminggu Hinata menetap di apartemennya dengan beberapa tumpukan tugas yang ia bawa pulang, sesekali ia juga harus ke minimarket terdekat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Atau bahkan ke tempat menginap rumah temannya yang lain untuk menyelesaikan proyek semakin cepat. Yamanote-sen yang biasanya ramai dan sesak setiap hari, kini tidak begitu padat dan pengurangan jumlah penumpang pun dibatasi. Suhu dingin yang hampir mencapai angka nol itu semakin membuat Hinata tidak kuasa menahan untuk tidak menggigil. Gadis itu juga bersin beberapa kali setiap salju masuk ke sela-sela syal nya.
Ponsel Hinata bergetar sekali, ada notifikasi untuk tidak keluar melewati pukul empat sore dari ramalan cuaca harian ponselnya karena akan ada badai salju. Gadis itu masih bersin-bersin ketika membaca notifikasi itu. Dibawahnya ada berita update dari media sosial Sasuke. Hinata tersenyum ketika melihat segelas air hangat yang diposting oleh Sasuke dengan beberapa stiker karena keadaan di Hokkaido tidak jauh lebih baik dari Hinata berada sekarang.
Hinata terus menggeser layar ponselnya sambil duduk di salah satu bangku yang kosong di kereta hingga disana nampak notifikasi lain, Jika kau ada waktu segera hubungi kembali. Ayah sakit.
Hinata panik. Pesan singkat dari kakaknya membuat dia menengok ke arah pintu kereta yang masih tertutup dengan lampu merah berkedip di atasnya, lampu yang terus berjalan dengan perlahan itu bergerak menuju ke stasiun Tokyo. Masih tersisa satu stasiun lagi.
'Kuharap tidak terjadi sesuatu yang buruk.'
Melihat pesannya pada kakaknya itu sudah terkirim, ia membuka kembali media sosialnya dan mencari nama akun Sasuke. Ia mengirimkan hal yang serupa kepada pemuda itu walaupun ia mungkin sudah tahu jika pemuda itu tidak akan membalasnya.
'Kuharap Hokkaido akan sedikit lebih hangat dan Uchiha-san baik-baik saja setelahnya.'
.
.
.
Kyoto, 2021
Musim semi tahun itu hampir selesai ketika udara mulai lebih lembab dari biasanya. Sebentar lagi musim panas akan segera dimulai. Tapi keadaan masih tetap sama dari tahun lalu dan tidak ada perkembangan yang lebih baik dari merebaknya virus baru yang menyerang. Acara ajang internasional yang di adakan di Tokyo pun semakin menambah beban pikiran. Pesta pora internasional yang sempat terhenti di tahun lalu kini di adakan tahun ini dengan beberapa ketentuan yang cukup ketat, bahkan sudah hampir setahun Hinata berada di Tokyo sejak pihak universitas memutuskan untuk memulangkan seluruh mahasiswa baik yang ada di Tokyo maupun diluar untuk kembali ke rumah masing-masing.
Hinata cukup senang ketika Sasuke akan kembali ke Tokyo, tapi bukan berati ia tidak bisa menetap untuk tinggal. Hinata juga harus kembali ke Tokyo sejak musim panas yang lalu. Sudah hampir dua tahun ini ia tidak melihat Sasuke sama sekali dengan mata kepalanya sendiri. Kerinduan itu entah datang darimana bagaikan sihir yang hinggap begitu saja.
Ino, Sai dan Sasori biasanya menelepon melalui video call untuk membunuh waktu ketika segala hal serba digital ini membuat bosan pada titik tertentu. Sai dan Sasori sudah mampu mendapatkan ijin untuk mengadakan pameran seni secara mandiri dari pihak universitasnya, tapi tidak untuk waktu dekat mengingat kondisi yang belum kondusif dan perijinan publik yang cukup sulit. Mereka meminta Hinata untuk menjadi salah satu medium yang akan menjadi model pameran mereka secara digital dan menjadi tamu di pameran mandiri mereka tahun depan secara exhibition. Ino membantu dengan memasarkan pada public marketing dan media sosial demi kelancaran acara kekasihnya itu.
Awalnya Hinata menolak, tapi karena kendala ekonomi keluarga yang tidak begitu bagus selama setahun terakhir, terlebih ia tidak menitik beratkan semuanya pada Neji, akhirnya ia menerima tawaran itu.
"Oke, semuanya sudah beres. Kita tinggal menunggu feedback saja semoga bisa menaikkan jumlah penonton agar bisa mencapai lebih jauh." Ino masih membereskan beberapa file yang akan disuguhkan ke dalam pameran digital dua hari lagi.
Hinata melepaskan kacamata nya dan membantu gadis itu untuk memindahkan file untuk pamerah agar segera dirapikan dalam bentuk digital, sesekali ia melemaskan otot punggungnya yang terasa kaku.
"Oh," Ino melirik layar ponselnya ragu dan beralih memandang Hinata yang masih duduk di sampingnya. "-Hinata, ikut aku keluar sebentar."
Hinata mendongak melihat Ino yang sudah berdiri di sampingnya, gadis pirang itu meraih tangannya untuk membawanya keluar dari ruang tamu rumahnya menuju ke arah teras halaman depan. Begitu Hinata sudah keluar, Ino menutup rapat pintu halaman depan rumahnya agar tidak terdengar dari dalam. Ia menyuruh Hinata untuk duduk sebelum mengutarakan maksudnya mengajak Hinata keluar.
"Aku tidak tahu ini benar atau tidak, tapi barusan aku melihat ini di beranda media sosialku. Gadis ini merangkul pemuda dengan sangat intim, menurutmu bukankah itu Uchiha Sasuke?"
Hinata tertegun sesaat ketika Ino menyebutkan nama Sasuke tengah dengan seorang wanita lain dalam keadaan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkannya. Ino menyerahkan ponselnya dengan foto yang persis disebutkannya tadi. Ia masih tidak percaya jika yang ada difoto itu benar Sasuke. Pemuda itu memandang keluar dari kamera dengan tidak acuh seperti biasanya. Walaupun memakai masker, Hinata masih bisa mengenali profil wajah Sasuke yang tertutupi itu karena sudah terlalu sering ia memerhatikan media sosial pemuda itu. Gadis dengan rambut pendek sebahu itu tidak memakai masker, cantik sekali. Sepertinya keduanya sedang berada di arena karena orang yang ramai di belakangnya membawa bendera pendukung. Ah, mungkin kah mereka berdua tengah datang mendukung tim di ajang olahraga internasional itu?
Tanpa sadar Hinata menangis, Ino pun kalap. "H-Hei, kenapa menangis?"
"I-Ino, bagaimana ini? Bukankah sebelumnya aku sudah berjanji jika suatu saat jika Sasuke menemukan seorang gadis untuk bersanding dengannya, aku akan ikhlas? Dia juga sudah memasuki usia yang bisa dikatakan cukup untuk segera menikah kapan saja. Aku tahu baginya aku pasti tidak dipandang lebih karena kurang menonjol, dan aku sudah merasa siap jika suatu saat secara tiba-tiba seperti sekarang akan mendengar dia menikah dengan orang lain."
"Tapi, kenapa aku jahat seperti ini ketika dia sudah menemukannya.. aku tidak ingin dia bahagia. Bahkan, dia belum menikah tapi hanya sekedar bersama orang lain untuk pertama kalinya pun aku masih merasa aku tidak mau? Kenapa aku jahat sekali, Ino?" Hinata masih menangis. Hari itu, untuk pertama kalinya seumur hidup, Hinata merasakan bagaimana perasaan patah hati akan perasaan yang selama lima tahun ini dia pendam dan tolak kehadirannya.
Jika ada satu penyesalan, mungkin Hinata menyesal tidak mundur sejak awal. Ketika ia sudah terlanjur basah seperti sekarang, ia benar-benar hancur.
.
.
.
See Ya
.
.
.
Author Note:
*Yamanote-sen: adalah jalur kereta paling sibuk, ramai dan menghubungkan semua stasiun daerah penting yang ada di Tokyo hingga membuat loop atau lingkaran. Yamanote-line menghubungkan enam stasiun distrik besar seperti: Tokyo, Shinagawa, Shibuya, Shinjuku, Ikebukuro, Ueno dan akan kembali lagi ke Tokyo. Satu putaran akan disebut dari Tokyo dan kembali lagi ke Tokyo adalah satu loop Yamanote-sen.
